Merajut Kembali Warisan Keluarga – Kisah Stephanie Milano

Stephanie Milano (Sumber: chnetwork.org)

Saya dibesarkan dalam keluarga Katolik yang religius, setidaknya dipengaruhi oleh ibu saya. Ibu saya dibesarkan oleh kedua orang tua Katolik yang kurang dalam menjalankan imannya. Sepertinya, mereka tidak rutin mengikuti Misa.

Hal ini berubah ketika ibu saya berusia tujuh tahun. Ayahnya mengalami depresi dan tidak dapat bekerja selama tiga tahun. Kemudian. nenek saya itu menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah, perisitiwa ini terjadi pada tahun 1940-an , waktu itu tidak banyak wanita bekerja di luar rumah. Begitu kakek saya bangkit dari depresinya, dia mengalami kisah perubahan keyakinan dan dia menjadi sangat saleh. Dia membuat altar doa di rumahnya, dia mengikuti Misa harian, dan juga berdoa Rosario setiap hari. Peristiwa ini yang berdampak besar kepada ibu saya dan juga saudari perempuan dari ibu saya itu.

Ibu saya, setelah menikah dengan ayah saya (yang juga seorang Katolik yang kurang menjalani imannya), meneruskan tradisi keluarga untuk berdoa Rosario bersama setiap hari. Kami pergi ke gereja pada hari Minggu dan secara umum berusaha mencoba menjalani kehidupan Kristiani.

Mungkin nilai kebajikan terbaik yang diwariskan ibu saya kepada saya adalah iman. Saya berkeyakinan kuat bahwa Tuhan itu ada, dan Dia nyata dan selalu berada di sekitar saya. Ketika saya masih muda, saya sering berdoa dan merasakan kedekatan dengan Tuhan dan saya memiliki sikap untuk melakukan berbagai hal dengan benar.

Namun entah bagaimana ketika saya menjadi seorang remaja, saya tidak menyadarinya bahwa semua itu mulai berubah. Teman dan anak laki-laki menjadi pusat perhatian saya, sedangkan doa dan iman mulai disisihkan.

Pada saat yang sama pula, orang tua saya tiba-tiba berpisah dan bercerai. Ketika saya menyelesaikan kelas delapan, Ayah saya mulai berselingkuh dengan seorang  wanita di tempat kerjanya. Beberapa bulan kemudian, ayah saya meninggalkan keluarga kami demi wanita itu. Saya tidak melihat lebih banyak lagi tentang ayah saya atau memiliki relasi dengannya sesudah kejadian itu.

Pada saat itu, sebagai satu keluarga, kami mengandalkan iman kami, dan saya masih ingat waktu itu saya sering berdoa untuk memaafkan ayah saya dan untuk pemulihan keluarga kami. Seperti yang saya tahu, seluruh hidup saya hancur. Rasa aman saya hilang. Itulah yang terjadi ketika saya masuk sekolah menengah (setingkat SMA –red.).

Saya masuk ke Sekolah Menengah Katolik khusus perempuan, saya harus mencari teman baru, dan waktu itu orang tua saya sudah berpisah. Pada tahun pertama, dengan keadaan seperti ini membuat saya untuk mengandalkan Tuhan. Tetapi pada tahun kedua, saya sudah mendapat banyak teman baik, dan anak laki-laki mulai memperhatikan saya.

Inilah saat-saat penurunan dalam perjalanan spiritual saya. Saya pergi ke gereja pada hari Minggu bersama keluarga saya, tapi saya tidak banyak berdoa, kecuali sedikit doa untuk membantu saya dalam ujian.

Pada tahun pertama, kehidupan doa saya dapat dikatakan sama saja. Tidak memiliki seorang ayah dalam hidup saya dan memilki seorang ibu yang bekerja membuat saya dan pacar pertama memasuki hubungan yang tidak murni. Adapun pacar pertama saya itu beberapa tahun lebih tua dari saya. Saya selalu diajarkan bahwa hubungan seks sebelum perkawinan itu salah, dan hal itu tidak boleh dilakukan, namun pacar saya dan saya menjadi semakin dekat, dan saya berpikir bahwa saya mencintai dia, sehingga hal itu adalah merupakan perkembangan yang alami dari sebuah hubungan. Saya tidak mengerti jika Anda membuat keputusan untuk tidak melakukan hal ini, dan kemudian memohon rahmat Allah untuk tetap murni.

Jadi sekarang saya berpacaran dengan pacar saya, dan saya tidak merasa kaget, saya terjebak dalam pandangan masyarakat tentang seks sebelum menikah, yaitu “Tidak apa-apa selama Anda mencintai orang itu.” Cara pikir ini menyebabkan jurang yang licin. Bukan hanya cara pandang saya tentang seks itu berubah, tetapi pemikiran saya tentang hubungan saya dengan Yesus juga berubah. Saya mulai percaya bahwa tidak apa-apa melewatkan Misa, selama saya berdoa dan menjadi orang yang baik, maka itulah yang saya perlukan untuk menuju ke surga. Wow! Sangat pintar sekali Iblis memutarbalikkan pikiran kita.

Ketika saya melanjutkan studi ke perguruan tinggi, saya dan pacar saya putus, namun hubungan saya dengan pacar saya selanjutnya (dan juga dengan Yesus) sama saja. Ketika di usia 20-an, saya sekali-kali pergi ke gereja, dan berdoa jika saya membutuhkan sesuatu.

Akhirnya saya lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Sejak saat itu dan seterusnya, biasanya ketika saya berada dalam posisi antara pacar saya sebelumnya dan pacar saya selanjutnya, ada suatu perasaan bersalah yang menimpa diri saya dan bagaimana saya merasa perlu untuk pergi ke gereja dan lebih sering berdoa, namun saat ini tidak berlangsung lama. Seorang pacar baru akan datang, dan masa ini akan berakhir.

Tetapi pada usia saya yang ke 28, ada sesuatu yang berubah. Saya berpacaran dengan pacar saya yang beragama Yahudi selama dua tahun. Dan pacar saya itu berkata bahwa dia hanya ingin menikah dengan seseorang yang beragama Yahudi. Dia seorang yang lebih cenderung ateis yang hanya memperhatikan tradisi Yahudi. Pada waktu itu saya tidak menjalankan iman saya, tapi saya tidak pernah bisa berpindah keyakinan, karena dengan berpindah keyakinan berarti menyangkal Yesus sebagai Juruselamat saya.

Hal itu membuat saya berpikir, “Apa yang saya percayai?” Karena saya dibesarkan sebagai seorang Katolik, saya pikir mungkin saya harus memulai dari sana.

Sekitar saat itu, saya menggonta-ganti saluran televisi dan secara kebetulan melihat acara “The Journey Home” di EWTN. Ketika saya mulai menonton berbagai episode berbeda, saya melihat bagaimana orang yang berbeda menuju iman Katolik. Saya mulai belajar tentang para Bapa Gereja dan bagaimana harta kekayaan iman diwariskan sampai kepada kita. Saya menjadi yakin bahwa Iman Katolik itu adalah satu-satunya iman yang sejati. Tak lama setelah itu, saya benar-benar yakin untuk putus dengan pacar saya.

Saya ingin berkata bahwa saya memiliki jenis pertobatan seperti St. Paulus, namun perbedaannya saya seorang pembelajar yang lambat, dan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke saat saya sekarang berada.

Pada usia 30 tahun, saya bertemu dengan suami saya. Dia seorang Katolik dan ingin mendalami imannya. Kami menikah 18 bulan kemudian di Gereja. Dua setengah tahun kemudian kami memiliki anak semata wayang kami. Selama waktu itu, kami pergi ke Gereja pada hari Minggu dan terkadang kami berdoa, namun pada saat itu saya masih sangat duniawi. Walaupun saya tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Yesus Kristus, saya tidak menaati doktrin tentang kontrasepsi. Saya tahu bahwa jika Gereja itu benar tentang segala, maka Gereja juga akan benar tentang kontrasepsi, namun saya tidak mempelajari apa yang menjadi alasan Gereja tentang hal itu, dan saya tidak mematuhinya. Sayangnya, karena putra saya seorang bayi yang membuat kami kewalahan dan juga usia kami tidak muda lagi, kami memutuskan untuk mempunyai satu anak saja.

Ketika saya membesarkan putra saya ini dan memohon rahmat Allah untuk membantu saya dalam mengasuh anak saya, berangsur-angsur saya semakin dekat dengan Tuhan. Saya memperhatikan bahwa doa-doa saya akan dijawab, dan saya memulai berusaha lebih kuat lagi untuk mencari Tuhan dan ingin merasakan dekat dengan-Nya.

Namun sekitar empat tahun lalu (artikel ini dipublikasikan pada Juli 2018 –red.), ada sesuatu yang mempercepat kehidupan spiritual saya. Pada suatu hari Minggu sore, saya membaca artikel surat kabar tentang seorang imam yang meninggal di dalam penjara. Dia dihukum karena membunuh seorang biarawati beberapa tahun sebelumnya, dan orang-orang marah karena imam itu diberikan upacara penghormatan secara Katolik dengan Misa dan juga dimakamkan secara Kristen. Tidak diketahui bagaimana dia berakhir dalam akhirat, karena dia tidak pernah mengaku dosa dan bukti-bukti pembunuhan yang dia lakukan sangat kuat, dengan peristiwa ini membuat saya bertanya-tanya apakah pernah ada seorang imam Katolik yang mengalami pengalaman tentang neraka di sakratul mautnya.

Saya mencari tentang hal ini di internet, dan muncullah nama seorang imam yang bernama Romo Steven Scheier. Dia menjadi seorang imam selama 12 tahun, dan dia mengalami kecelakaan lalu lintas dan dia terbaring koma. Dia berkata bahwa dia memiliki dosa besar dalam jiwanya, tidak memiliki kehidupan doa yang banyak dan tidak melakukan devosi kepada Bunda Suci. Dia diaggap sebagai seorang “romo populer” oleh umatnya. Ketika dia menjalani tinjauan tentang kehidupannya, dengan melihat dosa-dosanya, tidak ada yang bisa dia lakukan selain setuju dengan Hakimnya. Tidak ada sikap menyalahkan atau membuat alasan. Yesus berkata kepadanya bahwa hukuman bagi romo itu adalah neraka. Namun kemudian dia mendengar suara seorang wanita memohon bagi dirinya. Dia menyadari bahwa wanita itu adalah Bunda Maria yang menjadi perantara bagi dirinya. Bunda Maria meminta Yesus supaya memberikan kesempatan kedua bagi Romo Scheier.

Bunda Maria memohon untuk hidup imam itu. Bunda Maria juga meminta rahmat dan kekuatan khusus untuk meilhat apakah dia akan menghasilkan buah. Yesus menjawab, “Ibu, dia milikmu.” Romo itu pulih dari komanya dan mengubah hidupnya sepenuhnya. Kisah itu begitu menyentuh hati saya.

Setelah kisah itu, ada suatu kisah pengalaman mendekati kematian yang ada di website itu, yaitu kisah Gloria Polo. Untuk membaca kisah itu, saya memerlukan waktu sepanjang siang hari. Saya membacanya, berhenti sejenak, merenungkannya, juga saya menangis.

Gloria Polo adalah seorang dokter gigi di Kolombia. Pada tahun 1995, dia bersama dengan sepupunya  disambar petir ketika berjalan melintasi kampus menuju ke perpustakaan. Sepupunya meninggal di tempat, sedangkan Gloria berkali-kali mengalami peristiwa kematian ketika tubuhnya tergeletak di tanah.

Gloria berpikir bahwa dirinya adalah orang baik, namun Yesus menunjukkan dosa-dosanya dalam terang Sepuluh Perintah Allah. Yesus telah menunjukkan bahwa nasihat yang dilakukannya telah membahayakan banyak orang dan bagaimana dampak dosa telah merongrongnya. Kisahnya begitu terperinci, dia telah “meninggal” dengan kondisi jiwa yang berdosa berat.

Dengan kisah itu, seolah-olah selubung telah diangkat, dan tiba-tiba saya menyadari keberdosaan saya. Saya melihat banyaknya dosa yang telah dia lakukan (Gloria –red.), sama seperti yang saya lakukan, dan betapa dosa-dosa itu menyakitkan hati Yesus. Dosa melawan amal kasih. Singkatnya demikian, Gloria berkata kepada Yesus ketika Ia sedang membaca Kitab Kehidupannya, bahwa dia tidak pernah membunuh seorangpun. Namun ada lebih dari satu cara untuk membunuh. Dengan sengaja, seseorang dapat membunuh dengan perkataan maupun perbuatan. Gloria juga menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah mencuri. Namun Yesus menunjukkan kepada dirinya bahwa dia telah mencuri nama baik dan reputasi banyak orang dengan menceritakan terus menerus kisah tentang mereka yang membahayakan nama dan reputasi mereka. Terlepas dari benar tidaknya cerita itu, dampaknya sama saja.

Tahukah Anda apa yang menyelamatkan Gloria Polo dari neraka? Seorang dari desa yang setia melihat kisah itu dalam surat kabar dan dia mulai memohon kesalamatannya kepada Allah. Dia tidak pernah bertemu dengan Gloria, namun dia melakukan tindakan nyata yang begitu tinggi kepada para tetangganya. Permohonannya telah menyelamatkan hidupnya. Yesus telah menunjukkan kepada Gloria bagaimana melakukan tindakan amal kasih kepada seluruh umat manusia. Setelah membaca kisah ini, saya menangis. Kisah itu telah menyebabkan pertobatan dalam hati saya.

Saya memutuskan untuk mendedikasikan hidup saya kepada Yesus dengan cara yang baru, melalui hidup doa, membaca sabda-Nya, dan juga taat kepada-Nya. Saya sangat bersemangat akan iman saya ini dan tidak cukup hanya membaca kisah-kisah perubahan keyakinan seperti Rome Sweet Home oleh Scott dan Kimberly Hahn, No Price Too High oleh Alex Jones, No Turning Back oleh Romo Donald Calloway, dan banyak lagi.

Membaca riwayat para kudus mengajarkan banyak hal. Misalnya, saya memperhatikan selama saya membacanya bahwa mereka memiliki hubungan yang mendalam dan pribadi dengan Yesus. Seolah-olah mereka sudah merasakan sedikit tentang surga dan mereka sudah tidak sabar untuk menuju ke sana. Saya ingin tahu mengenai Yesus sebagaimana yang mereka ketahui. Ketika saya membaca kisah mereka, saya juga meihat sekilas tentang surga. Dan membawa saya keluar dari diri saya sendiri dan dunia, dan menghubungkan saya kepada Sang Pencipta, dan untuk itulah kami diciptakan. Inilah Yesus yang sudah lama saya rindukan untuk saya alami dan ketahui!

Saya mulai merasakan penyesalan mendalam tentang penggunaan kontrasepsi buatan. Saya tahu itu salah karena Gereja mengatakan bahwa itu salah, tapi saya tidak tahu apa alasan di balik itu. Kemudian saya membaca Katekismus Gereja Katolik tentang kontrasepsi. Allah telah membukakan mata saya untuk memahami keindahan makna tentang kesuburan dan seksualitas manusia. Itulah pemahaman yang sempurna bagaimana Allah memandang tentang kehidupan, dan saya mulai melihat bagaimana semua hal itu berhubungan.

Hidup adalah anugerah, dan kita seharusnya bersikap terbuka atas anugerah apapun yang Ia berikan dalam hidup perkawinan. Hubungan suami-istri adalah anugerah bagi pasangan suami istri untuk saling memberi, dan hasil yang diperoleh dari hal itu adalah kehidupan baru yang Allah berikan kepada kita. Ketika kita menggunakan kontrasepsi buatan, sama saja dengan kita berbicara kepada Allah bahwa kita tidak mau atau tidak terbuka terhadap anugerah apapun yang Allah akan berikan kepada kita. Saya tidak pernah berpikir dengan cara seperti itu, namun sekarang setelah membacanya, hal itu menjadi sangat masuk akal. Mengapa saya tidak memahami hal itu sebelumnya? Sejak saat itulah saya mengaku dosa dan berhenti menggunakan kontrasepsi buatan, namun saya masih menyesali bahwa saya sudah bersikap tidak terbuka terhadap apa yang akan Allah ingin berikan kepada saya.

 Mengingat semua pengalaman hidup saya, sekarang saya melakukan pengakuan yang baik. Saya melakukan pemeriksaan batin dan mengakukan dosa saya berdasarkan hal itu. Saya sangat bersyukur atas anugerah yang Yesus berikan yaitu Gereja-Nya yang Ia gunakan sebagai alat untuk mendekatkan saya kepada-Nya. Saya masih berusaha, namun setidaknya saya mengalami kemajuan.

Katekismus menulisakan bahwa iman adalah satu anugerah Allah (bdk. KGK 153). Mengenal Gereja-Nya juga suatu anugerah, dan saya bersyukur kepada-Nya karena telah mengungkapkan kepada saya. Saya percaya bahwa Allah ingin mengungkapkan Gereja-Nya kepada semua orang. Yang perlu Anda lakukan adalah memohon, dan saya yakin Ia akan menunjukkan kepada Anda.

Sumber: “Finding Out Why I’m Catholic”

Advertisement

Posted on 29 May 2019, in Kisah Iman and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: