Apakah Kitab-kitab Injil Bisa Dipercaya?

Oleh Jimmy Akin

Injil Matius (Sumber: catholic.com)

Jawaban singkatnya ’Ya.’ Jawaban panjangnya sangat menarik.

Dari sudut pandang iman, seperti halnya semua kitab dalam Alkitab, keempat Injil diilhami secara ilahi, dan hal ini berdampak pada kebenaran dan reliabilitasnya. Menurut Konsili Vatikan II:

Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka – semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh.

Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami atau hagiograf (penulis suci), harus di-pandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita. (Dei Verbum 11 Terjemahan RP. R. Hardawiryana, SJ. Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI)

Karena, di bawah naungan ilham ilahi, para Penginjil menulis “apa pun yang dikehendaki [Allah] supaya dituliskan, dan tidak lebih dari itu,” maka apa pun yang ditegaskan oleh Injil “ditegaskan oleh Roh Kudus” dan dengan demikian mengajarkan kebenaran “tanpa kesalahan.” Dengan demikian, Injil sepenuhnya dapat dipercaya.

Ini bukan berarti bahwa apa yang ditegaskan oleh para penulis Injil selalu jelas, tetapi maksudnya adalah jika kita sudah memahami dengan benar apa yang dikatakan oleh para penulis Injil, maka Allah menjamin bahwa hal itu adalah benar.

Tidak semua orang mempunyai perspektif iman yang sama, sehingga kita harus mempertimbangkan seberapa jauh reliabilitas Injil juga bisa dibuktikan dari sudut pandang akal sehat, yang dapat membawa kita kepada iman.

Dalam gelombang keilmuan skeptis yang dimulai lebih dari dua ratus tahun yang lalu, segala sesuatu dipertanyakan dan ditantang. Para skeptis berpendapat bahwa Injil ditulis oleh orang-orang yang tidak dikenal, jauh setelah peristiwa yang mereka gambarkan, dan bahwa kisah-kisah dan perkataan Yesus adalah hasil dari transmisi lisan dalam waktu yang lama dalam permainan “telepon-teleponan” yang tidak bisa dipercaya.

Ada beberapa alasan untuk menolak setiap dari pernyataan-pernyataan tersebut. Injil ditulis oleh orang-orang yang namanya tertulis di dalamnya, Injil ditulis pada masa yang cukup awal, dan Injil didasarkan pada kesaksian saksi mata atau saksi mata dekat. Namun, kami memiliki cara lain untuk menunjukkan reliabilitas Injil dari sudut pandang akal sehat.

Masalah Injil sinoptik membantu karena dapat menunjukkan kepada kita bagaimana para penulis Injil memperlakukan sumber-sumber mereka. Ketika Matius dan Lukas menggunakan Injil Markus, mereka tidak mengubah substansi dari perkataan atau kisah-kisah seseorang secara radikal. Mereka memoles bahasanya, tetapi mereka dengan hati-hati mempertahankan substansinya. Fakta bahwa ada begitu banyak bagian yang hampir sama kata demi kata menunjukkan betapa mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan Injil Markus. Dan jika mereka berhati-hati dengan sumber ini, hal itu memberi kita bukti bahwa mereka juga berhati-hati dengan sumber-sumber lain yang mereka gunakan.

Kita juga punya bukti bahwa Markus sangat hati-hati. Pada abad pertama, salah satu kontroversi besar di dalam Gereja adalah apakah orang Kristen harus menaati Hukum Musa, yang artinya ada beberapa makanan yang najis untuk dimakan, seperti yang dikatakan oleh beberapa orang Kristen perdana (Roma 14:1, Kolose 2:16).

Akan lebih mudah jika ada perkataan Yesus yang menyelesaikan masalah ini, dan jika para penulis Injil merasa bebas untuk mengarang perkataan Yesus, mereka akan melakukannya. Tetapi kita melihat Markus melakukan hal yang sangat berbeda. Dalam sebuah diskusi dengan orang-orang Farisi tentang apakah perlu makan dengan tangan yang bersih, Markus mencatat Yesus berkata demikian:

“Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam diri seseorang tidak dapat menajiskannya, karena tidak masuk ke dalam hati melainkan ke dalam perutnya, lalu keluar ke jamban?” (Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal) (Markus 7:18-19 TB2)

Pernyataan dalam tanda kurung adalah suatu kesimpulan yang Markus tarik dari perkataan Yesus. Jika tidak ada sesuatu pun yang masuk ke dalam diri seseorang menjadikannya najis, maka hal itu berlaku untuk makanan dan juga kotoran yang ada di tangannya. Tetapi Markus tidak menuliskan kesimpulan ini di bibir Yesus. Ia mempertahankan perkataan Yesus secara utuh dan menarik kesimpulan dari perkataan itu bukan mengubah perkataan Yesus.

Kitab Kisah Para Rasul adalah keunggulan lain dalam menilai reliabilitas para penulis Injil. Kisah Para Rasul mencakup rentang waktu yang jauh lebih panjang (sekitar tiga puluh tahun) dan mencakup seluruh dunia Yunani-Romawi, yang berarti kitab ini memberi kita lebih banyak klaim yang bisa diuji kebenarannya. Ketika dilakukan pengujian, kita menemukan bahwa Lukas sangat akurat.

William Ramsay, seorang cendekiawan Inggris melakukan penelitian terhadap kitab Kisah Para Rasul, dia menganggap kitab ini tidak dapat diandalkan, kemudian dia menyimpulkan bahwa “Kisah Para Rasul layak dikutip sebagai otoritas sejarah yang dapat dipercaya” dan “Lukas adalah seorang sejarawan yang terbaik. . . . Singkatnya, penulis ini harus ditempatkan bersama dengan para sejarawan yang terkemuka” (222).

Lalu bagaimana dengan semua “kontradiksi” di dalam Injil yang diklaim oleh para skeptis? Penting untuk mengetahui bagaimana menjawab klaim-klaim ini.

Pertama-tama, kontradiksi yang dituduhkan tidak pernah menyangkut hal-hal yang besar. Para skeptis tidak mampu menunjukkan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Yesus adalah orang Yunani dan bukannya orang Yahudi, atau mengatakan bahwa Yusuf adalah ayah biologisnya, atau bahwa Yesus dirajam dan tidak disalibkan. Selalu saja, kontradiksi yang dituduhkan itu kecil. Jadi, meskipun ada perbedaan di antara Injil, perbedaan itu hanya pada hal-hal yang kecil, dan substansinya tetap benar.

Namun, ternyata perbedaan-perbedaan kecil yang dituduhkan itu bukanlah kontradiksi. Ayat-ayat itu mungkin kelihatannya bertentangan bagi orang-orang skeptis yang membaca Injil seolah-olah Injil ditulis menurut kaidah modern. Tetapi ketika kita meneliti cara penulisan literatur kuno, kita menemukan ayat-ayat itu tidak bertentangan.

Konsili Vatikan II menekankan perlunya mempelajari cara menulis para penulis kuno:

Adapun karena Allah dalam Kitab Suci bersabda melalui manusia secara manusia, maka untuk menangkap apa yang oleh Allah mau disampaikan kepada kita penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah dengan kata-kata mereka. (Dei Verbum 12 Terjemahan RP. R. Hardawiryana, SJ. Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI)

Di sini kita akan melihat tiga cara penulisan kuno yang dapat membingungkan pembaca modern: seleksi, parafrase, dan pengurutan.

Seleksi berhubungan dengan materi apa yang dipilih oleh seorang penulis untuk dicantumkan. Karena harga buku sangat mahal dan para penulis Injil ingin membuat karya mereka cukup ringkas supaya bisa dimuat dalam satu gulungan kitab, maka mereka harus memilih detail mana yang harus dimasukkan dan mana yang harus dihilangkan. Yohanes bahkan menyinggung mengenai hal ini dengan mengatakan bahwa ia mengetahui lebih banyak daripada yang dapat ia tuliskan (bdk. Yohanes 21:25).

Para penulis Injil membuat pilihan tentang rincian apa yang harus disebutkan dan dihilangkan, dan kadang-kadang orang skeptis menggambarkan hal ini sebagai kontradiksi. Sebagai contoh, Markus 10:46-52 mencatat bagaimana Yesus menyembuhkan Bartimeus yang buta di Yerikho, meskipun Matius 9:27-31 mengindikasikan bahwa Ia menyembuhkan dua orang buta pada kesempatan itu.

Hal ini bukan merupakan kontradiksi. Markus hanya berfokus pada Bartimeus, sedangkan Matius menyebutkan orang buta lainnya. Hal ini bisa dibandingkan dengan bagaimana para saksi mata kecelakaan mobil dapat melaporkan detail yang berbeda tanpa saling bertentangan.

Parafrase adalah menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menyampaikan makna yang sama. Kita sering melakukan cara ini dalam percakapan sehari-hari. Kita menyampaikan inti dari apa yang dikatakan seseorang kepada kita tanpa menggunakan kata-katanya secara persis. Namun dalam karya tulis, kita tidak berharap untuk melihat parafrase diletakkan di antara tanda kutip. Sebagian hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kita hidup di dunia yang penuh dengan alat perekam, dan jauh lebih mudah untuk memeriksa apa yang dikatakan seseorang dan menyampaikan kata-katanya dengan tepat.

Tetapi di dunia kuno, mereka tidak mempunyai alat perekam. Mereka juga tidak menggunakan tanda petik (tanda petik ditambahkan oleh para penerjemah Alkitab), sehingga para pembaca kuno tidak menuntut para penulis untuk selalu memberikan kata-kata yang tepat. Mereka mengharapkan para penulis untuk memberikan intisari yang akurat dari apa yang akan dikatakan seseorang dalam suatu kesempatan, tetapi bukan kata-kata yang persis sama.

Misalnya, Matius memberikan pembukaan Doa Bapa Kami seperti ini: “Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (6:9-10 TB2), sedangkan Lukas menuliskannya dalam bentuk yang lebih singkat: “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah kerajaan-Mu” (11:2 TB2).

Para audiens zaman kuno tidak akan menganggap hal ini sebagai sebuah kontradiksi, tetapi sebagai jenis parafrase yang biasa mereka terima. Kedua penulis mempertahankan makna yang sama; hanya saja susunan kata-katanya sedikit berbeda.

Pengurutan berkaitan dengan urutan bagaimana seorang penulis menyajikan materinya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Kadang-kadang seorang penulis dapat menyajikan materi dalam urutan kronologis yang ketat, tetapi di lain waktu, ia dapat menyusunnya berdasarkan topik.

Hal ini dapat membingungkan pembaca modern karena kita hidup di zaman di mana catatan sering kali disimpan tentang kapan suatu peristiwa terjadi. Di dunia kuno, hal ini biasanya tidak terjadi. Orang akan mengingat apa yang terjadi, tetapi tidak ingat tanggal pastinya. Akibatnya, para pendengar zaman kuno tidak menuntut seorang penulis untuk mencatat segala sesuatu dalam urutan kronologis yang ketat, kecuali jika ia mengatakan bahwa itulah yang ia lakukan.

Jadi, ketika Matius mengumpulkan perkataan-perkataan Yesus yang berbeda dan menyusunnya menjadi pidato-pidato berdasarkan topik, seperti dalam Khotbah di Bukit (Mat. 5-7), para audiens asli tidak akan memahaminya sebagai pernyataan yang menyatakan bahwa Yesus secara harfiah menyampaikan semua perkataan itu, dalam urutan seperti itu, dalam satu kesempatan. Bagi mereka, yang penting adalah bahwa Yesus mengatakannya, bukan kapan Dia mengatakannya.

Menyadari bahwa para Penulis Injil – seperti penulis kuno lainnya – mungkin menggunakan urutan topik dan bukan urutan kronologis, maka hal ini akan menyelesaikan dugaan ketidaksesuaian kronologi dalam Injil.

Pada akhirnya, tidak ada kontradiksi dalam kitab-kitab Injil, tetapi untuk menunjukkan hal ini, kita perlu memahami apa yang ditegaskan dan tidak ditegaskan oleh para penulis Injil, dan hal ini membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana cara penulisan sastra kuno.

 

Sumber: “Can I Trust the Gospels?”

Posted on 2 September 2023, in Apologetika, Kitab Suci and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.