Pelecehan Liturgi dan Korupsi Moral
Oleh Birgit Jones
Pelanggaran batas tentang pelecehan liturgi di dalam Gereja adalah perdebatan panjang yang diperdebatkan oleh berbagai kalangan dalam anggota Tubuh Kristus. Selain itu, berbagai perbedaan pemikiran tentang Misa bentuk biasa dan bentuk luar biasa, tentang Semangat Konsili Vatikan II yang membawa kesempatan yang memecah belah yang tidak seperti Konsili-konsili lainnya. Kembali ke masa lampau, umat awam tidak bisa menelitinya di internet seperti saat ini, sekarang kita bisa mengandalkan internet untuk menelitinya. Pada saat ini kutipan dan dokumen lengkap Vatikan bisa didapatkan semudah mengklik tetikus, hal ini tidak bisa dilakukan pada masa lalu. Karena itu semuanya berubah, setiap pembaruan memiliki pemerhatinya masing-masing. Mereka yang mencari kreativitas dan merendahkan makna liturgi hanya melakukan apa yang mereka lakukan. Bertahun-tahun penghormatan kepada otoritas membangun sikap menerima yang hampir bersifat otomatis (sifat menerima begitu saja terhadap pelanggaran liturgi –red.). Hanya sedikit umat mempertanyakannya.
Melalui Pandangan Baby Boomer1
Kurangnya keinginan bertanya, tapi bukan berarti secara total menerimanya. Waktu hanya mendikte rasa hormat akan suara otoritas. Enam dasawarsa saya sebagai seorang Katolik, namun demikian telah memastikan posisi saya dalam suatu debat. Setelah menjadi bagian dalam perdebatan, meskipun menjadi bagian orang muda dari Gereja ‘paska’ (Gereja Paska Konsili Vatikan II –red.), ingatan saya membagikan tentang sejarah itu.
Pada Misa di paroki yang diikuti oleh anak-anak sekolah, kami para wanita muda mengenakan kupluk dan bolero renda dengan baju seragam sekolah kami. Kami tidak pernah mempertanyakan hal itu kepada para suster ataupun melawan sikap kepatuhan itu. Hal itu dipahami seperti membungkuk dan berlutut untuk menerima Dia di lidah. Sebagai ciptaan-Nya, kita berutang hormat kepada Dia – baik ke dalam (batiniah –red.) maupun ke luar (jasmaniah –red.). Menunjukkan penghormatan yang pantas kepada Sang Pencipta Kita bergantung pada persepsi dan penerimaan.
Sebagai seorang Katolik muda, saya masih ingat dengan jelas Misa yang saya ikuti dengan menggunakan gitar. Ketika mendengar dentingan suara gitar, tak terasa air mata sudah menggenang di mata saya dan air mata itu sangat menyakitkan dan berkecamuk sampai di tenggorokanku, karena saya merasakan kurangnya sikap hormat. Terbiasa dengan lagu pujian yang dimainkan dengan organ pipa, seluruh diriku memberontak.
Sebagai seorang remaja, saya mendengar tentang para imam yang mengenakan celana jean dan sandal menolak untuk membicarakan tentang dosa dan neraka. Mereka menampilkan lagu yang diiringi gitar tentang kedamaian dan cinta pada kelompok-kelompok anak muda tahun 70-an. Pada saat itu, menjadi masa bagi diri saya untuk merasa bahwa hal itu baik-baik saja dan mengikuti arus.
Pelecehan Liturgis Menyebabkan Ketidaksopanan
Seseorang tidak bisa membantunya namun bisa memperhatikannya, dengan meninggalkan tradisi, sebuah sikap yang tidak pantas dan asal-asalan lahir. Pada zaman dahulu, ada norma yang berlaku tentang adanya pengakuan dosa mingguan. Dari waktu ke waktu, banyak orang yang tidak menyambut Komuni Suci. Tidak seperti sekarang ini, kita bisa melihat sikap yang merasa berhak (menerima Komuni Suci –red.). Walaupun saat ini, pengakuan dosa berada pada titik terendah sepanjang masa, penyambutan Ekaristi dilakukan oleh hampir semua umat pada setiap Misa. Seseorang bertanya-tanya apa hasil dari semangat Amoris Laeteia, di mana persyaratan untuk menerima Ekaristi Kudus sedang diperdebatkan di antara para uskup – seringkali berdasarkan interpretasi pribadi.
Istilah pribadi ‘orang Katolik bayi dan orang Katolik ‘progresif’ telah membuat semacam tempat komentator (perdebatan di media publik –red.) dalam menanggapi panggilan untuk sikap yang lebih hormat. Kapanpun ada tulisan tentang kerinduan akan kesalehan liturgi, lagu pujian yang benar secara teologis, pakaian yang pantas, dan ketaatan akan dokumen resmi Gereja (PUMR), maka cepat sekali keluar komentar yang tidak baik. Komentar-komentar yang isinya menghakimi, legalistik (terlalu taat aturan dan yang penting hatinya –red.), menganggap pemikiran seseorang sempit.
Dengan sedikitnya katekese, kita lebih terbuai dengan dongeng gadis miskin (semacam kisah Cinderella –red.). Yang mana katekese itu dimatikan oleh anggapan sebagai pemaksaan untuk melakukan sikap sopan / dicap sebagai polisi liturgi karena mereka tidak dapat membeli sesuatu selain rok mini dan kaos yang terlihat perutnya.
Bahkan sekarang, bagaimanapun juga, pencarian akan kerendahan hati di hadapan Pencipta kita membuat beberapa dari kita untuk menggunakan kembali devosi tidak wajib dengan menggunakan kerudung (mantilla –red). Hal ini seringkali disalahartikan, tradisi yang dilakukan secara sukarela yang mempersembahkan cara jasmaniah yang indah yang menyatakan Martabat Raja Kristus. Kami melakukannya, bukan untuk kesombongan, namun karena kebutuhan kami yang sebenarnya untuk menghormati – untuk menangkap kembali apa yang telah hilang dari umat yang berfokus pada diri mereka sendiri. Justru, kami menghadapi cercaan (karena menggunakan mantilla –red.).
Dan lagu-lagu pujian yang berisikan tentang ungkapan syukur secara pribadi (lagu rohani kontemporer atau lagu pujian non-liturgis –red.) itu sangat baik dan membuat diri Anda ‘merasa baik’. Jika liturgi tidak diikuti dengan baik dan seseorang mengungkapkan kekecewaannya, mereka segera dicap sebagi orang Farisi dan dituduh lebih memperhatikan tata cara daripada Yesus sendiri. Bagaimanapun juga, Yesus adalah Allah Manusia yang mengasihi dan terbuka kan? Dia tidak pernah menganggap serius atau menghukum mereka yang meremehkan rumah Bapa-Nya. Tunggu! Dia pernah melakukannya! Ingat ketika Dia membalikkan meja-meja di Bait Alah dan juga dalam perumpamaan tentang tamu undangan perjamuan kawin untuk mengenakan pakaian yang tepat? (bdk. Mat 22:1-14 –red.)
Bahaya Pelecehan Liturgi
Sebenarnya para klerus, termasuk para paus, seringkali menekankan tentang disposisi yang tepat dan kepantasan. Paus Benediktus XVI yang terkenal mengatakan bahwa “Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius” (terjemahan katolisitas.org).
Hal ini bukanlah hal yang spontan terjadi dan bukan hal yang harus dipandang enteng. Intinya adalah bahwa beliau ingin bahwa umat yang ada di bangku gereja supaya ingat bahwa penyembahan itu bukan secara horizontal (manusia kepada manusia), namun yang benar adalah secara vertikal (manusia kepada Allah). Ketika kita bernyanyi tentang diri kita sendiri dan betapa pentingnya diri kita itu, ketika para imam kita berdoa spontan itulah Perjamuan Anak Domba – Surga di atas Bumi – Misa, ketika umat beriman datang dengan baju ke pantai daripada menggunakan pakaian pesta perjamuan kawin anak Domba – maka mereka sudah salah menempatkan pemikiran kita tentang Yesus sebagai sahabat dengan melupakan bahwa Yesus juga adalah Raja.
“Setidaknya kita membutuhkan suatu kesadaran liturgi yang baru, untuk menyingkirkan semangat kreasi yang seenaknya. Segala sesuatunya telah berjalan sehingga kelompok-kelompok liturgi hari Minggu menyatukan liturgi untuk diri mereka sendiri … Saat ini yang paling penting adalah bahwa kita harus mendapatkan kembali rasa hormat akan liturgi dan kenyataan bahwa liturgi bukan untuk dimanipulasi.” Paus Benediktus XVI
Misa bukanlah suatu tinjauan umum ataupun blueprint yang mana manusia bisa membangun perayaan menurut dirinya sendiri. Misa sama sekali bukan tentang kita. Misa adalah penyembahan. Inilah manusia yang datang kepada Allah, dan memperkuat imannya melalui intruksi Ilahi.
“Ketika Anda belajar teologi, niat Anda bukan untuk mempelajari ilmu dagang tapi untuk memahami iman, dan dengan pengandaian ini, seperti yang kita katakan beberapa waktu lalu dengan mengunakan kata-kata Agustinus, bahwa iman itu benar, dalam kata lain, iman membuka pintu untuk mengoreksi pemahaman tentang hidup Anda sendiri, dunia dan umat manusia.” Paus Benediktus XVI
Belajar Liturgi
Dalam memahami Liturgi Ilahi, Kurban Misa Kudus adalah dari Allah, dan kita harus keluar dari diri kita sendiri. Melalui Gereja dan Tradisi Suci, Misa secara khusus dikoreografi oleh “Seseorang” yang lebih besar dari kita. Ketika kita gagal untuk mengenali ini dan berusaha untuk membuat kembali liturgi berdasarkan preferensi manusia, kita menolak bahwa liturgi itu adalah milik Allah. Dalam kerendahan hati kita setuju kepada “Kuasa Yang Lebih Tinggi”, namun dalam kesombongan kita membuatnya menjadi milik kita. Inilah cara pikir yang salah arah yang kemudian akan membawa seseorang kepada penolakan akan kewajiban kita untuk hidup seturut kehendak-Nya.
“Tidak ada pertanyaan dalam pikiran saya tentang pelanggaran dalam liturgi suci, mengurangi liturgi suci dengan menambahkan sejenis aktivitas manusia, sangat jelas sekali berkorelasi dengaan banyaknya korupsi moral dan katekese yang asal-asalan yang telah membuat kita terkejut dan telah membuat generasi-generasi Katolik yang tidak siap untuk menghadapi tantangan-tantangan saat ini, yang seharusnya mereka bisa mengatasi masalah-masalah itu dengan iman Katolik.” Raymond Kardinal Burke
Kardinal Raymond Burke dalam komentarnya sebagai Prefek Mahkamah Agung Signatura Apostolik, lebih jauh lagi membagikan pandangannya bahwa penyembahan kepada Allah sangat penting terhadap kehidupan moral. Beliau melanjutkan pembicaraannya bahwa “Anda dapat melihatnya dalam keseluruhan kehidupan Gereja”. Sudah terbukti “katekese yang asal-asalan” telah “mengejutkan” dan membuat generasi-generasi Katolik yang tidak siap untuk menghadapi tantangan-tantangan zaman ini.
Ketaatan Liturgis mendatangkan Kepatuhan Umum
Sebagai warga dari negara demokrasi yang berpikiran independen, kita orang Amerika cenderung untuk menerapkan cara pikir terhadap kehidupan secara umum – dan menerapkannya secara khusus dalam Misa. Sulit untuk mengubah cara pandang seseorang dari kemandirian menjadi ketergantungan. Namun, jika kita memasuki kerajaan-Nya di Kehidupan Kekal, cara pandang kita harus berubah. Keputusan kita dan cara menjalani kehidupan kita sendiri. Inilah karunia yang bernama Kehendak Bebas. Dalam mengejar tujuan kita di dunia, kita diingatkan lagi untuk taat kepada Yang Maha Besar.
Inilah pilihan kita, namun setiap pilihan ada harga yang harus dibayar – jika kita memilih untuk bebas, kita tidak akan memiliki hasil kekal yang dikehendaki. Pilihan kita secara harfiah berarti kematian. Sementara itu, kebebasan duniawi mungkin tampak menarik, tapi akan lebih bijaksana untuk mempertimbangkan manfaat dari ketaatan. Bahkan dalam ukuran terkecil sekalipun yang dapat membangun sikap bakti yang luar biasa kepada Allah.
“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Luk 16:10)
Catatan kaki:
[1] Orang-orang yang lahir setelah Perang Dunia II, ketika pada saat itu terjadi lonjakan tingkat kelahiran
Posted on 12 December 2018, in Ekaristi and tagged Liturgi, Mantilla, Paus Benediktus XVI. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0