[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Kitab Kejadian dan Evolusi
Oleh Romo Andrew Younan

Foto oleh Deigo PH (Sumber: stpaulcenter.com)
Secara pribadi saya percaya (bersama dengan kebanyakan orang Kristen) bahwa Allah telah menciptakan dunia, Allah Kejadian, penyebab terjadinya Dentuman Besar (Big Bang), sang Penggerak Utama dan segala hal lainnya yang dijelaskan dalam bukti Thomas Aquinas, bahwa Ia dapat melakukan mukjizat. Namun, saya juga percaya bahwa penciptaan bukan tata cara yang biasa. Biasanya, Allah bekerja melalui dunia alamiah yang Ia ciptakan. Mukjizat dilakukan dengan merujuk pada manusia dalam konteks iman yang telah diwahyukan, dan pada hakekatnya sangat jarang. Inilah sebabnya mengapa seringkali kita salah paham untuk menemukan Allah yang ajaib dalam cara kerja alam, atau melalui uji ilmiah (sebagaimana yang dijelaskan Richard Dawkins dalam subjudul “The Great Prayer Experiment” dalam bukunya “The God Delusion”). Apa yang dapat ditemukan dalam akal budi manusia adalah Allah yang alamiah; Allah yang melakukan mukjizat ditemukan melalui iman dalam wahyu, yang merupakan topik yang sama sekali berbeda.
Dalam Kitab Kejadian jelas sekali bahwa Allah menciptakan baik dunia maupun kehidupan. Pertanyaannya bukan apakah Allah yang menciptakannya, tetapi bagaimana Allah menciptakannya. Kitab Kejadian mengindikasikan bahwa Allah menciptakan kehidupan dengan cara mukjizar yang adikodrati atau melalui proses alami?
Saya berpikir mengenai kata-kata dalam Kitab Kejadian dengan kuat menyiratkan demikian: “Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup. … Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup …” (Kejadian 1:20, 24). Terjemahan ini cukup akurat untuk memahami apa yang kita ingin ketahui. Dalam kedua ayat ini, kata “air” dan “bumi” adalah subjek dari kata kerja yang menunjukkan pembuatan makhluk hidup. Allah bersabda, boleh dikatakan Ia bersabda yang berarti Ia memerintahkan. Namun air dan bumi adalah yang “membawa” makhluk hidup. Hal ini bukanlah intervensi langsung, supernatural, dan ajaib. Tentu saja hal ini merupakan karya Allah (beberapa ayat kemudian dalam kedua kasus ini dilanjutkan dengan kata “Allah menciptakan …” dan “Allah menjadikan …”), namun karya Allah ada di dalam dan melalui alam, tidak berada di atas atau di luarnya.
Baru kemudian (dalam ayat 26) kita memiliki kata “Baiklah Kita menjadikan manusia …” Pada ayat inilah Allah menjadi subjek dari kata kerja, bukan lagi air atau bumi seperti yang sudah dijelaskan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki tempat yang khusus dalam jagat raya, namun dalam kisah kedua dalam penciptaan, memberikan jeda bagi kita untuk membuat diri kita terbuai terlalu tinggi. Dalam kisah itu, manusia diciptakan dari debu tanah (Kejadian 2:7). Tepatnya, pria diciptakan dari debu tanah, dan wanita diciptakan dari rusuk pria, mungkin hampir bisa dikatakan berasal dari sisi duniawi suaminya.
Apakah ini interpretasi Kitab Kejadian yang radikal, paskamodern, liberal, atau reaksi spontan terhadap pandangan Darwin, atau tindakan putus asa dalam melakukan apapun demi membela sebuah teks kuno yang tidak relevan dari kehancuran melalui penyelidikan ilmiah? Sama sekali tidak demikian.
Ini bukanlah khayakan pribadi saya. Penafsiran Kitab Kejadian memiliki materai persetujuan dua orang yang bisa dikatakan sebagai pemikir Kekristenan Barat: Agustinus dan Thomas Aquinas. Bagi Anda yang menghitung, Agustinus hidup pada abad ke-4 Masehi dan Aquinas pada abad ke-13, jika dibandingkan dengan Darwin, Agustinus hidup 15 abad sebelum Darwin, sedangkan Aquinas hidup 4 abad sebelum Darwin. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, mengutip pandangan Aquinas yang mengutip dari Agustinus seharusnya membuat pandangan saya menjadi cukup baik, jika tidak demikian maka hal ini menjadi studi sejarah pemikiran yang merupakan topik yang berbeda.
Mari kita mulai dengan pertanyaan mengenai penafsiran Kitab Suci itu sendiri. Sementara mengomentari topik mengenai enam hari penciptaan dalam Kitab Kejadian, Aquinas membuat klarifikasi demikian:
Saya menjawab demikian, dalam membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini, ada dua aturan yang harus diperhatikan, seperti yang diajarkan Agustinus (Gen. ad lit. i, 18). Yang pertama adalah memegang teguh kebenaran Kitab Suci tanpa ragu. Yang kedua, karena Kitab Suci dapat dijelaskan dalam berbagai macam pengertian, seseorang harus berpegang pada penjelasan tertentu, hanya dalam ukuran tertentu yang siap untuk melepaskan penjelasan itu, jika penjelasan itu dibuktikan secara pasti maka akan menjadi salah; jangan sampai Kitab Suci dihadapkan pada ejekan dari orang-orang yang tidak percaya, dan menjadi rintangan terhadap yang mereka percayai. (Summa Theologica I, q. 68, a. 1)
Dengan kata lain, Kitab Suci itu benar, namun bisa memiliki banyak “pengertian” (apa yang sekarang ini disebut dengan istilah “penafsiran”), dan kita harus siap untuk “melepaskan” tafsiran itu, begitu tafsiran itu terbukti salah. Di sini, Aquinas berbicara kepada umat beriman (dan mengutip perkataan Agustinus sebagai suatu otoritas), memperingatkan mereka supaya jika mereka gagal melakukan ini, mereka akan bertanggung jawab atas rintangan yang mereka tempatkan di hadapan iman orang lain.
Thomas Aquinas belum mengetahui apa-apa mengenai Big Bang. Begitu pula dengan Agustinus. Tak seorang pun dari mereka tahu tentang kecepatan cahaya dan cahaya bintang yang kita lihat di langit malam hari (dari perspektif kita) sebenarnya sudah berusia jutaan tahun. Tak seorang pun dari mereka tahu tentang evolusi kehidupan, atau rentang waktu evolusi yang sangat panjang. Namun tanpa pengetahuan ini, mereka berdua tahu bahwa penafsiran literalistik mengenai enam hari dalam Kitab Kejadian itu perlu “dilepaskan,” seperti istilah yang mereka sebutkan di atas. Alasan mereka untuk melakukan hal itu tidak relevan dengan tujuan kita, namun apakah mereka tahu apa yang kita ketahui, mereka akan melepaskan semua itu dengan lebih cepat.
Jadi, jika enam hari tidak secara harfiah enam hari, maka seperti apa? Agustinus berpikir bahwa enam hari berarti simbol enam tingkatan dari yang baik dalam alam yang berpuncak pada manusia. Para penulis mula-mula yang dikutip oleh Aquinas berpikir bahwa setiap hari bisa mewakili sejumlah rentang waktu yang panjang. Hampir tidak ada yang berpikir bahwa setiap hari itu mewakili periode waktu selama 24 jam, dan tidak ada indikasi bahwa otoritas Gereja Katolik berpikir bahwa hal itu merupakan pertanyaan penting. Tentu saja tidak ada bidah yang pernah berpendapat mengenai pertanyaan ini. Seringkali, Aquinas hanya menyajikan apa yang dipikirkan oleh para penulis sebelumnya dan mengatakan semua penafsiran itu baik selama tidak bertentangan dengan akal budi, maka silakan Anda memilih sesuai pemikiran Anda masing-masing.
Romo Andrew Younan adalah seorang imam dari Gereja Katolik Khaldea. Dia telah menerjemahkan berbagai liturgi Khaldea dari bahasa Aram ke bahasa Inggris. Dia mengajar di John Paul the Great Catholic University. Romo Younan adalah penulis buku yang berjudul “Thoughtful Theism: Redeeming Reason in an Irrational Age.”
Sumber: “Genesis and Evolution”
Posted on 8 October 2019, in Apologetika, Kitab Suci and tagged Ilmu Pengetahuan, Kejadian, St. Agustinus, St. Thomas Aquinas. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0