[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Santa Agatha Chon Kyong-hyob

Agatha Chon Kyong-hyob (Sumber: cbck.or.kr)
Agatha Chon Kyong-hyob (1790-1839) lahir di Seoul dari pasangan pagan. Ketika dia masih muda, ayahnya meninggal dan setelah itu dia hidup dengan kondisi yang sangat miskin. Seorang wanita istana yang bernama An Hyong-gwang membantu Agatha dan dia tinggal bersama wanita itu. Beberapa tahun kemudian, kakak laki-laki Agatha berusaha supaya Agatha menikah, namun wanita istana itu tidak memperbolehkannya pergi. Agatha juga terdaftar sebagai wanita istana. Dia menjadi Katolik karena pengaruh dari Lusia Pak, salah seorang wanita istana lainnya. Setelah Lusia pergi dari istana supaya bisa lebih bebas menjalani kehidupan beriman, Agatha juga berpura-pura sakit dan meninggalkan istana karena dia berpikir bahwa kehidupan yang mewah di istana dapat menghambat kehidupan rohaninya. Sejak saat itu, Agatha tinggal bersama Lusia, membaktikan dirinya dalam doa, membaca renungan dan kebajikan. Orang-orang mengagumi dia, dan dia mempertobatkan banyak dari mereka ke agama Katolik. Dia tidak mengeluh bahkan dalam kondisi yang sangat miskin dan kesehatannya buruk. Dia hanya menunggu untuk ditangkap.
Ketika dia ditangkap, dia disiksa semakin kejam karena dia pernah menjadi wanita istana. Kepala polisi menginterogasi dia.
“Bagaimana mungin sebagai wanita istana, mempercayai ajaran sesat?”
“Agama saya bukanlah ajaran sesat, karena saya percaya kepada Allah sebagai Pencipta para malaikat, manusia dan segala sesuatu.”
Karena kepala polisi tidak dapat membuat Agatha menyangkal agamanya, kepala polisi itu mengirimkan dia ke pengadilan yang lebih tinggi di mana dia diinterogasi lagi.
“Suatu kejahatan yang lebih besar bagi seorang wanita istana yang percaya akan ajaran sesat. Sangkal Tuhanmu dan beritahu keberadaan umat Katolik dan tempat buku-buku Katolik disembunyikan.”
“Saya tidak dapat melakukannya bahkan jika saya harus mati sepuluh ribu kali.”
Dia dipukuli dengan sangat kejam sehingga dagingnya terkoyak, tulang-tulangnya patah dan darahnya bercucuran ke tanah, namun dia tidak menyerah. Bahkan mereka yang bukan Katolik mengagumi keberaniannya.
Kakak laki-laki Agatha adalah seorang pagan dan juga seorang pejabat tinggi pemerintahan. Dia takut kehilangan dukungan raja, dan dia berusaha keras supaya Agatha meninggalkan agamanya. Namun, Agatha tidak mau murtad bahkan dari permohonan kakaknya itu. Kakaknya berusaha membunuhnya. Dia mengirimkan sebuah kue telur beracun kepada adik perempuannya yang berada di penjara. Karena merasa curiga, Agatha menusuk kue itu dengan jepit rambut. Jepit rambut itu berubah warna seketika menyentuh kue itu, sehingga dia tidak memakannya. Kemudian kakaknya menyuap algojo yang berpangkat paling tinggi untuk memukul Agatha sampai mati. Namun, algojo itu tidak berhasil membunuhnya. Keponakan Agatha yaitu putri dari kakaknya berkata bahwa sungguh suatu mukjizat bahwa luka-luka bibinya itu bisa sembuh total dalam satu hari saja. Agatha mendengar bahwa kakaknya meminta supaya dia harus berada di penjara secara permanen. Dia berdoa supaya dapat dipenggal karena imannya. Keinginannya terwujud.
Agatha dipenggal seperti yang dia inginkan, di luar Pintu Gerbang Kecil Barat para tanggal 26 September 1839, bersama dengan delapan umat Katolik lainnya. Pada saat itu, dia berusia 53 tahun.
Sumber: cbck.or.kr
Posted on 17 June 2016, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0