[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beata Brigita Choe
Profil Singkat
- Tahun lahir: 1783
- Tempat Lahir: Chungcheong-do
- Gender: Wanita
- Posisi/Status: Janda
- Usia: 56 tahun
- Tanggal Kemartiran: 8 atau 9 Desember 1839
- Tempat Kemartiran: Wonju, Gangwon-do
- Cara Kemartiran: Digantung
Brigita Choe menjadi seorang Katolik bersama dengan suaminya sebelum terjadi Penganiayaan Shinyu pada tahun 1801. Suaminya ditangkap ketika Penganiayaan Shinyu karena telah menyembunyikan Alexius Hwang Sa-yeong di dalam rumahnya dan kemudian dia diasingkan. Dia mengikuti suaminya ke tempat pengasingan. Yohanes Choe Hae-seong yang menjadi martir pada tahun 1839 di Wonju adalah keponakannya.
Suami Brigita Choe jatuh sakit ketika dalam pengasingan dan kemudian meninggal. Dia membaptis suaminya karena tidak ada umat Katolik lain disana. Ketika dia melakukan Sakramen Baptis kepada suaminya yang sedang sekarat, dia berkata kepada dirinya sendiri, ‘Jika suami saya pulih dari sakitnya kami akan hidup seperti kakak beradik.’ Namun, suaminya meninggal dan dia tidak memiliki seorangpun untuk diandalkan. Sehingga dia pergi dan tinggal bersama dengan kakaknya. Kakaknya adalah ayah dari Yohanes Choe yang menjadi martir pada tahun 1839.
Pada tahun 1839, ketika Penganiayaan Gihae terjadi, Yohanes Choe membantu keluarganya untuk melarikan diri. Yohanes Choe ditangkap oleh polisi ketika dia pergi ke rumahnya untuk membawa buku-buku Katolik dan dia dipenjarakan di Wonju. Pada saat itu Brigita Choe mendengar kabar bahwa keponakannya Yohanes Choe telah ditangkap, sehingga dia pergi ke penjara dan dia berpikir bahwa dia dapat melihat Yohanes Choe tanpa kesulitan. Namun petugas menemukan dia. Petugas itu bertanya kepada dia tentang siapa dirinya, Brigita Choe menjawab; “Saya ibu dari Yohanes Choe. Saya datang untuk menemui putra saya.” Kemudian mereka berkata, “Itu berarti Anda juga seorang Katolik?” Dia menjawab, “Betul, saya seorang umat beriman.” Kemudian mereka berkata, “Jika Anda tidak menyerah dari agama itu, Anda tidak diperkenankan untuk menemui putra Anda atau anda pergi dari sini.’ Namun Brigita menolak untuk menyangkal agamanya, dan dia berkata:
“Walaupun saya mungkin mati tanpa melihat putra saya, saya tidak dapat mengkhianati Tuhan kami. Tak seorangpun yang mengkhianati Tuhan.”
Setelah mendengar perkataan ini, petugas mengumumkan bahwa Brigita Choe adalah seorang pendosa, dan petugas memerintahkan agar dia disiksa. Dia tidak menyerah namun menahan seluruh rasa sakitnya. Mereka memerintahkan agar dia dipenjarakan dan dia dibuat mati kelaparan.
Walaupun mereka meninggalkan Brigita Choe kelaparan, dia tidak mati. Empat bulan yang menyakitkan di penjara berlalu dan Brigita masih hidup. Melihat hal ini, petugas memerintahkan sipir penjara untuk membawa berita kematiannya dalam tiga hari. Sipir penjara mengetahui bahwa mereka tidak dapat membuatnya mati kelaparan dalam tiga hari, sehingga pada malam itu mereka memasuki sel penjaranya dan mencekik dia sampai mati. Pada saat itu tanggal 8 atau 9 Desember 1839 (3 atau 4 November pada penanggalan Lunar). Brigita Choe pada saat itu berusia 56 tahun.
Ketika Brigita Choe menjadi martir, ibu dari sipir penjara pergi untuk mengunjungi seorang Katolik di penjara dia berkata, “Brigita pasti pergi ke Surga. Ketika dia dicekik sampai mati, kami melihat cahaya dari tubuhnya naik ke Surga.”
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 2 May 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0