Marinir Anti-Katolik Menjadi Katolik – Kisah Craig Alexander

Craig Alexander (Sumber: chnetwork.org)
Kisah Masa Kecil
Saya anak kedua dari empat bersaudara yang dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan seorang ayah yang seorang alkoholik. Pelecehan dengan kata-kata maupun fisik kepada seluruh anggota keluarga berakhir ketika ayah saya pergi dari kami. Saya memohon kepada para pembaca kisah ini untuk mendoakan ayah saya, nama beliau adalah Ivan.
Setelah kepergian ayah kami, ibu kami bekerja keras supaya kami bisa punya tempat tinggal dan bisa makan. Ibu juga menjadi penjaga kehidupan rohani kami dengan ikut sekolah Minggu setiap pekannya dan ke gereja di Highspire United Methodist Church. Di sinilah saya mengenal Yesus dan tempat saya dibaptis. Saya mengenal Yesus seperti yang dikatakan oleh saudara-saudari Protestan kami, yaitu sebagai Tuhan dan Juruselamat saya. Saya juga melayani sebagai akolit dalam gereja keluarga kami. Dalam tradisi Methodist, akolit merujuk pada seorang anak yang menyalakan lilin sebelum kebaktian di gereja.
Pada masa ini, ada dua hal utama dalam pikiran saya ketika saya hadir dalam gereja . Yang pertama, saya berusaha untuk tidak tertidur (yang sesekali dibantu oleh senggolan siku ibu), yang kedua adalah kapan kebaktian selesai sehingga kami bisa makan siang. Kami sangat menanti-nantikan makan siang pada hari Minggu, karena kami selalu makan ayam goreng yang menjadi makanan kesukaan saya.
Gereja Methodist merupakan dasar yang baik untuk kehidupan beriman saya. Saya akan selalu bersyukur karena itu, karena dalam gereja inilah yang membawa saya kepada Tuhan kita. Di SMA, seperti remaja laki-laki pada umumnya, saya lebih tertarik pada anak perempuan daripada belajar. Tapi saya tetap berhasil lulus pada bulan Juni 1980.
Tahun-tahun di Korps Marinir
Saya mendaftar di Korps Marinir dalam program masuk yang tertunda pada bulan September 1979, dan memulai tugas aktif saya pada tanggal 10 Juli 1980. Waktu itu saya melapor kepada Marine Corps Recruit Depot, Parris Island, South Carolina untuk kamp pelatihan. Satu-satunya kasih besar yang diterima di Parris Island adalah kutu pasir dan lalat pikat, ketika menyantap diri Anda di pagi hari selama latihan fisik.
Mayoritas kami yang direkrut memang ikut serta dalam kebaktian gereja. Sebagian besar dari kami harus melakukan perjalanan setidaknya satu jam jauhnya dari instruktur pelatihan fisik kami. Tidak ada keinginan untuk mendengarkan Firman Allah atau mendengarkan khotbahnya. Hal utama yang ada di pikiran saya adalah sama seperti dulu yaitu berusaha tidak tertidur dan memikirkan apa yang akan dimakan waktu makan siang nanti. Jadi saya menjauh dari berbagai keterlibatan dengan Tuhan dan iman. Saya menyebut masa itu sebagai “tahun-tahun tidak mengenal Tuhan.”
Selama tahun-tahun di awal berada di Korps Marinir, saya berjumpa dengan Lisa yang merupakan calon istri saya, ketika saya ditempatkan di Millington, Tennessee untuk pelatihan tugas yang akan datang. Istri saya itu dibesarkan dalam Iman Katolik, namun dia tidak menjalankan agamanya ketika saya berjumpa dengannya. Kami berpacaran selama setahun, kemudian saya ditugaskan ke tugas yang baru di Whidbey Island, Washington untuk pelatihan lebih lanjut. Saya meminta izin kepada ibu pacar saya untuk menikahi putrinya. Sebagai wanita yang bijaksana, dia berkata bahwa dia merasa bahwa kami masih terlalu muda, dan berkata sebaiknya untuk melanjutkan masa pacaran. Tentu saja, sebagai seorang marinir yang keras kepala, saya tidak mendengarkan nasihatnya dan bertunangan untuk menikahinya sebelum saya menuju Whidbey Island.
Saya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang Iman Katolik ataupun praktik-praktiknya dan tidak tahu apa itu kelas Pra-Kana (Kursus Persiapan Perkawinan). Saya menerima instruksi dari presbiter yang ditugaskan di pos tugas baru saya. Kata “instruksi” dalam kasus saya itu salah kaprah. Saya tidak mengingat nama presbiter itu, tapi suatu hari nanti ia akan menjadi seorang kudus karena sudah berurusan dengan saya. Kami tidak pernah berada di kelas untuk mempersiapkan saya untuk perkawinan, itulah kesalahan saya. Yang saya lakukan hanya berdebat dengan presbiter itu. Saya berkata, “Kalian umat Katolik menyembah Maria, kalian umat Katolik percaya kalau kalian bisa mendapat jalan ke surga denga usaha kalian, dan kalian bahkan tidak membaca Alkitab.” Presbiter ini begitu baik dan sabar dengan saya, ia berusaha menjawab semua pertanyaan saya. Saya berusaha mengatakan bahwa saya “tahu segalanya” dan tidak peduli apa yang ia katakan, saya hanya mengatakan bahwa ia salah.
Saya dan Lisa menikah pada tanggal 2 Oktober 1982 di Saint Mary’s Catholic Church di Memphis, Tennessee. Perkawinan kami diberkati dengan seorang putra yang bernama Craig Jr. Sayangnya, perkawinan kami tidak bertahan lama. Kami bercerai pada tanggal 15 Desember 1985. Saya sangat merasakan bahwa salah satu alasan perkawinan kami tidak bertahan lama adalah dalam masa perkawinan kami yang singkat itu kami mungkin ikut Misa hanya tiga kali, termasuk di hari perkawinan kami. Saya menerima Surat Keputusan Pembatalan dari Keuskupan Harrisburg pada tanggal 9 Mei 2007. Lisa meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 2017, maka itu saya mohon doa kepada para pembaca bagi ketenangan jiwanya.
Selama 13 tahun berada di Korps Marinir, saya sudah ditugaskan ke berbagai tempat di belahan dunia, termasuk ke Timur Tengah, tempat saya ditugaskan dalam Perang Teluk Pertama. Itulah masa awal-awal penugasan pertama sebagai seorang Marinir berusia 25 tahun yang baru saja bercerai yang ditugaskan ke Filipina. Saat itu saya bertemu dengan para pelaut yang pernah ditempatkan di sana. Dengan teman-teman yang baru bertemu ini (Saya menyebut mereka sebagai pemandu wisata pesta pora), saya sering melakukan dosa kedagingan. Ada beberapa orang presbiter yang melayani di wilayah di Filipina ini sebagai upaya membantu mereka supaya meninggalkan kehidupan dosa. Sayangnya, sikap saya terhadap para presbiter itu adalah cercaan dan cibiran. Kami berkata kepada mereka bahwa mereka itu sedang membuang-buang waktu dan tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan apa yang sedang terjadi.
Jika Anda melihat saya sekarang, Anda bisa berkata bahwa Allah punya selera humor. Saya sudah berubah dari seorang pria yang tidak beriman menjadi seorang Katolik dan sedang belajar masuk dalam presbiterat untuk sebuah keuskupan yang punya banyak presbiter asal Filipina. Saya harus memberi tahu Anda kalau Tuhan berkehendak agar saya ditahbiskan menjadi seorang presbiter, saya ingin kembali ke Filipina di tempat yang sama ketika saya masih melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Saya mungkin seorang Marinir yang baru saja bercerai dengan “para pemandu wisata” untuk aktivitas berbuat dosa, tapi sayalah yang harus bertanggung jawab atas apa yang saya perbuat. Teman-teman saya di militer tidak bisa disalahkan atas perbuatan saya. Saya sendiri yang harus disalahkan. Setidaknya saya menerima pemberhentian dengan terhormat ketika saya pulang ke rumah.
Terang Fajar
Ketika saya pulang, ibu saya ingin tinggal bersama saya, dan di antara kami, kami mengusahakan cara hidup yang saling mendukung. Kami punya rutinitas di hari Minggu. Ibu saya pergi ke gereja Fundamentalist Bible-nya, dan saya diam di rumah. Setiap hari Minggu, saya akan menyiapkan makan siang dan sudah siap santap ketika dia pulang. Dia akan mencoba membicarakan tentang apa yang dia dengar dan pelajari pada hari itu di gereja, tapi saya sama sekali tidak tertarik. Saya tidak mau mendengar hal-hal tentang Tuhan, Alkitab, atau apa pun yang ada hubungannya dengan agama. Saya bahagia dengan hidup saya yang apa adanya. Saya punya pekerjaan bagus di Pennsylvania Department of Transportation (PennDOT), dan selalu punya rekan wanita. Sejauh yang mampu saya lihat, saya tidak perlu Tuhan.
Kemudian tibalah hari Minggu yang mulia sekitar 17 tahun lalu, ketika saya menerima panggilan pertobatan saya. Waktu itu saya sedang duduk di rumah sedang memikirkan apa yang akan saya sajikan untuk makan siang di hari Minggu. Tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, saya punya keinginan besar untuk ikut Misa. Bukan hanya ke gereja, tapi ingin ikut Misa Katolik. Karena saya tidak dibesarkan secara Katolik, saya tidak tahu di mana letaknya paroki Katolik. Saya melihat buku telepon (waktu itu masih ada buku telepon) dan saya menemukan sebuah paroki. Saya datang terlambat dan duduk di belakang gereja. Kemudian, saya akan diberi tahu bahwa saya pasti sudah menjadi Katolik, karena saya datang terlambat ke Misa pertama itu dan duduk di belakang!
Saya duduk di sana, melihat dan mendengarkan, mempercayai bahwa saya akan punya perasaan yang sama seperti ketika saya ikut di gereja Methodist bertahun-tahun sebelumnya. Ada perasaan berjuang untuk tetap terbangun dan ingin segera selesai sehingga saya bisa makan siang. Bagian pertama Misa, Liturgi Sabda dimulai dan saya terkejut. Umat sedang membaca Alkitab. Kenyataannya, mereka sedang membaca banyak bagian Kitab Suci! Tidak mungkin, karena saya selalu diberitahukan bahwa Alkitab tidak dibaca dalam Gereja Katolik atau oleh umat Katolik.
Kemudian, bagian kedua Misa dimulai, yaitu Liturgi Ekaristi. Saya melihat pria itu yang mengenakan busana tertentu (busana Misa), yang memulai apa yang kelihatan seperti hidangan dalam meja besar itu. Saya mendengarkan kata-kata konsekrasi, tapi tidak memahami maknanya. Ketika imam mengangkat Ekaristi Kudus, saya dipenuhi dengan emosi. Saya terpaku dan tidak bisa berpaling … saya tidak berharap untuk memalingkan pandangan saya. Saya duduk di belakang gereja dengan air mata yang berlinang di wajah saya, saya tidak berdaya menghentikan tangisan saya. Mengapa hari itu? Mengapa pada saat itu terjadi dalam hidup saya itu, saya merasakan keinginan luar biasa untuk ikut Misa setelah lebih dari 15 tahun tidak ke gereja mana pun? Mengapa ada keinginan untuk Misa bukan hanya ke gereja? Mengapa ini terjadi dengan saya, kekuatan apa yang mendorongnya? Apakah Roh Kudus yang menggerakan saya untuk berbuat? Saya tidak mengerti. Hari itu, tidak ada masalah untuk membuat diri saya tetap terbangun atau memikirkan makan siang.
Selama enam pekan, saya ikut di berbagai gereja-gereja Katolik dan saya merasa diberkati dengan pengalaman yang sama. Saya akan mempelajari tentang air mata saya itu lima tahun kemudian, setelah saya masuk ke Holy Mother Church. Saya diminta untuk menuliskan tentang makna Ekaristi Kudus bagi diri saya. Saya percaya bahwa Roh Kudus yang mengungkapkannya dalam hati saya, dalam tahun-tahun awal mengikuti Misa, ketika Ekaristi Kudus diangkat, Ekaristi itu adalah Tuhan kita, tapi pada saat itu saya belum mengerti. Sekarang saya tahu bahwa pada saat konsekrasi, surga turun ke atas bumi di atas altar. Kita dibawa kembali ke Perjamuan Malam Terakhir dan di bawah kaki salib. Pengorbanan Tuhan kita dihadirkan kembali dengan cara yang tidak berdarah.
Setelah saya diberi tahu tentang St. Pio dari Pietrelcina (seorang stigmatis abad ke-20 yang terkenal dengan nama Padre Pio) yang ditanyai apa yang ia lihat ketika berdoa dalam Misa. Ia mengatakan bahwa selama MIsa, ketika Epiklesis, ia memanggil Roh Kudus atas roti dan anggur, surga turun ke atas bumi. Altar dikelilingi para malaikat dan orang kudus, termasuk Bunda Maria. Mereka berlutut di altar Tuhan. Ketika Tubuh dan Darah Tuhan yang dikonsekrasikan diangkat, semua malaikat dan orang kudus bersujud, menyembah dan memuji Tuhan kita. Jika kita hanya memiliki mata untuk melihatnya, bagaimana kita bisa mengabaikan Misa?
Suatu hari, saya datang ke paroki St. Peter di suatu hari Minggu dan mengalami pengalaman ini. Di sanalah saya menemukan rumah. Mengapa paroki ini di hari Minggu itu saya menemukan rumah tinggal? Saya sudah ikut di berbagai paroki lain selama enam pekan, tapi tidak merasakan perasaan itu. Pada Misa ini, seperti musik dalam suatu opera, bacaan-bacaannya memuncak dengan luar bisa, yang berpuncak pada homili yang mengharukan oleh Monsinyur (gelar kehormatan untuk seorang imam yaitu Reverend Monsignor atau dalam bahasa Latinnya adalah Reverendus Dominus). Semua bagian Misa yang dipimpinnya hari itu menjadi keindahan yang utuh dalam Ekaristi Kudus.
Pada hari Minggu yang sama, dalam bulletin paroki itu, ada artikel tentang proses RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.). Pelajaran akan dimulai pada hari Kamis. Panggilan menuju perubahan keyakinan terus berlangsung. Saya ikut program RCIA dan saya merasa diberkati dengan para pengajar iman yang luar biasa dan juga saleh. Salah seorang pengajar adalah seorang presbiter yang kudus yang biasa memberikan julukan kepada peserta pelajaran itu (yang dalam kisah ini akan disebut Romo Monsinyur). Julukan saya adalah “The Questioner” atau “Si Penanya.” Romo Monsiyur menjelaskan bahwa saya selalu mempersiapkan diri dengan baik untuk kelas pengajaran dan juga akan mengajukan pertanyaan yang dipikirkan dengan matang. Ia juga berkata bahwa saya selalu membuat Romo dan pengajar-pengajar lainnya waspada akan pertanyaan saya.
Saat ini juga menjadi saat yang menyenangkan bersama dengan ibu saya. Kami berdua sama-sama salah paham dengan iman Katolik. Sewaktu persoalan-persoalan ini dijelaskan di kelas pertemuan, saya pulang dan membicarakannya dengan ibu saya tentang semuanya itu. Maka saat itu menjadi waktu yang luar biasa untuk menceritakan kegembiraan besar yang saya alami.
Waktu mulai RCIA, saya berjanji kepada diri saya sendiri kalau saya tidak akan percaya semua hal yang dianut dan diimani Gereja Katolik, saya tidak mau atau tepatnya saya tidak menghendaki memasuki Gereja. Ada satu persoalan seperti: Sepuluh Perintah Allah. Bukan semua perintah itu, tapi perintah yang keempat, yaitu “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12, Ulangan 5:16). Saya tidak bisa memahami perintah itu setelah saya mengalami penganiayaan oleh ayah saya, saya tidak bisa menaati perintah itu terhadap ayah saya. Dan jika saya tidak bisa, bagaimana saya bisa berdiri di hadapan Allah dan di hadapan umat paroki dan saya berkata setuju dengan ajaran Gereja? Bagaimana saya bisa menerima Ekaristi Kudus? Ekaristi Kudus yang sudah saya ikuti selama setahun terakhir ini dan setiap Misa saya merindukannya dengan air mata yang berlinang.
Saya berbicara dengan Romo Monsinyur, dan sekali lagi ia seorang pria yang bijaksana dan kudus yang membuka mata dan hati saya. Ia menjelaskan kepada saya, dan saya tidak akan pernah bisa melupakan apa yang telah ia perbuat kepada saya, tapi saya dipanggil untuk mengampuni ayah saya. Bahwa, ketika kita berdoa Bapa Kami, kita berkata, “ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.” Oleh karena itu, saya dipanggil untuk mengampuni. Romo Monsinyur juga menjelaskan bahwa akan tiba waktunya untuk menghormati ayah saya, saya harus memastikan bahwa ayah saya perlu diperhatikan. Bahwa ia harus punya tempat tinggal dan juga makanannya, dan saya harus memperhatikan kesejahterannya. Saya sudah diberkati dengan banyak hal semenjak saya memasuki Bunda Gereja yang Kudus, dan salah satunya adalah gereja sudah mengembalikan ayah saya.
Di kelas RCIA, kami mengadakan retret. Dalam retret itu ada penjelasan tentang Sakramen Rekonsiliasi, dan kami mendapat kesempatan untuk menerima sakramen ini untuk pertama kalinya. Saya merasa ketakutan! Kami punya pilihan untuk mengakukan dosa kepada Romo Monsinyur atau presbiter yang lebih muda. Saya memilih untuk menghadap Romo Monsinyur karena saya berasumsi bahwa ia akan bersikap keras kepada saya, terutama terhadap dosa-dosa yang sudah saya lakukan waktu di Korps Marinir. Namun yang terjadi justru sebaliknya! Ia sangat pengertian dan lembut, dan sangat membantu meredakan ketakutan saya akan sakramen yang mengagumkan ini. Kemudian, setelah hampir satu tahun ikut kelas RCIA yang diadakan setiap hari Kamis, tibalah waktu persiapan memasuki Bunda Gereja yang Kudus. Pada hari Sabtu Suci pagi, peserta RCIA bertemu di gereja untuk melakukan gladi bersih. Seluruh bagian malam pada hari itu nanti dijelaskan kepada kami, dan kami diberi kesempatan untuk melakukan latihan dalam menerima Tuhan dalam rupa Komuni Kudus. Saya merasakan emosi yang begitu besar waktu latihan itu, dan saya merasa khawatir apakah saya bisa melalui Misa pada malam nanti.
Keluarga saya makan di luar pada petang itu sebelum Misa, dan kami berbicara tentang apa yang akan terjadi beberapa jam mendatang. Waktu kami bersiap-siap untuk pergi, pramusaji berterima kasih kepada kami. Dia mengatakan bahwa sangat menyenangkan melihat satu keluarga lengkap berdoa bersama sebelum makan. Malam itu saya datang bersama dengan keluarga saya, dan mereka duduk di bangku samping di dekat orang-orang yang masuk ke dalam Gereja. Misa dimulai dengan suasana gelap, ketika Misa Vigili Paskah dimulai. Hal ini mengingatkan saya akan kegelapan dalam diri saya ketika pertama kali saya menanggapi panggilan saya untuk mengubah keyakinan saya. Kami semua dipanggil bersama dengan wali baptis kami, menghadap di hadapan altar tempat kami menerima Sakramen Penguatan.
Misa berlanjut, dan Liturgi Ekaristi dimulai. Seperti yang sudah-sudah, ketika imam mengangkat Ekaristi Kudus, air mata mengalir dari wajah saya. Tapi dalam Misa ini berbeda karena ada satu hal penting, pada malam ini, pada Misa ini, saya akan menerima Tuhan yang begitu berharga untuk yang pertama kalinya dalam Ekaristi Kudus. Inilah pertama kalinya saya mempunyai hak istimewa yang begitu besar untuk menerima Tubuh, Darah, Jiwa dan Keilahian-Nya. Saya mendekati Tuhan dengan gemetar dan menangis, saya berkata di dalam hati, “Siapa aku ini yang hendak menerima Engkau?” Saya menerima Tuhan, kembali ke bangku, dan berlutut untuk bersyukur. Saya tidak lagi punya air mata untuk dikeluarkan, karena saat ini sedang mengalir deras.
Kemudian saya mendengar keponakan perempuan saya yang masih berusia 7 tahun, dan dia bertanya kepada ibunya, “Bu, kenapa Paman Craig menangis?” Saudari saya itu memberitahunya, “Paman Craig menangis karena bahagia.” Keponakan saya yang manis itu bertanya kembali, “Jika Paman bagagia, kenapa ia menangis?” Itulah malam tanggal 26 Maret 2005, ketika selubung kegelapan diangkat untuk selama-lamanya ketika saya menanggapi panggilan saya untuk bertobat.
Apa yang terjadi pada malam itu tidak ada pada Misa yang lainnya yang pernah saya ikuti? Perubahan yang paling signifikan yaitu ketika saya mendekati Tuhan untuk menerima-Nya untuk yang pertama kali. Orang yang rendah ini berani mendekati Sang Raja Segala Raja dan Tuhan dari segala tuan dengan sikap memohon yang rendah hati, untuk menerima-Nya dalam diri orang ini, secara materi maupun rohani. Bisakah sekarang saya berkata bahwa pertobatan pikiran dan hati dalam diri saya itu sudah lengkap? Saya harus berkata “tidak,” karena kita selalu bertumbuh lebih dekat dengan Tuhan baik dalam pikiran dan hati kita, dan pertobatan kita akan lengkap ketika kita berada dalam rumah Tuhan di surga. Saya benar-benar berkata bahwa segala yang saya inginkan adalah memberikan diri saya dalam pelayanan bagi Tuhan, Gereja-Nya dan umat-Nya.
Saya bukanlah Abram (yang menjadi Abraham), Saul (yang menjadi Paulus), atau Agustinus (yang tadinya seorang berdosa menjadi uskup dan orang kudus). Mereka punya panggilan dan tanggapannya masing-masing. Sekarang saya sudah menjawab panggilan saya dan benar-benar merasa diberkati. Kemudian, datanglah panggilan lain bagi diri saya, panggilan masuk dalam imamat. Panggilan itu menghampiri saya pada suatu hari Sabtu malam ketika saya sedang dalam perjalanan ke pertandingan hoki. Panggilan itu datang melalui telepon seluler ketika saya mengendarai kendaraan di Bullfrog Valley Road. Tapi kisah itu merupakan topik lain di lain waktu.
Semoga Tuhan memberkati semua yang membaca kisah ini, dan bolehlah saya memohon untuk mengingat saya, juga untuk istri dan ayah saya yang sudah meninggal dunia dalam doa Anda ketika saya hendak melayani Tuhan di kebun anggur-Nya.
Craig Alexander adalah seorang seminaris untuk Keuskupan Greensburg, Pennsylvania. Craig bertugas di Korps Marinir Amerika Serikat dan diberhentikan dengan hormat pada tahun 1992. Sebelum masuk seminari, ia dipekerjakan oleh Departemen Transportasi Pennsylvania. Ia punya seorang putra yang bernama Craig, Jr. dari perkawinannya dengan Lisa, yang meninggal pada tahun 2017. Craig diterima di Gereja Katolik pada tanggal 26 Maret 2005.
Sumber: “From Heathen to Catholic”
Posted on 10 July 2021, in Kisah Iman and tagged Methodist. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0