Makna Kehadiran Musa dan Elia dalam Transfigurasi Yesus

Oleh Daniel Esparza

Transfiguration by Feofan Grek from Spaso-Preobrazhensky Cathedral in Pereslavl-Zalessky (15th c, Tretyakov gallery) (Sumber: wikimedia.org)

“Pertemuan” yang tidak biasa ini mempunyai makna eskatologis yang mendalam. Satu kata dalam Bahasa Yunani mengenai perikop ini dapat membantu menguraikannya.

Transfigurasi adalah satu-satunya peristiwa di mana Yesus menampilkan kemuliaan-Nya di atas gunung, bersama dengan Musa dan Elia. Peristiwa ini dijelaskan dengan saksama dalam Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas), juga disebutkan dalam Surat Petrus yang kedua (2 Petrus 1:16-21), dan menurut beberapa ahli kitab suci, kisah ini secara tersembunyi disinggung dalam Injil Yohanes (“Kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa (Yohanes 1:14)). Yohanes sendiri adalah salah satu dari tiga rasul (bersama dengan Petrus dan Yakobus) yang menyaksikan mukjizat ini.

Bersama dengan Pembaptisan, Penyaliban, Kebangkitan dan Kenaikan-Nya ke Surga, peristiwa Transfigurasi ini dianggap sebagai salah satu dari lima peristiwa penting dalam kehidupan Yesus menurut Injil. Peristiwa itu menjadi saat di mana keilahian Yesus memanifestasikanya melalui (atau lebih tepatnya “di dalam”) kemanusiaan-Nya (yang menyiratkan semacam prefigurasi tentang Kebangkitan, suatu “gambaran” tentang tubuh yang mulia). Sepanjang sejarah, penggambaran tentang Transfigurasi telah menjadi model untuk representasi grafis tentang Kebangkitan, yang menyatakan bahwa perikop ini tidak dapat dipahami secara penuh tanpa mempertimbangkan konteks kematian Yesus (dan bagaimana Yesus juga mengalahkan maut). Tentu saja perikop ini telah dibaca secara alegoris, yang menekankan perlunya transfigurasi umat beriman melalui tindakan Roh Kudus.

Namun, bukan hanya Yesus dan ketiga rasul-Nya (Yohanes, Petrus, dan Yakobus) saja yang terlibat dalam peristiwa ini. Ada tokoh lain dalam peristiwa ini yaitu Musa dan Elia. Nah, apa yang dilakukan oleh Musa dan Elia, sekadar berbicara dengan Yesus?

Entah bagaimana kita mudah memahami tentang kehadiran Musa dalam peristiwa itu. Di satu sisi, peristiwa Transfigurasi terjadi setelah Yesus memberi makan orang banyak, melipatgandakan roti dan ikan, yang mengingatkan kita kepada umat Israel yang diberi makan dengan manna ketika dipimpin Musa di padang gurun. Selain itu, dalam Kitab Keluaran (34:29-35) dicatat bahwa Musa turun dari Gunung Sinai dengan Sepuluh Perintah Allah “kulit mukanya bercahaya” (faktanya perikop ini sering disebut sebagai “wajah Musa yang bercahaya”) sama seperti wajah Yesus yang “bercahaya seperti matahari” selama Transfigurasi-Nya. Paralel antara kedua peristiwa ini menjadi begitu mendalam dan dengan terbukti menjadi bermakna bukan hanya bagi para penulis Injil, namun juga untuk para pembaca mula-mula.

Tetapi ada satu hal yang lebih menarik dalam peristiwa ini, dalam Injil Lukas (9:28-36) menambahkan bahwa Yesus, Musa dan Elia sedang berbicara tentang kepergian Yesus, yang akan digenapinya di Yerusalem. Kata dalam bahasa asli yang digunakan Lukas untuk istilah “kepergian” adalah exodos (Bahasa Yunani), suatu perumpamaan yang jelas mengenai eksodus Musa keluar dari Mesir. Di sinilah, sang penulis menawarkan suatu kejelasan penafsiran tentang sejarah keselamatan dari pembebasan Musa menuju pembebasan yang ditawarkan oleh Yesus. Tapi bagaimana dengan Elia?

Inilah petunjuknya: Elia juga “pergi.”

Secara tradisional, kehadiran Musa dan Elia dalam Transfigurasi ditafsirkan sebagai ikhtisar dari “Hukum Taurat dan Para Nabi” yang digenapi oleh Yesus sang Mesias. Musa sendiri dengan jelas mewakili Hukum Taurat, sedangkan Para Nabi diwakili oleh Elia. Mengapa Elia? Bukan Yesaya, Hosea, atau Yohanes Pembaptis yang sering disebut “nabi terakhir Perjanjian Lama”?

Sebenarnya, menurut Katekismus Gereja Katolik, Yohanes Pembaptis itu “lebih daripada nabi,” di dalam dia, Roh Kudus menyelesaikan “tutur sapa-Nya melalui para nabi.” Yohanes adalah yang terakhir dari mata rantai para nabi yang dimulai dengan Elia (KGK 719). Inilah yang tepat sekali kita temukan dalam Injil Matius (11:13-14): “Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes dan -jika kamu mau menerimanya- ialah Elia yang akan datang itu.” Namun mengapa Elia belum “datang,” jika Yohanes adalah Elia “yang baru” yang sudah datang? Dan mengapa dia berbicara kepada Yesus?

Kitab kedua Raja-raja memberi tahu mengenai bahwa nabi itu tidak mati, melainkan naik ke Surga hidup-hidup “dengan api” dan “dalam angin badai” dibawa dengan kereta berapi. Bersama dengan Henokh dan Bunda Maria, Elia adalah salah satu tokoh Alkitab lainnya yang diangkat ke Surga dengan raganya. Perikop 2 Raja-raja 1-18 ini dikenal dengan “Elia diangkat ke Surga” atau dalam Bahasa Inggris disebut “Elijah’s departure” atau “Kepergian Elia.” Perikop itu pula ditafsirkan sebagai prefigurasi Kenaikan Yesus ke Surga hidup-hidup sesudah bangkit. Maka menjadi masuk akal bahwa Elia dan Musa menjadi dua tokoh yang membicarakan kepergian (exodos) Yesus.

Selain itu, kembalinya Elia memiliki makna eskatologis yang mendalam (baik dalam Kitab Suci Ibrani dan Kitab Suci Kristen) mengenai hal itu, sebagaimana kehadirannya mendahului Mesias, dan “kepergian”nya merupakan prefigurasi Yesus. Dalam Kitab Nabi Maleakhi (nabi terakhir dalam Perjanjian Lama dalam Kitab Suci Kristiani yang merupakan kitab yang menutup literatur kenabian) dikatakan bahwa Elia akan diutus kembali ke bumi “menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu” (Maleakhi 4:5). Maka secara tradisional, kehadiran Elia dalam peristiwa Transfigurasi memperkuat penggenapan nubuat Nabi Maleakhi yang sudah dipenuhi oleh Yohanes Pembaptis, seolah-olah kehadirannya menjadi semacam segel atas nubuat itu.

 

Sumber: “Moses, Elijah, and Jesus: Why are they all together at the Transfiguration?”

Posted on 24 May 2019, in Kenali Imanmu, Kitab Suci and tagged , , , , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.