[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Dari Agnostik ke Baptis ke Katolik – Kisah Ian Murphy Ph.D.

Dr. Ian Murphy (Sumber: EWTN YouTube Channel)
Mungkin aneh jika seseorang yang punya nama khas Katolik Irlandia seperti “Ian Murphy” ternyata seorang yang berpindah keyakinan ke Gereja Katolik. Awalnya, saya ragu apakah Tuhan itu ada, akhirnya saya menjadi pengkhotbah Kristen Baptis, dan sekarang saya seorang Katolik. Di satu sisi, saya kira saya punya sesuatu yang disebut orang banyak sebagai “salah satu kisah perubahan keyakinan yang dramatis.” Perjumpaan fisik dengan peperangan rohani membawa saya keluar dari keraguan saya sebagai seorang ateis, rasa keadilan saya di tahun-tahun sebagai orang Protestan mengilhami undang-undang negara bagian dari Kongres Amerika Serikat. Saya pasti bisa memahami kalau ada seseorang yang menganggap perjalanan ini sebagai kisah perubahan keyakinan yang dramatis.
Pada saat yang sama, semua umat Katolik sedang menjalani perubahan keyakinan, dan saya percaya setiap bahwa setiap perjumpaan dengan Yesus Kristus adalah hal yang dramatis, dramatis itu terjadi karena hal itu adalah perjumpaan dengan Yesus Kristus. Aspek yang tidak biasa dari kisah perubahan keyakinan saya mungkin disebabkan oleh sikap keras kepala saya. Seandainya saya lebih rendah hati dan mau bekerja sama dengan rahmat Allah, maka Allah tidak akan membiarkan perjalanan yang saya alami menjadi begitu intens.
Sebagai anak kedua dari lima bersaudara, saya dibesarkan dalam keluarga Kristen. Ayah dan ibu saya keduanya orang Kristen yang memiliki iman yang kuat dan rasa persahabatan yang tulus dengan Tuhan. Walaupun kelihatannya aneh, kami tidak bergabung dengan gereja apa pun dan juga tidak ikut kebaktian secara rutin. Orang tua saya adalah orang hippie.
Mereka bukan orang-orang pemberontak (revolusioner yang membakar bendera), tapi mereka ikut dalam komunitas perdamaian, dan mereka suka berkeliling negara bagian dengan berkemah. Kehidupan keluarga akhirnya hadir dalam kehidupan kedua orang tua saya, dan membesarkan anak menjadi prioritas mereka. Yang masih tertanam kuat dari budaya hippie adalah rasa curiga terhadap institusi, termasuk institusi keagamaan.
Kedua orang tua saya mengajari kami bahwa institusi keagamaan itu tidak bisa dipercaya. Saat menjauhkan diri dari keanggotaan gereja, mereka mengajarkan kami tentang Yesus dan selalu menekankan pentingnya Alkitab.
Saya masih merasa bersyukur atas sudut pandang yang diberikan oleh kedua orang tua saya, dan juga adanya keinginan untuk sesuatu yang asli yang ditanamkan dalam diri saya sejak usia dini. Pada saat yang sama, dengan tidak bertumbuh dengan ikut di gereja secara teratur, ada banyak hal yang tidak saya ketahui atau baru saya sadari ketika umur saya lebih tua.
Ketika ibu saya menjelaskan Alkitab kepada saya, saya merasa tersentuh dalam wujud mungil saya untuk membaca buku itu.
Pada usia empat tahun, bacaan saya sangat terbatas. Dimulai dengan satu jilid sepuluh buku dari The Bible Story karya Arthur Maxwell. Karena ada gambar dalam buku itu, maka saya akan menemukan kata-kata yang saya tahu dan mencocokkannya dengan adegan gambarnya. Ketika kemampuan membaca saya meningkat, saya terus melakukannya dan hampir menyelesaikan semua buku itu pada usia delapan tahun. Masalahnya, saya tidak mempercayainya.
Injil kedengarannya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Saya ingin mempercayai Injil, namun waktu itu saya bertanya-tanya apakah saya sudah menghabiskan waktu empat tahun terakhir dengan membaca sebuah dongeng epik. Di kelas dua, saya bertanya pada diri sendiri tentang pertanyaan yang paling menakutkan yang pernah ada: “Bagaimana jika Tuhan itu tidak ada? Bagaimana jika eksistensi saya itu cuma kebetulan saja?” Keraguan dan pertanyaan ini semakin menghantui saya selama enam tahun ke depan.
Saya menyadari jika saya punya Sang Pencipta yang merancang saya untuk menjalin hubungan penuh kasih dengan-Nya, maka membangun persahabatan itu sangat penting untuk tujuan hidup. Jika ada yang benar dan yang salah, jika ada kehidupan setelah kematian, jika saya akan mempertanggungjawabkan cara hidup saya, maka semua hal itu berdampak dari bagaimana saya hidup saat ini. Jika Tuhan benar-benar mengungkapkan diri dalam ciptaan-Nya sendiri, yang dibuktikan oleh kebangkitan Kristus dari kematian, maka saya bertanggung jawab atas apa yang saya tanggapi tentang hal itu. Namun bagaimana jika ketika saya mati, saya hanya berkedip tanpa menyadari bahwa saya pernah berada di sini?
Semua kekacauan eksistensial ini memang terlalu berat bagi seorang anak kelas dua. Namun beban yang saya pikul ini tidak konstan, setidaknya selama tahun-tahun saya berada di SD. Keraguan dan ketakutan seputar Tuhan, tujuan hidup, dan kehidupan setelah kematian memenuhi diri saya dengan perasaan cemas yang mengerikan, namun hal ini muncul secara berkala dalam masa kanak-kanak yang bahagia.
Ketika saya berusia lima tahun, keluarga saya pindah ke sebuah rumah untuk 13 tahun ke depan, sampai saya meninggalkan rumah itu untuk kuliah. Rumah itu rumah yang indah bergaya tudor berbentuk huruf A dengan melebar ke sisi-sisinya, berlokasi di atas salah satu bukit di perbukitan Appalachians di Pennsylvania bagian barat, cukup dekat dengan Rumah Fallingwater rancangan Frank Lloyd Wright yang terkenal itu. Lingkungan yang indah dan penuh cinta dibuat untuk masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Pada usia 14 tahun, kebahagiaan masa kecil ini terhenti seketika, kesedihan yang sebelumnya saya rasakan secara berkala menjadi hal yang konstan, yaitu pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Oh, betapa inginnya saya kalau Injil itu nyata! Seperti yang pernah dikatakan J.R.R. Tolkien, “Tidak ada kisah yang pernah dikisahkan bahwa manusia lebih suka menemukan kebenaran.” Namun, saya menyadari bahwa keinginan saya tidak cukup hanya dengan punya iman. Seperti Rasul Thomas, saya perlu bukti. Kurangnya bukti nyata yang saya cari, saya sadar bahwa saya resmi sebagai seorang agnostik, bukan seorang beriman. Saya membuang Tuhan ke dalam keraguan, saya melemparkan seluruh citra diri dan tujuan hidup saya dalam keraguan. Saya tidak tahu apa makna hidup saya atau kenapa saya ada. Saya mencapai tempat yang kacau balau dan tidak pernah terjadi sebelumnya, akhirnya saya berseru dengan doa ini: “Ya Tuhan, jika Engkau ada, maka saya perlu menyentuh alam spiritual untuk diri saya sendiri, supaya saya beroleh iman.” Seperti yang banyak orang katakan, “Berhati-hatilah dengan apa yang Anda doakan, karena mungkin Anda mendapatkannya.”
Satu malam, saya terbangun oleh sesuatu yang tak kelihatan, sesuatu yang menyeramkan. Dengan kondisi sadar sepenuhnya, saya tahu kalau saya tidak sendirian, ada sesuatu yang bersama dengan saya di kamar tidur saya. Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi saya tahu sesuatu itu ada di mana. Seolah-olah sesuatu itu terselubung, namun keberadaan yang terselubung itu meninggalkan perasaan yang kabur untuk bisa dirasakan. Perasaan dengki begitu nyata. Dan saya merasakan sesuatu yang jahat.
Sesuatu melayang di atas saya, di depan pintu, dan sesuatu itu berbicara. Perkataannya tidak terdengar, namun lebih jelas dari itu. Entitas supernatural ini sanggup menanamkan pesan secara langsung ke pikiran saya. Bentuk komunikasi telepati yang tidak menyisakan ruang untuk salah paham. Inilah pesan yang mengganggu, dikirim dengan jelas dan sempurna, dari orang lain.
Sesuatu itu berkata, “Aku baru saja membangunkan kamu. Aku disini. Aku meu menyakitimu.” Saya bisa merasakan kejahatannya, hasratnya untuk melukai saya, dan kebenciannya terhadap semua orang.
Saya bertanya, “Kenapa saya tidak bisa melihatmu?”
Sesuatu itu menjawab saya, “Aku punya kemampuan untuk melakukan perjalanan yang tidak bisa dilihat dengan mata manusia, tapi aku ada di sini. Aku mau menunjukkan padamu. Aku ingin kamu mati.”
Suatu entitas berjubah mulai bergerak ke arah saya. Dengan melihat jejak samar keberadaannya, saya bisa melihat pergerakannya di sekitar. Sesuatu itu menjauh dari pintu, tepat berada di atas saya, turun di atas diri saya, dan kemudian mencengkram saya secara fisik. Dengan pengerahan tenaga yang luar biasa dan seketika ini, sesuatu itu mendorong saya ke bawah sampai tubuh saya terlentang di tempat tidur. Kemudian sesuatu itu mulai menghancurkan saya sampai susah bernafas. Sangat menakutkan.
Pada saat yang sama, hal itu menjadi hal yang menarik. Saya menyaksikan tekanan fisik yang dilakukan oleh entitas yang tidak kelihatan yang memiliki akal dan kehendak, sesuatu yang bisa berkomunikasi secara mental, dan saya merasa kagum. Pengalaman ini merupakan kontak yang nyata dengan alam spiritual. Seperti Rasul Thomas, saya bisa menyentuhnya. Saat itu saya bisa mengakses realitas yang tidak kelihatan itu secara fisik, dengan indra alami saya. Sekarang saya tahu kalau ada banyak realitas yang tidak terjangkau dengan mata. Sekarang saya tahu ada sesuatu di balik tabir itu. Ada gambaran yang lebih besar!
Saya tahu apa yang harus saya doakan. “Ya Allah, saya tahu Engkau ada si sana, dan saya tahu Engkau dapat mendengar saya. Saya perlu pertolongan-Mu.” Kepada sesuatu yang sedang menghancurkan saya, “Saya peritahkan kamu: Pergi! Di dalam nama Yesus.”
Pada saat nama itu disebutkan, sesuatu itu lenyap! Sesuatu itu melepaskan saya seketika, kabur dari rumah dengan kepanikan. Saya tidak merasa takut lagi, tapi saya kagum pada Ia yang ditakuti sesuatu itu. Saya menghirup udara segar, membuka selimut, dan melompat dari tempat tidur. Saya berlari menuruni loteng menuju ke kamar orang tua saya, dan saya membangunkan mereka, dan memberi tahu mereka semua yang sudah terjadi. Berdoa bersama dengan kedua orang tua saya, saya memohon supaya Yesus masuk ke hati saya. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kasih, pengharapan, sukacita, dan kedamaian yang membasuh saya pada peristiwa sakral itu.
Kehadiran si jahat – sesuatu yang mengomunikasikan kebenciannya ketika berusaha menghancurkan saya sampai mati – sudah pergi ketakutan atas nama Tuhan. Apapun itu, sudah menjawab mengenai Yesus Kristus. Hal ini membuat Yesus Kristus dan Kebangkitan-nya menjadi nyata bagi saya. Yesus disebut sebagai Alfa dan Omega, awal dan akhir, Allah beserta kita, dan yang sulung dari orang mati. Dan tak seorang pun yang mampu menjelaskan-Nya. Memotong semua agenda keagamaan yang berusaha menjinakkan-Nya, dan melalui semua upaya yang sia-sia sepanjang sejarah untuk mendiskreditkan-Nya, di sanalah Ia berada. Bukan doktrin-doktrin tentang-nya, namun Ia sendiri, dengan kasih, kuasa, dan kehidupan bagi siapa pun yang menginginkannya.
Tuhan yang bangkit telah menyelamatkan jiwa saya, dan benar-benar sudah menyelamatkan hidup saya. Dengan jaminan realitas spiritual yang baru saya temukan ini, hati saya remuk redam bagi orang-orang skeptis lainnya, seperti saya dahulu. Saya menyerap ilmu apologetika (mempertanggungjawabkan Iman Kristen) dan merasa heran dengan begitu banyaknya bukti nyata yang ada sepanjang sejarah yang mendukung Inkarnasi, Kebangkitan, Kenaikan, pengutusan-Nya akan Roh Kudus. Dengan banyaknya apologetika dan kesaksian yang kuat ada pada saya, saya meluncukan pelayanan tidak resmi bagi mereka yang ragu seperti Thomas.
Pelayanan ini sampai pada titik puncak pada tahun 1993, ketika saya berada di SMA, dan saya dinobatkan sebagai pembawa pidato perpisahan. Ketika saya ditanya apa yang ingin saya sampaikan pada pidato pembukaan saya, maka tidak ada keraguan. Saya ingin memberi tahu teman-teman sekalas saya tentang Yesus. Namun, setelah membaca proposal pidato saya, penasihat kelulusan memberi tahu saya bahwa saya tidak diperbolehkan menyebut nama Yesus pada waktu wisuda. Saya menjelaskan dengan penuh hormat bahwa kami tinggal di negara yang bebas, di mana Deklarasi Hak-Hak (Bill of Rights) melindungi kebebasan beragama dan berbicara. Saya menjelaskan kepada ibu penasihat bahwa saya bebas mengatakan apa yang saya imani begitu juga dengan para hadirin yang bebas untuk tidak sependapat dengan saya, dan kebebasan yang mahal harganya ini membuat bangsa ini hebat. Penasihat pidato kembali menjawab bahwa saya tidak diperbolehkan untuk menyampaikan pidato saya, dan ibu penasihat sendiri akan mencabut sendiri kabel sound system jika saya menyebut nama Yesus ketika wisuda.
Setelah tekun berdoa, saya memutuskan untuk bertanya ke surat kabar lokal apakah mereka bersedia mencetak pidato perpisahan saya sehingga komunitas saya bisa mendapatkannya.
Dengan persetujuan dari orang tua dan doa, saya mengangkat telepon dan menelepon kantor surat kabar. Mereka dengan cepat mengutamakan penggilan saya, meneruskannya ke surat kabar yang lebih besar yang mencakup tiga negara bagian. Setelah beberapa detik menunggu, seseorang yang kuat berbicara di telepon:
“Baik, Nak. Bagaimana ceritamu?”
“SMA saya tidak memperbolehkan saya memberikan pidato pembukaan perpisahan karena saya membicarakan Yesus,” Kata saya.
“Mereka APA?!”
Pada saat itu ia sedang membekan teleponnya, dan berteriak, “Kitaaaa punya berita panas! – Di mana kamu tinggal?”
Mobil dari kantor berita datang dalam waktu 15 menit, dan sampai saat ini saya masih bertanya-tanya bagaimana mobil itu bisa menemukan kami dengan sangat cepat. Pria itu mewawancarai saya lebih dari satu jam, merekam semuanya dalam alat rekamnya.
Ketika saya tiba di sekolah keesokan paginya, sekelompok orang berbaris di sekitar tempat parkir sekolah sambil membawa papan tanda.
Pikirku, “Aneh.”
Saya pergi ke loker saya, dan beberapa teman sekelas saya memuji saya karena apa yang saya suarakan begitu bagus di berbagai stasiun radio pada pagi itu.
Saat itulah pacar saya mendatangi saya sambil memegang surat kabar Tribune Review yang mencakup tiga negara bagian. Di halaman depan ada foto saya dalam ukuran besar dan berwarna dengan judul “Pidato Pembukaan tentang Agama Ditolak.” Pada saat itu, saya mulai terpikir apa yang sedang terjadi di sekitar saya.
Melalui Associated Press, wawancara saya pada sehari sebelumnya tidak hanya menjadi halaman depan di sebuah surat kabar yang jangkauannya tiga negara bagian, namun juga masuk stasiun radio populer yang memberitakannya sepanjang pagi itu.

Ian Murphy at Newspaper (Sumber: drianmurphy.com)
Dalam beberapa jam, hidup saya masuk ke dalam sirkus media bintang tiga yang bonafid. Jika Anda pernah melihat cuplikan paparazzi yang memadari beberapa aktor Hollywood, ya begitulah keadaannya. Kelap-kelip lampu reporter, kamera stasiun TV, dan mikrofon ada di depan wajah saya, dan pemandangan itu menjadi fenomena umum di sekolah saya, di rumah saya, bahkan juga di jalanan. Dan tak lama kemudian, ruang ganti pria di gimnasium SMA tidak lagi menjadi tempat persembunyian yang aman.
Organisasi media di seluruh negeri mengangkat cerita itu. Orang-orang mengirimi saya surat kabar dari berbagai daerah yang berbeda, termasuk Texas, New Hampshire, Colorado, Maine, California, and New York, yang semuanya memberitakan peristiwa itu. Saya juga pernah menjadi tamu di program berita TV dan radio. Ketika keluarga saya berkendara dari Pennsylvania menuju ke Michigan untuk menghadiri pernikahan paman saya, Channel Four News mengirimkan kru berita helikopter untuk membuntuti kami, dengan harapan bisa melakukan wawancara langsung. Dari berbagai organisasi veteran sampai berbagai gereja, saya dipuji karena menjadi “anak yang bebas berbicara.”
Jin media yang saya keluarkan pastinya menjadi sekutu yang kuat, namun media itu punya pikirannya sendiri. Tidak semua perhatian yang saya terima itu positif. Selama dua bulan yang tidak bisa saya lupakan itu, saya juga menerima banyak ancaman dan perlakuan kekerasan fisik. Saya menjadi musuh American Civil Liberties Union (ACLU) yang aktif berkampanye menolak pidato saya, mereka berargumen dalam debat public dengan saya di siaran radio langsung bahwa Deklarasi Hak-Hak (Bill of Rights) berlaku untuk semua orang kecuali orang Kristen. Dan pada suatu saat, American Center for Law and Justice yang sebelumnya melawan ACLU, datang membantu saya.
Pada akhirnya, pihak administrasi sekolah membatalkan keputusan mereka dan mengizinkan saya untuk memberikan pidato pada saat wisuda, dan saat itu disiarkan di televisi, saya berada di hadapan kamera-kamera TV. Menurut pekerjaan paradox Allah, banyak orang harus mendengarkan Injil karena orang-orang berusaha membungkam nama Yesus. Bahkan, seorang teman perempuan sekelas saya memberikan hatinya kepada Kristus setelah mendengarkan pidato wisuda saya.
Liputan berita ini menarik perhatian Senator Arlen Specter. Terinspirasi oleh pendirian saya akan kebebasan berbicara, ia menyusun rancangan undang-undang ke Kongres Amerika Serikat. Kemudian RUU itu diratifikasi, hukum melindungi lulusan senior dari upaya sensor yang tidak konstitusional. Saya kira hal itu memberi makna baru pada istilah “Hukum Murphy.”
Peluncuran hal ini ke mata public secara bersamaan meluncurkan pelayanan tidak resmi saya kepada orang-orang agnostic. Saya tidak pernah merasa lelah untuk menyanggupi undangan menjadi pembicara, karena pemberitaan media memberikan saya banyak kesempatan untuk memberitahu orang banyak tentang Tuhan. Selama kuliah pascasarjana, ketika saya berusaha meraih gelar MA dalam bidan teologi di sebuah universitas di Texas, pelayanan saya yang tidak resmi itu menjadi pelayanan resmi. Saya menjadi kepala pendeta yang memiliki izin dan juga ditahbiskan di sebuah gereja Baptis lokal. Masalahnya dalam karier saya saat itu, saya merasa yakin akan kebenaran Gereja Katolik. Bagaimana mungkin seorang pengkhotbah dari aliran Baptis meyakini kalau Gereja Katolik itu benar? Dengan menjalani kehidupan ganda.
Perjalanan spiritual yang membawa saya dari tradisi Kristen aliran Baptis menuju kepenuhan sakramental dalam Gereja Katolik bisa dikatakan kompleks. Satu perjalanan hidup yang tentu saja mencakup pertanyaan doktrinal penting dan penyelesaiannya. Pada saat yang sama, inilah perjalanan yang melampaui doktrin, yang berurusan dengan rahmat, pengaturan yang misterius, dan pekerjaan batin oleh Roh Kudus.
Awalnya, saya membenci Gereja Katolik. Lebih tepatnya, saya membenci apa yang saya pikirkan mengenai Gereja Katolik. Ayah saya mengasihi Yesus, namun ia membenci Gereja. Berdasarkan beberapa traktat yang berbahaya, yang ia suruh kami membaca dan bagikan, Dad (panggilan ayah –red.) menyebut Gereja Katolik sebagai “Pelacur Babel.” Saya benar-benar dibesarkan dengan mendengar Gereja disebut sebagai pelacur.
Di sepanjang pertumbuhan iman Kristen saya, saya mulai melihat segala sesuatu yang sudah saya pelajari tentang Gereja itu salah. Katolik tidak menyembah Maria. Penyembahan Maria (bidah Collyridianisme) dikecam oleh Gereja Katolik pada abad ke-4. Kenyataannya, hal itu ditolak sepenuhnya oleh umat beriman sehingga masalah ini tidak pernah butuh penyelesaian di tingkat kepausan. Umat Katolik tidak menyatakan bahwa paus adalah kepala Gereja, mereka menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Sang Kepala. Umat Katolik tidak pernah menyatakan manusia yang bisa mengampuni dosa, melainkan Allah. Umat Katolik tidak menyembah patung, sebenarnya mereka mengajarkan bahwa penyembahan patung adalah perbuatan dosa penyembahan berhala. Umat Katolik tidak percaya bahwa seseorang bisa masuk surga dengan kemampuannya sendiri dan bukan karena anugerah Allah. Dan umat Katolik tidak pernah menyatakan bahwa kita manusia tidak perlu diselamatkan. Mereka mengatakan hal yang sebaliknya. Setiap kali saya mengajukan pertanyaan sulit mengenai Gereja Katolik, Gereja Katolik sendiri punya jawabannya. Semua yang diajarkan kepada saya itu salah.
Ketika saya membalikkan keadaan dan mulai mempertanyakan pertanyaan sulit mengenai tradisi Protestan yang saya anut, ada ketidakkonsistenan dan ketidaklengkapan yang menjadi jelas, terutama yang berkaitan dengan masalah persatuan dan otoritas. Singkatnya, semuanya bergantung pada otoritas. Jika Kristus meninggalkan otoritas di dunia ini untuk membantu dalam membimbing Gereja-Nya yang satu, maka tidak ada perpecahan demi perpecahan menjadi masuk akal. Saya merindukan kemerdekaan otoritas, di mana saya bisa bertumbuh dalam hubungan pribadi saya dengan Yesus, alih-alih bertanya-tanya pecahan mana yang benar dari ribuan kepercayaan yang saling bertentangan, semuanya mengklaim mendapat inspirasi Roh Kudus yang sama.
Saya masih merasa berterima kasih pada teman-teman Kristen aliran Baptis. Mereka selalu menjadi saudara dan saudari saya dalam Kristus. Mereka sudah memperkenalkan seseorang yang tidak bertumbuh dalam gereja pada kebenaran substansial Perjanjian Allah yakni Kebapaan-Nya dan hubungan kasih-Nya dengan orang-orang di sepanjang sejarah. Selamanya saya merasa bersyukur untuk itu.
Proses saya menjadi Katolik adalah suatu penambahan, bukan pengurangan. Semua kebenaran yang indah dan mengubah hidup dari tradisi Baptis juga ada dalam Katolik, bersama dengan semua kebenaran lain yang sudah saya lewatkan. Bukan karena tradisi Baptis salah, melainkan tidak lengkap. Memutuskan otoritas Gereja Kristus sebagaimana yang didirikan pada awalnya, mengakibatkan perpecahan dengan anggota tubuh lainnya, itulah yang menjadi perhatian saya.
Berbagai macam denominasi Protestan tampaknya menjadi perbedaan pendapat yang serius mengenai setiap doktrin Kristen. Bagaimana dan kapan dilakukan pembaptisan, karunia Roh Kudus, hakikat Komuni, pertanyaan tentang keselamatan kekal, hubungan antara karunia, iman, dan perbuatan, posisi pembenaran, pengudusan, dan kebenaran dalam kehidupan Kristen, dan tak terhitung banyaknya doktrin lainnya yang kadang-kadang menjadi masalah serius dan kadang-kadang menjadi perdebatan sengit antar denominasi yang berbeda.
Merasa bermasalah, saya pernah memilih satu buku pegangan gereja-gereja Protestan dan saya terkejut menemukan ada lebih dari dua ratus denominasi yang berbeda-beda. Selain itu, berbagai macam denominasi ini diekspresikan dalam 30.000 gereja individu yang berbeda-beda dengan nuansa keunikan dan sejumlah ketidaksepakatan doktrinal di antara mereka.
Alkitab berkata bahwa ada “satu tubuh, dan satu Roh … satu pengharapan … satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Efesus 4:4-6). Melalui apa yang saya yakini adalah Kitab Suci itu benar-benar diilhami dan tidak salah, Tuhan memanggil Gereja-nya untuk berjuang “memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Efesus 4:3). Kita tidak seharusnya terpecah-pecah. Sebaliknya, Alkitab memanggil kita untuk tetap lemah lembut dan sabar, “tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu” (Efesus 4:2).
Hal ini juga mengigatkan kita untuk berbicara kebenaran dalam kasih, bukan sebagai bentuk alasan memulai pertengkaran, karena “kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, –yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota–menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih (Efesus 4:15-16).
Alkitab berulang kali menyerukan umat beriman untuk mengasihi persatuan. Dikatakan tentang satu Tuhan, satu iman, satu baptisan. Allah bukan pembuat kebingungan. Saya berpikir, “Bagaimana mungkin saya bisa menjadi bagian satu sistem denominasi yang terpecah-pecah, ketika Alkitab dengan jelas menyerukan persatuan di antara pengikut Kristus?”
Ya, dalam dunia yang sudah jatuh (dalam dosa –red.) ini, perselisihan akan muncul. Tuhan sendiri tidak asing dengan kenyataan ini. Tetapi, ketika Yesus menghadapi permasalahan di antara umat Allah, Ia tidak meninggalkan kapal. Daripada memprotes Yudaisme karena masalah nyata di dalamnya, Ia menggenapinya, selalu menawarkan kritik-Nya dari dalam sebagai anggota umat Allah yang setia. Baik melalui ajaran dan teladan, Kristus menunjukkan kepada saya tentang pentingnya saling mendukung dalam kasih, menghindari perpecahan, dan tetap bersatu.
Doktrin-doktrin Katolik yang paling bermasalah bagi saya adalah Persekutuan Para Kudus. Meminta doa dari orang mati (dari para kudus di antara Gereja Jaya) merupakan suatu perjuangan bagi saya. Saya tidak punya masalah dengan praktik tersebut, bagaimanapun juga saya meminta doa dari orang hidup di sepanjang waktu. Lebih jauh lagi, Surat kepada Orang Ibrani menegaskan bahwa mereka yang meninggal mengelilingi saya bagaikan “awan para saksi” yang menyemangati saya untuk menyelesaikan perlombaan (lih. Ibrani 12:1). Meminta doa dari mereka menjadi alasan yang sangat masuk akal. Namun ayah saya sudah menanamkan sejak saya masih kecil bahwa praktik itu jahat, dan pemikiran yang sudah terpupuk sejak lama ini sulit untuk melepaskannya. Allah bekerja dalam masalah ini dengan cara ketika ada beberapa mukjizat yang membuktikan bahwa Persekutuan Para Kudus itu nyata dan memulihkan keengganan saya sebelumnya. Yang tadinya tidak mau memohon doa mereka, sekarang saya terdiam mengatasi masalah itu.
Menjalani kehidupan ganda, seperti yang sudah dilakukan siapapun, tidak akan bertahan lama. Saya akhirnya memutuskan kalau saya perlu mencari seseorang untuk membujuk saya keluar dari Katolik dan memberi tahu saya hal yang sudah saya lewatkan dalam riset saya, sesuatu yang bisa membenarkan saya untuk tetap menjadi seorang Baptis. Penghasilan, mata pencaharian, relasi profesional, reputasi dan bantuan, semua yang saya miliki itu sedang dipertaruhkan. Meskipun saya menginginkan kepenuhan yang ada dalam Gereja Katolik, yaitu rasa haus akan sakramen, persatuan, dan otoritas. Namun konsekuensi praktis yang sangat besar dengan meninggalkan seluruh dunia saya sebagai seorang pengkhotbah Baptis.
Orang pertama yang saya dekati untuk membujuk saya keluar dari pemikiran Katolik adalah seorang presiden dari sebuah seminari Baptis. Presiden itu berkata, “Ian, saya yakin kalau Gereja Katolik itu benar! Itulah mengapa Roh Kudus membawa kamu kepada saya. Saya sendiri harus ikut RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.).”
Dalam hati saya, saya berkata, “Yah, hal ini tidak berhasil.”
Orang kedua yang saya tanyakan adalah presiden kelompok Kristen di perguruan tinggi tempat saya mengambil pascasarjana. Jika ada yang bisa membujuk saya keluar dari Katolik, pastilah orang itu. Saya meneleponnya setelah tidak menghubunginya selama bertahun-tahun, dan saya bertanya kepadanya: “Apa yang sudah saya lewatkan? Mengapa Gereja Katolik itu salah?”
Ia menjawab, “Ian, saya orang Katolik! Saya baru pindah keyakinan pada Malam Paskah kemarin. Ini luar biasa, itulah Roh Kudus yang memimpin kamu untuk menelepon saya. Kepenuhan (kebenaran) itu luar biasa.”
Saya berkata lagi, “Yah, hal ini tidak berhasil juga.”
Orang ketiga adalah seorang teolog profesional yang tahu bahasa Yunani, ia kepala Studi Perjanjian Baru di Baptist University. Bagaikan mencari mata dadu yang saya kehendaki, saya bertanya kepadanya.
Ia menjawab, “Ian, saya seorang Katolik! Saya pindah keyakinan beberapa tahun lalu. Itulah mengapa Roh Kudus …”
Akhirnya saya mengerti maksudnya.
Ketika saya ikut RCIA dan sudah tampil secara publik, semuanya terlepas. Saya kehilangan rumah, pekerjaan, teman, penghasilan … dan keadaan menjadi buruk. Namun saya tidak memusatkan perhatian pada hal itu. Karena semua yang buruk terlepas dari diri saya, semua yang baik tumpah ruah di hadapan saya! Saya punya sakramen. Saya punya persatuan dan kemerdekaan otoritas yang sudah saya rindukan. Saya berada di rumah.
Saya takut menjadi Katolik, saya berhenti berkhotbah. Namun dalam kematian dari diri saya sendiri, saya menemukan kehidupan. Nyatanya, saya mampu mengabarkan lebih banyak orang sebagai seorang Katolik daripada waktu menjadi seorang Protestan. Allah juga membukakan pintu bagi saya untuk menyelesaikan Ph.D. dalam bidang Teologi di Duquesne University, untuk melayani sebagai profesor studi agama di beberapa universitas, dan menjadi pembawa acara di beberapa acara radio dalam beberapa musim.
Sebagai seorang Katolik, saya belajar untuk menghargai makna penebusan dari penderitaan hidup dan kedamaian karena mengenal Allah yang sudah lama terselubungi. Kedamaian bukan ketidakadaan masalah, namun kedamaian sebagai kehadiran di tengah-tengah masalah, yaitu kehadiran Tuhan.
Kisah ini diadaptasi dari: Murphy, Ian (2020). Dying to Live: From Agnostic to Baptist to Catholic. Ignatius Press: San Francisco, CA.
Dr. Ian Murphy adalah seorang pembicara dan penulis Katolik yang populer. Ia mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang Teologi dari Duquesne University pada tahun 2013 dan tinggal di dekat Charleston, South Carolina bersama dengan istrinya, Rachel. Websitenya bisa Anda kunjungi di drianmurphy.com.
Sumber: “From Agnostic to Baptist to Catholic: The ABCs of Conversion”
Posted on 13 October 2020, in Kisah Iman and tagged Agnostik, Protestan Baptis. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0