[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beato Yohanes Choe Hae-seong
Profil Singkat
- Tahun lahir: 1811
- Tempat Lahir: Hongju, Chungcheong-do
- Gender: Pria
- Posisi/Status: Katekis
- Usia: 28 tahun
- Tanggal Kemartiran: 6 September 1839
- Tempat Kemartiran: Wonju, Gangwon-do
- Cara Kemartiran: Dipenggal
Yohanes Choe Hae-song juga dipanggil dengan nama ‘Yang-bak’, dia adalah kerabat dari Santo Fransiskus Choe Gyeong-hwan yang menjadi martir pada tahun 1839. Pada asalnya, keluarga dia tinggal di Dorakgol di Hongju, Chungcheong-do (sekarang, Nongam-ri, Hwaseong-myeon, Cheongyang-gun, Chungnam). Kakeknya ditangkap ketika Penganiayaan Shinyu pada tahun 1801 dan dijatuhi hukuman pengasingan. Seluruh keluarganya pindah ke tempat pengasingan dan tinggal di sana. Di tempat itu, Yohanes Choe lahir dan dibesarkan.
Yohanes Choe mempelajari Katekismus ketika dia masih anak-anak. Dia seorang yang lembut dan jujur. Yohanes Choe pindah bersama keluarganya ke Seoji , Wonju, Gangwon-do (sekarang, Songok 2-ri, Buron-myeon, Wonju-si, Gangwon-do) untuk menjalankan kehidupan agamanya dengan lebih bebas. Dia membentuk sebuah desa Kristen kecil di sana.
Yohanes Choe melakukan kewajiban Kristianinya dengan semangat dan menjaga jiwanya tetap kudus dan murni. Walaupun dia miskin, dia tidak pernah mengabaikan siapapun yang lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri. Dia sering menguatkan umat beriman dengan berkata, ‘Sesungguhnya sebuah kehormatan besar untuk mati bagi Tuhan’.
Ketika seorang misionaris datang ke Desa Kristen Seoji dan dia memberikan Sakramen, Yohanes merasakan sukacita yang tak dapat terlukiskan dan dia penuh semangat akan kasih Tuhan. Yohanes Choe dipilih sebagai katekis di Desa Kristen Seoji karena pengabdian dan kebajikannya yang mendalam. Ketika dia menerima Sakramen Krisma, dia menunjukkan bahwa ia telah menerima tujuh karunia Roh Kudus karena dia menjadi penuh rahmat dan dipenuhi oleh semangat yang membara untuk kemartiran.
Ketika Penganiayaan Gihae terjadi pada tahun 1839, Yohanes Choe membawa orang tua dan keluarganya ke tempat yang lebih aman. Dia ditangkap ketika dia pulang ke rumahnya untuk membawa buku-buku rohani. Polisi memukul dia dengan cambuk besi untuk memaksa dia agar memberitahukan keberadaan umat Katolik lainnya, namun dia tidak menyerah kepada permintaan mereka. Sementara itu, seluruh tubuhnya dipenuhi luka dan penderitaan yang berat, dengan mata jiwanya dia melihat Yesus mendaki Bukit Kalvari membawa salib berat di bahu-Nya.
Yohanes Choe dibawa ke kepala petugas di Wonju, dia diinterogasi dan disiksa dengan berat lagi agar dia mengungkapkan keberadaan umat Katolik. Namun dengan berani dia menjawab, “Saya menolak untuk mengadukan mereka.” Kemudian kepala petugas menginterogasi dia, ‘Apakah benar kamu mempercayai agama yang jahat?’ Dia menjawab, “Saya tidak mempercayai agama yang jahat. Saya hanya percaya akan agama Katolik yang menyembah Tuhan.”
Yohanes Choe dimasukkan ke dalam penjara dan beberapa hari kemudian dia menjalani serangkaian interogasi lagi. Kepala petugas berusaha keras untuk menggoda dia agar dia mengkhianati Tuhan, namun dia menolak sambil berkata, “Saya tidak dapat mengkhianati Tuhan saya dan berbicara suatu kebohongan, walaupun Anda memberikan seluruh desa Wonju kepada saya.”
Setelah itu, Yohanes Choe sering digiring keluar penjara untuk menjalani interogasi dan siksaan yang kejam di hadapan gubernur ataupun kepala komandan. Walaupun dia tidak pernah mengeluh, dia berdoa setiap saat kepada Yesus dan Maria dan memohon agar Dia menolongnya. Penganiaya menyiksa dia dengan memelintir kakinya dengan dua bilah kayu yang diselipkan diantara kakinya. Tubuhnya seluruhnya menjadi remuk. Dia berkali-kali pingsan, namun setiap kali dia pingsan, dia sadar kembali. Suatu hari ketika dia dibawa kepada kepala petugas untuk diinterogasi, dia memberi jawaban berikut:
“Jika saya ingin memelihara hidup saya yang singkat di bumi, maka jiwa saya akan mati untuk selamanya. Oleh karena itu, saya tidak dapat mengkhianati Tuhan saya. Jika seseorang telah berjanji untuk mati bagi raja dan keadilan, dan dia mengkianatinya, dia seorang pengkhianat. Saya telah berjanji untuk menyembah Tuhan Yang Mahabesar Pemilik Surga dan Bumi, jadi bagaimana mungkin saya dapat mengkhianati-Nya karena takut akan hukuman?”
Kemudian kepala petugas menjadi sangat marah dan dia memerintahkan agar dia dihukum dengan lebih kejam. Sekali lagi, tubuhnya dipukuli sampai berdarah-darah, namun jiwanya bersukacita dalam kasih Tuhan.
Setelah dia kembali ke penjara, suatu kali dia tergoda, namun dia bersujud di hadapan Tuhan Yesus. Dia berdoa kepada-Nya dan dia mengatasi kelemahan manusiawinya. Damai dan sukacita rohani kembali ke hatinya. Akhirnya dia dijatuhi hukuman mati. Dia dipenggal dan meninggal sebagai martir pada tanggal 6 September 1839 (29 Juli pada penanggalan Lunar). Pada saat itu, Yohanes Choe berusia 28 tahun.
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 27 April 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 1 Comment.
Pingback: Beata Brigita Choe | Terang Iman