Beato Yakobus Heo In-baek

Beato Yakobus Heo In-­baek (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Beato Yakobus Heo In-­baek (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Profil Singkat

  • Tahun lahir: 1822
  • Tempat Lahir: Gimhae, Gyeongsang-do
  • Gender: Pria
  • Posisi/Status: Petani
  • Usia: 46 tahun
  • Tanggal Kemartiran: 14 September 1868
  • Tempat Kemartiran: Ulsan, Gyeongsang-do
  • Cara Kemartiran: Dipenggal

Yakobus Heo In-baek lahir pada tahun 1822 di Gimhae, Gyeongsang-do di keluarga petani. Dia tinggal di Eonyang. Dia mendengar tentang agama Katolik dan menjadi Katolik pada usia 24 tahun. Dia menjalankan agamanya dengan setia dan dia sangat dihormati oleh umat beriman lainnya.

Yakobus Heo mengajarkan Katekismus kepada istrinya yaitu Pak Jo-i dan juga anak-anaknya. Dia tinggal bersama dengan istrinya sebagai kakak beradik untuk mengejar kehidupan selibat bagi Tuhan. Dia  bertekun dalam usaha penyangkalan diri dan hidup sederhana. Dia juga membantu orang miskin dan merawat orang sakit.

Yakobus Heo ditangkap oleh polisi pada tahun 1860 ketika Penganiayaan Gyeongsin terjadi.  Dia dibawa ke Eonyang di mana dia dihukum berkali-kali. Meskipun dia diinterogasi dan disiksa dia mengakui dengan terang-terangan bahwa dia adalah seorang Katolik. Setelah lima puluh hari di penjara, dia dipindahkan ke Gyeongju. Dia tetap menyatakan imannya kepada Tuhan dan dipenjarakan selama delapan bulan. Pada saat itu, raja memerintahkan agar penganiayaan dihentikan. Yakobus Heo dibebaskan dan pulang ke rumahnya.

Yakobus Heo pindah ke Jukryeong, Ulsan (sekarang, Incheon-ri, Sangbuk-myeon, Ulsan-si, Gyeongnam). Dia bertemu dengan Petrus Yi Yang-deung dan Lukas Kim Jong-ryun. Mereka berdoa dan menyembah Tuhan bersama-sama, dan mencari nafkah dengan menjual barang-barang dari kayu. Dia tidak pernah mengabaikan doa dan meditasi, dan dia sering mengungkapkan keinginannya untuk mati sebagai martir.

Ketika Penganiayaan Byeongin terjadi pada tahun 1866, banyak umat Katolik ditangkap di seluruh negeri, namun demikian, pada saat itu, Jukryeong merupakan tempat yang relatif aman. Pada tahun 1868, polisi mengetahui tentang Desa Kristen Jukryeong. Mereka menangkap Yakobus Heo dan teman-teman Katoliknya. Ketika dia dibawa ke Gyeongju, dia berkata kepada keluarganya, “Doakanlah saya dan pikirkanlah kisah kemartiran Santa Barbara.”

Ketika mereka tiba di pangkalan militer Gyeongju, proses interogasi dimulai. Yakobus Heo mengakui dengan berani bahwa dia adalah seorang Katolik. Dia tidak mengungkapkan keberadaan umat Katolik lainnya dan tempat buku-buku Katolik. Kepala komandan menjadi marah dan memerintahkan agar dia dipukuli dengan kejam. Tubuhnya bersimbah darah dan tulang-tulangnya patah. Namun, imannya kepada Tuhan tetap kokoh.

Yakobus Heo dipindahkan ke Ulsan bersama dengan teman-temannya. Dia diinterogasi dan disiksa lagi.  Dia dijatuhi hukuman mati dan dibawa ke ‘Jangdae’ (sekarang, Byeongyeong-dong, Ulsan-si, Gyeongnam) di mana Pusat Komando Militer berada. Pada tanggal 14 September 1868 (28 Juli pada penanggalan Lunar), dia dipenggal dan meninggal sebagai martir bersama dengan katekis Petrus Yi dan Lukas Kim. Pada saat itu, Yakobus Heo berusia 46 tahun.

Pada saat-saat kemartirannya dia berdoa dan memanggil nama Yesus dan Maria dengan lantang. Istrinya yaitu Pak Jo-i, yang mengikuti dia ke tempat eksekusi, membawa jenazahnya dan dengan diam-diam memakamkannya.

Sumber: koreanmartyrs.or.kr

Advertisement

Posted on 14 June 2015, in Orang Kudus and tagged , , . Bookmark the permalink. 2 Comments.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: