Beato Petrus Kim Dae-gwon

Beato Petrus Kim Dae-­gwon  (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Beato Petrus Kim Dae-­gwon (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Profil Singkat

  • Tahun lahir: Tidak diketahui
  • Tempat Lahir: Cheongyang, Chungcheong-do
  • Gender: Pria
  • Posisi/Status: Umat awam
  • Usia: Tidak diketahui
  • Tanggal Kemartiran: 29 Mei 1839
  • Tempat Kemartiran: Jeonju, Jeolla-do
  • Cara Kemartiran: Dipenggal

Petrus Kim Dae-gwon lahir di Sudani, Cheongyang, Chungcheong-do (sekarang, Sinwang-ri, Sayang-myeon, Cheongyang-gun, Chungnam) dan dia tinggal di Cheongra-dong, Boryeong (sekarang, Cheongra-ri, Cheongra-myeon, Boryeong-gun, Chungnam). Yakobus Kim Hwa-chun yang menjadi martir di Daegu pada tahun 1816 adalah adiknya.

Petrus Kim mempelajari Katekismus dari ayahnya ketika dia masih kecil. Namun setelah kematian orang tuanya dia menjadi seorang Katolik yang saleh.

Setelah itu, Petrus Kim mencari nafkah dengan bekerja di sebuah toko tembikar di Gongju, Chungcheong-do. Pada saat itu, hubungan dia dan istrinya tidak baik. Suatu malam dia bermimpi bahwa dia mendapat panggilan dari Tuhan untuk menyelamatkan istrinya dari seekor harimau. Pada hari berikutnya dia memberitahukan istrinya tentang mimpinya itu. Mereka membicarakan tentang kesalahan mereka sebelumnya dan mengakuinya, kemudian mereka berdamai satu sama lain. Mereka membuat sebuah ketetapan yang kuat di hadapan Tuhan untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama-sama.

Petrus Kim selalu bersemangat dalam menjalankan ajaran Gereja Katolik. Setiap hari Minggu dia mewartakan Injil kepada tetangganya dan pada Hari Natal dia pergi ke gunung dan berdoa sepanjang malam. Suatu hari ketika dia sedang berdoa, seekor harimau datang menghampirinya, namun dia melanjutkan untuk tetap berdoa dengan tenang. Selama masa Prapaskah, dia tidak pernah lalai untuk berdoa dan bermeditasi. Dia hanya makan satu kali dalam satu hari. Ketika dia mendengar kabar bahwa adiknya Yakobus Kim telah dieksekusi karena imannya kepada Tuhan, dia langsung menyatakan niatnya untuk mati sebagai martir dan mengikuti jejak adiknya.

Setelah itu, Petrus Kim pindah ke Gosan, Jeolla-do bersama dengan sesama umat Katolik. Mereka mendengar tentang Penganiayaan Jeonghae yang terjadi pada tahun 1827. Dia membujuk umat Katolik lainnya untuk melarikan diri, namun dia sendiri bertekad untuk menunggu panggilan Tuhan dengan berdiam diri, dia berdoa agar kehendak Tuhan terlaksana. Tak lama kemudian, polisi menyerbu desa itu. Petrus Kim berjalan kepada mereka dengan senyum yang damai, dan dia menyerahkan diri dan kemudian dia dibawa ke Gosan tanpa perlawanan.

Di Gosan, Petrus Kim membuktikan imannya kepada Tuhan dengan berani, di hadapan penganiaya. Tak lama kemudian, dia dipindahkan ke Jeonju di mana dia disiksa dengan berat. Namun dia tidak pernah takut menderita bagi Tuhan dan dengan tegas menyatakan; “Saya tidak dapat memberikan Anda buku-buku Katolik, ataupun mengungkapkan nama-nama sesama umat beriman.” Kepala petugas di Jeonju membawa putra dari Petrus Kim kepadanya dan menaruh sebilah pedang di lehernya. Walaupun dia diancam, dia menolak untuk menyangkal Tuhan dengan berkata, “Jika putra saya dipenggal demi Tuhan, ini menjadi sebuah kehormatan baginya.” Sesudah itu, putranya diasingkan.

Iman Petrus Kim kepada Tuhan tak tergoyahkan, bahkan di hadapan gubernur. Dia sekali lagi disiksa dengan kejam, namun dia berkata, “Apa yang harus saya lakukan untuk membayar kembali rahmat yang saya terima dari Kisah Sengsara Yesus Kristus?” Hal ini menunjukkan keinginan terselubung untuk kemartiran. Keputusan dia yang tak tergoyahkan sangat jelas ditampilkan dalam pernyataan berikut:

“Walaupun saya dipukuli sampai mati, saya tidak dapat mengkhianati Tuhan saya. Pemikiran ini sudah terukir dalam tulang dan daging saya. Sehingga walaupun, tangan dan kaki saya dipotong, pemikiran saya akan tetap teguh.”

Dia dipenjarakan bersama sesama umat beriman selama dua belas tahun. Ketika di penjara, dia menandatangani atas namanya selama tiga kali dalam surat keputusan pengadilan. Dia tidak pernah menyerah dan dengan konsisten menolak upaya untuk berkhianat yang dapat menyelamatkan hidupnya. Ketika Penganiayaan Gihae pada tahun 1839, atas perintah raja, dia dibawa ke sebuah pasar di Jeonju. Di sana dia dipenggal dan meninggal sebagai martir. Pada saat itu tanggal 29 Mei 1839 (17 April pada penanggalan Lunar).

Sumber: koreanmartyrs.or.kr

Posted on 26 April 2015, in Orang Kudus and tagged , , . Bookmark the permalink. 4 Comments.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.