Mengapa Kita Terkena Dampak Dosa Adam dan Hawa?

Oleh Louis St. Hilaire

Adam & Hawa di Pohon Pengetahuan yang Baik dan Jahat (Sumber: stpaulcenter.com)

Kekudusan dan keharmonisan yang asli dari orang tua pertama kita di Taman Eden yang bisa kita baca dalam Kejadian 2 sangat berbeda dengan kehidupan yang kita kenal sekarang. Kejadian 3 menjelaskan bagaimana manusia kehilangan keadaan asalnya karena dosa.

Seperti kisah penciptaan yang diceritakan dalam dua bab awal dalam Kitab Kejadian, kisah kejatuhan manusia dalam Kejadian 3 menggunakan bahasa kiasan dan simbolis. Namun hal ini bukan berarti kisah kejatuhan itu hanya sekadar mitos belaka yang tidak ada hubungannya dengan sejarah dan kenyataan. Hal mendasar yang diajarkan bab itu kepada kita benar-benar terjadi: orang tua pertama kita diciptakan dalam hubungan persahabatan dengan Allah, mereka kehilangan hubungan itu karena dosa, dan menjadi konsekuensi yang mendalam bagi seluruh umat manusia, yang selanjutnya menjadi keturunan mereka. Namun demikian, seperti halnya dua bab awal dalam Kitab Kejadian, kita tidak membaca Kejadian 3 seperti sebuah berita atau buku sejarah. Sebaliknya, kita harus memperhatikan bahasa kiasan dalam Kejadian 3 untuk melihat bagaimana bahasa itu mengungkapkan signifikansi teologis dari peristiwa-peristiwa ini.

Allah telah memperingatkan Adam dan Hawa jika mereka memakan buah dari pohon itu, mereka akan mati (Kejadian 2:17; 3:3). Namun Allah memperingatkan mereka bukan dengan maksud mengancam atau mengintimidasi mereka, namun menyatakan konsekuensi sebenarnya bila mereka memilih hal lain selain Allah.

Benar saja, setelah Adam dan Hawa memilih untuk tidak menaati Allah, kita bisa segera melihat perubahan dramatis mereka. Mereka tidak mati di tempat. Kematian secara fisik tidak langsung terjadi (walaupun terjadi pada saat yang tepat). Sebaliknya, mereka mengalami kematian rohani. Mereka kehilangan kekudusan dan keadilan asli mereka. Mereka kehilangan rahmat kekudusan (kehidupan Allah) yang menghidupi jiwa mereka. Kemudian, setelah kehilangan keharmonisan keadilan asli di dalam diri dan antara diri mereka masing-masing, mereka tiba-tiba merasa malu akan ketelanjangan mereka (Kejadian 3:7). Setelah mereka merusak persahabatan mereka dengan Allah dan percaya akan dusta Iblis, mereka lari dan bersembunyi dari Allah (Kejadian 3:8). Kemudian, ketika mereka ditanya oleh Allah, mereka menuduh satu sama lain alih-alih bertanggung jawab atas pilihan buruk yang telah mereka lakukan (Kejadian 3:9-12).

Menyaksikan semua ini terjadi, Allah memberitahukan mereka tentang kehidupan mereka sekarang akan ditandai dengan penderitaan, bersusah payah, dan akhirya kematian (Kejadian 3:16-19). Demikian juga, karena mereka tidak dapat mematuhi batasan yang telah ditetapkan kepada mereka sebagai makhluk ciptaan, mereka harus meninggalkan taman itu (Kejadian 3:22-24). Jadi oleh karena dosa, penderitaan dan kematian memasuki sejarah umat manusia, kemudian pada bab berikutnya dalam Kitab Kejadian, kita bisa melihat konsekuensi dari dosa yang menyebar ke seluruh dunia (Katekismus Gereja Katolik 399-401).

Inilah dunia tempat kita dilahirkan, sebuah dunia yang penuh penderitaan, dosa, pertentangan, dan kematian. Dosa dari orang tua pertama kita memengaruhi kita semua, dan kita tidak dapat memahami penderitaan kita atau kecenderungan kita akan yang jahat terlepas dari dosa (KGK 403). Dosa dari orang tua pertama kita dan yang menyebabkan kejatuhan kodrat umat manusia yang berdampak kepada setiap orang disebut sebagai “dosa asal.”

Maka hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan penting: Bagaimana mungkin setiap orang sampai saat ini terkena dampak oleh dosa yang dilakukan oleh orang lain sejak dahulu kala?

Untuk memahami jawaban atas pertanyaan itu, pertama kali kita perlu melihat bahwa Kitab Kejadian memberi tahu kita bahwa semua umat manusia merupakan keturunan dari satu pasangan, dan dari hal itu kita bisa belajar mengenai kesatuan yang mendalam dari umat manusia. Zaman kini, kita hidup dalam masyarakat yang sangat individualistis. Maka dengan itu mendorong kita untuk melihat orang-orang sebagai individu yang terisolasi yang hanya bertanggung jawab atas diri dan tindakan mereka masing-masing. Namun, bukan dengan begitu Allah menciptakan kita. Ia menjadikan kita sebagai anggota komunitas yang saling berhubungan erat, di mana tanggung jawab terbagi dan tindakan satu orang bisa berdampak dengan dramatis kepada setiap orang. Karena umat manusia dipersatukan dengan cara ini, ketika Adam dan Hawa kehilangan rahmat kekudusan dan keadilan aslinya maka seluruh umat manusia kehilangannya. Kodrat manusia yang telah kita terima dari mereka sebagai keturunan telah merampas karunia-karunia itu. St. Paulus merefleksikan hal ini dengan berkata, “sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Roma 5:12; KGK 404).

Karena itu, dosa asal bukanlah “dosa” dalam arti dosa pribadi yang membuat kita merasa bersalah. Namun sebaliknya, dosa itu merujuk pada keadaan yang terpisah atau jatuh. Kodrati kita tidak sepenuhnya rusak, tetapi terluka. Kita terkena dampak oleh kebodohan, penderitaan, ketakutan akan kematian, dan kecenderungan terhadap dosa yang disebut “concupiscentia” (bdk. KGK 418) Hal ini menyebabkan dosa personal, yang karena dosa itu kita menjadi layak dihukum. Dengan cara inilah dosa memengaruhi kita sebagai individu dan juga sebagai masyarakat, mendistorsi struktur sosial manusia, dan membuat kita tunduk kepada Iblisdalam berbagai macam cara (KGK 405-408).

Dalam artian tertentu, dosa asal adalah “kabar buruk”: yang diartikan mengapa kita terpisah dari Allah, mengapa kita cenderung untuk melakukan yang salah walaupun kita tahu kita bisa melakukan yang lebih baik, dan mengapa kita menderita akibat konflik, ketidakbahagiaan, dan kematian. Karena dosa asal itulah kehidupan manusia menjadi suatu pertempuran. Kita yang telah diciptakan menurut gambar Allah dan dimaksudkan untuk menikmati kehidupan bersama-Nya, jadi kita memiliki hasrat yang mendalam utuk kekudusan dan keadilan yang telah kita hilangkan. Pada saat yang sama, kita menderita karena dosa, dampak dari dosa, dan kuasa Iblis. Akibatnya, hidup kita adalah perjuangan antara dua kehendak yang saling bersaing dan kita tidak bisa mengatasi perjuangan itu dengan kekuatan kita sendiri (KGK 409).

Syukurlah, Allah tidak menghendaki hal itu terjadi pada kita. Tidak lama setelah manusia jatuh, Allah menjanjikan seorang juruselamat untuk menyelamatkan kita, dengan berkata kepada si ular: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya” (Kejadian 3:15).

Dengan perkataan itu, Gereja mengakui bahwa janji pertama mengenai Yesus Sang Juruselamat, keturunan Adam dan Hawa yang akan membebaskan kita dari kuasa Iblis (KGK 410).

 

Louis St. Hilarie adalah penulis buku “That You Might Have Life: An Introduction to the Paschal Mystery of Christ” dan penerjemah buku “The Literal Exposition of Isaiah: A Commentary by St. Thomas Aquinas.” Dia seorang lulusan Franciscan University of Steubenville, dan dia bekerja sebagai seorang pengembang web dan editor digital untuk St. Paul Center.

 

Sumber: “Why Do We Have Original Sin if We Didn’t Eat the Apple?”

Advertisement

Posted on 2 September 2019, in Kenali Imanmu, Kitab Suci and tagged , , , . Bookmark the permalink. 1 Comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: