[…] Mencari Keseimbangan – Kisah Cara Valle – Terang Iman, accessed October 9, 2025, https://terangiman.com/2023/01/23/mencari-keseimbangan-kisah-cara-valle/ […]
Iman dan Perbuatan Menurut Iman Katolik
Oleh Jimmy Akin

Iman dalam perbuatan (Sumber corpuschristiphx.org)
Menjadi problematis untuk membingkai diskusi Protestan-Katolik tentang pembenaran hanya dalam kerangka “hanya iman” melawan “iman dan perbuatan.”
Anda sering mendengar teman-teman Protestan dan Katolik mengatakan hal ini: “Protestan percaya pada iman saja, sedangkan Katolik percaya pada iman dan perbuatan.”
Akan tetapi, pernyataan itu merupakan penyederhanaan yang keliru. Jika Anda mengatakan kepada seorang Evangelikal, “Anda percaya pada iman saja, tetapi kami orang Katolik percaya pada iman dan perbuatan,” Anda akan membuatnya berpikir bahwa Gereja Katolik mengajarkan sesuatu yang pada kenyataannya adalah salah.
Inilah alasannya …
Hubungan pembenaran (justifikasi)
Pembahasan tentang iman dan perbuatan tidak terjadi dalam ruang hampa. Hal ini terjadi dalam konteks yang spesifik yaitu doktrin pembenaran.
Perjanjian Baru menggunakan kata pembenaran untuk merujuk kepada satu hal yang Allah lakukan bagi kita melalui anugerah-Nya. Sayangnya, ada banyak ketidaksepakatan tentang apa yang dimaksud dengan pembenaran.
Cara yang biasa digunakan oleh teman-teman Evangelikal Amerika, ketika Allah membenarkan seseorang artinya Allah menyatakan dosa orang itu telah diampuni dan menyatakan orang tersebut benar. Hal ini terjadi pada awal kehidupan Kristen, ketika seseorang pertama kali datang kepada Allah.
Sejauh ini, deskripsi ini akurat. Teologi Katolik akan mengatakan bahwa ada lebih banyak hal dalam pembenaran selain itu, tetapi memang benar bahwa pada awal kehidupan Kristen, Allah mengampuni dosa-dosa seseorang dan menyatakannya benar.
Hanya iman
Ketika teman-teman Protestan menggunakan frasa “hanya iman,” mereka menjelaskan bagaimana kita dibenarkan. Artinya, untuk datang kepada Allah, diampuni, dan dinyatakan benar, Anda tidak perlu melakukan apa pun supaya layak di hadapan Allah kecuali beriman kepada Yesus Kristus.
Dalam praktiknya, Protestan memberikan makna yang berbeda pada formula “hanya iman.” Orang Misalnya, kalangan Lutheran tidak melihat gagasan bahwa baptisan memberikan keselamatan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hal ini.
Dalam Katekismus Kecil, Martin Luther bertanya, “Apa yang diperoleh dari baptisan? Apa gunanya?” Jawabannya: “Baptisan memberikan pengampunan dosa, penebusan dari maut dan iblis, memberikan keselamatan kekal bagi semua orang yang mempercayainya, seperti yang dinyatakan oleh firman dan janji Allah.”
Berbagai kelompok Protestan, termasuk beberapa orang Calvinis, Anglikan, Methodis, dan lainnya, mereka percaya bahwa baptisan berperan dalam keselamatan, tetapi kelompok lainnya tidak setuju. Beberapa kelompok, terutama dari aliran Baptis, menyatakan bahwa jika baptisan berperan dalam keselamatan, maka hal itu akan melanggar formula “hanya iman.” Oleh karena itu, mereka memahami formula ini dengan cara yang mengecualikan baptisan. Ini adalah posisi yang paling umum dalam aliran Evangelikalisme Amerika.
Terlepas dari bagaimana mereka menafsirkan formula “hanya iman,” ada satu hal yang disetujui oleh kalangan Protestan yang akan melanggar formula ini, yaitu perbuatan. “Perbuatan” apa pun bentuknya, adalah hal yang ingin dikecualikan oleh formula “hanya iman.”
