3 Klerus yang Mengalami Perubahan Keyakinan

Oleh Jim Graves

“Kisah perubahan keyakinan tiga orang, seorang uskup, seorang imam, dan seorang diakon”

Berikut ini kisah tiga orang kaum klerus yang mengalami perubahan keyakinan ke iman Katolik dan menjadi kaum tertahbis.

Fr. Raul Lemus (Sumber: ncregister.com)

Romo Raul Lemus, Direktur Panggilan Suci, Keuskupan Santa Rosa, California

Romo Lemus lahir di El Salvador, dan dibawa oleh kedua orang tuanya ke San Francisco ketika dia berusia 4 tahun. Ayahnya bekerja sebagai pencuci piring, dan keluarganya berpindah-pindah di berbagai wilayah di kota itu (Maka dari itu, sudah terbiasa bagi saya untuk sering berkeliling yang mana kebiasaan itu sangat berguna jika Anda seorang imam, kata Romo Lemus sambil bercanda).

Seperti biasa, ketika masih anak-anak dia pergi mengikuti Misa bersama dengan ibunya di beberapa gereja yang paling indah di San Francisco, termasuk Gereja St. Ignatius yang dikelola oleh para Yesuit. Dia berkata, “Saya senang ketika ibu saya memberikan saya uang satu dolar untuk dimasukkan ke kantong kolekte.”

Namun sejak usia 14 sampai 22 tahun, dia berhenti ke gereja. Dia berkata bahwa dia seorang yang “sok tahu” dan bercita-cita untuk menjadi seorang aktor dan pelawak. Saudara laki-lakinya yaitu Joe sangat disukai orang, terlepas dari sikap kasar Raul. Joe berkata, “Raul seorang anak yang menyenangkan. Dia suka bercanda dan menyenangkan berada di dekatnya.”

Raul pernah terlibat drama (kejadian yang menyedihkan –red.) dan pernah bebas dari hal-hal yang paling buruk dari budaya geng dan narkoba yang menimpa banyak orang di sekitarnya. Namun, almarhum saudaranya yaitu Carlos tidak seberuntung itu. Dia mengalami masalah narkoba dan alkohol yang berat, dan membuat keluarganya pindah ke Petaluma, sekitar 40 mil di sebelah utara San Francisco, sehingga Carlos bisa mendapatkan perawatan.

Paroki baru yang didiami keluarga itu yaitu St. Vincent de Paul, sebuah gereja bersejarah yang didirikan pada tahun 1857. Gereja ini mempunyai struktur yang megah seperti altar marmer, mosaik, patung, dan jendela kaca patri yang indah, serta kubah dan menara kembar yang luar biasa. Meskipun Raul tidak menjalankan imannya, struktur tradisional itu menyentuhnya. Dia berkata, “Ada banyak hal yang saya sebut sebagai ‘gangguan suci.’”

Ketika dia mengantar kedua orang tuanya ke gereja, dia menyadari bahwa St. Vincent adalah tempat yang luar biasa untuk bertemu dengan wanita. Dia mengingat kembali saat itu, “Allah telah melakukan ‘bait and switch’ (suatu teknik pemasaran yang menjebak –red.) kepada saya. Saya tertarik pada wanita, tapi yang terjadi malahan saya menjadi putra altar, lektor, dan pelayan komuni tak lazim.”

Dia bergabung dengan kelompok orang muda Jovenes, dan menemukan bahwa dia adalah seorang pemimpin sejati. Pada saat itulah dia “jatuh cinta pada Allah dan Gereja, dan menyadari ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya.”

Dia terkesan oleh beberapa imam yang telah dia temui, secara khusus seorang imam dari teman keluarganya dari El Salvador, yaitu Romo Emiliano Caballero. Romo Lemus berkata, “Saya suka dengan Romo Caballero karena dia ‘normal’. Anda akan bertanya kepadanya tentang Allah, dan dia akan menjawabnya dengan bahasa Spanyol yang sederhana.”

Romo Lemus percaya bahwa para imam yang bahagia memainkan perang yang krusial dalam menarik pria muda ke dalam imamat. Dia melanjutkan, “Romo Caballero seorang yang periang yang suka memberikan guyonan, dia yang sudah menanam benih panggilan saya ketika saya berusia 10 tahun.”

Romo Lemus ditahbiskan menjadi imam pada tahun 2002. Romo Caballero melakukan perjalanan untuk menghadiri tahbisan Romo Lemus, dan membantunya mengenakan jubah untuk Misa. Joe mengingat kembali hari itu sebagai hari yang bahagia: “Kami semua begitu bersemangat. Banyak orang datang, beberapa orang datang dari jauh.”

Menyuarakan kata-kata dari St. Yohanes Vianney, santo pelindung para imam paroki, pada hari itu Romo berkata kepada para jemaatnya, “Tugas saya adalah membantu Anda menuju ke surga.”

Deacon Joe Calvert (Sumber: ncregister.com)

Diakon Joe Calvert, ditugaskan di Paroki St. Christopher, Radcliff, Kentucky

Sebelum pindah keyakinan ke iman Katolik, Diakon Calvert seorang ateis yang teguh. Dia mengingat kembali ketika dia masih seorang pemuda dan bagaimana berkeliling di kampus University of Louisville membagikan salinan esai tahun 1927 karya seorang ateis Inggris yang bernama Bertrand Russel yang berjudul “Why I am Not a Christian.”

Calvert dibesarkan sebagai seorang Protestan, namun di perguruan tinggi, dia menjalani gaya hidup sekuler dan mengadopsi para tokoh ateis terkenal seperti Russel dan George Bernard Shaw sebagai panutannya. Sebagai pembaca buku yang rajin, dia mulai mencari buku agama-agama Timur seperti agama Hindu dan Buddha. Dipengaruhi oleh profesornya dan teks-teks yang di abaca, dia menjadi anti-Katolik. Bahkan, “lagu kebangsaan” pribadinya adalah puisi karya seorang penyair Inggris tahun 1794 yaitu William Blake, di mana ada syair yang berbunyi, “Dan imam-imam dalam jubah hitamnya berjalan berkeliling, dan kegembiraan dan hasratku diikat dengan mawar liar.” (Puisi ini berjudul The Garden of Love yang merupakan puisi yang menyindir Gereja yang melarang cinta seksual, Blake berpikir bahwa dosa adalah jebakan untuk mengikat hasrat pria –red.).

Orang-orang Katolik yang dia temui hanya tahu sedikit tentang iman mereka. Dia berkata, “Saya akan bertanya kepada mereka, ‘Mengapa kamu berlutut di gereja?’ Mereka menjawab demikian, ‘Karena kamu melewati jalan tengah di gereja,’ bukan karena umat Katolik itu percaya akan Kehadiran Nyata Yesus di Tabernakel. Saya juga mengakui bahwa saya mengatakan hal yang buruk tentang Paus Yohanes Paulus II dan umat Katolik saat itu.”

Istrinya yaitu Berta sambil sedikit tertawa berkata, “Ya, dia itu jahat. Dia mengolok-olok Gereja Katolik dan dia seorang yang mendukung aborsi. Orang yang kenal dia saat ini pasti tidak akan percaya.”

Anehnya, meditasi menurut agama Buddhalah yang memulai jalannya kembali ke agama Kristen. Ketika dia bermeditasi dua kali sehari menurut praktik agama Buddha, dia mendengar dengan jelas suatu pesan yang berbunyi: “Kamu tidak akan pernah bahagia tanpa Yesus Kristus.”

Selain itu, salah satu guru spiritualitas Timur favoritnya yaitu Eknath Easwaran (1910-1999) merekomendasikan padanya untuk membaca puisi karya St. Teresa dari Avila, yang memberinya perspektif yang baru terhadap Gereja Katolik. Dia berkata, “Saya diajarkan bahwa Gereja Katolik telah mencekik kehidupan para wanita selama 2.000 tahun. Tetapi di sini seorang wanita yang bahagia yang hidup selama masa Inkuisisi, memiliki kecerdasan yang luar biasa dan mencintai Gereja Katolik.”

Jadi, untuk pertama kalinya, Calvert mulai membaca sejarah yang ditulis oleh para penulis Katolik. Ketika Katekismus Katolik baru yang diterbitkan tahun 1992, dia membacanya sampai habis, “mencari celah dalam logikanya.” Dia tidak menemukan satupun. Dia berkata, “Saya tidak merasa senang ketika saya menyelesaikan membaca Katekismus. Jika buku ini benar, maka saya harus mengakui bahwa saya sudah melakukan berbagai hal yang salah.”

Ketika Paus Yohanes II menerbitkan ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) diterbitkan pada tahun 1995, dia membacanga dengan harapan untuk “mencari celah” lagi, namun dia tetap tidak bisa menemukannya. Dia berkata, “Ketika saya meletakkan ensiklik itu, saya masing ingat dengan jelas ketika saya menggelengkan kepala saya dan berkata kepada diri saya sendiri: ‘Saya masih tidak percaya tentang segala hal yang berkaitan dengan Paus ini, namun jika ada yang namanya Wakil Kristus, dia akan menulis yang seperti itu!”

Calvert mulai mengikuti retret Katolik dan menemui para imam, termasuk seorang imam yang “rendah hati dan kudus” yaitu Romo Dennis Cousens. Calvert berkata, “Ketika saya bertemu dengan Romo Cousens, dia berkata ‘Apa yang Anda percayai?’ Saya berkata, ‘Saya percaya Gereja Katolik didirikan oleh Yesus Kristus, saya percaya bahwa Paus adalah wakil-Nya dan saya percaya akan Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi.’ Kemudian Romo menjawab, ‘Baiklah, itu awal yang bagus!’”

Calvert diterima ke dalam Gereja Katolik pada tahun 1995. Dia mengenang peristiwa itu, “Ketika saya berdiri di depan altar, saya dapat mengingat bahwa tidak pernah saya merasakan sesuatu yang benar seperti ini.”

Kata Berta istrinya, “Luar biasa. Dia berubah 110%. Anda tidak akan menemukan seseorang yang lebih saleh kepada Gereja daripada dia. Saya bahagia. Itulah hal terbaik yang terjadi dalam hidup kami.”

Bishop James Conley (Sumber: ncregister.com)

Uskup James Conley dari Lincoln, Nebraska

Uskup Conley dibesarkan di Overland Park, Kansas, suatu daerah suburban dari Kansas City.  Ayahnya seorang salesaman bahan bangunan dan ibunya seorang ibu rumah tangga; dia memiliki seorang saudari angkat. Keluarganya dapat dikatakan menganut aliran Presbyterian dan sesekali pergi ke gereja.

Ketika dia kuliah di Program Humaniora di University of Kansas, dia mempelajari “Buku-buku hebat” favorit termasuk Confessions karya St. Agustinus dan tulisan-tulisan dari Beato John Henry Newman, dan dia pindah ke agama Katolik pada usia 20 tahun. Ayahnya “tidak terlalu senang” tentang kepindahanya ke agama Katolik, ayahnya berkata kepadanya bahwa dia sudah melepaskan kebebasan berpikirnya sendiri. Namun sambil bercanda dia berkata, “Dulu saya seorang Grateful Deadhead (sebutan penggemar band rock Grateful Dead –red.), dan ibu saya merasa senang karena saya sudah memotong rambut saya!”

Kedua orang tuanya menjadi katolik pada tahun 1991. Uskup Conley yang memberikan Baptisan dan Penguatan kepada mereka.

Sumber: “Clergy Who are Converts to the Catholic Faith”

Advertisement

Posted on 19 July 2019, in Kisah Iman and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: