[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Mengapa Misa Katolik Sama Setiap Minggunya?
Oleh David G. Bonagura, Jr.

Perayaan Ekaristi foto oleh Jeffrey Bruno (Sumber: aleteia.org dan Instagram)
Dalam liturgi, hati berbicara dengan kuat, namun juga sekaligus pikiran kita menuntunnya …
Walaupun kita mencintai Misa dengan sedemikian rupa, ritual yang diulang-ulang dalam hitungan hari (atau minggu) bisa menyebabkan perasaan bosan. Bahkan, beberapa umat Katolik telah meninggalkan Gereja demi mengikuti ibadah yang “lebih hidup” dan juga lebih emosional di komunitas-komunitas Protestan.
Namun umat Katolik tetap menghargai ritual dalam Misa kita. Jika kita memahami liturgi, kita bisa mulai untuk memahami alasannya.
Ritual adalah suatu bentuk pemujaan yang bersifat tetap dan berulang, dan itulah pusat dari agama Katolik. Meminjam istilah dari Joseph Ratzinger (Paus Emeritus Benediktus XVI) karena melalui Misa kita diingatkan kembali bahwa ketika menyangkut Allah dan iman, “kita sendiri tidak menciptakannya namun menerimanya sebagai anugerah.”
Yang pasti, tidak ada kreasi atau ekspresi emosi yang diciptakan manusia yang bisa menyamai kekuatan dan keagungan Misa Katolik, yang merupakan anugerah yang kita terima dari Kristus sendiri untuk tujuan tertentu yang memberikan kita cara yang paling sempuna untuk menghormati Allah.
Iman ada karena Allah memulai suatu hubungan dengan kita, maka sudah sepantasnya pula jika Allah memprakasasi bentuk ibadat yang Ia kehendaki dari kita melalui pengorbanan diri Perjamuan Malam Ekaristis dan di kayu salib yang dipersembahkan oleh Putera-Nya. Kemudian emosi manusia lahir dengan perasaan kagum dan syukur yang rendah hati atas anugerah yang begitu agung ini.
Misa, sebagaimana tradisi liturgis sakramen lainya dan doa ofisi (ibadat harian), telah berkembang secara langsung dari pelayanan Kristus dan para rasul-Nya. Bentuk ibadat dan kata-kata yang spesifik telah berubah selama berabad-abad, namun terlapas dari lokasi dan bahasa, inti dari setiap perayaan liturgis tetap sama, dan masing-masing ibadat itu membawa kembali kepada sumber iman kita.
Oleh karena itu, Ratzinger menjelaskan bahwa ritual liturgis “dihindari dari kontrol individu, komunitas lokal, atau Gereja setempat. Bukan bersifat spontanitas dari intinya. Dalam ritual ini, saya menemukan bahwa ada sesuatu yang mendekati saya yang tidak saya ciptakan oleh diri saya sendiri, yang mana saya memasuki sesuati yang lebih besar daripada diri saya sendiri, yang pada akhirnya berasal dari wahyu ilahi.”
Keputusan untuk memasuki liturgi Katolik menjelaskan peran dari perasaan dalam ibadat dan peran individu umat beriman dalam Gereja. Romano Guardini mengajarkan bahwa doa “tentu saja adalah mengangkat hati kepada Allah.’ Namun hati itu harus dipimpin, ditopang, dan dimurnikan melalui pikiran … Doa itu berdaya guna ketika doa itu bersandar pada landasan kebenaran.”
Sama seperti sikap setuju yang mengambil prioritas dari perasaan dalam kehidupan beriman, penyembahan dan doa yang merupakan cara kita mengungkapkan dan memanifestasikan iman kita kepada Allah, juga mengikuti alur yang sama.
Ini bukanlah cara yang mengatakan bahwa perasaan tidak memiliki tempat dalam liturgi, karena sebagaimana yang Guardini tambahkan dalam pembicaraannya bahwa “Ibadat Gereja itu penuh dengan perasaan yang mendalam, emosi yang intens, dan kadang-kadang penuh semangat. … Tetapi sebagaimana aturan itu dikendalikan dan dikuasai. Hati berbicara dengan kuat, namun juga sekaligus pikiran kita menuntunnya.”
Ketika liturgi mengulangi sebagian besar kata-kata yang sama hari demi hari, tahun demi tahun, abad demi abad, emosi yang menguasai kita ini menghantam kita dengan cara yang berbeda, terkadang dengan lembut, dan terkadang tidak sama sekali.
Namun bukan emosi ini yang membentuk liturgi, tapi tindakan Allah sendiri, dan komitmen kita kepada-Nya daripada perasaan kita kepada-Nya, itulah yang membentuk liturgi.
Guardini mengingatkan kita bahwa “liturgi bukan sekadar peringatan dari apa yang pernah ada, tetapi liturgi itu hidup dan nyata, liturgi adalah kehidupan kekal Kristus dalam diri kita, dan itulah yang mereka yang percaya kepada Kristus, Allah dan manusia yang kekal.”
Dalam baptisan, Kristus menjadikan kita sebagai bagian Tubuh-Nya yakni Gereja, jadi melalui liturgi, kita berjumpa dengan Allah yang hidup bersama-sama dengan umat beriman bukan sebagai individu, namun sebagai anggota dari Tubuh yang satu. Guardini melanjutkan demikian, individu harus berusaha untuk menjadi bagian tubuh ini dan dengan demikian memerlukan usaha yang rendah hati dalam bagiannya: “Individu harus mengesampingkan dirinya sendiri, dan hidup dengan dan demi sesama, berkorban kepada komunitas sesuai dengan kemampuan dan kebebasannya masing-masing.”
Tindakan pengorbanan diri sendiri dari suatu individu memampukan individu itu melampaui batasnya sendiri demi menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan “dalam melakukan hal itu, seseorang tidak ditelan dan menjadi hilang dalam mayoritas; namun sebaliknya, dia menjadi lebih mandiri, penuh, dan fleksibel” karena umat beriman menjadi lebih dekat dengan sumber kehidupan dalam pemahaman Allah bukan berdasarkan pemahaman dirinya sendiri. Berdoa sebagai anggota Gereja berarti memenuhi janji Yesus: “barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:12).
Untuk menjadi anggota yang kuat dan bermanfaat bagi Tubuh Kristus seorang individu harus melakukan dua hal, yaitu berpartisipasi dalam doa liturgis dengan menghadiri Misa setiap minggu dan berdoa secara pribadi. Doa pribadi adalah percakapan bebas kita dengan Allah, melalui doa, kita menghidupi dan menjalin hubungan dengan Dia. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa doa pribadi itu dibekali oleh doa liturgis (bdk. Sacrosanctum Concilium 90 –red.) yang mengarahkan umat beriman kepada pusat dari misteri iman: sengsara, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus yang secara kolektif disebut sebagai Misteri Paskah.
Perbendaharaan doa-doa Gereja, termasuk di dalamnya doa Bapa Kami, Salam Maria, dan doa-doa lainnya yang kita hafal, juga penting karena melalui doa-doa itu mengikat doa pribadi kita (iman subjektif kita) kembali ke iman objektif Gereja.
Oleh karena itu, di samping memelihara iman kita, doa liturgis mencegah supaya doa dan iman kita tidak runtuh dalam diri kita. Seperti yang dengan jelas sekali dijelaskan oleh Guardini tentang hal itu, “Hanya kebenaran – atau nama lainnya ialah dogma – yang dapat membuat suatu doa menjadi efektif dan mengisinya dengan kesederhanaan, juga kekuatan yang melindungi tanpa membuat doa itu jatuh menjadi suatu kelemahan .. Pemikiran dogmatis membebaskannya dari perbudakan sikap individu yang seringkali berubah-ubah, dan juga dari ketidakpastian dan kemalasan yang terjadi karena kondisi emosi seseorang. Pemikiran dogmatis membuat doa menjadi jelas, dan menjadikan doa diperhitungkan sebagai faktor potensial dalam kehidupan.”
Dalam praktiknya, doa liturgis dan ritual membawa bahaya menjadikannya sebagai tindakan eksternal yang tidak memiliki makna. Di sisi lain kita harus waspada terhadap kecenderungan untuk menganggap bahwa ritual itu kosong karena menganggap itu hanya ritual belaka. Ada atau tidaknya perasaan yang dirasakan selama ritual ini merupakan kepentingan sekunder (bukan yang utama –red.) bagi sikap setuju kita akan kebenaran dan keputusan kita untuk ambil bagian sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Sukacita dan kegirangan sejati dari ritual bukan berdasarkan reaksi kita terhadap suatu tata cara namun pemahaman kita tentang apa maksud dan yang disampaikan dalam ritual-ritual itu.
Sumber: “Why do Catholics have the same Mass week after week?”
Posted on 21 June 2019, in Ekaristi and tagged Misa Kudus, Paus Benediktus XVI, Romano Guardini. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0