Kesetaraan Pria dan Wanita dalam Gereja

Oleh Monica Migliorino Miller

Para Santa (Sumber: stpaulcenter.com)

Para Bapa Gereja (para uskup dan teolog besar pada lima abad awal Kekristenan) merupakan sasaran khusus kemarahan kaum feminis, dan harus diakui pula bahwa para pemikir Gereja Perdana itu tidak terlalu dikenal dengan dukungan mereka bagi kebebasan kaum wanita. Perlu diakui juga bahwa kebanyakan Bapa Gereja sangat dipengaruhi oleh Neoplatonisme, yang merupakan sebuah filosofi dualis radikal yang mengaitkan bahwa pria itu baik sedangkan wanita itu jahat. Pria digambarkan sebagai realitas spiritual, Tuhan, jiwa, intelektualitas – realitas yang permanen dan tidak berubah, yang demikian baik. Kejahatan adalah semua yang telah jatuh dari dunia spiritual, yaitu bumi dan keberadaan material. Berdasarkan sifatnya, wanita itu berada di sisi dunia yang jatuh itu. Dan tidak pernah terjadi kedamaian yang dibawa antara kedua dunia ini. Jika ada sekalipun, maka kedamaian yang dibawa itu bersifat antagonis. Dalam dunia yang sempurna, semua umat manusia itu adalah pria. Maka dari itu, tidak akan ada seks sama sekali. Adanya perbedaan jenis kelamin adalah indikasi awal dan yang paling utama bahwa ada yang salah dengan dunia ini. Dalam pemikiran Platonis, dunia ini yang penuh dengan perbedaan yang terfragmentasi. Dunia yang tidak lagi memiliki kesatuan karena telah jatuh dari Yang Esa, dunia menurut monisme mengenai kesatuan spiritual di mana fragmentasi dari keberadaan temporal itu menghilang, termasuk perbedaan seksual.

Keteraturan dalam dunia yang terpecah-pecah dan saling bertentangan dicapai melalui dominasi dan penindasan dari kekuatan superior dari pria yang mengatasi kekuatan inferior wanita. Hilangnya kekacauan dicapai dengan kontrol pria yang rasional yang mengatasi wanita yang irasional. Pertempuran gender yang salah dan tidak perlu ini berlangsung hingga saat ini.

Para Bapa Gereja hidup dalam masa yang didominasi oleh filsafat pagan yang memandang rendah kaum wanita. Fisafat pagan itu dihadapkan dengan iman Gereja, yang menurut kehidupan sakramental dan moral, mengajarkan bahwa pria dan wanita memiliki martabat yang setara dan sebagai mitra dalam penebusan. Dalam tulisan para Bapa Gereja, filsafat Yunani tidak mengaburkan wahyu agama Kristen. Melainkan dengan ajaran Gereja yang revolusioner, secara perlahan dan menyakitkan menggantikan pandangan filosofis yang dominan pada masa itu yang memandang wanita itu lebih rendah daripada pria. Ketika para Bapa Gereja mendasarkan tulisan-tulisan mereka pada wahyu Kristus, cara pandang terhadap wanita mulai muncul dengan mengakui peranan penting wanita dalam penggenapan karya penebusan dunia dalam Kristus. Karya penebusan ini bergantung pada seorang wanita, suatu ketergantungan yang berakar bahwa wanita diciptakan dengan baik adanya.

St. Agustinus mengajarkan bahwa secara historis keselamatan dunia dicapai dengan perjanjian antara Kristus dan Maria. Bahkan, Agustinus membela kehormatan Maria terhadap para bidat pada zamannya yang menolak apa yang baik dari tubuh dan wanita (gender). Kaum Gnostik menyangkal bahwa Allah dalam diri Kristus dapat atau ada hubungannya dengan seorang wanita, apalagi dikandung dan dilahirkan oleh seorang wanita! Hal seperti ini merupakan hal yang memalukan bagi mereka, namun tidak demikian bagi Agustinus:

“Celakalah mereka yang menyangkal bahwa Tuhan kita Yesus Kristus memiliki Maria sebagai ibu-Nya di bumi. Dispensasi itu dilakukan untuk menghormati kedua gender, pria dan wanita, dan keduanya ambil bagian dalam pemeliharaan Allah; bukan hanya apa yang telah Ia anggap, namun juga melalui bagaimana Ia menganggapnya, menjadi seorang pria yang lahir dari seorang wanita.”

Tidak ada indikasi bahwa salah satu gender itu lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang lain. Kenyataanya, Allah masuk ke dalam sejarah manusia sebagai seorang pria yang bukan berarti bahwa pria itu lebih tinggi derajatnya. St. Agustinus dengan jelas mengajarkan bahwa melalui Inkarnasi, Allah menghormati kedua gender. Selain itu, kedua gender ini secara aktif terlibat dalam penebusan dunia. Penting untuk menekankan bahwa St. Agustinus tidak takut menegaskan bahwa Kristus itu bergantung kepada Maria.

Menurut St. Agustinus, Gereja adalah Hawa yang Baru. Ajarannya menegaskan bahwa kaum wanita adalah bagian dari rencana penebusan. Tafsiran Agustinus mengenai Mazmur 127 menyatakan bahwa keselamatan bersumber pada keduanya yaitu Kristus dan Gereja-Nya. Kristus dan Gereja-Nya adalah pasangan oleh karena perkawinan yang digambarkan oleh pasangan yang pertama (Adam dan Hawa –red.). Secara khusus, Agustinus menegaskan dengan caranya yang indah dalam paralel kisah tertidurnya Adam oleh kuasa Allah dengan tertidurnya Kristus dalam wafat-Nya di Salib, yang lambungnya ditikam dan dari sanalah Gereja berasal, sang Hawa Baru.

Mengenai otoritas tentang wanita, penting sekali untuk diperhatikan bahwa Kristus tidak melakukan karya keselamatan sendirian. Keselamatan dicapai melalui Gereja, mempelai wanita-Nya, yang menjadi tipe segala yang feminin. Dalam teologi Agustinus ada gagasan di mana Gereja yang feminin sebagai alasan bersama mengenai karya keselamatan. Gereja umpamanya melahirkan anak-anak Kristus. Hawa yang mengandung anak-anak dalam penderitaan, adalah tanda Gereja yang akan mengandung anak-anak secara rohani. Gereja secara khusus mengandung anak-anak sebagai Mempelai Wanita Kristus. Sebagai seorang ibu, Gereja menderita atas anak-anaknya, mengerang bagi mereka. Dengan cara inilah, Gereja menjadi “Ibu dari segala yang hidup” yang sejati yang menantikan saat anak-anaknya bangkit dari kematian dan semua dan “segala rasa sakit dan keluh kesah akan berlalu” (bdk. Roma 8:22 –red.).

St. Agustinus tidak meremahkan sesuatu yang feminin. Namun, keselamatan dicapai melalui yang feminin (Gereja –red.). Teologinya setidaknya menyiratkan bahwa kesetaraan martabat antara pria yaitu Kristus dan wanita yaitu Gereja. Dan tentu saja, Christus totus “Kristus paripurna” (bdk. KGK 795), Kepala dan Tubuh, dan sponsus dan sponsa (mempelai pria dan mempelai wanita –red.).

Dr. Monica Migliorino Miller adalah seorang profesor di Madonna College. Dia sudah menulis banyak hal mengenai topik wanita dalam Gereja, termasuk bukunya yang berjudul “The Authority of Women in the Catholic Church.”

Sumber: “The Equality of Men and Women in the Church”

Posted on 16 July 2019, in Apologetika and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.