[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Lebih dari Hanya Alkitab – Kisah Mark Hausam

Sumber: EWTN Channel YouTube
Ketika saya masih kecil, saya dibesarkan dalam keluarga Protestan Injili. Kami tidak terikat pada denominasi tertentu. Karena pekerjaan ayah saya, kami sering berpindah-pindah tempat tinggal dan menjadi anggota berbagai gereja yang berbeda, mulai dari aliran Baptis, Injili Bebas, Kristen Independen, namun semua pada dasarnya adalah aliran Injili.
Sebagai seorang anak kecil, saya tidak mempunyai minat khusus terhadap agama Kristen. Ketika saya kelas tiga, kedua orang tua saya membawa saya ke acara KKR Lowell Lundstrom (sebuah pelayanan Protestan Injili), di sana mereka memotivasi saya untuk melihati apakah diri saya siap untuk “meminta Yesus masuk ke dalam hati saya.” Saya masih ingat waktu itu saya menikmati acara KKR itu (hal yang tidak biasa bagi anak seusia saya), dan saya memutuskan untuk maju dan mengucapkan doa orang berdosa dan dinyatakan sebagai orang Kristen. Namun, tak lama kemudian, kehidupan saya kembali ke keadaan semula.
Baru pada kelas tujuh (1990-1991), saya mulai tertarik dengan agama. Sekitar rentang waktu itu saya membaca buku “The Chronicles of Narnia” yang membuat saya terkesan. Saya juga mendapat hadiah ulang tahun berupa permainan komputer yang berjudul “Conquests of Camelot.” Dalam permainan ini kita akan memerankan Raja Arthur yang sedang mencari Cawan Suci, pada saat itu saya sudah memiliki minat akan cerita-cerita mengenai Raja Arthur dan secara umum pada Abad Pertengahan. Pada permainan itu, Raja Arthur melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan akhirnya ke Yerusalam untuk mencari Cawan itu. Permainan itu berlatar belakang tahun 800 M, maka Timur Tengah didominasi oleh umat Muslim. Jadi pada saat itulah saya pertama kali mengenal budaya Timur Tengah. Pada saat itu, Perang Teluk terjadi di Irak dan Kuwait, dan saya tahu bahwa wilayah itu merupakan wilayah dunia yang sama dengan yang saya hadapi dalam permainan. Saya mulai membaca segala sesuatu yang bisa saya temukan mengenai Timur Tengah. Beberapa bulan kemudian, ketika Paskah, film “The Ten Commandments” ditayangkan di televisi dengan Charlton Heston sebagai pemerannya, dan saya menyadari bahwa latar belakang cerita dalam Alkitab itu juga adalah Timur Tengah. Dan hal inilah yang membuat saya tertarik untuk membaca Alkitab.
Pada masa ini pula, saya mulai peduli akan hal-hal yang spiritual. Misalnya, saya masih ingat ketika saya mendoakan “doa orang berdosa” berulang kali. Jelas sekali, Allah sedang bekerja dalam pikiran, hati, dan keadaan saya dalam berbagai hal yang menarik. Lain halnya, jika waktu itu saya tergerak untuk lebih menyadari dan menjalankan agama Kristen dan hubungan dengan Allah. Namun saya merasa sadar diri akan hal itu, sehingga saya tidak memberitahukannya kepada seorang pun.
Saya bertekad untuk secara sadar hidup sebagai seorang Kristen. Kekristenan saya pada mulanya adalah hal yang istimewa, sementara itu saya membentuk konsep ortodoksi. Pada saya berada di kelas delapan, saya memutuskan untuk membaca Alkitab. Saya memulainya dari Kitab Kejadian dan membaca semuanya bagaikan membaca novel. Tanpa saya sadari, Alkitab yang saya gunakan adalah versi Katolik yaitu Alkitab Yerusalem. Saya memilihnya karena ayah saya mempunyainya. Saya masih sangat sadar diri tentang “religiusitas” baru saya, sehingga saya menyembunyikan buku-buku keagamaan di bawah ranjang. (Seperti apa yang setiap orang tua khawatirkan tentang anak remajanya, kan?)
Akhirnya, saya memberi tahu ayah saya bahwa saya sedang membaca Alkitab. Ayah saya bertanya sudah sampai mana membaca Alkitabnya, dan saya menjawab, “1 Makabe,” dan jawaban itu membuat ayah saya terkejut. Saya tidak tahu perbedaan antara Alkitab Katolik dan Alkitab Protestan. Ketika saya sampai ke surat-surat Paulus, saya tidak menyukainya, karena saya menganggap bahwa Paulus itu arogan.
Kemudian agama Yahudi membuat saya jatuh hati, dan saya mulai pergi ke sinagoga Yahudi Reformasi setempat secara teratur. Jemaat di sana hanya sedikit yang sebagian besar adalah pria dan wanita lanjut usia, dan mereka merasa senang karena seorang remaja bukan Yahudi tertarik dengan apa yang mereka lakukan. Sewaktu saya berada di kelas sepuluh, saya mulai mempelajari bahasa Ibrani dengan seorang pendeta di gereja kami. Dengan demikian, jemaat Yahudi yang jumlahnya terlalu sedikit untuk memiliki seorang rabinya sendiri, mempersilakan saya untuk bergabung dengan kelompok orang-orang yang memimpin ibadat setiap minggunya. Jadi saya mulai memimpin ibadat satu bulan sekali bahkan lebih.
Ketika saya duduk di kelas delapan, saya mulai membaca karya-karya C.S. Lewis dan Francis Schaeffer. Francis Schaeffer merupakan filsuf dan penginjil aliran Injili yang populer pada tahun 1960-1980-an. Kedua penulis itu memiliki kecenderungan intelektual dan filosofis yang kuat, dan mereka memberi pengaruh dalam memperkenalkan pada teologi, filsafat, dan apologetika, serta menjadikan saya lebih kuat dalam Kekristenan yang ortodoks. Sejak saat itu, hampir menyeluruh dan selaras dengan ortodoksi Kristen secara historis. C.S. Lewis juga memengaruhi saya dalam membentuk Kekristenan yang saya anut. Penekanan Lewis dalam visi yang terpadu dari semua orang Kristen yang dia sebut sebagai “Kekristenan Asali,” memberikan saya minat yang besar akan iman yang historis, ortodoks, dan dapat dipercaya, seperti yang ditunjukkan oleh semua denominasi ortodoks (Gereja Katolik, Protestan, dan Gereja Ortodoks). Saya menjadi sangat tidak suka dengan “denominasionalisme,” jika seseorang bertanya kepada saya tentang denominasi apa yang saya ikuti, maka saya akan marah dan menjawab bahwa saya adalah seorang Kristen! Saya juga masih ingat ketika kami melakukan kunjungan ke sebuah masjid, nenek saya memperkenalkan kami semua sebgai orang Protestan, saya memberitahunya kemudian bahwa saya tidak suka identifikasi seperti itu, karena saya tidak memprotes apapun.
Pada masa inilah saya benar-benar berinteraksi untuk pertama kalinya dengan Gereja Katolik. Saya mendengar musik Katolik karya musisi Katolik yang bernama John Michael Talbot dan saya menikmati musiknya. Saya juga mulai sedikit membaca literatur Katolik. Pada masa ini, ibu dari sahabat saya menikah dengan seorang Katolik, dan teman saya sendiri mengikuti kelas katekumen untuk menjadi seorang Katolik.
Saya pikir, saya mungkin melakukan hal yang sama. Saya mengikuti salah satu kelas katekumen bersama dengan teman saya, namun hanya sekali. Pada saat itu, saya tidak tertarik dengan Gereja Katolik karena saya merasa yakin dengan doktrin atau posisi tertentu dari agama Katolik, tapi saya lebih melihatnya bahwa secara historis gereja-gereja Protestan telah memisahkan diri dari Gereja Katolik. Ketertarikan saya akan persatuan Gereja membuat saya ingin mempersatukan kembali perpecahan yang sudah terjadi. Saya tetap menjadi seorang Protestan karena saya sudah menjadi anggota Gereja Kristen, saya menganggap bahwa Gereja Kristus sebagai kumpulan berbagai “orang Kristen asali” di seluruh dunia, apapun denominasinya. Dan saya melihat bahwa tidak ada gunanya untuk berpindah dari satu gereja ke gereja lain dalam Gereja Kristen dalam lingkup yang lebih luas.
Selama tahun-tahun ini, saya juga mengembangkan minat saya pada St. Fransiskus dari Asisi dan saya banyak membaca tentang dia. Saya pernah mengambil sebuah buku kecil dari Knights of Columbus di suatu pameran negara bagian setempat. Dalam buku kecil itu ada doa yang terkenal dari St. Fransiskus yang dalam doa itu ada kata-kata yang saya sukai yaitu, “Jadikanlah aku pembawa damai, dsb.”
Pada masa itu, saya akan membela umat Katolik ketika orang-orang menantang mereka dengan tuduhan apakah umat Katolik itu benar-benar umat Kristen. Pada musim panas 1995, kedua orang tua saya pindah ke Utah. Karena saya masih SMA dan persekutuan orang muda berada di Columbia, Missouri, kedua orang saya itu memberikan pilihan kepada saya untuk pindah bersama mereka ke Utah atau tetap tinggal di Columbia. Kedua orang saya itu akan menyewakan rumahnya kepada beberapa teman yang pindah ke Columbia. Saya memutuskan untuk tinggal, maka kedua orang tua saya pindah ke Utah dan saya tetap tinggal di Missouri. Ayah dari keluarga yang menyewa rumah itu merupakan seorang Protestan konservatif, dan dia tidak suka dengan ajaran Katolik. Saya akan membela Katolik kepadanya, dan pada satu saat bapak itu mengirimkan sepucuk surat kepada orang tua saya, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa saya terlalu dekat dengan ajaran Katolik. Saya kira kedua orang tua saya akan merasa sangat senang.
Hari-hari sebagai seorang Calvinis
Pada tahun 1996, saya kuliah di Wheaton College di Wheaton, Illinois yang merupakan sekolah seni aliran Injili liberal yang terkenal. Transisi besar teologis yang saya alami saat itu adalah menjadi seorang Calvinis. Saya menggunakan istilah “Calvinis” dalam pandangan aliran Injili, yang merujuk seseorang yang menjadi yakin akan apa yang seorang Calvinis sebut sebagai “doktrin kasih karunia,” yang pada dasarnya merupakan sejumlah penyataan yang kuat akan kedaulatan Allah yang absolut atas segala sesuatu, termasuk atas keselamatan dan kebinasaan, serta pada kemuliaan karya keselamatan sepenuhnya. Jika Bob berakhir dengan diselamatkan dan Sally berakhir dengan kebinasaan, perbedaan kondisi itu tidak dapat terjadi di luar pengawasan pemeliharaan Allah, yang menggenapi rencana-Nya dalam setiap aspek sejarah. Dan mengapa Bob memilih Kristus sedangkan Sally tidak? Tentu saja bukan karena Bob seorang yang lebih baik. Itu karena Allah menuntunnya kepada keselamatan oleh karena kasih karunia-Nya. Allah membuat perbedaan kondisi akhir Bob dan Sally. Saya sangat membenci Calvinisme ketika pertama kali mengenalnya. Saya lebih condong ke arah universalisme yang menyatakan bahwa semua orang akan diselamatkan. Namun demikian, Calvinisme terus menerus mengomeliku. Akhirnya, selama liburan Natal pada tahun pertama saya kuliah (Januari 1997), saya menerima sudut pandang Calvinis. Tak lama setelah peristiwa ini, saya mulai berpacaran dengan Dez yang kelak menjadi istri saya, dan akhirnya saya membantu Dez untuk menjadi seorang Calvinis juga. Kami menikah pada Desember 1998.
Menjadi seorang Calvinis secara alami mendorong saya terhadap tradisi reformasi, dan ketika kami lulus dari bangku kuliah dan pindah ke Salt Lake City, Utah pada musim panas tahun 2000, kami menjadi anggota Orthodox Presbyterian Church (OPC), sebuah denominasi Reformasi konservatif yang kecil. Kami melanjutkan keanggotaan kami di sana selama empat belas tahun ke depan. Enam dari sembilan anak kami dibaptis di sana. Selama kami berada di sana, pikiran dan praktik kami menjadi semakin Reformis. Pada tahun 2005, saya menjadi penatua yang memiliki wewenang di gereja itu, dan menjabat selama tujuh tahun. Selain membantu mengelola gereja, saya berkhotbah di berbagai kesempatan, terutama ketika pendeta kami ke luar kota.
Selama tahun-tahun itu, gagasan saya tentang Gereja tidak lebih dari sekumpulan “orang Kristen asali” yang membentuk cara pandang yang menganggap serius dimensi formal dari Gereja yang kelihatan juga, seperti otoritas penatua, keanggotaan formal, pentingnya sakramen, dan sebagainya. Saya mendapatkan pengertian yang lebih mendalam dalam menyembah Allah yang sesuai dengan kehendak-Nya dan menghargai pentingnya tradisi gereja yang menjadi bagian tambahan selain Kitab Suci. Tentu saja, pada masa ini saya percaya akan doktrin klasik Protestan yaitu sola Scriptura, bahwa Alkitab adalah satu-satunya pedoman yang tidak dapat salah mengenai doktrin dan kehidupan, dan tidak ada tradisi yang tidak dapat salah atau gereja yang tidak dapat salah untuk menafsirkan Kitab Suci. Selain percaya akan doktrin itu, saya bisa melihat bagaimana teologi dan kehidupan Kristen perlu diwujudkan dalam Gereja yang kelihatan dan Tradisi yang kelihatan, dengan syahadat dan katekismus yang resmi, tata tertib, dan perasaan akan sejarah itu sendiri, dan sebagainya. Saya sangat menghargai Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster sebagai ringkasan dan sistematisasi yang sangat membantu dalam pengajaran Alkitab.
Selama masa inilah, ada aspek-aspek yang ganjil dalam pemikiran saya yang sangat “Katolik” atau paling tidak “ramah Katolik” yang di kemudian hari saya anggap sebagai hal yang penting. Salah satu contohnya adalah doktrin yang saya anut mengenai pembenaran. Pada tahun 2001, pada masa awal kami berada di OPC, saya sampai pada kesimpulan bahwa saya tidak sepakat dengan doktrin Protestan mengenai pembenaran. Saya memutuskan setuju dengan apa yang disebut sebagai doktrin pembenaran “Agustinian,” yang pada dasarnya sudut pandang Katolik. Pada saat itu saya belum berminat dengan ajaran Katolik; saya masih seorang yang bangga dan kuat sebagai Calvinis. Namun saya merasa bahwa umat Protestan sudah tersesat mengenai hal ini, dan bahwa tradisi Agustinian yang Katolik itu sudah benar. Beberapa tahun kemudian, saya menemukan bahwa saya dapat menafsirkan posisi Protestan sedemikian rupa untuk menghindari konflik dengan pandangan Agustinian, maka saya berhasil menyelesaikan dilema yang saya alami, tapi di sisi lain saya tidak pernah menyerah mengenai pandangan Agustinian.
Konflik
Tahun 2012 menjadi tahun yang sangat penting dalam perjalanan spiritual saya. Selama tahun itu, fokus teologis saya bergeser ke kesatuan Gereja dan kepemimpinan dalam Gereja. Saya menjadi sangat tertarik untuk melacak implikasi logis pandangan Presbyterian mengenai kepemimpinan dalam Gereja. Presbyterianisme seperti halnya Katolik, memiliki pandangan yang kuat mengenai persatuan dan otoritas Gereja yang kelihatan. Setiap jemaat dipimpin oleh badan penatua (“Sidang”), dan para penatua ini merupakan bagian dari badan penatua yang skalanya lebih besar, dan begitu seterusnya, secara teori satu tubuh penatua terdiri dari semua penatua yang ada di dunia. Seorang teolog Presbyterian abad ke-19, Charles Hodge mengatakan demikian, “Doktrin Presbyterian mengenai hal ini, bahwa Gereja adalah satu dalam arti sedemikian rupa, di mana bagian yang lebih kecil tunduk pada bagian yang lebih besar, dan yang lebih besar itu kepada semua.” Sistem ini tidak mungkin ada lebih dari satu denominasi yang sah, karena gagasan mengenai berbagai macam denominasi melibatkan para panatua yang tidak tunduk pada para penatua lain dalam badan kepemimpinan yang lebih besar. Ketika gereja-gereja yang menyatakan Presbyterian itu terpisah-pisah, implikasinya adalah mereka menolak legitimasi satu sama lain secara de jure. Namun, Presbyterianisme juga sangat terpecah-pecah. Ada banyak denominasi Presbyterian. Oleh karena itu, umat Presbyterian harus puas dengan praktik yang tidak sesuai dengan teori itu.
