[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Bukan Spiritual melainkan Religius: Mengapa Kekristenan Memerlukan Komunitas
Suatu Percakapan dengan Romo Arne Panula oleh Mary Eberstadt

Religious not Spiritual by John H White (Sumber: stpaulcenter.com)
Dalam artikel ini yang berupa percakapan, penulis asli dalam bahasa Inggris yaitu Mary Eberstadt meluangkan banyak waktu dengan berbincang-bincang dengan Romo Arne Panula dalam bulan-bulan dan minggu-minggu menjelang wafatnya. Mereka membicarakan dengan jelas tentang kebutuhan kita yang bukan hanya hubungan dengan Allah, namun juga hubungan dengan Gereja.
Mary Eberstadt: sebagai lawan dari sikap “hanya menjadi spiritual,” apa pentingnya kita pergi ke gereja?
Romo Arne: Ketika orang banyak berbicara tentang menjadi seorang yang “spiritual” yang berlawanan dengan religius, sebenarnya mereka sedang membicarakan pengalaman pribadi mereka tentang Allah. Namun Allah menciptakan kita sebagai makhluk sosial. Kita perlu menjalin hubungan satu sama lain. Ketika diperintahkan untuk merayakan Ekaristi sebagai peringatan akan Yesus, komunitas Kristen perdana mengembangkan ritual ini. Ritual ini dipraktikkan dalam komunitas. Ada buku yang bagus oleh Brant Pitre yang berjudul “Jesus and the Jewish Roots of the Eucharist,” dalam buku itu menjelaskan bagaimana Misa itu dikembangkan dari Sabat Yahudi. Selain itu ada Surat Apostolik tahun 1998 yang luar biasa oleh St. Yohanes Paulus II yang berjudul Dies Domini (Hari Tuhan): tentang menguduskan Hari Tuhan, dalam surat itu kita bisa melihat benang merah dari Hari Penciptaan, Hari Penebusan Kristus, Hari Gereja, dan Hari Kekal.
Gagasan mengenai hari khusus untuk istirahat, beribadah, bersama keluarga, dan dalam komunitas, bukan sekadar suatu ciri khas yang asal-asalan, namun sesuai dengan kodrat manusia, sesuatu yang umat manusia ungkapkan berkali-kali bahwa mereka menginginkannya. Demikian pula, seluruh gagasan Liturgi Sabda diambil dari tradisi Yahudi.
Kita tidak hadir sebagai suatu isolasi sosial, namun sebagai makhluk yang tinggal dalam suatu komunitas yang melakukan hanya hal-hal yang masuk akal dalam suatu komunitas. Salah satunya adalah beribadah.
Mary Eberstadt: Seorang sejarawan dari Yale pada abad ke-20 yakni Kenneth Scott Latourette dalam bukunya History of Christianity, mengemukakan hal yang serupa mengenai komunitas. Dia bertanya mengapa iman itu bisa menyebar hanya dalam beberapa ratus tahun dari segelintir pengikut yang tertindas menjadi suatu agama yang menyebar sampai Asia Tengah, India dan Ceylon (sekarang Sri Lanka –red.), kemudian ke arah utara ke Irlandia, dan menyebar sampai ke ujung bumi.
Beberapa berpendapat bahwa jawabannya adalah Kaisar Kontantinus mengadopsi iman Kristen, dan semua orang mengikuti jejak sang kaisar. Namun seperti yang Latourette tunjukkan, bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, agama Kristen sudah menyebar ke seluruh Kekaisaran Romawi tanpa bantuan politik, meskipun mereka sudah berabad-abadi dianiaya oleh kekaisaran itu sendiri.
Sebaliknya, Latourerrte berpendapat bahwa agama Kristen menyampaikan apa yang dicari orang banyak dengan cara yang lebih baik dibandingkan agama lainnya. Secara khusus, aturan moral yang ketat yang membedakan agama Kristen dengan agama lainnya, dan juga agama Kristen memberikan standar yang ketat bagi orang-orang untuk mengusahakannya, selain itu tingkat persekutuannya yang luar biasa membuat agama Kristen menjadi menonjol. Hal ini dinyatakan bukan hanya melalui para martir yang meninggal dengan damai ketika menghadapi kematiannya di beberapa tempat komunitas Kristen berada, namun juga tradisi yang ditetapkan sejak awal seperti merawat orang sakit, mereka yang lemah, mereka yang lanjut usia, dan yang tidak berdaya.
Intinya adalah: tidak ada komunitas, tidak ada agama Kristen.
Romo Arne: Kita tidak ditujukan untuk menjadi makhluk individu. Kita ingin membagikan apa yang kita yakini, perasaan kita, dan harapan kita. Terutama sesuatu yang paling dalam dan yang paling dihargai adalah keyakinan kita mengenai apa yang paling penting dalam hidup kita.
Berada di Lapangan St. Petrus, baik ketika Misa ataupun acara lainnya, berbeda dengan mendengarkan konser The Beatles di Central Park. Keduanya adalah tempat besar yang dapat memuat banyak orang yang disatukan oleh sesuatu yang sama. Namun apa yang menyatukan orang-orang di Lapangan St. Petrus adalah suatu poros, dan bukan sekadar poros, namun sesuatu yang melampaui manusia. Ketika orang-orang merasakan sesuatu yang trensenden, mereka ingin saling berbagi satu sama lain; mereka ingin bersama dengan orang lain.
Saya suka membandingkan antara iman dengan permainan “galactic tag” (permainan semacam paintball atau perang-perangan –red.). Seseorang mengenai pemain lainnya, maka yang lain akan mengenai orang lain, dan terus berlanjut untuk saling mengenai pemain lainnya. Anda tidak bisa bermain permainan ini sendirian.
Mary Eberstadt: Ludwig Wittgenstein mengamati bahwa tidak ada yang namanya bahasa pribadi, karena bahasa membutuhkan komunitas, walaupun jika hanya mengandaikannya saja. Gagasan tentang agama “pribadi” secara logika itu mustahil.
Romo Arne: Inilah sebabnya kenapa pendapat populer tentang “hanya spiritual” pada akhirnya tidak bisa berlanjut. Namun tetap saja, kaum millennial tertarik akan hal ini, karena sikap individualistis merupakan ciri khas pada usia ini.
Saya baru saja membaca suatu refleksi oleh Peter Lawler dalam Public Discourse, beliau merenungkan keadaan tiga puluh tahun ke depan tentang tesis Allan Bloom yang berjudul “Closing of the American Mind” (Tertutupnya Pemikiran Orang Amerika –red.). Beliau menjelaskan tentang keadaan tentang individualistis di dunia saat ini, secara khusus di antara orang muda, dan betapa tidak wajarnya hal itu.
Lawler menggunakan frase “kesendirian sosial” untuk menggambarkan keadaan anak-anak elit sekuler pada hari ini, yang merupakan generasi selanjutnya dari yang dijelaskan oleh Bloom. Bloom menulis demikian: “Mereka mengira bahwa dirinya sendiri sebagai orang yang mampu memenuhi keutuhannya sendiri. Bagaimana mungkin seorang individu bisa menjadi utuh? Hanya dengan tidak adanya kerinduan akan relasi cinta dan tidak tergerak oleh kenyataan yang tidak terbantahkan yaitu kepunahan pribadi.”
Saya pikir, itu berhasil.
Sumber: “Religious, Not Spiritual: Why Christianity Requires Community”
Posted on 20 June 2019, in Apologetika and tagged Indifferentisme, Spiritualitas. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0