Santo Agustinus Yi Kwang-hon

Augustinus Yi Kwang-hon (Sumber: cbck.or.kr)

Agustinus  Yi Kwang-hon (1787-1839) lahir pada tahun 1787 dari klan aristokrat Kwangju Yi dan dari sana asal para martir pada penganiayaan tahun 1801. Agustinus bersama dengan adik laki-lakinya, Yohanes Pembaptis Yi Kwang-ryol, istrinya Barbara Kwon Hui, dan juga putrinya Agatha Yi yang memberikan kesaksian akan iman mereka. Oleh karena itu, empat anggota dalam satu keluarga ini memenangkan mahkota kemartiran.

Yi Kwang-hon adalah seorang yang sangat cerdas dan memiliki keterampilan, walaupun dalam masa mudanya ia kurang bisa menahan diri dan pernah jatuh dalam kehidupan yang bebas. Sekitar zaman ini, Raja Chong-cho meninggal dunia dan digantikan oleh Suj-jo yang berusia sebelas tahun. Pergantian penguasa ini membuat dampak politik yaitu kekuasaan berpindah-pindah dari satu fraksi ke fraksi lain. Akibatnya, Gereja yang baru saja didirikan terjebak dalam perselisihan dan penganiayaan pada tahun 1801. Gereja Katolik dinyatakan sebagai ajaran sesat dan dilarang oleh kerajaan selain itu kerajaan berniat untuk membasmi ajaran ini sampai ke akarnya. Dengan demikian, penganiayaan dimulai dan darah para martir tercurah. Pada waktu itu, Yi Kwang-hon berusia tiga puluh tahun sudah menikah dengan Kwon Hui selama beberapa tahun, walaupun demikian kebiasaannya untuk hidup bebas tidak berubah. Suatu hari, ia secara tidak sengaja bertemu dengan seorang umat Katolik, dan dari orang itu ia mendengar tentang Gereja. Untuk pertama kalinya, ia merenungkan bahwa Tuhan yang empunya segala sesuatu di surga dan bumi itu ada, Ialah Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa serta menjadi Bapa bagi semua orang dan ketika manusia meninggal, tubuhnya kembali menjadi debu, namun jiwanya tetap hidup. Mendengar hal ini dan juga cerita yang sama, membuat Yi Kwang-hon berpikir bahwa ia telah dilahirkan kembali di dunia lain. Sampai saat itu, ia sadar kalau hidupnya menjadi sedikit lebih baik daripada seekor binatang buas. Ia sangat menyesali dosa masa lalunya dan berharap bisa meniru Santo Agustinus yang pada masa mudanya telah menjalani hidup yang boros. Yi Kwang-hon memilih nama Kristen Agustinus dan kemudian ia dibaptis.

Seluruh gaya hidupnya berubah. Ia berhenti minum anggur dan jarang meninggalkan rumah, ia menggunakan lebih banyak waktu untuk merenung sendirian. Suatu hari, ia memanggil istri dan adiknya, dan berkata kepada mereka, “Beberapa waktu lalu, saya mendengar tentang Gereja Katolik. Pemerintah sudah melarangnya karena dianggap sebagai ajaran sesat, tapi menurut pemahaman saya, ajaran yang lain menjadi sia-sia. Seperti adanya matahari dan bulan, sehingga Allah yang sejati itu ada. Dibanding saya sendiri yang mempercayainya, akan lebih baik jika istri dan adik saya juga percaya bersama saya. Bagaimana menurut kalian?”

Baik istri dan adiknya telah mendengar tentang Gereja Katolik dan mereka setuju untuk bergabung dengannya. Rumahnya digunakan sebagai tempat berkumpul bagi umat Katolik dan ia menjadi seorang katekis. Bersama dengan istrinya, Barbara, ia berusaha sekuat tenaga untuk membawa mereka yang belum beriman kepada Gereja, juga mengunjungi orang sakit dan memelihara komunitas umat Katolik.

Sementara itu, tekanan politik semakin memuncak. Badai penganiayaan terjadi pada hari Minggu setelah Paskah pada tanggal 7 April 1839. Pada malam itu, tiba-tiba polisi mengepung sebuah penginapan di seberang rumah tempat para misionaris biasanya menginap. Banyak umat Katolik yang sedang menginap di sana dibawa ke penjara. Di antara mereka terdapat seorang wanita yang suaminya masih seorang katekumen, dengan demikian, ia tahu tentang beberapa umat Katolik. Mendengar tentang penangkapan istrinya, suaminya itu bergegas ke markas polisi dan meminta supaya istrinya dibebaskan. Namun demikian, istrinya menolak untuk menyangkal imannya dan suaminya yang sedang marah itu justru membeberkan semua yang ia ketahui tentang Gereja termasuk nama-nama dari lima puluh tiga umat Katolik. Dengan informasi ini, polisi merancang dua serangan pada hari berikutnya yaitu tanggal 8 April. Yang pertama adalah rumah Damianus Nam myong-hyok dan satu lagi rumah Agustinus Yi Kwang-hon. Pada malam itu, Agustinus Yi Kwang-hon, istrinya, Barbara Kwon Hui, dan putri mereka yang masih berusia tujuh belas tahun yaitu Agatha Yi dan juga dua putra mereka yang masih kecil ditangkap bersama umat Katolik lainnya.

Penjara dipenuhi dengan kaum pria dalam satu sel dan kaum wanita di sel lainnya, sedangkan anak-anak di sel ketiga. Ketika putra Agustinus Yi Kwang-hon yang masih berusia delapan tahun menangis karena ingin bersama dengan kedua orang tuanya, salah satu penjaga memukulnya. Oleh karena hal ini, ibu dari anak itu memprotes penjaga itu demikian, “Apa kesalahan yang sudah dilakukan anak ini sehingga Anda memukulnya? Apakah Anda sendiri tidak punya anak?”

Tetapi suaminya berkata kepadanya, “Bersabarlah. Kita ini adalah anak domba persembahan bagi Allah. Marilah supaya kita tidak kehilangan kesempatan ini.” Sejak saat itu, Barbara Kwon Hui dengan kesabarannya taat kepada apapun yang dilakukan kepada dirinya, dan dia manganggapnya sebagai rahmat.

Interogasi dilakukan pada hari berikutnya. Agustinus Yi Kwang-hon adalah orang pertama yang dipanggil. Penjaga berkata kepadanya, “Satu kata saja dari mulutmu untuk mengkhianati Allah, maka kamu, istrimu, anak-anakmu juga adikmu bisa dibebaskan, dan juga seluruh milikmu akan dikembalikan,” namun ia menjawab demikian, “Hal yang paling penting bagi saya di dunia ini adalah iman saya. Bahkan jika saya harus kehilangan segalanya, saya tidak dapat mengkhianati Allah.”

Santo Agustinus Yi Kwang-hon (Sumber: cbck.or.kr)

Agustinus menganggap rasa sakitnya bagaikan menapaki Jalan Kalvari yang dilakukan Yesus dan ikut ambil bagian dalam penderitaan bersama-Nya. Ketika Barbara, istrinya, dan Agatha, putrinya, dipanggil, jawaban mereka tetap sama yang membuat komisaris menjadi sangat marah. Agustinus dipukuli dan disiksa sampai seluruh tubuhnya seperti daging yang berlumuran darah.

Setelah tiga hari perdebatan, hakim menjatuhkan hukuman mati kepada sembilan tahanan. Pada tanggal 24 Mei, sembilan umat Katolik yang sudah dijatuhi vonis, mereka dibawa ke persimpangan jalan di luar Pintu Gerbang Kecil Barat di pusat kota Seoul. Pada saat itu, Agustinus Yi Kwang-hon berusia 53 tahun.

Pada tanggal 20 Juli, Yohanes Pembaptis Yi Kwang-ryol dibawa keluar bersama dengan tujuh orang umat Katolik lainnya, dan mereka dipenggal di Pintu Gerbang Kecil Barat. Pada saat itu Yohanes Pembaptis Yi Kwang-ryol berusia 45 tahun. Pada tanggal 3 September, Barbara Kwon Hui dipenggal bersama dengan lima orang wanita Katolik lainnya. Pada tanggal 9 Januari 1840, Agatha Yi, putrinya bersama dengan Teresia Kim dibawa ke sel khusus oleh penyidik dan kemudian mereka dicekik. Oleh karena itu, empat anggota keluarga dari Agustinus Yi memenangkan mahkota kemartiran. Mereka dibeatifikasi pada tanggal 5 Juli 1925, dan mereka semua dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.

 

Sumber: cbck.or.kr

Posted on 14 September 2015, in Orang Kudus and tagged , , . Bookmark the permalink. 8 Comments.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: