[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Yesus Melarang Membubuhkan Abu di Dahi?
Oleh Paul Senz

Rabu Abu (Sumber: catholic.com)
Yesus berkata kalau “orang munafik” yang “mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa” … jadi apa alasan untuk yang kita lakukan pada Rabu Abu?
Pada Rabu Abu yang menjadi permulaan masa tobat Prapaskah dalam rangka mempersiapkan Paskah, banyak umat yang ikut Misa dan menerima abu di dahi kita (atau mahkota kepala kita ditaburi abu) sebagai pengingat kematian dan sifat fana dari hal-hal duniawi. Ketika kita menerima abu, pelayan pemberi abu berkata, “Ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan akan kembali menjadi debu” atau “Bertobatlah dan percayalah pada Injil.”
Tapi abu yang kita kenakan lebih dari sekadar pengingat pribadi, karena menjadi tanda lahiriah. Bukannya kita tidak bisa melihat dahi kita sendiri secara langsung, apakah abu itu menjadi tanda bagi orang lain?
Tunggu dulu, bukankah Yesus menyuruh kita supaya tidak menyombongkan pengorbanan dan silih yang kita lakukan (contoh: pantang dan puasa)? Dalam Injil Matius kita membaca, “Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Matius 6:16-18).
Bukankah Rabu Abu bertentangan dengan ini? Dengan menggunakan abu, yang secara khusus mempertunjukkan dan memamerkannya, bukankah kita melanggar perintah Tuhan?
Nah, poin utama yang perlu kita sadari kalau Yesus sedang berbicara tentang intensi (niat) kita. Dengan kata lain: jangan berpuasa dan melakukan pengorbanan untuk pamer. Apakah kita memakai abu untuk kemuliaan Tuhan atau kemuliaan kita? Dalam perikop ini, Yesus sedang menggunakan gaya bahasa hiperbola untuk membantu menegaskan apa yang hendak Ia maksud. Ia menggunakan pengandaian yang melebih-lebihkan, seolah-olah mengatakan kepada kita bahwa kita tidak boleh berpuasa dengan cara yang bisa dilihat orang lain, tapi kenyataannya apa yang Ia lakukan adalah reaksi kepada mereka yang memamerkan silih yang sedang mereka lakukan.
Seperti yang ditunjukkan oleh Tim Staples, Yesus menggunakan gaya bahasa hiperbola setidaknya tiga belas kali selama Khotbah di Bukit, di mana perikop ini ditemukan. Tampaknya ini menjadi tata cara yang disukai dalam retorika-Nya (kepandaian berbicara). Contoh lainnya adalah, “Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu” (Matius 5:29); “Jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu” (Matius 5:30); “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi” (Matius 6:6).
Mengenakan abu adalah praktik umum di seluruh Perjanjian Lama. Salah satu contohnya ada dalam tulisan nabi Yeremia, “Beginilah firman TUHAN: ‘… Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung, dan berguling-gulinglah dalam debu! Berkabunglah seperti menangisi seorang anak tunggal, merataplah dengan pahit pedih! Sebab sekonyong-konyong akan datang si pembinasa menyerangmu” (Yeremia 6:22-26). Abu dan praktik pertobatan lainnya dapat sangat berdaya guna bagi jiwa kita, membantu kita akan kematian dan kefanaan dunia.
Masalah potensial bisa muncul dalam disposisi batin kita mengenai pemakaian abu. Apakah itu tanda penyesalan yang mengingatkan kita dan orang lain akan kematian dan sifat fana dari hal-hal duniawi? Atau apakah menjadikannya sebagai tanda kesalehan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sangat taat beriman?
Kita harus terus terang dan jujur dengan diri kita sendiri. Seperti yang sudah kita bahas, tidak ada pedoman untuk mengenakan abu, tapi kita harus berhati-hati untuk tidak bersikap “pamer” dengan itu, yang bisa menarik perhatian pada diri kita dan kesalehan diri kita. Di sisi lain, kita tidak boleh mencari alasan pembenaran untuk tidak mengenakan iman kita pada diri kita. Dengan kata lain, jika kita ingin segera membersihkan abunya – atau menghindarinya sejak awal – mengapa kita mau menandai diri kita? Apakah kita tidak ingin dipandang sebagai orang yang sok atau suka pamer? Atau karena kita tidak ingin orang lain tahu kalau kita adalah umat Katolik, atau ingin menantang iman kita? Apakah karena tidak mau menarik perhatian kepada diri kita sendiri daripada kepada Yesus, atau karena kita tidak mau menarik perhatian pada iman Katolik dan momento mori (ingatlah akan kematian[mu])?
Sebaliknya kita mengingat bagian mana yang paling mencolok antara upacara penobatan paus di masa lalu, di mana seorang saudara (friar/bruder) akan mempersembahkan kapada paus (sudah diatur dalam regalia kepausan dan membawanya di sekitar sedia gestatoria [kursi usungan]) dengan rami yang terbakat. Ketika rami terbakar menjadi abu dan asap, saudara itu dengan lantang menyatakan kepada paus, “Pater Sancte, sic transit gloria mundi!” (Dengan demikian Bapa Suci melewati kemuliaan dunia!) Dan inilah semboyan Rabu Abu: Tempus fugit, momento mori! (Waktu berlalu, ingatlah kematian!)
Semua pengingat kuat tentang kematian dan sifat fana dari hal-hal duniawi ada di depan mata dan menjadi pusat dari Rabu Abu, maka dengan mengenakan abu, bisa menjadi pengingat akan hal ini bagi mereka yang kita jumpai – terutama jika abu itu mengundang pembicaraan dengan orang lain.
Dan mengapa kita menyimpan kematian di depan mata kita seperti ini? Pilihan lain adalah ketika pelayan membubuhkan abu akan memberi tahu jawabannya: “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” Inilah gunanya dari abu itu. Dan jika orang lain melihat kita mengenakan abu maka bisa menjadi pengingat bagi mereka juga.
Sumber: “Doesn’t Jesus Say Not to Wear Ashes on Your Forehead?”
Posted on 3 March 2022, in Apologetika and tagged Prapaskah, Rabu Abu, Tobat. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0