[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Santa Agatha Yi So-sa

Agatha Yi So-sa (Sumber: cbck.or.kr)
Di antara tujuh puluh sembilan martir yang ditangkap ketika penganiayaan tahun 1839, orang-orang yang pertama ditangkap dan menghabiskan waktu paling lama di penjara yaitu kakak-beradik Agatha Yi So-sa (1784-1839) dan Petrus Yi Ho-yong (1803-1838).
Pada tahun 1784, ketika orang Katolik Korea pertama yaitu Yi Sung-hun dibaptis di Peking, Agatha Yi lahir di Kuwul, dekat Inchon, Provinsi Kyonggi. Dia seorang yang ramah dan sopan dan dia selalu membawa cahaya dan kegembiraan di seisi rumahnya. Namun demikian, di usia mudanya, dia tidak menerima ajaran agama yang memadai. Ayahnya bukan seorang Katolik, dan walaupun ibunya pernah menjadi seorang katekumen, ibunya itu tidak terlalu paham tentang ajaran iman.
Pada usia tujuh belas tahun, Agatha Yi menikah dengan seseorang dari keluarga non-Katolik, sehingga menjalani hidup tanpa memiliki agama. Namun, karena dia tidak dapat memiliki anak, Agatha Yi mencari cara lain untuk mengisi kehampaan hidupnya.
Dua tahun setelah pernikahan Agatha Yi, adik laki-lakinya yaitu Ho-yong, lahir. Dia sembilan belas tahun lebih muda daripada Agatha, dia menjadi sumber sukacita bagi Agatha. Satu tahun setelah kelahiran Ho-yong, suaminya yang masih muda meninggal dan Agatha Yi menjadi seorang janda setelah tiga tahun mereka menikah, tanpa memiliki seorang anak pun. Tragedi ini membuat dia merasakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan akan masa depannya. Dia merasakan kebutuhan untuk menemukan nilai dan keteguhan dalam hidupnya. Keinginannya ini berhembus lebih jauh lagi dengan melihat kematian ayahnya, tak lama setelah kematian suaminya.
Agatha Yi menguatkan dirinya sendiri dan memutuskan untuk meninggalkan rumah suaminya dan kembali ke rumah orang tuanya. Dia melakukannya untuk kembali ke sumber imannya dan karena bertanggung jawab kepada adik laki-lakinya yaitu Ho-yong.
Kejadian yang paling dia syukuri ketika ibunya telah membaptis ayahnya sebelum kematiannya, dan membuat ayahnya meninggal dengan tenang. Namun demikian, kehidupan di rumah itu sangat sulit. Dia harus merawat ibu dan adiknya, tak lama kemudian sedikit warisan dari ayahnya segera habis. Dia terpaksa untuk menjahit untuk menafkahi keluarganya.
Di tengah kesulitan ini, Agatha tidak pernah kehilangan ketenangannya. Dia melanjutkan untuk mempelajari doktrin Katolik dan mengajarkannya kepada adiknya. Bersama-sama, mereka menjalani hidup miskin dan menjalani kehidupan dengan kasih akan Tuhan dan menaati perintah-Nya. Teladan para martir pada penganiayaan tahun 1801 dan kemenangan abadi mereka melalui kematian, selalu hidup dalam hati mereka. Ketika mereka membentuk hidup mereka berdasarkan para martir itu, umat Katolik lainnya menganggap mereka sebagai teladan keluarga Katolik.
Dalam “Catatan Harian Gihae” yang terkenal, yang ditulis oleh Karolus Hyon Song-mun, berikut ini adalah catatan mengenai Agatha Yi:
“Setelah kematian ayahnya, Agatha kehilangan semua miliknya. Dia hidup bersama ibunya yang sudah tua dan adik laki-lakinya dalam kondisi yang sangat miskin. Semua kesulitan hidup yang ditanggungnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun kemiskinannya, dia selalu tampil dengan kedamaian dengan senyum yang gembira. Tidak mungkin untuk mencatat semua kata-kata yang baik dan indah dan juga perbuatannya. Dia orang yang rendah hati dan sopan, sehingga setiap orang memuji, mencintai, dan mengaguminya karena keindahan perbuatannya.”
Agatha Yi ditangkap oleh polisi bersama dengan adik laki-lakinya Ho-yong pada bulan Februari 1835, dan mereka berdua dipenjarakan. Interogasi dilaksanakan dengan siksaan. Komisaris polisi memaksa mereka supaya mereka menyerah dari imannya dan supaya mereka mau melaporkan nama-nama umat beriman lainnya, namun mereka menjawab demikian, “Allah adalah Bapa kami dan kami tidak dapat mengkhianati-Nya. Jika kami memberikan nama-nama umat beriman lainnya, maka mereka akan berada dalam bahaya, oleh karena itu, kami tidak dapat melakukan keduanya.”
Komisaris memerintahkan proses siksaan dimulai. Cara siksaan yang dilakukan sangat brutal, adapun cara itu sudah dilarang oleh dekrit kerajaan tahun 1732, namun diperkenalkan kembali secara khusus untuk proses interogasi umat Katolik. Agatha Yi dipukuli sampai dagingnya lepas dan kakinya dibuat sangat sakit sampai terpelintir, namun demikian, dia tetap teguh. Karena dia tidak mau untuk menyangkal Allah dan imannya, algojo menelanjangi dia, menggantungnya dengan kedua lengannya terikat di belakang tubuhnya, dan memukuli suluruh tubuhnya dengan gada.

Santa Agatha Yi So-sa (Sumber: cbck.or.kr)
Beberapa hari kemudian, dia dibawa lagi keluar dan dipukuli sampai tubuhnya berlumuran darah. Hanya satu kata yang diucapkan dia kepada penyidik yaitu, “Saya tidak dapat mengkhianati Gereja.”
Komisaris menyadari bahwa dia tidak akan berhasil membujuknya, maka ia menyerahkan kakak beradik itu ke pengadilan. Pengadilan menghakimi kasus mereka dan menjatuhkan hukuman bagi mereka. Mereka dipenjarakan selama empat tahun karena hukuman belum disetujui oleh raja. Enam bulan setelah kematian Yi Ho-yong, titah raja untuk melakukan eksekusi akhirnya turun. Pada tanggal 24 Mei 1839, Agatha digiring keluar bersama dengan delapan wanita Katolik lainnya yang ditangkap setelah dirinya. Mereka semua dibawa ke tempat eksekusi di sebelah luar Pintu Gerbang Kecil Barat dan kemudian mereka dipenggal. Pada waktu itu, Agatha Yi berusia lima puluh enam tahun. Dikatakan bahwa Agatha Yi membuat tanda salib dengan hormat sebelum kepalanya dipenggal. Agatha Yi dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido Plaza, Seoul oleh Yang Mulia Paus Yohanes Paulus II.
Sumber: cbck.or.kr
Posted on 4 September 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 2 Comments.
Pingback: Santo Petrus Yi Ho-yong | Terang Iman
Pingback: Santa Barbara Han A-gi | Terang Iman