[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beata Barbara Sim Jo-i
Profil Singkat
- Tahun lahir: 1813
- Tempat Lahir: Incheon, Gyeonggi-do
- Gender: Wanita
- Posisi/Status: Keluarga kelas bangsawan
- Usia: 26 tahun
- Tanggal Kemartiran: 11 November 1839
- Tempat Kemartiran: Jeonju, Jeolla-do
- Cara Kemartiran: Meninggal dalam tahanan
Barbara Sim Jo-i lahir pada sebuah keluarga bangsawan di Incheon. Dia menikah dengan Thomas Hong Bong-ju ketika dia berusia 20 tahun. Lukas Hong Nak-min yang menjadi martir pada tahun 1801 adalah kakek mertuanya dan Protasius Hong Jae-yeong yang ditangkap bersamanya dan menjadi martir pada tahun 1840 adalah ayah mertuanya. Suaminya Thomas menjadi martir pada tahun 1866.
Barbara Sim bukan seorang yang cerdas, sehingga sekalipun dia berusaha, dia tidak dapat mempelajari Katekismus kecuali hal-hal yang mutlak. Namun, dia memiliki iman yang kuat dan bersemangat untuk melakukan amal kasih dan membantu orang lain.
Ketika Penganiayaan Gihae terjadi pada tahun 1839, Barbara Sim tinggal di Gwangju, Jeolla-do karena ayah mertuanya diasingkan disana. Dia membuka rumahnya bagi banyak umat beriman yang melarikan diri dan sedang bersembunyi dari penganiayaan, dan dia melayani mereka dengan murah hati. Dia tidak pernah mengeluh, dia mengabdikan dirinya untuk membantu mereka dengan menyediakan makanan dan pelayanan yang diperlukan. Dia tidak pernah mengungkapkan kelelahannya.
Barbara Sim ditangkap bersama dengan ayah mertuanya dan umat beriman lainnya. Mereka dibawa ke kantor gubenur di Jeonju. Ketika dia ditangkap dan diinterogasi, dia terlihat tenang dan damai. Walaupun dia seorang yang lemah dan kesehatannya tidak baik, dia tidak pernah menunjukkan ketakutan akan siksaan yang dilakukan dan teriakan dari kepala petugas.
Barbara Sim dimasukkan ke dalam penjara setelah disiksa berkali-kali. Walaupun dia disiksa dengan kejam, dia tidak pernah mengerang, namun dia menahan semuanya itu dengan berani. Hukuman yang paling menyakitkan baginya adalah melihat anaknya yang berusia dua tahun perlahan-lahan sekarat karena kelaparan dan penyakit. Dia mengatasi penderitaan ini dengan kekuatan iman.
Gubernur Jeolla-do, menyadari bahwa dia tidak akan mengubah pikirannya, menjatuhi hukuman mati kepadanya. Namun, Tuhan tidak berkehendak Barbara Sim hidup sampai hari eksekusinya. Dia menderita disentri karena hukuman berat dan kondisi penjara yang buruk. Ketika dia mengetahui bahwa kematiannya sudah dekat, dia mempersiapkan dirinya untuk menyambut saat-saat terakhir hidupnya dengan sungguh-sungguh.
Pada saat itu tanggal 11 November 1839 (6 Oktober pada penanggalan Lunar), dia meninggal sebagai martir di dalam penjara. Pada saat itu Barbara Sim berusia 26 tahun.
Beberapa jam kemudian, putranya juga meninggal. Berikut ini adalah kutipan dari surat yang dikirimkan Gubernur Jeolla-do kepada istana:
“Kim Jo-i mempelajari iman Katolik dari ayah mertuanya. Dia menyatakan bahwa ajaran Katolik adalah doktrin yang benar dan bahkan dia melepaskan hubungan suami-istrinya. Dia ingin mati dengan berkata bahwa kematian berarti ‘kenaikan jiwa ke Surga.’ Dia dibimbing dalam ajaran Katolik selama tujuh tahun. Dia berkata bahwa dia tidak dapat mengabaikan janjinya di hadapan salib dan dia tidak akan pernah menyerah dari imannya akan Tuhan, bahkan jika dia harus membayarnya dengan kematian.”
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 30 April 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0