Banyak hal yang bisa dikatakan tentang apa yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam Alkitab, tetapi karena keterbatasan tempat, kita tidak akan membahasnya di sini. Cukuplah bagi kita untuk mencatat bahwa sebagian besar teman-teman Evangelikal memahami istilah ini sebagai “perbuatan baik” (memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, dan sebagainya). Beberapa orang memahaminya secara lebih luas lagi, yaitu segala sesuatu yang Anda lakukan.
Kedua kelompok ini biasanya memandang perbuatan baik sebagai cara untuk mendapatkan kelayakan kita di hadapan Allah.
Iman dan perbuatan?
Jika seorang Katolik mengatakan kepada seorang Protestan, “Kami percaya bahwa kita dibenarkan karena iman dan perbuatan,” maka hal ini akan membuat orang Protestan tersebut mempercayai ajaran Katolik yang tidak benar.
Ingat: Teman-teman Protestan menggunakan istilah pembenaran untuk merujuk kepada sebuah peristiwa di awal kehidupan Kristen di mana Allah mengampuni kita dan menyatakan kita benar. Akibatnya, seorang Protestan akan berpikir bahwa orang Katolik mengatakan bahwa kita perlu melakukan perbuatan untuk datang kepada Tuhan dan diampuni.
Hal ini akan membenarkan bias-biasnya terhadap Gereja dan memainkan semua stereotip yang tersisa dari Zaman Reformasi, di mana orang Katolik digambarkan sedang memegang Injil palsu yang menyatakan bahwa kita harus mendapatkan kelayakan kita di hadapan Allah dengan usaha kita sendiri. Tetapi, Gereja Katolik tidak mengajarkan demikian.
Konsili Trente tentang Pembenaran
Setelah Reformasi Protestan, Gereja Katolik mengadakan konsili ekumenis di kota Trento, Italia, untuk membahas pertanyaan-pertanyaan teologis yang sedang diperdebatkan. Konsili Trente mengeluarkan Dekrit tentang Pembenaran [Decree on Justification (DJ)], yang menetapkan posisi Katolik tentang masalah ini.
Di tengah situasi yang memanas, para pemimpin Protestan menggambarkan Konsili Trente sebagai penjahat besar yang hanya mengulangi ajaran-ajaran palsu Gereja dan Injil palsunya. Penggambaran tersebut masih dapat ditemukan hingga saat ini dalam banyak literatur Protestan mengenai hal ini.
Tetapi jika Anda membaca apa yang dikatakan oleh Trente, Anda akan menemukan bahwa Trente sebenarnya menyangkal sebagian besar dari apa yang dituduhkan kepadanya. Hal ini terjadi pada gagasan bahwa kita perlu mendapatkan kelayakan kita di hadapan Allah dengan melakukan perbuatan-perbuatan, terutama pada awal kehidupan Kristen ketika pertama kali kita dibenarkan.
Menurut Konsili Trente, “Tidak ada satu pun dari hal-hal yang mendahului pembenaran, baik itu iman maupun perbuatan, yang layak menerima anugerah pembenaran. ‘Jika hal itu terjadi berdasarkan anugerah, maka bukan lagi berdasarkan perbuatan, sebab jika tidak demikian, anugerah bukan lagi anugerah (TB2)’” (DJ 8, mengutip Roma 11:6).
Ketika kita datang kepada Allah dan dibenarkan, hal itu terjadi tanpa jasa apa pun dari pihak kita. Baik iman maupun perbuatan kita (atau apa pun juga) tidak layak menerima pembenaran. Dengan demikian, Konsili Trente menyangkal hal yang ditakutkan oleh saudara-saudara Protestan kita, yaitu bahwa kita mengarahkan mereka untuk percaya jika kita percaya kepada “pembenaran oleh iman dan perbuatan.”
Bukankah itu istilah kita?
Mengingat betapa umum istilah “dibenarkan oleh iman dan perbuatan” di beberapa kalangan Katolik, kita harus berhati-hati dalam menggunakan istilah ini dengan teman-teman Protestan, mungkin terasa asing. Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah itu istilah yang kita gunakan ketika meringkas kepercayaan kita tentang pembenaran?”
Tergantung siapa yang Anda maksud dengan “kita.” Banyak umat Katolik menggunakan kata ini menjadi semacam rangkuman paling puncak tentang pembenaran, tetapi Anda tidak akan menemukan magisterium (otoritas pengajaran Gereja) yang menggunakannya cara itu.
Jika Anda membaca Dekrit tentang Pembenaran dalam Konsili Trente, atau bagian tentang pembenaran dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 1987-1995), Anda tidak akan menemukan frasa “iman dan perbuatan.” Dan Anda juga tidak akan menemukan kata perbuatan sama sekali dalam bagian Katekismus tentang pembenaran.
Mungkin agak mengejutkan, tetapi fakta bahwa magisterium tidak mengungkapkan ajarannya dengan cara ini adalah pertanda bahwa kita perlu melihat lebih dekat apa yang dikatakannya.
Lalu, bagaimana dengan Yakobus 2:24?
Pertanyaan penting pada tahap ini adalah bagaimana magisterium menangani Yakobus 2:24, yang mengatakan bahwa kita “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.”
Dalam diskusi-diskusi populer, ayat ini sering kali disampaikan kepada teman-teman Protestan seolah-olah ayat ini membuktikan bahwa kita dibenarkan oleh iman dan perbuatan, tanpa ada yang perlu dikatakan lagi. Dihadapkan dengan klaim ini, pihak Protestan mungkin akan menjawab, “Tetapi bukan jenis pembenaran seperti itu yang dibicarakan oleh Yakobus.”
Sebelum menolak klaim ini, seorang Katolik harus menyadari satu hal: Magisterium setuju dengan klaim ini. Setidaknya, magisterium tidak mengutip Yakobus 2:24 sehubungan dengan pembenaran yang terjadi pada awal kehidupan Kristen. Sebaliknya, magisterium merujuk pada sesuatu yang lain.
Bertumbuh di dalam kebenaran
Sebelumnya kita telah menyebutkan bahwa teman-teman Protestan cenderung memahami pembenaran sebagai sebuah peristiwa yang terjadi di awal kehidupan Kristen di mana kita diampuni dan dinyatakan benar oleh Allah, dan kita telah mengatakan bahwa pemahaman ini benar sejauh yang kita ketahui.
Namun dalam pandangan Katolik, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pembenaran.
Pertama-tama, Allah tidak hanya menyatakan kita benar. Dia juga menjadikan kita benar dalam pembenaran. Oleh karena itu, Konsili Trente mendefinisikan pembenaran sebagai “bukan hanya pengampunan dosa, tetapi juga pengudusan dan pembaruan manusia batiniah” (DJ 7).
Jadi pada awal kehidupan Kristen, Allah mengampuni dosa-dosa kita dan memberikan karunia kebenaran kepada kita.
Tetapi Dia belum selesai dengan kita. Dia ingin kita bertumbuh dalam kebenaran di sepanjang kehidupan Kristen, dan jika kita bekerja sama dengan anugerah-Nya, kita dapat melakukannya.
Teologi Katolik mengacu pada pertumbuhan dalam kebenaran ini dengan menggunakan istilah pembenaran. Jadi, dalam istilah Katolik, pembenaran bukanlah sesuatu yang terjadi pada awal kehidupan Kristen. Pembenaran itu terjadi di sepanjang kehidupan Kristen.
Hubungan dengan sifat benar (righteousness)
Alasan Gereja mengacu pada pertumbuhan dalam sikap yang benar (righteousness) ini sebagai bentuk pembenaran (justification) agak kurang jelas dalam bahasa Inggris. Hal ini karena kosakata bahasa Inggris berasal dari bahasa Jerman dan Latin. Akibatnya, konsep dasar yang sama dapat muncul dalam lebih dari satu istilah dalam bahasa Inggris.
Itulah yang terjadi pada kebenaran (righteousness) dan adil (justice). Keduanya merupakan dua kata yang berbeda dalam bahasa Inggris, tetapi keduanya mewakili istilah yang sama dalam bahasa Latin, Yunani, Ibrani, dll. Akibatnya, terkadang Anda melihat karya-karya Katolik dalam bahasa Inggris diterjemahkan sedemikian rupa sehingga berbicara tentang Allah yang memberi kita karunia “keadilan” (yaitu, kebenaran), kita bertumbuh dalam keadilan, dan dengan demikian kita semakin dibenarkan.
Hal ini terdengar tidak biasa dalam bahasa Inggris, dan para cendekiawan Protestan maupun Katolik telah menyesalkan bahwa kita tidak memiliki kosakata untuk mengatakan hal-hal seperti “Allah memberi kita karunia kebenaran, kita bertumbuh dalam kebenaran, dan dengan demikian kita semakin dibenarkan.”
Sebagai hasilnya, kita harus mengingat bagaimana kebenaran (righteousness) dan pembenaran (justification) saling berkaitan.
Konsili Trente tentang Surat Yakobus
Hal ini membawa kita pada apa yang dikatakan oleh Konsili Trente tentang Surat Yakobus 2:24.
Setelah membahas pembenaran yang terjadi pada awal kehidupan Kristen, Konsili Trente mengutip beberapa perikop dari St. Paulus tentang bagaimana umat Kristiani bertumbuh dalam kebajikan dengan menyerahkan tubuh kita kepada kebenaran untuk pengudusan. Ia menyatakan bahwa dengan perbuatan baik kita “bertambah dalam keadilan yang diterima melalui anugerah Kristus dan semakin dibenarkan” (DJ 10).
Dalam konteks pertumbuhan dalam kebenaran inilah (dan hanya dalam konteks ini) Trente mengutip Yakobus 2:24: “Jadi kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman (TB2).”
Dengan demikian, Trente mengaitkan pernyataan Yakobus ini bukan pada pembenaran awal yang terjadi ketika kita pertama kali datang kepada Allah, tetapi pada pertumbuhan dalam kebenaran yang terjadi di sepanjang kehidupan Kristen.
Jadi, seorang Protestan yang keberatan bahwa Yakobus berbicara tentang jenis pembenaran yang berbeda dengan yang ada dalam pikiran seorang Protestan adalah benar. Yakobus tidak mengatakan bahwa Anda perlu melakukan perbuatan baik untuk diampuni. Begitu juga dengan Gereja Katolik.
Dari sudut pandang Protestan
Jika hal ini dijelaskan kepada banyak teman-teman Protestan, mereka mungkin akan sedikit lega sekaligus bingung.
Mereka akan merasa lega ketika mendengar bahwa Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa kita harus melakukan perbuatan baik untuk datang kepada Allah dan dibenarkan, dan mereka akan merasa lega ketika mendengar bahwa Gereja Katolik mengaitkan Yakobus 2:24 dengan kejadian-kejadian di kemudian hari dalam kehidupan Kristen.
Di sisi lain, mereka kemungkinan besar masih memiliki beberapa perbedaan, setidaknya pada tingkat terminologi. Meskipun Protestan mengakui bahwa Allah menguduskan dan memperbarui batin manusia ketika seseorang pada saat pertama kali dibenarkan, mereka cenderung tidak memasukkan hal ini ke dalam istilah pembenaran (justifikasi). Sebaliknya, mereka memperlakukannya sebagai peristiwa yang terpisah tetapi bersamaan.
Meskipun mereka mengakui bahwa dengan bekerja sama dengan anugerah Allah dan melakukan perbuatan baik, kita bertumbuh dalam kebenaran sebagai orang Kristen, mereka juga tidak menggunakan istilah pembenaran (justifikasi) untuk proses ini.
Seorang Protestan yang berpikiran terbuka mungkin akan berkata, “Ya, kami tidak menggunakan istilah pembenaran seperti itu, dan kami mungkin tidak setuju dengan penafsiran ayat-ayat tertentu, tetapi kami dapat mengakui bahwa apa yang dikatakan oleh orang Katolik dalam hal ini adalah benar, meskipun mereka mengekspresikannya dengan cara yang berbeda.”
Namun, seorang Protestan seperti itu mungkin bertanya-tanya sejauh mana kita dapat setuju. Ia mungkin bertanya: “Bukankah Konsili Trente mengutuk ‘hanya iman’ dengan anathema?”
Anathema
Kanon 9 dari Dekrit tentang Pembenaran dalam Konsili Trente menyatakan: “Jika ada orang yang berkata bahwa seorang pendosa dibenarkan oleh iman saja, sehingga ia memahami bahwa tidak ada hal lain yang diperlukan untuk bekerja sama untuk memperoleh anugerah pembenaran, dan bahwa ia sama sekali tidak perlu dipersiapkan dan diarahkan oleh tindakan dari kehendaknya sendiri, maka terkutuklah (anathema) dia.”
Hal ini banyak disalahpahami.
Salah satu alasannya adalah karena istilah anathema sering diartikan di kalangan Protestan sebagai “dikutuk oleh Allah,” dan kanon digambarkan sebagai pengutukan umat Protestan ke neraka.
Sebenarnya tidak demikian. Pada waktu itu dalam sejarah, istilah anathema merujuk pada suatu bentuk ekskomunikasi yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan Gereja untuk pelanggaran serius tertentu. Hal itu dilakukan dengan upacara khusus, dan tujuannya adalah untuk memotivasi orang untuk bertobat. Ketika mereka bertobat, maka ekskomunikasi itu dicabut dengan upacara khusus. Hukuman ini jarang terjadi dan akhirnya dihapuskan.
Anathema bukanlah vonis yang menjatuhkan hukuman bagi seseorang ke neraka, tidak berlaku secara otomatis, tidak pernah diterapkan pada semua orang Protestan sebagai satu kelompok, dan tidak berlaku bagi siapa pun saat ini. Namun, penggunaan istilah ini menyiratkan penolakan yang otoritatif terhadap formula “hanya iman,” ketika istilah ini digunakan untuk mengartikan suatu hal yang spesifik.
Kanon tidak mengatakan, “Jika ada orang yang berkata bahwa seorang pendosa dibenarkan oleh iman saja, terkutuklah dia.” Sebaliknya, kanon ini menolak penggunaan formula tertentu, di mana seseorang “memahami bahwa tidak ada hal lain yang diperlukan untuk bekerja sama untuk memperoleh anugerah pembenaran, dan bahwa ia sama sekali tidak perlu dipersiapkan dan diarahkan oleh tindakan dari kehendaknya sendiri.”
Oleh karena itu, Konsili Trente menolak “hanya iman” ketika digunakan untuk mengatakan bahwa Anda tidak perlu bekerja sama dengan anugerah Allah, bahwa hanya iman intelektual saja yang akan menyelamatkan Anda.
Dan Konsili Trente memang benar. Hanya dengan menyetujui kebenaran-kebenaran teologi tidaklah cukup untuk diselamatkan. Seperti yang dikatakan Yakobus: “Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Setan-setan pun percaya akan hal itu dan gemetar” (Yakobus 2:19 TB2).
“Hanya iman” yang Katolik?
Jika Konsili Trente tidak menolak semua penggunaan “hanya iman,” dapatkah formula ini dapat diterima dari sudut pandang Katolik?
Mungkin mengejutkan, tetapi cukup banyak Bapa Gereja yang menggunakannya (lihat Joseph Fitzmyer, Roma, 360). Bahkan Thomas Aquinas pun menggunakannya (Tafsiran mengenai 1 Timotius, bab 1, pelajaran 3, Tafsiran mengenai Galatia, bab 2, pelajaran 4).
Para Bapa Konsili mungkin sudah tahu bahwa beberapa sumber Katolik menggunakan formula tersebut, dan mungkin inilah salah satu alasan mengapa mereka hanya menolak penafsiran-penafsiran tertentu dari formula tersebut.
Sejak masa Konsili, para teolog Katolik telah mengeksplorasi pengertian-pengertian di mana formula tersebut mungkin sesuai dengan ajaran Katolik. Secara khusus, mereka telah menunjukkan bahwa kebajikan teologis kasih (kasih Allah yang adikodrati) menyatukan kita dengan Allah, sehingga, jika seseorang memiliki iman yang digabungkan dengan kasih, maka ia memiliki “iman yang bekerja oleh kasih” yang menurut Paulus berarti di dalam Kristus (Galatia 5:6).
Iman seperti itulah yang oleh para teolog Katolik disebut sebagai “iman yang dibentuk oleh kasih” yang dengan sendirinya akan menyatukan seseorang dengan Allah secara rohani.
Paus Benediktus XVI tentang “hanya iman”
Pemahaman ini telah didukung oleh magisterium kepausan.
Paus Benediktus XVI mengajarkan: “Ungkapan Luther ‘hanya iman’ itu benar, jika tidak dipertentangkan dengan iman dalam kasih, dalam cinta. Iman adalah memandang Kristus, mempercayakan diri kepada Kristus, bersatu dengan Kristus, menjadi serupa dengan Kristus, dengan hidup-Nya. Dan wujudnya, kehidupan Kristus adalah kasih; oleh karena itu, percaya berarti menjadi serupa dengan Kristus dan masuk ke dalam kasih-Nya. Demikianlah di dalam Surat kepada jemaat di Galatia, di mana St. Paulus secara khusus mengembangkan pengajarannya tentang pembenaran, ia berbicara tentang iman yang bekerja oleh kasih” (Audiensi Umum, 19 November 2008).
Dengan demikian, tampaknya formula “hanya iman” dapat memiliki makna yang dapat diterima.
Apakah ini berarti bahwa umat Katolik harus mulai menggunakannya?
Alasan untuk berhati-hati
Ada perbedaan besar antara kemungkinan sebuah formula diberi makna yang dapat diterima dan perlunya kehati-hatian untuk menggunakan istilah itu dalam praktik umum.
Ada beberapa alasan mengapa umat Katolik tidak boleh melakukan hal yang terakhir.
Pertama, formula tersebut bukanlah bahasa yang digunakan Kitab Suci untuk menggambarkan bagaimana kita dibenarkan. Frasa “hanya karena iman” (bahasa Yunani, ek pisteos monon) hanya muncul satu kali dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam Yakobus 2:24, di mana frasa digunakan dalam penolakan ajaran. Menggunakan formula ini, apa pun maknanya, menciptakan ketegangan yang terjadi secara otomatis dengan bahasa yang digunakan Kitab Suci, dan hal ini pasti akan menyebabkan kebingungan.
Kedua, formula ini secara inheren membuka peluang untuk kebingungan. Dalam bahasa umum, istilah iman adalah sinonim dengan kepercayaan. Ketika digabungkan dengan kata hanya dan digunakan untuk menggambarkan cara pembenaran kita, hal ini menyampaikan kepada kebanyakan orang gagasan yang keliru bahwa kita dapat diselamatkan hanya melalui kepercayaan intelektual, pandangan seperti itulah yang ditolak oleh Konsili Trente.
Ketiga, meskipun ada beberapa preseden untuk penggunaannya dalam sejarah Katolik, istilah ini bukanlah cara utama atau bahkan cara yang lazim digunakan oleh teologi Katolik untuk mengekspresikan teologi pembenaran.
Keempat, magisterium tidak menggunakan istilah tersebut secara umum. Jika Anda melihat dalam Katekismus Gereja Katolik, Anda tidak akan menemukannya. Anda juga tidak akan menemukannya digunakan berulang kali dalam dokumen-dokumen magisterium lainnya. Ada beberapa dokumen yang mengakui bahwa formula tersebut dapat memiliki arti Katolik, tetapi tidak ada yang menggunakannya secara umum atau merekomendasikan agar umat Katolik menggunakannya.
Mengatakan kebenaran di dalam kasih
Ada banyak hal yang membuat pemikiran Katolik dan Protestan berbeda, termasuk dalam hal pembenaran, tetapi kita harus bersikap tepat dalam hal ini dan tidak menambah kebingungan lagi.
Jika diperhatikan dengan saksama, maka akan menjadi masalah jika kita membingkai diskusi Protestan-Katolik mengenai pembenaran hanya dalam kerangka “hanya iman” melawan “iman dan perbuatan.” Inilah penyederhanaan yang berlebihan yang akan membuat orang Protestan berpikir bahwa Gereja Katolik mengajarkan hal-hal yang sebenarnya tidak diajarkannya.
Cara Gereja melakukan pendekatan terhadap masalah ini lebih hati-hati dan lebih kompleks. Oleh karena itu, mengkomunikasikannya menjadi lebih sulit. Selalu lebih mudah untuk mereduksi dua posisi menjadi sepasang slogan dan mengadu domba satu sama lain, tetapi Gereja tidak memanggil kita untuk melakukan apa yang secara retorika mudah.
Gereja memanggil kita untuk mengatakan kebenaran di dalam kasih (Efesus 4:15), yang kita harus berarti berhati-hati dalam menjelaskan apa yang Gereja ajarkan dengan akurat dan penuh kasih.
Posted on 5 December 2024, in Apologetika and tagged Iman, Konsili Trente, Martin Luther, Perbuatan, Sola Fide. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0