[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Santa Agatha Kim A-gi

Agatha Kim A-gi (Sumber: cbck.or.kr)
Pada awal penganiayaan tahun 1839 yang bertempat di Pintu Gerbang Kecil Barat di Seoul. Sembilan orang menjadi martir, mereka terdiri dari tiga orang pria dan enam orang wanita. Tiga orang wanita itu diantaranya adalah Magdalena Kim Ob-i, Agatha Kim A-gi, dan Barbara Han A-gi, mereka telah ditangkap tiga tahun sebelumnya dan menghabiskan waktu bersama-sama di penjara.
Agatha Kim A-gi (1787-1839) lahir dan bertumbuh dalam sebuah keluarga yang tidak memiliki hubungan dengan Gereja Katolik. Dia juga menikah dengan keluarga yang bukan Katolik juga. Pada saat itu, ajaran Katolik dianggap sebagai ajaran sesat setelah kejadian yang terjadi pada tahun 1791, yaitu ketika Paulus Yun Chi-ch’ung membakar tablet leluhurnya. Karena peristiwa itu, maka tinggal menunggu waktu penganiayaan terjadi. Dan benar saja, penganiayaan terjadi pada tahun 1801. Agatha dan suaminya tidak memiliki kesempatan untuk belajar doktrin Katolik dan mereka tahu bahayanya jika ikut terlibat, mereka cenderung untuk tidak melakukannya. Mereka terjebak dalam Konfusianisme. Namun demikian, suatu hari saudari Agatha yang lebih tua berkunjung kepadanya. Saudarinya itu merupakan seorang Katolik yang setia. Di ruangan depan di rumah Agatha terdapat sebuah peti beras yang besar dan di atasnya terdapat tablet leluhur. Di sana juga terdapat gambar yang aneh di dinding. Saudari Agatha ini menganggap bahwa semuanya itu adalah puncak dari kejahatan. Ketika kesempatan datang dengan sendirinya, dia berkata kepada adiknya demikian,
“Mengapa kamu menyimpan benda-benda itu di rumahmu? Semua itu takhayul yang tidak berguna. Buang semua itu dan jangan percaya kepada benda itu lagi.”
“Apa yang bisa saya lakukan? Saya menikah dengan seseorang yang mempercayainya.”
“Hanya ada satu penguasa dunia. Yaitu Kristus. Sekarang waktunya bagi kamu juga untuk bangun dari kegelapan dan mau belajar dan menjalankan kebenaran.”
Setelah mendengar perkataan saudarinya, Agatha merasakan kerinduan yang sangat besar. Ketika dia setuju akan pemikiran saudarinya, dia tidak dapat mengabaikan kenyataan dari lingkungan sekitarnya. Dan hingga saat ini, dia adalah seorang wanita yang sudah tinggal di rumah yang tidak punya hubungan dengan Gereja. Namun demikian, dia membulatkan tekad untuk menderita, apapun kesulitan yang akan terjadi karena keputusannya untuk berperilaku benar dalam mengikuti kebenaran Allah.
Agatha terlambat untuk mempelajari doktrin Katolik, namun begitu dia mulai belajar, dia bertumbuh dengan cepat dan bersemangat. Kelihatannya dia tidak telalu cerdas karena tidak peduli seberapa kuat dia berusaha, dia tidak dapat belajar mengucapkan doa pagi dan malam di dalam hati. Pada akhirnya, dia dikenal sebagai seorang wanita yang tidak tahu apa-apa kecuali “Yesus, Maria”
Magdalena Kim Ob-i dan Barbara Han A-gi ditangkap bersama-sama pada bulan September 1836. Tidak diketahui dengan pasti apakah Agatha Kim A-gi ditangkap bersama mereka atau di rumahnya sendiri. Dalam suatu kejadian, mereka bertiga dibawa ke tahanan pada hari yang sama.

Santa Agatha Kim A-gi (Sumber: cbck.or.kr)
Di penjara, mereka menemukan sekumpulan umat Katolik. Mereka adalah Damianus Nam Myong-hyok yang dituduh menyembunyikan jubah Uskup, Petrus Kwon Tug-in yang dituduh menjual salib dan gambar-gambar suci, Anna Pak A-gi yang tetap berada di penjara walaupun suami dan anaknya telah murtad, dan Agatha Yi yang merupakan kakak perempuan dari Petrus Yi Ho-yong.
Orang pertama yang ditanyai yaitu Anna Pak A-gi. Walaupun disiksa dia tetap tidak tertunduk.
Dia menjawab dengan entengnya kepada petugas kepolisian sebagai berikut, “Jika suami dan putra saya telah murtad! Saya memilih untuk memelihara iman saya dan mati untuk itu!”
Selanjutnya adalah Barbara Han A-gi. Dia tidak kalah berani dari Anna Pak A-gi yang tubuhnya sudah berlumuran darah ketika para petugas sudah selesai menghukumnya. Ketika Barbara Han A-gi menjalani siksaan, Magdalena Kim Ob-i memberikan kesaksian imannya dengan menjelaskan doktrin Katolik kepada komisaris polisi. Selanjutnya yang dipanggil adalah Agatha Kim.
“Benarkah kamu percaya akan Gereja Katolik?”
“Saya tidak tahu apapun selain Yesus dan Maria.”
“Jika kamu dapat menyelamatkan hidupmu dengan menolak Yesus dan Maria, akankah kamu menolak mereka?”
“Saya lebih baik mati daripada menolak mereka.”
Walaupun disiksa, Agatha tidak bisa dibujuk untuk mengubah pikirannya. Melihat hal ini, komisaris polisi memindahkan mereka ke penjara. Ketika tahanan Katolik lainnya melihat Agatha Kim A-gi tiba, mereka bersukacita menyambutnya.
“Inilah dia Agatha! Dia yang tidak tahu apapun selain Yesus dan Maria,” kata mereka ketika memberi selamat atas keberaniannya.
Karena ketidakmampuannya untuk belajar doktrin dan doa, Agatha Kim A-gi belum dibaptis. Dia adalah orang pertama yang dibaptis di penjara ketika penganiayaan. Pembaptisan memberikannya kekuatan baru, dan oleh karena itu, dia dapat mengatasi siksaan dan hukuman yang kejam.
Setelah seluruh penyelidikan dan cobaan, pada tanggal 11 Mei 1839, hukuman mati dijatuhkan kepada Damianus Nam Myong-hyok, Petrus Kwon Tug-in dan Anna Pak A-gi. Pada hari berikutnya, Agustinus Yi Kwang-hon dan Lusia Pak Hui-sun juga dijatuhi hukuman mati.
Perlu waktu lebih dari tiga hari untuk berunding, sebelum Magdalena Kim Ob-i, Barbara Han A-gi, dan Agatha Kim A-gi dihukum karena mempercayai agama Katolik dan menolak menyerah dari kepercayaan itu.
Akhirnya tanggal 24 Mei 1839 tiba. Kejadian pada hari itu digambarkan oleh Karolus Cho Shin-ch’ol sebagai berikut, “Pada hari yang sudah ditentukan, sebuah gerobak sapi dengan palang yang lebih tinggi daripada tinggi rata-rata orang saat itu, dipasangkan kepada mereka, mereka dibawa ke penjara. Ketika semuanya sudah siap, para penjaga membawa keluar tahanan yang dihukum dan mengikat tangan dan rambut mereka ke palang itu. Sebuah penahan kaki dipasangkan di kaki mereka dan sinyal keberangkatan dibunyikan. Ketika mereka tiba di bukit yang curam, tempat di mana Pintu Gerbang Kecil Barat berada, para penjaga tiba-tiba menarik penahan kaki mereka dan pengemudi gerobak memaksa sapi-sapi itu untuk berlari ke bawah. Jalannya kasar dan berbatu. Gerobak meluncur dan menyebabkan penderitaan ekstrim bagi para tahanan yang tangan dan rambut mereka digantung pada palang itu. Di tempat eksekusi yang berada di kaki bukit. Para penjaga melepaskan para tahanan dari palang itu dan merobek pakaian mereka. Algojo mengikat rambut mereka pada balok kayu dan mereka memenggal kepala mereka.”
Sembilan orang martir menerima mahkota mereka pada pukul tiga siang itu, pada jam yang sama ketika Yesus menghembuskan nafas-Nya yang terakhir di kayu salib beberapa puluh abad yang lalu. Berdasarkan hukum waktu itu, jenazah mereka dibiarkan di tempat eksekusi selama tiga hari.
Di catatan pengadilan waktu itu tertulis sebagai berikut, “Pada tanggal 12 April, Agustinus Yi Kwang-hon, Petrus Kwon Tug-in dan yang lainnya, yang bukan penjahat, mereka semua dieksekusi karena mengikuti agama palsu.”
Uskup Imbert menuliskan berikut ini, “Dengan kesulitan kami mendapatkan jenazah mereka (Agustinus Yi dan Petrus Kwon) pada tanggal 27 April. Kami memakamkan jenazah para martir pada suatu tempat yang sudah disiapkan sebelumnya. Dalam tata cara Eropa, saya ingin mereka menggunakan pakaian yang bagus dan meminyaki mereka dengan parfum yang mahal. Namun demikian, kami orang miskin dan jika memakaikan pakaian kepada jenazah mereka dengan cara demikian akan membebankan umat Katolik, sehingga kami hanya membungkus mereka dengan anyaman jerami. Sekarang kami memiliki banyak pelindung dari surga. Ketika hari kebebasan beragama terwujud di Korea, sebagai mana kita tahu itu akan terjadi, jenazah mereka akan menjadi warisan yang berharga.”
Santa Magdalena Kim Ob-i, Santa Agatha Kim A-gi, dan Santa Barbara Han A-gi dibeatifikasi pada tanggal 5 Juli 1925 dan mereka bersama-sama dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.
Sumber: cbck.or.kr (dengan penyesuaian)
Posted on 22 August 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 2 Comments.
Pingback: Santa Magdalena Kim Ob-i | Terang Iman
Pingback: Santa Barbara Han A-gi | Terang Iman