Ekaristi Membuatku Pulang – Kisah Pulang Tom Ponchak

Keluarga Tom Ponchak

Tom Ponchak meraih gelar teologi dan ikut terlibat dalam pelayanan di Gereja Katolik, kemudian dia meninggalkan Gereja selama sepuluh tahun. Setelah menjalani waktunya sebagai pendeta Injili, dia kembali ke Gereja pada tahun 2007. Tom menjabat sebagai Direktur Pembinaan Iman Dewasa di Gereja Katolik Bunda Karmel di Carmel, Indiana, di mana dia tinggal bersama istrinya Lisa dan keenam anaknya.

Saya lahir di keluarga Katolik yang kuat. Keluarga saya terlibat aktif di paroki kami. Kami menghadiri Misa di gereja yang dalam proses pembangunannya dibantu oleh kakek buyut saya. Pada waktu itu saya menjadi putra altar selama sepuluh tahun. Ayah saya menjadi lektor, pelayan komuni tak lazim (prodiakon –red.), dan ketua dewan paroki. Setiap minggu, keluarga kami menempati bangku paling depan di gereja. Saya terlibat aktif dalam kelompok remaja di sekolah menengah (sekitar SMP-SMA –red.) saya. Saya menjalani saat-saat pembedaan roh apakah saya dipanggil untuk menempuh panggilan imamat, dari kelas senior sekolah menengah (setingkat SMA –red.) sampai dengan awal-awal menjadi mahasiswa. Saya masuk ke Franciscan University of Steubenville untuk belajar teologi. Penasihat akademik saya tidak lain adalah seorang terkenal yang berpindah keyakinan ke Katolik, Dr. Scott Hahn. Setelah saya lulus kuliah, saya bekerja sebagai anggota dewan paroki untuk orang muda dan juga guru agama SMA.

Dan kemudian, saya meninggalkan Gereja Katolik.

Merenungkan tentang hidup saya saat itu, saya sekarang sering bertanya-tanya, apa yang saya pikirkan saat itu. Pada saat itu, saya merasa begitu yakin dengan keputusan itu. Saya meninggalkan Gereja bukan karena ketidaksetujuan doktrin. Saya tidak pindah keyakinan oleh karena ajaran moral Gereja, kenyataannya istri saya, Lisa, dan saya saya terus menjalankan program Keluarga Berencana Alamiah (KBA) ketika terpisah dari Gereja. Saya pikir alasan saya itu lebih bersifat personal dan kompleks. Saya akui ada beberapa pemikiran yang dirasionalisasikan dan terlalu jauh tentang beberapa hal.

Bagi mereka yang tidak terlalu akrab dengan sekolah, Universitas Fransiskan adalah institusi Katolik yang dinamis. Bukan kampus Katolik biasa. Sebagian besar mahasiswa di sana, fakultas dan stafnya sepenuhnya memeluk iman Katolik. Di kampus itu ada tiga kali misa harian yang dihadiri banyak orang. Adorasi Ekaristi Abadi diadakan di sebuah kapel yang merupakan replika dari kapel yang dibangun oleh St. Fransiskus dari Asisi. Mereka mengadakan Festifal Pujian bulanan, suatu acara malam pujian dan penyembahan karismatik, yang dipenuhi orang. Sebagian besar mahasiswa bergabung dalam keluarga rumah tangga, sebuah komunitas Kristen kecil di asrama yang mirip dengan kelompok persaudaraan mendikan. Yang mengatakan bahwa kuliah di Universitas Fransiskan lebih ke pengalaman rohani daripada akademis, adalah pernyataan yang meremehkan.

Saya menikah dengan Lisa, seminggu setelah saya lulus dan kami segera pindah ke Maryland setelah saya menerima pekerjaan sebagai dewan paroki untuk orang muda di sebuah paroki di pinggiran kota yang makmur. Saya mengalami kejutan budaya. Kami datang dari komunitas yang penuh semangat dan iman ke tempat di mana kami dipandang rendah (dan juga cibiran) karena hamil pada tahun pertama perkawinan kami karena kita dipandang tidak punya akal sehat untuk menggunakan kontrasepsi. Dewan pastoral seringkali memberitakan Injil dengan penafsiran pribadi dan membagikan pandangan pribadinya seperti tidak ada dosa pribadi dan kami hanya perlu menerima pengajaran dan menerimanya saja dari mimbar. Perkembangan spiritual orang muda kurang penting daripada memastikan semua orang bersenang-senang dan merasa dirinya baik-baik saja. Sementara itu, kami justru diabaikan oleh paroki yang kami datangi untuk kami layani itu. Lisa mengalami masa yang sangat sulit dalam kehamilannya dan akhirnya kami harus tinggal di rumah sakit selama beberapa hari untuk bertempur melawan kelahiran prematur. Kami tidak menerima kunjungan dari seorang imam pun, tidak juga dari umat dari kantor paroki kami yang bertanya bagaimana keadaan kami. Sebaliknya, saya menerima ceramah tentang pentingnya untuk bisa hadir untuk makan donat dan minum kopi setelah Misa Minggu – sementara istri saya dirawat di rumah sakit!

Kami berjuang untuk menemukan komunitas umat Katolik yang beriman dengan serius dan bukan hanya dilakukan sebagai kewajiban belaka. Hal itu sungguh sulit dan menyakitkan. Kami masih yakin bahwa pelayanan adalah panggilan kami. Setelah setahun di Maryland, kami pindah ke Michigan. Saya dipekerjakan sebagai salah satu dari tiga guru agama di satu-satunya SMA Katolik di keuskupan itu. Para guru agama sebelumnya telah dibebastugaskan karena “tidak cukup Katolik.” Keuskupan mencari guru-guru yang mengajarkan ajaran yang sehat, doktrin yang lurus, dan dengan jelas bernafaskan ajaran moral Gereja. Bagi saya itu terdengar sangat cocok dengan saya, dan saya sangat suka mengajar. Saya dapat terus bekerja bersama dengan orang muda dan berusaha berbagi semangat iman saya dengan mereka.

Sayangnya, pengalaman kami dengan paroki setempat tidak terlalu baik. Sekali lagi, Lisa dan saya merindukan suatu komunitas, suatu kelompok orang sebaya di mana kita bisa berbagi tentang kehidupan kita dan saling menguatkan satu sama lain dalam iman. Hal ini terus terbukti menjadi lebih sulit daripada yang kita bayangkan. Paroki-paroki yang kami hadiri di kota kecil memiliki sedikit orang dewasa muda. Saya menghadapi tentangan yang keras dari orang-orang pimpinan paroki ketika berusaha membantu program pelayanan orang muda. Saya terang-terangan diberitahukan oleh seorang anggota komite paroki bahwa tujuan pelayanan orang muda seharusnya “membuat suasana yang menyenangkan sehingga setelah anak-anak itu meninggalkan Gereja dan ketika mereka kuliah, mungkin mereka akan mengingat bahwa mereka telah merasakan sesuatu yang menyenangkan dan akan kembali ketika sudah saatnya mereka membaptiskan anak-anak mereka.”

Setelah tiga tahun mencari-cari, namun tidak kunjung menemukan, komunitas yang ada dan juga menjadi frustasi di setiap kesempatan ketika kami berusaha melakukan pelayanan, baik saya dan istri saya benar-benar berada di ujung tanduk. Kami ragu bahwa kami bisa menemukan umat Katolik lainnya yang memiliki komitmen dalam iman dan mempunyai relasi yang nyata dengan Yesus dan sangat tertarik dengan pertumbuhan iman mereka. Kami merasa yakin bahwa kami perlu mencari cara untuk memenuhi kebutuhan ini yang tidak terpenuhi di Gereja. Pada bulan September 1996 kami dirangkul oleh sebuah gereja non-denominasi setempat yang menjadi bagian Persekutuan Karismatik dan Injili Nasional. Kami bertemu dengan pendeta dan menjelaskan bahwa kami tidak berniat meninggalkan Gereja Katolik, kami hanya ingin bergaul dengan komunitasnya untuk bersekutu bersama. Saya rasa saya menemukan sesuatu yang cocok, kita masih bisa mengikuti Misa pada hari Minggu dan bergabung dengan kelompok persekutuan kecil pada waktu seminggu itu yang diadakan di rumah pendeta.

Kami dengan cepat merasakan hubungan dengan orang-orang yang berkumpul di kelompok kecil itu setiap minggunya. Beberapa orang diantaranya mantan Katolik, sebagian lagi dari denominasi Protestan aliran utama, dan beberapa orang tidak memiliki latar belakang gereja apapun. Ketika kami berkumpul, kami berfokus tentang bagaimana kita menerapkan iman kita ke kehidupan kita. Orang-orang menjalankan imannya dengan serius dan sangat berkomitmen satu sama lain dan gereja mereka. Ada suatu minat yang tulus dalam apa yang terjadi dalam kehidupan mereka masing-masing, dari sukacita sampai dengan perjuangan, dari berkat sampai dengan kebutuhan. Lisa dan saya langsung merasa disambut dan dicintai. Akhirnya kami menemukan sekelompok umat beriman di mana kita bisa membangun relasi ke tingkat spiritual dan yang menerima dan mendukung kita.

Pada saat yang sama, berbagai hal membuat saya frustasi di paroki kami dan juga pekerjaan saya. Saya selalu memulai kelas agama dengan doa dan saya sering berkeliling di dalam kelas untuk menanyakan apakah ada intensi dari para murid. Suatu hari, seorang pemandu sorak meminta didoakan karena lututnya terkilir dan tidak dapat berlatih dengan kelompoknya. Dari podium saya berdoa untuk meminta supaya Tuhan menyembuhkan lututnya bersama dengan doa-doa permohonan lainnya di kelas itu. Pada hari berikutnya, dia datang ke kelas dengan semangat untuk berbagi pengalaman bahwa lututnya telah disembuhkan. Pembengkakan dan sakitnya sudah hilang dan dia bisa melakukan semua gerakan sebagai pemandu sorak tanpa kesulitan. Saya mengambil keuntungan dengan “mukjizat” kecil itu untuk mendorong murid-murid saya supaya beriman kepada Allah dan mau melibatkan-Nya dalam hidup mereka dan mereka bisa berpaling kepada Dia bahkan untuk apa yang mereka anggap sebagai masalah sepele. Saya mengingatkan mereka bahwa Allah adalah Bapa yang baik yang ingin memberikan hal-hal yang baik kepada anak-anak-Nya jika kita memintanya.

Sekitar seminggu kemudian, saya dipanggil oleh kantor keuskupan untuk bertemu petinggi keuskupan. Sepertinya perkataan saya sudah menyebar di sekitar sekolah tentang kisah pemandu sorak, dan beberapa orang tua murid melaporkan keluhan mereka kepada keuskupan tentang guru agama yang menyembuhkan murid di kelasnya. Saya menjelaskan apa yang terjadi dan saya tidak banyak memikirkan doanya ketika saya sedang berdoa. Saya dengan hormat menunjukkan kepadanya bahwa saya tidak menyembuhkan siapapun, namun jika Allah ingin menjawab doa seseorang maka tidak dapat saya lakukan mengenai hal itu. Lagi pula, apa gunanya berdoa memohon sesuatu, jika Anda tidak mengharapkan doa Anda dijawab? Petinggi keuskupan mendengarkan dan kemudian dengan sopan meminta saya untuk berhenti berdoa penyembuhan di kelas saya supaya tidak ada yang tersinggung atau terkejut! Dia mengizinkan saya untuk pembentukan kelompok ekstrakurikuler, namun bersikeras bahwa tidak ada tempat untuk saya di kelas regular. Pada saat yang sama pula, komunitas Injili saya yang baru itu meminta saya untuk membantu gereja mereka untuk membentuk kelompok orang muda untuk membimbing remaja mereka menjadi murid Kristus dan mendewasakan iman mereka. Perbedaannya menjadi tidak bisa lebih jelas lagi.

Natal 1996 menjadi terakhir kalinya kami menghadiri Misa. Kami belum cukup siap untuk sepenuhnya bergabung dengan komunitas baru dari agama itu, namun kami sudah begitu lelah dengan politik dan pertentangan di paroki kami, sehingga kami mengatakan kepada mereka kami butuh istirahat. Kami membaca bacaan-bacaan untuk minggu ini dan berbagi satu sama lain tentang pemikiran kami tentang bacaan-bacaan itu pada Minggu pagi dan mendengarkan lagu pujian dan penyembahan. Kami merasa yakin bahwa Allah memanggil kita untuk melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan komunitas Katolik setempat. Awalnya kami mempertimbangkan untuk pindah, namun saya tidak menemukan pekerjaan lain. Pertemuan kelompok kecil kami di pertengahan minggu menjadi sumber penguatan dan penegasan kami. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik pada Minggu Paskah 1997 dan menjadi anggota jemaat Injili yang sudah terlebih dahulu berbagi waktu dengan kami.

Keputusan ini tidak diambil dengan mudah dan tanpa harga yang harus ditebus. Saya tahu bahwa saya akan mengundurkan diri sebagai guru agama Katolik. Saya memutuskan untuk tinggal di sana untuk beberapa bulan di akhir tahun ajaran dan tidak akan memperbarui kontrak saya. Satu hal yang terakhir, kami inginkan adalah menyebabkan skandal di sekolah. Dan tak seorang perlu tahu mengapa saya tidak kembali. Saya akhirnya menemukan pekerjaan baru di kota itu sebagai seorang yang membantu proses klaim asuransi. Beberapa teman Katolik kami mengetahui tentang keputusan kami dan mereka tidak berbicara lagi kepada kami. Seolah-olah kami sedang dijauhi.

Sejauh ini bagian yang paling sulit dari pilihan kami yaitu memberitahukan keluarga saya. Dahulu saya pernah berpikir untuk menjadi seorang imam dan sekarang justru saya meninggalkan iman. Dan itu menjadi pembicaraan terberat dalam hidup saya. Dalam pembicaraan itu ada kata-kata kasar, perasaan terluka dan banyak air mata. Selama bertahun-tahun, hal itu menjadi sumber perpecahan antara saya dan seluruh keluarga saya. Dulu saya sering menikmati perbincangan sampai larut malam berdiskusi tentang politik dan agama sambil minum bir dan merokok. Sekarang, perbincangan kami jadi terbatas. Ketika kami berbicara dengan mereka, hanya hal-hal yang benar-benar dangkal. Saya bisa melihat betapa hal itu sangat menyakitkan bagi kedua orang tua saya, namun saya sangat yakin bahwa apa yang kami lakukan adalah kehendak Allah, dan hal itu tidak berarti.

Begitu kami sudah melewati reaksi awal dari teman dan keluarga kami, kami mulai membenamkan diri ke dalam kehidupan komunitas iman baru kami. Kami tidak bisa lebih bahagia lagi. Akhirnya kami merasa di rumah; akhirnya terbuka di depan kami suatu komunitas yang mendukung dan kesempatan melakukan pelayanan tanpa melawan sistem. Tak lama kemudian saya dipercayakan untuk membentuk program pelayanan orang muda mereka, sementara itu Lisa mulai bekerja di penampungan wanita tuna wisma. Saya diberikan kesempatan untuk berkhotbah kepada seluruh jemaat pada Minggu pagi. Kami mulai menjadi tuan rumah dan memimpin sebuah kelompok dewasa muda di rumah kami. Dalam waktu singkat saya menjadi salah seorang pemimpin gereja.

Setelah beberapa tahun, saya ditawari magang untuk perintisan jemaat di Florida dalam asosiasi gereja-gereja yang sama di mana saya terlibat di sana. Rasanya sempurna, waktu Ilahi yang membawa kita ke tahap pelayanan berikutnya. Kami pindah ke Florida dan bergabung bersama dengan jemaat yang baru. Sebagai seorang magang untuk perintisan jemaat yang tidak dibayar, saya bekerja purnawaktu sebagai seorang membantu proses klaim asuransi, namun membaktikan berjam-jam untuk membantu di sekitar gereja dan belajar tentang tanggung jawab untuk menjadi seorang pendeta. Sekali lagi, saya dan Lisa diberi banyak berkat dan tak lama kemudian memulai aktivitas pelayanan. Saya diberikan kesempatan yang lebih besar untuk berkhotbah dan mengajar. Kami memulai pelayanan penyembahan alternatif pada pertengahan minggu yang menggabungkan pujian dan penyembahan dengan diskusi dan seni visual. Saya mulai menghadiri konferensi tingkat regional dan nasional pada asosiasi gereja ini dan menulis untuk majalah gerakan gereja yang baru dimulai itu.

Mungkin kelihatannya aneh, namun ketika kami meninggalkan Gereja Katolik, kami masih merasakan hubungan dengan teologi dan liturgi. Walaupun kami telah menjadi frustasi secara pribadi terhadap orang-orang di Gereja itu, tapi masih banyak yang kami cintai dari Gereja itu. Kita sering menemukan diri kita sendiri membela ajaran Gereja terhadap kesalahpahaman dan prasangka. Saya sering dimasukkan ke dalam peran apologis untuk gereja bahkan sebagai “mantan” Katolik. Saya mampu menjelaskan topik-topik seperti Maria, para kudus dan infalibitas sebagaimana topik-topik itu seringkali dilucuti dan akhirnya bisa menghasilkan pemahaman dan penghargaan yang lebih baik terhadap doktrin Gereja Katolik. Kami juga memakai beberapa orang-orang yang pindah keyakinan dengan latar belakang Katolik ketika melakukan pelayanan. Kami mengajarkan lectio divina dalam kelompok kecil kami dan memperkenalka penggunaan abu dan ibadah penyembahan alternatif Rabu Abu.

Baru-baru ini putri saya yang masih remaja (yang sekarang ingin menjadi seorang biarawati) bertanya kepada saya, bagaimana kami bisa meninggalkan Ekaristi selama tahun-tahun itu. Hal ini benar-benar menjadi masalah besar bagi teman-teman Katolik kami sebagaimana juga dengan keluarga kami. Hal itu pula pada awalnya menjadi salah satu rintangan terbesar kami untuk meninggalkan Gereja Katolik. Bagaimana kita bisa mengelak bahwa hal itu adalah pelajaran dalam kemampuan pikiran manusia untuk merasionalisasikan apa saja. Saya memiliki gelar teologi Katolik dari sebuah universitas doktrinal ternama. Saya meluangkan waktu berjam-jam dalam adorasi Ekaristi. Saya mengajar tentang Ekaristi sebagai dewan paroki untuk orang muda dan juga guru agama. Bagaimana saya bisa berpaling dari Ekaristi, Tuhan? Saya merasa bersalah karena penyembahan berhala (mengutamakan pelayanan daripada Ekaristi –red.). Saya menginginkan pelayanan sebagai hal utama. Saya telah membujuk diri saya sendiri dan juga istri saya, bahwa “melakukan berbagai hal itu”” adalah panggilan dari Allah sebagai hal yang paling penting. Pada awalnya saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa meninggalkan Ekaristi adalah pengorbanan yang diperlukan untuk menjangkau orang lain kepada Injil. Kemudian saya mulai merasionalisasikan doktrin transubstansiasi. Saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa hal spiritual lebih nyata daripada hal fisik, surga lebih nyata daripada bumi. Jika saya ingin Yesus hadir secara rohani, maka semua yang saya butuhkan adalah iman saya. Saya menyalahgunakan teologi Orthodoks Timur bahwa yang menekankan misteri untuk membenarkan pemikiran baru saya bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir, namun kita tidak memahami bagaimana dia hadir. Semua itu membutuhkan setumpuk hal teologis untuk mendukung semangat saya yang telah dibutakan untuk melakukan pelayanan yang ingin saya lakukan.

Setelah beberapa tahun magang dan ikut membantu pelayanan, Lisa dan saya ditugaskan untuk merintis gereja baru di kampung halaman kami saat ini di Lakeland, Florida. Akhirnya, kami tiba di sana. Sekarang kita bisa membangun jenis gereja yang kami inginkan dan melakukan pelayanan yang kami inginkan tanpa harus menjawab kepada siapapun kecuali diri kita sendiri dan tim pimpinan yang kami pilih. Kami menamai gereja kami dengan nama Rumah Matius dan kami berniat memulainya sebagai gereja yang tidak konvensional. Kami ingin memulainya sebagai gereja rumah dan tetap sebagai satu jaringan gereja rumah ketika kami bertumbuh di dalamnya. Kami ingin menjangkau orang-orang yang telah meninggalkan dan sakit hati dalam gereja tradisional. Komunitas iman kami yang baru ini tak lama lagi akan dipenuhi anak-anak pendeta yang telah tumbuh dan sakit hati di gereja, fakultas dan staf dari perguruan tinggi yang berafiliasi dengan Gereja Sidang Jemaat Allah di daerah itu, dan beberapa orang yang sudah tidak ke gereja sama sekali.

Kami merasa lebih kuat dari sebelumnya, dan juga kami perlu memasukkan lebih banyak lagi sesuatu yang bernilai dan yang luput dari perhatian Gereja Katolik. Kami merayakan komuni setiap minggu dan saya menggunakan Buku Doa Umum Anglikan sebagai pedoman. Kami mengikuti Masa Liturgi bahkan menggunakan warna liturgi untuk kain alas meja dan lilin. Saya mengajarkan bagaimana komuni itu lebih sekedar simbol. Ketika anak perempuan ketiga kami lahir, saya mengajarkan tentang sifat sakramental baptisan dan keabsahan baptisan bayi. Yang mengejutkan, kelompok buangan kami yang sakit hati dengan aliran Injili dan Pentakostal menerima ajaran itu sepenuhnnya. Saya membaptis putri saya dan beberapa orang lain pada tahun-tahun itu, dan diam-diam saya menggunakan Ritual Baptisan Katolik. Kami mempelajari Para Bapa Gereja dan mempertanyakan Sola Fide dan Sola Scriptura. Kami juga mempelajari persekutuan para kudus. Semakin banyak kami memperkenalkan komunitas kepada teologi Katolik dan Orthodoks dan semakin melakukan apa yang kami sukai, maka saya mulai semakin sering mempertanyakan apa yang saya lakukan itu.

Saya ingat ketika suatu hari saya berbicara kepada Lisa tentang arah yang kami tempuh untuk gereja kita. Saya ingat saat kami bercanda dalam pemikiran kami, bahwa kami bukan lagi sebuah gereja Injili lagi, setidaknya bukan dalam istilah pada umumnya (gereja Injili pada umumnya –red.).  Pada saat yang sama, kami merasakan suatu tanggung jawab yang mendalam untuk komunitas kami. Kami tidak bisa pergi begitu saja dari mereka, namun kami tidak tahu apakah mereka siap untuk mengikuti kami, atau ke mana tepatnya kami pergi. Kami mulai melihat ke berbagai denominasi yang mungkin menerima komunitas beriman kecil kami. Kami melihat-lihat ke Gereja Orthodoks Timur, Gereja Episkopal Injili, dan bahkan Gereja Katolik Tua yang merupakan kelompok skismatik yang memisahkan diri dari Roma setelah Konsili Vatikan I. Pada Minggu Paskah 2007, kami berkumpul di rumah kami untuk melakukan ibadah Minggu. Sekarang kami telah berkembang menjadi dua gereja rumah namun kami berkumpul bersama untuk merayakan Paskah. Surat kabar telah mengirimkan koresponden bagian agama mereka dan seorang fotografer ke Rumah Matius satu minggu sebelum penerbitan surat kabar hari Minggu yang isinya berwarna, di atas lipatan surat kabar itu, di halaman depan ada gambar dan cerita kami. Itulah Paskah terakhir kami setelah meninggalkan Gereja Katolik.

Lisa dan saya sangat merasakan bahwa segala sesuatu yang kami lakukan hanyalah usaha untuk menjadi Katolik namun kami tidak mengakuinya dengan jujur. Lebih dari apapun kami menyadari bahwa rasionalisasi kami tentang Yesus yang benar-benar hadir dalam persekutuan kami tiap minggu tidak bisa lebih benar lagi. Walaupun setiap orang di gereja rumah kami mencintai pelayanan persekutuan kami, kami tahu dalam jiwa kami seperti apa kehadiran-Nya secara sakramental itu, dan kami juga tahu bahwa usaha kami sangat tidak memadai untuk menciptakan kembali persekutuan itu. Rasanya seperti cahaya yang menjauh dari kami dan kami menyadari rasa lapar kami akan kehadiran Tuhan dalam Ekaristi. Dan ini menjadi keinginan yang utama, kami harus kembali kepada Ekaristi. Kami bertemu dengan tim pimpinan Rumah Matius dan berkata kepada mereka bahwa kami mundur sebagai pendeta dan kembali ke Gereja Katolik. Tak seorang pun terkejut mendengar berita itu dan mereka memberkati dan menyemangati kami. Ketika kami berbicara kepada mereka yang berkumpul di rumah kami, mereka juga sangat mendukung. Bahkan, satu keluarga memutuskan bergabung dengan Gereja Orthodoks setempat, dan mereka berkata bahwa mereka tidak bisa kembali ke aliran Protestan apapun (mereka hanya tidak setuju tentang kepausan). Seorang dewasa muda dari kelompok kami memutuskan untuk menjadi Katolik dan saya mendapatkan kehormatan untuk menjadi walinya. Akhirnya, sebuah keluarga lain juga mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Saya diizinkan untuk menjadi pembimbing RCIA (Rite of Christian Initiation of Adults / katekumenat dewasa –red.), namun mereka pindah ke luar kota sebelum menyelesaikan pembinaan mereka.

Sejak kembali ke Gereja, kami telah membagikan pengalaman pasang surut kami, namun saya percaya bahwa waktu kami menjalani waktu di luar Gereja telah memberikan kami persepektif baru dan cinta yang lebih dalam untuk Gereja. Kami sudah belajar banyak dengan penerapannya yang penting sebagai pribadi umat beriman dan saya percaya akan Gereja pada umumnya. Saya pikir Gereja telah kehilangan kesempatan untuk menjaga umat Katolik, memanggil pulang mereka yang pergi, dan menarik orang lain yang mencari makna spritualitas. Saya juga percaya bahwa begitu banyak orang yang terperangkap karena mereka percaya bahwa mengikuti kehendak Allah itu mencari tahu apa yang Allah inginkan daripada menjadi seperti yang Allah inginkan.

Saya sangat menyukai kasih saya kepada Kristus di dalam dan melalui Gereja-Nya bersama orang lain. Saya juga sangat menyukai untuk mengajak rekan-rekan Katolik saya supaya mereka bersemangat akan iman mereka. Baik saya dan istri saya menjadi terlibat aktif di paroki kami. Kami merasa telah diberkati dengan bantuan dari pelayanan dewasa muda yang dinamis dan pelayanan adorasi Ekaristi yang memadukan adorasi dengan pujian, penyembahan, dan meditasi. Bahkan kami memulai pelayanan kami dalam hal menjadi pembicara untuk berbagi kasih kami kepada Kristus dan Gereja bersama dengan orang lain. Satu-satunya harapan kami dari kisah kami dan pelajaran yang sudah kami terima bisa menjadi berkat bagi yang lain dan bagi Gereja.

Sumber: whyimcatholic.com

Advertisement

Posted on 3 August 2018, in Kisah Iman and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: