Hati Kudus Yesus Menjawab Jansenisme

Oleh Joe Heschmeyer

Yesus di Taman Getsemani karya Karl Geiger (Sumber: catholic.com)

Jika Anda merasa belum layak mendapatkan pengampunan, renungkanlah Hati Kudus Yesus.

Mengapa saat ini umat Katolik merayakan Hari Raya Hati Kudus Yesus? Kita tidak memperingati hari-hari raya yang didedikasikan untuk bagian tubuh Yesus yang lain. Tidak ada “Hari Raya Tangan Yesus,” misalnya, untuk menghormati pembaptisan dan penyembuhan-Nya. Jadi, mengapa ada hari raya untuk hati-Nya?

Secara Alkitabiah, hati adalah “pusat diri kita yang tersembunyi.” Kitab Suci merujuk kepada hati lebih dari seribu kali, sering kali dalam konteks doa seperti yang dijelaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) (2562-2563). Perintah terbesar dalam Hukum Taurat adalah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:5, Markus 12:30). Maka, ketika berbicara tentang Hati Kudus Yesus, kita mengacu pada pribadi Yesus dan kemanusiaan-Nya, dan pada kasih-Nya kepada Bapa dan kepada kita, sesuai dengan apa yang disebut oleh Dikasteri untuk Ibadat Ilahi sebagai “kasih ilahi-manusiawi yang tak terbatas kepada Bapa dan saudara-saudara-Nya.” Dengan cara yang khusus, gambar Hati Kudus menggambarkan saat di mana kasih itu dicurahkan bagi kita di kayu salib, ketika seorang prajurit menikam lambung Kristus, dan segera keluar darah dan air (Yohanes 19:34).

Seperti yang dicatat oleh Dikasteri untuk Ibadat Ilahi, kita mengenal devosi kepada Hati Kudus di sepanjang Abad Pertengahan, tetapi devosi ini berkembang dari devosi pribadi yang menjadi perayaan liturgis, dan juga tidak sedikit berperan dalam menanggapi ajaran sesat Jansenisme. Dalam kata-kata Paus Pius XI, “Hari Raya Hati Kudus Yesus ditetapkan pada saat manusia ditindas oleh kesedihan dan kekelaman Jansenisme, yang telah membuat hati mereka menjadi dingin, dan menutup diri mereka dari kasih Allah dan harapan akan keselamatan.”

Lantas, apa itu ajaran sesat Jansenisme, dan bagaimana Hati Kudus menjadi jawabannya?

Meskipun ajaran sesat Jansenisme kadang-kadang disederhanakan dengan tidak berimbang, ada tiga ciri khas ajaran sesat ini yang (secara tidak sengaja) menimbulkan dampak yang menghancurkan. Yang pertama adalah predestinasi ganda: bahwa Allah menetapkan beberapa orang untuk masuk surga dan yang lainnya masuk neraka, terlepas dari jasa mereka. Seperti yang ditelusuri oleh Leszek Kołakowski dalam bukunya God Owes Us Nothing, teologi Jansenise berargumen bahwa Allah memberikan rahmat yang diperlukan untuk keselamatan kepada sebagian orang dan menahan rahmat itu dari sebagian yang lain (hlm. 31-35). Hasil dari gagasan ini adalah bahwa beberapa orang akan masuk neraka, dan tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak diselamatkan, bukan karena mereka menolak tawaran Allah tetapi karena Allah tidak ingin menyelamatkan mereka.

Karakteristik kedua adalah penyesalan tidak sempurna, yang kadang-kadang dikenal sebagai attritio. Secara sederhana: Jika saya meninggalkan dosa karena takut akan neraka (dan bukan karena kasih kepada Allah), apakah itu cukup baik untuk diampuni? Katekismus (1453) sekarang menjelaskan: “penyesalan tidak sempurna sendiri belum menerima pengampunan dosa berat” namun, penyesalan yang tidak sempurna cukup untuk menerima pengampunan melalui Sakramen Tobat, karena penyesalan yang tidak sempurna dapat disempurnakan melalui rahmat-rahmat sakramental yang mengalir dari pengakuan dosa. Namun, kaum Jansenis mengajarkan hal yang sebaliknya: bahkan untuk mendapatkan pengakuan dosa yang sah, seorang peniten memerlukan sesal sempurna. Lebih parah lagi, para imam Jansenis “secara rutin menahan absolusi, dengan keyakinan bahwa hanya sedikit orang yang bertobat yang menunjukkan kesesuaian sikap dan penyesalan yang cukup.”

Ketiga, karena begitu sedikit orang yang dapat mengalami sesal sempurna, kaum Jansenis memperingatkan supaya tidak terlalu sering menerima Komuni, sebagai upaya keliru untuk menghindari skandal penerimaan Komuni yang tidak pantas.

Apa dampak yang dihasilkan dari ketiga ajaran ini? Bahwa umat Katolik biasa meragukan kasih Allah bagi mereka; meragukan apakah mereka sudah (atau mungkin) diampuni, bahkan setelah melakukan pengakuan dosa; dan menjauhi tubuh dan darah Kristus dalam Komuni karena takut, sehingga mereka tidak mendapatkan rahmat sakramental. Dengan demikian, pandangan mereka terhadap Allah menjadi terdistorsi. Seperti yang dikatakan oleh Paus Pius XI, “Allah tidak dikasihi sebagai seorang bapa, melainkan ditakuti sebagai seorang hakim yang tegas.”

Hal ini menjadi wawasan yang penting. Bukan hanya karena Jansenisme salah dalam memahami detail-detail dari predestinasi atau penyesalan atau penerimaan sakramen. Jansenisme telah salah memahami Allah dengan cara yang fundamental (sangat mendasar) sehingga banyak dari kita yang masih salah memahaminya hingga saat ini.

Maka, mungkin sudah sepantasnya jika Allah sendiri yang meluruskannya. Ketika beberapa paus pada abad ke-17 dan ke-18 dengan susah payah mencoba untuk membasmi Jansenisme, Yesus melakukan intervensi dengan cara yang tidak terduga: melalui serangkaian penampakan kepada seorang biarawati Prancis bernama Margaret Mary Alacoque (1647-1690). Dalam penampakan terakhir dan yang paling terkenal, Yesus menunjukkan hati-Nya dan berkata,

Lihatlah hati yang begitu mengasihi manusia sehingga tidak menyisakan apa pun, bahkan letih lesu dan sampai hati itu habis untuk memberi kesaksian tentang kasih-Nya; dan sebagai balasannya, Aku menerima dari sebagian besar orang hanyalah sikap tidak bersyukur, dengan ketidaksopanan dan penistaan mereka, serta dengan sikap dingin dan penghinaan yang mereka lakukan terhadap-Ku dalam sakramen kasih ini.

Secara teologis, inilah yang diperlukan untuk mengoreksi Jansenisme. Yesus tidak menyangkal apa pun yang dikatakan Jansenisme yang benar: bahwa dosa melukai hati Allah, bahwa begitu banyak dari kita yang tampaknya tidak peduli kepada Allah, bahwa kita dapat tergelincir ke dalam sikap tidak tahu berterima kasih kepada Allah dengan sangat mudah. Namun, alih-alih mengungkapkan hal ini dalam ungkapan murka ilahi, Yesus menyajikannya sebagai sebuah tragedi kasih bertepuk sebelah tangan. Artinya, orang-orang berdosa bertindak seperti ini bukan karena Allah menolak kasih karunia-Nya, tetapi karena mereka gagal untuk menghargai kedalaman dan keluasan kasih Allah bagi mereka. Yesus melihat masalah yang sama seperti yang dipandang oleh kaum Jansenis, tetapi Dia menjawabnya dengan tangan terbuka dan hati yang terbuka.

Kesulitan besar dalam mempercayai kasih dan belas kasihan Allah adalah menerima bahwa Allah itu sangat berbeda. Sulit untuk memahami bahwa Allah yang tidak diciptakan dan tidak berubah di alam semesta ini memiliki kasih pribadi bagi kita. Maka Yesus mengingatkan kita bahwa Dia memiliki hati manusia, sehingga Dia juga memiliki berbagai macam emosi manusiawi. Namun, Dia sepenuhnya ilahi dan juga sepenuhnya manusia. Dengan demikian, devosi kita bukan hanya kepada hati saja melainkan kepada Hati Kudus Yesus. Yesus memiliki pengalaman penuh akan emosi manusia sekaligus penglihatan sempurna akan pengetahuan ilahi.

Paus Pius XI mengilustrasikan konsekuensi dari ikatan ilahi-manusiawi ini dalam sebuah refleksi yang indah tentang Yesus di Taman Getsemani. Di satu sisi, ia menunjukkan bahwa “karena dosa-dosa kita juga yang belum terjadi, tetapi sudah diketahui sebelumnya,” jiwa Kristus menjadi “sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Matius 26:38). Dengan kata lain, yang membebani Kristus pada dasarnya bukanlah bayang-bayang salib yang mengerikan, tetapi beban dosa-dosa kita.

Tetapi ada konsekuensi yang membahagiakan dari pemikiran ini: ketika kita membaca bahwa “seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya dan memberi kekuatan kepada-Nya” (Lukas 22:43 TB2), ini juga harus dipahami sebagai Kristus yang menubuatkan tindakan-tindakan silih kita terhadap Hati Kudus Yesus agar “hatinya yang ditindas oleh keletihan dan kesedihan dapat memperoleh penghiburan.” Maka, Paus menyimpulkan “bahkan sekarang, dengan cara yang menakjubkan namun benar, kita dapat dan harus menghibur Hati yang Mahakudus yang terus-menerus dilukai oleh dosa-dosa manusia yang tidak tahu berterima kasih.”

Ini adalah gambaran yang luar biasa dan mengagumkan. Janji Hati Kudus adalah bahwa tindakan kita hari ini digabungkan (melalui pengetahuan Allah yang sempurna) dengan pengalaman Kristus di Getsemani, apakah kita menambahkan satu beban lagi kepada-Nya melalui dosa-dosa kita, atau memberikan satu penghiburan lagi kepada-Nya melalui tindakan cinta dan silih. Maka dalam ensiklik lain tentang Hati Kudus Yesus yang berjudul Caritate Christi Compulsi, Paus Pius XI mendorong agar “Hari Raya Hati Kudus bagi seluruh Gereja merupakan suatu perlombaan kudus dalam silih dan permohonan,” di mana kita bergegas dalam jumlah besar “menuju kaki altar untuk menyembah Sang Penebus Dunia, di balik selubung sakramen,” mencurahkan isi hati kita kepada-Nya. Adakah cara yang lebih baik untuk merayakan kemenangan kasih Yesus atas kekejaman Jansenisme dan persepsi kita yang keliru tentang Allah?

 

Sumber: “The Sacred Heart Kills Heresy”

Posted on 7 June 2024, in Apologetika and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.