Para Martir dari Uganda

Para Martir Uganda (Sumber: ugandamartyrsshrine.org.ug)

Berikut ini daftar para martir dari Uganda:

  1. St. Joseph Mukasa Balikuddembe
  2. St. Anthanasius Bazzekutta
  3. St. Denis Ssebuggwawo
  4. St. Mukasa Kiriwawanvu
  5. St. Andrew Kaggwa
  6. St. James Buuzaabalyawo
  7. St. Anatoli Kirigwajjo
  8. St. Ponsiano Ngondwe
  9. St. Bruno Sserunkuuma
  10. St. Charles Lwanga
  11. St. Kizito
  12. St. Mathias Mulumba Kalemba
  13. St. Luke Baanabakintu
  14. St. Noa Mawaggali
  15. St. Mbaaga Tuzinde
  16. St. Gyaviira
  17. St. Adolf Mukasa Ludigo
  18. St. Achiles Kiwanuka
  19. St. Ambrose Kibuuka
  20. St. Mugagga Lubowa
  21. St. John Mary Kiwanuka Muzeeyi
  22. St. Gonzaga Gonza
  23. Beato Daudi Okello
  24. Beato Jildo Irwa

Sejarah Para Martir

Ada dua puluh empat martir Katolik dari Uganda, dua puluh dua orang dibunuh antara tahun 1885 dan 1887, di bawah kekuasaan Kabaka (Gelar Raja Buganda) Mwanga dari Buganda dan dua orang lagi dibunuh di Paimol, Uganda Utara pada tahun 1918.

Kebanyakan dari dua puluh dua orang martir ini adalah para hamba di istana raja sebelum mereka dibunuh oleh tuan dan raja mereka. Tiga belas orang di antaranya dibakar sampai mati di Namugongo dan sembilan orang lainnya dibunuh di berbagai tempat yang berbeda.

Orang yang pertama menjadi martir adalah seorang kepala rumah tangga dan pemimpin umat Kristen yang bernama Joseph Mukasa Balikuddembe, dia dibunuh pada tanggal 15 November 1885. Dia dibunuh karena dia memohon kepada raja untuk tidak membunuh Uskup James Hannington yang merupakan seorang misionaris Anglikan. Sang uskup Anglikan itu berusaha untuk memasuki Buganda dari sebelah timur yang anggap sebagai pintu belakang dari kerajaan. Maka Joseph dipenggal dan dibakar di rawa Nakivubo di pusat kota Kampala.

Penganiayaan utama yang menjadi cikal bakal Pembantaian Namugongo terjadi pada tanggal 25 Mei 1886 di Munyonyo, yang saat itu adalah suaka milik kerajaan di dekat Danau Victoria. Ketika Raja Mwanga mengutuk umat Kristen sampai mati dengan menombaki dan mengutuki mereka, sampai Denis Ssebuggwawo meninggal. Denis meninggal satu hari setelah pembantaian itu terjadi atau pada hari yang sama dengan Andrew Kaggwa.

Pada tanggal 26 Mei 1886, sebagai upacara pembukaan dari barisan tahanan yang akan dibunuh, Ponsiano Ngondwe ditikam dengan tombak oleh kepala algojo Mukaajanga. Jenazahnya dikoyak-koyak dan potongan-potongan tubuhnya disebarkan sepanjang jalan di Ttabataba, yang sekarang dikenal dengan Ttaka Jjunge, sekitar satu mil dari Munyonyo menuju arah kota Mengo.

Pada pagi hari tanggal 27 Mei 1886 di Mengo, Antahanasius Bazzekuketta yang haus akan kemartiran dengan sukarela meminta dirinya supaya dieksekusi di suatu tempat, di kaki Bukit Mengo di mana pemimpinnya yaitu Joseph Mukasa Balikuddembe terlebih dahulu menjadi martir.

Pada hari yang sama pula, di Kampala Lama suatu tempat di perjalanan dari Mengo ke Namugongo, Mathias Kalemba Mulumba menolak untuk berjalan lebih jauh lagi dan meminta supaya dirinya dieksekusi. Pertama kali kedua tangannya dipotong, tangannya yang baru saja dipotong dari punggungnya dibakar kemudian kedua kakinya dipotong, aliran darah mengalir deras sampai pembuluh darahnya habis mengucurkan darah. Kemudian tumbuhan obat tradisional dibubuhkan ke luka-lukanya untuk menghentikan pendarahan hebat. Dia meninggal tiga hari kemudian karena kehausan.

Merasa lelah karena leher dan kaki mereka diikat seorang dengan yang lainnya dengan kuk atau dengan hewan ternak, para martir Uganda berjalan lebih dari sepuluh mil menuju Namugongo. Namun satu mil sebelum mencapai tempat tujuan, Gonzaga Gonza yang tidak kuat lagi mengimbangi kecepatan para tahanan akhirnya terjatuh di Bukit Lubaawo, dia ditikam dengan tombak pada tengah hari tanggal 27 Mei 1886.

Di Namugongo, para martir dari Uganda dipenjarakan selama sekitar seminggu sebelum dieksekusi. Pada masa itu, para algojo melakukan persiapan seperti mempersiapkan kayu bakar dan memotong ilalang yang akan digunakan untuk upacara itu, persiapan ini dilakukan sampai tanggal 2 Juni.

Pada tanggal 3 Juni 1886, pada Pesta Kenaikan Tuhan, Charles Lwanga menjadi korban pertama dari pembantaian ini.  Ssenkoole seorang penjaga benda keramat memilihnya berdasarkan prosedur tradisi ritual eksekusi, yang melarang kehadiran (Ssenkoole) di tempat eksekusi utama tapi memilih satu korban dan membakarnya di tempat yang terpisah dari yang lain.

Ssenkoole membawa Charles Lwanga ke suatu tempat sekitar 45 meter dari jalan, Charles diperkenankan untuk mengatur ranjang kematiannya yang terbuat dari kayu bakar. Kemudian dia dibungkus dengan alang-alang yang diletakkan di atas suluh dan perlahan-lahan dibakar dari kaki ke kepala pada tengah hari tanggal 3 Juni 1886.

Achiles Kiwanuka, Adolf Mukasa Ludigo, Ambrose Kibuuka, Anatoli Kirigwajjo, Bruno Sserunkuuma, Gyaviira, James Buuzaabalyawo, Kizito, Luke Baanabakintu, Mbaaga Tuzinde, Mugagga Lubowa, dan Mukasa Kiriwawanvu adalah dua belas orang Katolik yang dibakar di pembantaian akbar Namugongo bersama dengan tiga belas orang Anglikan dan enam orang tahanan lainnya yang dijatuhi hukuman mati karena alasan lain selain alasan agama.

Para martir yang dibunuh di luar Namugongo di antaranya: Joseph Mukasa Balikuddembe dan Anthanasius Bazzekutta di kota Kampala (Pasar St. Balikuddemba), Denis Ssebuggwawo dan Andrew Kaggwa dibunuh di Munyonyo, Ponsiano Ngondwe dibunuh di Kyamula (Ttakajjunge), Mathias Mulumba Kalemba dibunuh di Kampala Lama, Noa Mawaggali dibunuh di Kiyinda-Mityana, Gonzaga Gonza dibunuh di Kamuli-Lubaawo dan yang terakhir adalah John Mary Kiwanuka Muzeeyi dibunuh di Mmengo-Kisenyi.

Tiga puluh satu tahun setelah peristiwa pembantaian Namugongo, dua orang Kristen yang merupakan orang-orang Acholi di Uganda bagian utara yaitu seorang katekis yang bernama Daudi Okello dan seorang asistennya yang bernama Jildo Irwa yang menjadi martir di tangan sekelompok perompak. Mereka diseret paksa dari pondok mereka dan didorong sampai jatuh ke tanah, mereka ditikam dengan tombak berkali-kali pada tengah malam tanggal 18 Oktober 1918. Jenazah mereka tidak dikuburkan sampai komunitas setempat memakamkannya.

Penganiayaan Martir Uganda (Sumber: ugandamartyrsshrine.org.ug)

Paska Peristiwa Pembantaian Namugongo

Setelah kematian orang-orang Kristen di Namugongo, para algojo berpatroli di tempat eksekusi sambil menambahkan kayu bakar untuk memastikan bahwa jenazah para martir itu menjadi abu. Namun usaha mereka sia-sia dan tak lama sebelum mereka meninggalkan tempat itu, mereka mengundurkan diri dari tugas mereka sebagai algojo.

Walaupun eksekusi Para Martir Uganda menandai berakhirnya masa hunian desa Namugongo dan menjadi tempat eksekusi, jenazah-jenazah umat Kristen dibiarkan tanpa dikubur karena kegiatan apapun di sekitar wilayah Namugongo adalah ilegal dan juga para korban kemarahan raja dianggap sebagai orang yang tidak pantas untuk dimakamkan dengan layak, dan orang yang memakamkan para korban akan dianggap pengkhianat.

Enam bulan kemudian tiga orang Kristen yaitu Matayo (Matius) Kirevu, Bwaliri Kamya dan Lewo (Leo) Lwanga dengan perasaan takut dituduh melakukan pengkhianatan, dengan diselimuti malam yang gelap, mereka pergi ke Namugongo dan mengumpulkan sisa-sisa jenazah St. Charles Lwanga. Pada hari berikutnya, ketika pukul delapan pagi, mereka mengantarkan tulang-tulang itu kepada Pastor Simeon Lourdel di suatu tempat misi di mana tulang-tulang itu dibersihkan dan dibungkus dengan kain berwarna merah, kemudian dimasukkan ke dalam kotak tembaga dan dikuburkan di dalam sakristi gereja Nabulagala.

Namun demikian, setelah misi ditinggalkan karena terjadi perang agama, lokasi kotak itu tidak ditemukan karena gereja itu sudah dibakar dan paroki di wilayah itu sudah menjadi semak belukar.

Pada tanggal 13 November 1892, seorang katekis yang sedang menggali kebunnya menemukan kotak itu. Kemudian kotak itu dibawa ke Tangayika oleh Mgr. Hirth. Pada tahun 1899 ketika Buganda sudah stabil secara politik, kotak yang berisikan tulang-tulang itu (yang kemudian disebut sebagai relikui) dikembalikan oleh Mgr. Henry Streicher yang merupakan Uskup Agung Buganda.

Sejak tahun 1915, kotak relikui itu disimpan di kapel milik Uskup Agung, kemudian pada tahun 1964 dibawa ke Roma untuk upacara kanonisasi. Ketika tempat suci para martir ini dibangun, bagian dari relikui ini dikembalikan ke Namugongo untuk dihormati. Relikui itu digantung dalam kaca di depan altar di tempat suci itu.

 

Keterangan tambahan:

Di Uganda terdapat lima kerajaan yang bersifat kesukuan yaitu Muganda / Buganda, Munyoro / Bunyoro, Musoga / Busoga, Toro / Tooro, dan Acholi / Ankole. Selain itu ada kepala suku lokal misalnya Kooki, Alur, dan Bunya.

 

Sumber: Uganda Martyrs Shrine

Advertisement
%d bloggers like this: