[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beato Agustinus Jeong Yak-jong
Profil Singkat
- Tahun dan tempat Lahir: 1760, Gwangju, Gyeonggi-do
- Gender: Pria
- Posisi/Status: Katekis dari keluarga kelas bangsawan
- Usia: 41 tahun
- Tanggal Kemartiran: 8 April 1801
- Tempat Kemartiran: Pintu Gerbang Kecil Barat, Seoul
- Cara Kemartiran: Dipenggal
Agustinus Jeong Yak-jong lahir pada tahun 1760 di Majae, Gwangju, Gyeonggi-do (sekarang, Neungnae-ri, Joan-myeon, Namyangju-si, Gyeonggi-do) pada keluarga terpelajar yang terpandang. Santa Cecilia Yu So-sa yang menjadi martir pada tahun 1839 adalah istri keduanya. Karolus Jeong cheol-sang, yang menjadi martir pada tahun 1801, dan Santo Paulus Jeong Ha-sang dan Santa Elisabeth Jeong Jeong-hye, yang menjadi martir pada tahun 1839, mereka semua adalah putra dan putrinya.
Pada tahun 1786, dua tahun setelah Gereja Katolik diperkenalkan ke Korea, Agustinus Jeong menjadi tahu mengenai agama Katolik. Dia belajar Katekismus dari kakak laiki-lakinya. Dia menerima Sakramen Baptis ketika dia memahami doktrin agama Katolik dengan mendalam. Dia mengabdikan diri untuk mengajar agama Katolik kepada keluarganya. Kemudian dia pindah ke Bunwon (sekarang, Bunwon-ri, Namjong-myeon, Gwangju-si, Gyeonggi-do) demi menjalankanagamnya dengan lebih bebas. Pada saat itu, saudara-saudaranya mulai berangsur-angsur menjauhkan diri dari Gereja, namun dia tetap mengabdikan diri dengan menjalankan ajaran Gereja dengan lebih bersemangat.
Seiring waktu berlalu, Agustinus Jeong menjadi lebih bersemangat dan berkomitmen. Dia sering berhubungan dengan umat beriman di desa tetangga, dia mengundang mereka ke rumahnya untuk mengajari mereka Katekismus. Dia ambil bagian secara aktif di dalam aktivitas Gereja. Ketika dia melakukan semuanya itu, pengetahuan mengenai doktrin Katolik semakin dalam dan dia menjadi panutan bagi umat Katolik lainnya.
Ketika imam dari Tiongkok, Pastor Yakobus Zhou Wen-mo datang ke Korea pada akhir tahun 1794, Agustinus jeong sering bepergian ke Seoul untuk menemui dia dan menerima sakramen. Dia sangat berkomitmen untuk membantu Pastor Yakobus Zhou dan umat beriman melalui urusan Gereja. Berdasarkan pengetahuannya yang luas mengenai Katekismus, dia menulis dua jilid “Jugyo-yoji”, sebuah Katekismus berbahasa Korea yang mudah dipahami oleh setiap orang. Bukunya yang disetujui oleh Pastor Yakobus Zhou, kemudian disebarluaskan kepada umat beriman.
Sementara itu Pastor Yakobus Zhou membentuk ‘Myeongdohoe’, sebuah komunitas umat awam, dan menunjuk Agustinus Jeong sebagai ketua yang pertama.
Pada tahun 1800, dia dan keluarganya pindah ke Seoul, karena penganiayaan mulai terjadi di wilayah yang bertetangga. Namun, pada tahun berikutnya, ketika Penganiayaan Shinyu terjadi pada tahun 1801, seluruh Gereja Katolik di Korea berada dalam bahaya.
Tak lama setelah penganiayaan terjadi, nama Agustinus Jeong berada dalam daftar nama orang yang dicari oleh polisi, dan bukunya dikirim ke kantor pemerintahan. Istana memerintahkan untuk segera menangkapnya. Pada tanggal 11 Februari 1801 menurut penanggalan Lunar, dia ditangkap dan dibawa ke Mahkamah Agung.
Pada hari berikutnya, Agustinus Jeong harus melalui berbagai interogasi dan hukuman. Walaupun demikian, pada awalnya dia suda memutuskan untuk mati bagi Tuhan, sehingga seluruh godaan dan siksaan menjadi tak berguna. Dia tak berkata apapun yang membahayakan Gereja dan umat beriman. Dia hanya mencoba menjelaskan bahwa doktin Katolik itu baik dan benar.
“Tak ada yang salah dengan menyembah Tuhan, tapi itu adalah sesuatu yang baik dan tepat. … Tuhan adalah ‘Raja Agung kami dan Bapa yang Mahabesar pemilik Surga dan Bumi’. Jika kami tidak mengerti alasan mengapa kami menyembah Tuhan, kami adalah orang berdosa di bawah kolong langit, dan walaupun kami hidup tetapi kami adalah orang mati.”
Penganiaya mencoba berbagai cara untuk membuat Agustinus Jeong menyerah, namun imannya tak tergoyahkan, dan ajaran Katolik yang dia wartakan membuat mereka kebingungan.
Akhirnya, istana menerima hukuman mati yang diajukan oleh Departemen Hukum. Akibatnya, hanya lima belas hari setelah penangkapannya, Agustinus Jeong dibawa keluar Pintu Gerbang Kecil Barat di Seoul untuk dieksekusi. Pada saat gerobak siap membawa dia ke tempat eksekusi, dia menaikinya dan berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya dengan suara nyaring:
“Saudara dan saudari, janganlah menertawakan kami. Kami percaya bahwa suatu hal yang wajar bagi semua orang yang lahir di dunia, untuk mati bagi Tuhan. Pada hari penghakiman terakhir, air mata kita akan diubah menjadi kebahagiaan yang murni, dan tertawaan bahagia kalian akan berubah menjadi penderitaan yang pahit.”
Tak lama setelah tiba di tempat eksekusi, pemenggalan dimulai. Agustinus Jeong menyerahkan nafas terakhirnya kepada tangan Tuhan dengan berkata, “Lebih baik mati dengan menengadah ke langit daripada hidup dengan kepala tertunduk ke bumi.” Pada saat itu 8 April 1801 (26 Februari pada penanggalan Lunar), dan dia berusia 41 tahun.
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 2 November 2014, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 12 Comments.
Pingback: Beato Petrus Jo Yong-sam | Terang Iman
Pingback: Beato Fransiskus Xaverius Hong Gyo-man | Terang Iman
Pingback: Beato Fransiskus Choe Bong-han | Terang Iman
Pingback: Beato Leo Hong In | Terang Iman
Pingback: Beato Simon Hwang Il-gwang | Terang Iman
Pingback: Beato Filipus Hong Pil-ju | Terang Iman
Pingback: Beato Paulus Yi Guk-seung | Terang Iman
Pingback: Beata Bibiana Mun Yeong-in | Terang Iman
Pingback: Beato Karolus Jeong Cheol-sang | Terang Iman
Pingback: Santo Paulus Chong Ha-sang | Terang Iman
Pingback: Santa Cecilia Yu So-sa | Terang Iman
Pingback: Santa Elisabeth Chong Chong-hye | Terang Iman