[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beato Stefanus Kim Won-jung
Profil Singkat
- Tahun lahir: Tidak diketahui
- Tempat Lahir: Jincheon, Chungcheong-do
- Gender: Pria
- Posisi/Status: Umat awam
- Usia: Tidak diketahui
- Tanggal Kemartiran: 16 Desember 1866
- Tempat Kemartiran: Gongju, Chungcheong-do
- Cara Kemartiran: Digantung
Stefanus Kim Won-jung yang tinggal di Balaegi, Jincheon, Chungcheong-do (sekarang, Myeongam-ri, Baekgok-myeon, Jincheon-gun, Chungbuk) adalah seorang yang memiliki sifat yang baik dan lembut dan imannya kepada Tuhan terkenal di antara umat Katolik. Sepupunya yaitu Petrus Kim Seon-hwa tinggal bertetangga dengannya.
Ketika Penganiayaan Byeongin terjadi ada tahun 1866, kantor pemerintahan Jincheon diberitahukan tentang umat Katolik di Baleagi. Kepala petugas mengirimkan sebuah pesan untuk mereka dan memerintahkan agar mereka “Menyerahkan seluruh buku Katolik ke kantor pemerintahan sebagai tanda bahwa mereka akan meninggalkan agama mereka dan menyerahkan diri kepada polisi.” Setelah peringatan ini, banyak umat Katolik di Baleagi yang merasa terkejut dan ketakutan membawa buku-buku merekakepada kepala petugas dan mereka berjanji untuk tidak lagi percaya kepada agama mereka lagi.
Namun demikian, Stefanus Kim menolak untuk manaatinya dengan berkata, “Saya seorang Katolik. Bagaimana mungkin untuk menyangkal Gereja Katolik?” Dia juga menolak untuk menyerahkan buku-bukunya dan menghadap polisi. Setelah mendengar berita ini, umat Katolik juga termasuk orang yang bukan umat beriman di Baleagi menyalahkan dia akibat bahaya yang mungkin terjadi kepada mereka. Stefanus Kim menerima seluruh tuduhan dan cercaan mereka.
Pada tanggal 10 November 1866 (4 Oktober pada penanggalan Lunar), pihak berwajib mengirimkan pesan lain dan memerintahkan agar seluruh umat Katolik di Baleagi hadir di kantor pemerintahan. Stefanus Kim berkata kepada umat Katolik; “Jika kita pergi, kita semua akan mati. Hanya mereka yang memiliki iman yang cukup kuat untuk mati bagi Tuhan harus pergi.”
Pada hari berikutnya, ketika pilisi datang, sepuluh orang diantara umat Katolik di Baleagi termasuk Stefanus Kim, menyerahkan diri mereka dan ditangkap di tempat. Di kantor pemerintahan, kepala petugas bertanya kepada mereka demikian “Milik siapakan buku-buku yang dibawa ke sini beberapa hari yang lalu?” Stefanus Kim menjawab, “Buku-buku itu kepunyaan saya.” Walaupun dia tidak membawa buku apapun. Tak lama kemudian, polisi memenjarakan dia. Namun semuanya berjanji untuk meninggalkan agama mereka, kecuali seorang katekis Sin Seong-sun dan dua orang lainnya.
Kantor pemerintahan Jincheon memenjarakan mereka selama 25 hari dan pada tanggal 6 Desember (30 Oktober pada penanggalan Lunar), mereka dipindahkan ke Gongju. Stefanus Kim menulis surat untuk adiknya sebelum dia dipindahkan ke Gongju; “Saya bersiap-siap untuk mati bagi Tuhan. Berusahalah untuk menjadi seorang Katolik yang setia. Mari kita bertemu di Surga.”
Kepada istrinya dia menulis: “Kita semua adalah ciptaan Tuhan. Rawatlah anak-anak dengan baik, dan taatlah kepada Tuhan baik siang maupun malam. Setelah kematian, mari kita bertemu di Surga. Saya tidak memiliki kelayakan untuk mati sebagai martir, namun saya percaya kepada Tuhan dan berharap untuk pergi ke Surga. Jangan berharap untuk bertemu dengan saya lagi di dunia ini.”
Gubernur Gongju langsung memenjarakan Stefanus Kim dan teman-temannya. Tidak diketahui hukuman apa yang diberikan kepada mereka.Namun demikian, yang jelas mereka semua menyatakan imannya sampai akhir. Mereka digantung dan menjadi martir pada tanggal 16 Desember 1866 (10 November pada penanggalan Lunar).
Adik dari Stefanus Kim datang ke Gongju untuk mencari jenazah keempat martir itu dan memakamkan mereka di tempat yang layak.
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 24 May 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0