Ketika saya menyadari ketidakkonsistenan ini, saya memutuskan untuk menjadi seorang Presbyterian yang konsisten. Saya memiliki kewajiban untuk memilah-milah divisi denominasi yang berantakan, dan mencari tahu denominasi mana yang memiliki legitimasi. Karena berbagai alasan, saya memutuskan untuk tidak bergabung bersama OPC lagi, dan saya merasa harus bergabung dengan Free Presbyterian Church of Scotland (FPCS). Tapi hanya ada satu gereja FPCS di Amerika Serikat, dan hanya ada di Texas. Kami tinggal di Utah. Karena keadaan yang kurang idel, maka saya memutuskan untuk tetap bergabung dengan OPC, sampai waktu yang memungkinkan untuk bergabung dengan FPCS. Tetapi karena saya masih sebagai seorang penatua yang memiliki kewenangan di OPC, saya memutuskan bahwa saya perlu mengkomunikasikan apa yang saya pikirkan kepada seluruh Sidang. Dan apa yang saya lakukan ini memyebabkan konflik. Konflik ini terjadi secara bertahap, dan akhirnya berakhir pada musim gugur 2014.
Pada akhir semuanya itu, Sidang memperjelas kedudukannya. Dengan berbicara dan menulis secara publik tentang pandangan saya terhadap kepemimpinan gereja Presbyterian dan FPCS (contohnya, saya juga menulis beberapa artikel di blog), dan saya dituntut karena melakukan fitnah terhadap OPC dengan menolak legitimasi de jure mereka. Mereka memerintahkan saya untuk berhenti berbicara kepada siapapun mengenai pandangan saya. Mereka juga mengatakan kepada saya, jika kami (saya dan istri saya –red.) meninggalkan keanggotaan di OPC dan bergabung dengan FPCS di Texas, kami sama sekali akan melepaskan diri kami sendiri dari keanggotaan gereja yang kelihatan (karena gereja di Texas itu terlalu jauh untuk mengawasi kami secara efektif) dan oleh karena itu, dampaknya adalah akan melepaskan “semua hak untuk dianggap sebagai seorang Kristen.” Mereka mengatakan bahwa jika saya tidak setuju untuk berhenti membicarakan masalah ini, saya tidak diperbolehkan mengikuti ibadat bersama mereka. Dalam hati kecil saya, saya tidak bisa setuju untuk berhenti membicarakan masalah ini, karena hal ini saya anggap sebagai hal yang penting dan alkitabiah. Saya belum berbicara dengan siapapun dalam jemaat OPC mengenai pandangan saya itu, kecuali beberapa teman dekat, dalam upaya mencegah konflik terjadi. Saya hanya menulis artikel di blog dan membicarakannya dengan mereka yang kebanyakan orang Skotlandia. Namun, saya tetap tidak bisa menerima keadaan saja tanpa membicarakan masalah ini sama sekali. Saya juga merasa bahwa kami harus terus mencari cara dan menjadi anggota FPCS.
Jadi, setelah empat belas tahun, kami membuat diri kami sendiri dilarang terlibat dalam mantan gereja kami itu. Kami mulai pergi ke gereja PCA (Presbyterian Church in America) setempat, sebuah denominasi Presbyterian yang sedikit kurang konservatif yang ada di daerah kami. Kami menuju gereja itu selama enam bulan, dan kami diterima dengan hangat oleh pendeta dan anggota gereja itu. (Pada saat itu pula, saya menjadi sangat tertarik dengan sejarah Gereja. Saya dan Dez mulai membaca tulisan para Bapa Gereja. Beberapa mantan anggota OPC sudah menjadi Katolik dan mereka mengirimkan kami literatur-literatur Katolik yang saat itu saya baca.)
Masuk ke Gereja Katolik
Pada Maret 2015, anak kedelapan kami lahir. Kami ingin supaya dia dibaptis, jadi saya bertanya para penatua FPCS di Texas mengenai langkah apa yang harus diambil supaya anak kami itu bisa dibaptis. Sekarang, saya tahu bahwa FPCS merupakan salah satu denominasi yang sangat konservatif, tapi saya terkejut dengan tanggapan mereka. Penatua utama yang berinteraksi dengan kami memberitahu saya bahwa ada beberapa masalah mengenai perilaku saya. Salah satu hal itu adalah saya suka membaca buku fiksi, secara khusus jenis fantasi. Dia memberi saran bahwa hal ini akan menjadi hambatan bagi kami untuk membaptis bayi kami yang baru lahir ini. Hal ini menjadi krisis iman bagi kami, karena bagi kami membaca buku fiksi bukanlah perbuatan dosa. Sebaliknya, kami merasa bahwa fiksi itu sebagai ungkapan kreatifitas kita sebagai manusia yang diciptakan menurut citra Allah, yang merupakan aspek penting dari kemanusiaan kita. Kami merasa bahwa masalah itu (membaca buku fiksi –red.) bukan hanya tidak berguna, bahkan salah karena secara sistematis memotong kehidupan kita dan kehidupan anak-anak kita. Pada saat itu pula, kami tiba pada kesimpulan bahwa FPCS adalah satu-satunya denominasi yang tepat untuk menggabungkan diri. Jadi, dengan adanya masalah ini, bagaimana jika kita tidak dapat bergabung dengan denominasi itu? Apakah kita perlu memulai denominasi kami sendiri?
Pada saat itulah, kami mulai mempertimbangkan kembali doktrin sola Scriptura. Kami telah berusaha mengikuti jalan itu, namun berakhir dengan kebuntuan. Kenyataannya, hal itu tampaknya mengarah ke jalan buntu, bukan hanya bagi kami, tetapi bagi seluruh dunia Protestan. Jika sola Scriptura adalah cara yang dikehendaki Allah bagi kita untuk mempelajari kehendak-Nya, lalu mengapa hal itu menghasilkan situasi di mana kesepakatan dan persatuan akan kebenaran seolah-olah menjadi hal yang mustahil? Di satu sisi, kesepakatan dan persatuan merupakan hal penting menurut Alkitab. Saya merasa seperti seorang pengembara yang mengikuti jalan setapak di hutan. Jalan itu semakin tidak jelas, sampai akhirnya hilang sama sekali. Saat itu, sang pengembara mulai bertanya-tanya apakah dia salah belok di beberapa persimpangan. Dan dalam kondisi itulah kami berada.
Kita mulai mengamati sola Scriptura dengan sangat cermat. Tak lama setelah itu, saya menemukan kesalahan dalam pemikiran saya sebelumnya. Saya telah melihat berbagai hal tanpa memperhatikan konteks sejarahnya. Saya mengambil pemikiran bahwa Kitab Suci, Tradisi Gereja, dan Magisterium seolah-olah semuanya itu terpisah-pisah, elemen-elemen yang independen yang perlu ditegaskan secara independen pula. Saya tahu bahwa seluruh tradisi Kristen sepanjang sejarah telah menegaskan pentingnya Kitab Suci sebagai tempat untuk mengetahui kehendak Allah, maka saya yakin akan hal itu. Namun saya tidak merasakan bahwa gagasan itu bisa dibenarkan terhadap Tradisi dan Magisterium yang tidak dapat salah. Karena sepertinya Kitab Suci dapat berfungsi sendiri tanpa Tradisi dan Magisterium.
Namun kemudian, terlintas dalam benak saya bahwa saya hanya berasumsi saja, bahwa Kitab Suci bisa berfungsi secara independen. Bagaimana saya tahu Kitab Suci bisa berfungsi secara independen? Bagaimana saya tahu bahwa Kitab Suci itu tidak perlu ditafsirkan dalam konteks Tradisi dan Magisterium yang tidak dapat salah? Kenyataan yang saya temukan bahwa sudah menjadi posisi umat Kristen yang konsisten sepanjang sejarah Gereja hingga Reformasi bahwa ketiganya saling bergantung. Para Bapa Gereja mula-mula tidak berpegang pada sola Scriptura. Pandangan itu tidak dianut sepenuhnya dan secara formal oleh kelompok manapun sebelum Reformasi. Tentu saja, sola Scriptura bukan pandangan Gereja Katolik yang historis, yang dari mana Protestan itu berasal. Ketika saya menyadari hal ini, saya melihat bahwa saya telah menempatkan suatu kesalahan di tempat yang salah. Beban pembuktian bukan berada pada umat Katolik untuk membuktikan bahwa kita perlu menambah Tradisi dan Magisterium pada Kitab Suci. Beban pembuktian ada pada umat Protestan untuk menunjukkan mengapa mereka dibenarkan untuk merenggut Kitab Suci dari konteks aslinya, yaitu bersama dengan Tradisi dan Magisterium, sehingga membuat Kitab Suci ditafsirkan secara mandiri. Begitu saya melihat peristiwa itu, suatu pertanyaan diperlukan untuk membingkai ulang apa yang saya lihat tentang sola Scriptura, namun tidak ada jawaban yang baik. Umat Protestan tidak dapat membuktikannya dari Kitab Suci sendiri, dari alasannya, ataupun dari sejarah Gereja bahwa Kitab Suci harus direnggut dari konteks aslinya. Maka kemudian, Reformasi Protestan menjadi tidak beralasan. Reformasi adalah perpecahan Gereja yang tidak perlu terjadi, yang melanggar persatuan, otoritas, dan kelangsungan dalam sejarah Gereja. Istri saya juga sampai pada kesimpulan yang sama dengan menapaki jalannya sendiri ketika kami mengerjakan pergumulan ini bersama-sama.
Kami memutuskan untuk memasuki masa penyelidikan, di mana kami akan mempelajari ajaran Katolik secara mendalam dan menangani segala masalah atau keberatan ketika kami menghadapinya. Masa ini berlangsung sekitar lima setengah bulan. Dez bisa mempelajari banyak hal selama waktu ini, terutama karena sebelumnya dia baru saja melahirkan seorang bayi dan bertugas untuk menyusuinya di sebagian besar waktunya dalam hari-harinya. Oleh karena penyelenggaraan Ilahi, akhirnya saya memiliki sedikit waktu yang baik untuk meneliti pada musim panas berikutnya, maka kami bisa banyak belajar dan berpikir. Kami mempelajari masalah-masalah seperti keselamatan, pembenaran, predestinasi, para kudus, Maria, Ekaristi, pengakuan dosa, silih dosa, api penyucian, indulgensi, dan dugaan mengenai kontradiksi dalam kepausan. Dalam semua hal ini, begitu kacamata sola Scriptura yang meminta banyak pertanyaan kepada saya sudah dilepaskan, kami tidak dapat menemukan keberatan apapun terhadap Gereja Katolik.
Pada bulan Agustus 2015, kami memutuskan untuk mengikuti katekumen. Kita sudah mulai hadir di Gereja Katolik St. Fransiskus dari Asisi di Orem, Utah, sejak bulan Maret. Jemaat St. Fransiskus memberikan sambutan hangat kepada kami dan sudah sangat membantu kami dan juga menyemangati kami untuk melakukan transisi ke dalam Gereja. Bukan hanya bersama dengan istri saya saja, tetapi beberapa anak kami yang cukup dewasa yang memerlukan proses transisi pribadinya.
Kami sangat menikmati kelas katekumen kami. Pada Malam Paskah bulan Maret 2016, keluarga kami diterima ke dalam Gereja Katolik. Anak kami yang kedelapan, yang bernama Timothy, dibaptis pada malam itu. Sejak itu, kami berkali-kali berpindah tempat, dan sekarang kami tinggal di Columbia, Missouri dan menjadi umat di Gereja Bunda Maria dari Lourdes. Anak-anak kami belajar di sekolah Katolik. Saya membantu mengajar di kelas katekumen dan menjadi anggota koor untuk Misa. Istri saya dalam proses menjadi anggota Ordo Fransiskan Sekuler (sebuah komunitas dalam skala internasional, yang didirikan oleh St. Fransiskus dari Asisi, komunitas itu terdiri dari pria dan wanita, menikah maupun lajang, yang merasa terpanggil untuk memasukan praktik dan spritualitas Fransiskan ke dalam hidup mereka).
Kesulitan intelektual terbesar yang saya alami dengan ajaran Katolik adalah karena saya berakar pada sola Scriptura. Begitu benteng itu rubuh, kesulitan itu pun ikut runtuh. Contohnya, dahulu saya merasa keberatan untuk menghormati dan berbicara kepada para kudus di Surga, karena saya tidak menemukan rujukannya dalam Alkitab. Namun, begitu saya menyadari bahwa bukan tugas saya pribadi untuk memperoleh semua praktik berdasarkan tafsiran Alkitab saya secara pribadi, maka keberatan ini kehilangan kekuatannya. Itulah tugas Magisterium untuk memperoleh doktrin dan praktik dari apa yang tersurat dalam Kitab Suci serta apa yang tersirat dalam prinsip-prinsip dan gagasan-gagasannya dalam konteks Tradisi Gereja, otoritas Kristus, dan bimbingan Roh Kudus. Saya tidak memiliki otoritas atau kompetensi untuk mengoreksi interpretasi Gereja yang dibimbing oleh Allah sendiri. Sedangkan, kesulitan praktik terbesar (bukan intelektual) yang saya hadapi adalah menerima ajaran dan praktik Gereja yang berkaitan dengan Maria. Saya merasa bahwa penghormatan Katolik terhadap Maria itu “terlalu berlebihan” karena kepekaan saya yang terlatih sebagai seorang Protestan. Saya ibarat seorang yang dibesarkan dalam sebuah negara republik, tiba-tiba mendapati diri berada di dunia monarki tradisional, dengan semua upacara dan gelar-gelar kehormatan yang terdengar begitu tinggi yang biasanya sejalan dengan hal itu. Saya belum sepenuhnya bisa mengatasi kejutan budaya (culture shock) ini. Namun saya menyadari bahwa perasaan-perasaan itu mencerminkan kesulitan yang biasa dialami ketika mereka berpindah budaya, bukan kesulitan yang objektif dengan praktik Gereja Katolik. Terlepas dari masalah penyesuaian budaya, dan terlepas dari segala ketidaksempurnaan dalam Gereja (masalah keterbatasan manusia), dan terlepas dari kenyataan bahwa dengan menjadi Katolik itu tidak akan menyelesaikan problematika kehidupan, namun saya sangat bersyukur kepada Allah karena telah membawa saya dan keluarga saya ke dalam persekutuan penuh dengan umat-Nya, yang memberi kami kekayaan besar Gereja-Nya. Kami memiliki Ekaristi, Kami memiliki Magisterium dan Tradisi yang dibimbing oleh Allah sendiri. Kami memiliki Gereja yang kelihatan, yaitu Gereja yang didirikan Kristus sendiri. Kami memiliki Bunda Maria dan para kudus. Dan, yang paling penting adalah kami memiliki Allah sendiri, dan persekutuan dan kasih karunia-Nya. Apa lagi yang bisa Anda minta?
Mark Hausam tinggal bersama dengan Dez, istrinya, dan bersama dengan sembilan orang anaknya di Columbia, Missouri, di mana mereka menjadi umat Our Lady of Lourdes Catholic Church. Mark mengajar filsafat di State Fair Community College di Boonville, Missouri, dan juga mengerjakan sebuah blog yang berjudul “The Christian Freethinker” (freethoughtforchrist.blogspot.com). Istrinya juga mempunyai sebuah blog yang berjudul “The Green Catholic Burrow” (greencatholicburrow.com). Mark juga menulis beberapa buku, termasuk buku apologetika umum Kristen yang berjudul “Why Christianity Is True” dan yang membahas pernyataan Gereja Katolik kepada Protestan yang berjudul “No Grounds for Divorce: Why Protestants (and Everyone Else) Should Return to the Unity of the Catholic Church.” Kedua bukunya itu bisa diperolah di blognya. Mark dan Dez baru-baru ini menjadi tamu di program “The Journey Home.”
Sumber: “More Than the Bible”
Posted on 14 November 2019, in Kisah Iman and tagged Calvinis, Presbyterian, Protestan Injili, Sola Scriptura. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0