Apa itu Darah Perjanjian?
Oleh Karlo Broussard

Jesus Christ at a table with chalice and holding bread Stained glass at Calgary Alberta Canada by Posterazzi (Sumber: amazon.com)
Kurban penebusan Perjanjian Baru sudah dimulai pada Perjamuan Malam Terakhir
Ketika saatnya membela doktrin kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi, umat Katolik biasanya merujuk kapada kata-kata Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir berikut ini:
Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa (Matius 26:26-28, dengan penekanan tambahan).
Perhatikan ketika Yesus berbicara tentang isi piala itu, Ia berkata, “Inilah darah-Ku, darah perjanjian.” Perkataan ini secara langsung merujuk pada “darah perjanjian” yang dipercikkan Musa kepada bangsa Israel untuk mengesahkan Perjanjian Musa di Gunung Sinai (Keluaran 24:8).
Mungkin pada tahap ini seorang Protestan bertanya kepada kita bahwa darah perjanjian itu adalah darah dari kurban sembelihan. Seandainya darah itu tidak ditumpahkan, maka tidak akan ada darah perjanjian.
Karena hal ini, mungkin dapat diperdebatkan karena darah Kristus belum ditumpahkan di puncak Kalvari ketika Ia berbicara tentang substansi dalam piala itu sebagai “darah perjanjian,” isi dari cawan itu tidak mungkin darah Perjanjian Baru, karena darah Perjanjian Baru adalah darah Kristus yang ditumpahkan di kayu salib. Jika itu masalahnya hal ini bisa diperdebatkan pula, maka substansi dalam piala itu pasti hanya simbol belaka dari “darah perjanjian” yang akan ditumpahkan pada hari berikutnya.
Bagaimana kita menanggapinya?
Pertama-tama, masalah apakah darah asli yang sedang dipersembahkan itu berbeda dengan masalah apakah darah yang dinyatakan dengan status “darah perjanjian.”
Untuk itu mari kita bandingkan dengan kurban Sinai. Sebelum hewan itu disembelih, darah hewan itu tidak memiliki status “darah perjanjian.” Namun bukan berarti darah yang ada di dalam kurban itu bukan darah asli.
Darah Kristus pada Perjamuan Malam Terakhir masih dapat dinyatakan dalam piala meskipun belum memiliki status sebagai “darah perjanjian,” walaupun Yesus belum dibunuh. Dan semua itu diperlukan untuk doktrin transubstansiasi: Darah Kristus yang asli dan benar-benar darah dihadirkan dalam piala pada Perjamuan Malam Terakhir.
Apakah darah-Nya secara teknis adalah “darah perjanjian” pada saat itu tidak berarti anggur itu menjadi darah Yesus. Kita bisa mengira-ngira, demi berpendapat belaka, Yesus hanya membicarakan substansi piala itu sebagai darah-Nya yang asli yang melambangkan “darah perjanjian,” atau tak lama kemudian perdebatan itu mengarah ke “darah perjanjian” namun akan tetap menjadi darah asli.
Terlepas dari itu, usaha kita untuk menunjukkan bahwa darah Kristus pada Perjamuan Malam Terakhir tidak memiliki status “darah perjanjian” tidak menyangkal transubstansiasi, dan itulah yang menjadi tujuan dari keberatan yang diajukan mereka.
Kedua, kita dapat menanggapi dengan menantang klaim bahwa darah Kristus pada Perjamuan Malam Terakhir adalah bukan “darah perjanjian.”
Ingat, keberatan ini menyatakan bahwa kurban Kristus belum dipersembahkan di kayu salib.
Namun mengapa kita harus percaya bahwa kurban penebusan Kristus hanya terbatas pada peristiwa kematian-Nya saja? Jika kita mempertimbangkan apa yang Alkitab ajarkan mengenai kurban, maka hal ini menjadi alasan bagus untuk berpikir bahwa kurban penebusan Yesus tidak terbatas ada kematian-Nya saja.
Kematian adalah peristiwa kunci dalam kurban Perjanjian Lama, namun tidak dimulai pada saat kematian. Ritual kurban terdiri dari berbagai hal sebelum peristiwa kematian: membawa binatang itu ke pintu tempat suci (Keluaran 29:42; Imamat 1:2-3), memeriksa binatang itu dari cacat, meletakkan tangan di atas kepala binatang itu (Imamat 1:4; 4:15), mengakui dosa imam yang akan melakukan persembahan kurban (Imamat 16:21) dan orang yang akan mempersembahkan kurban (Imamat 5:5), dan sebagainya. Semua hal itu dilakukan hanya untuk satu kurban saja.
Selain itu, Perjanjian Baru mengajarkan kepada kita bahwa ada yang namanya persembahan yang hidup. Paulus memberitahukan kepada jemaat di Roma, “Mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Dalam ayat lain, Paulus menganggap bangsa-bangsa bukan Yahudi sebagai “persembahannya” dalam “pelayanan imamatnya dalam pemberitaan Injil Allah” (Roma 15:16).
Luasnya kemungkinan untuk tata cara kurban dalam rencana keselamatan Allah menunjukkan bahwa pengorbanan Kristus mungkin tidak terbatas pada kematian-Nya, tetapi mungkin juga sudah dimulai saat Ia masih hidup.
Begitukah?
Katekismus Gereja Katolik menjawab dengan tegas: Seluruh kehidupan Kristus adalah misteri penebusan. Penebusan kita peroleh terutama melalui darah yang tertumpah di salib (KGK 517).
Bahkan jika seseorang tidak menerima pemahaman yang luas tentang kurban Kristus, para teolog Protestan secara universal mengidentifikasikan kurban Kristus dengan keseluruhan kisah sengsara-Nya.
Dalam hal ini kita bisa sepakat: pengorbanan penebusan-Nya mungkin termasuk sengsara yang tak lama akan Ia hadapi dan dimaksudkan secara langsung ke Penyaliban. Contoh yang nyata adalah penderitaan-Nya di taman Getsemani di mana Ia memohon sebanyak tiga kali supaya Bapa cawan penderitaan berlalu dari pada-Nya (Matius 26:39-46).
Pertanyaannya berubah, apakah Yesus sudah mengalami penderitaan pada saat Perjamuan Malam Terakhir (kerangka waktu yang relevan untuk tujuan kita)?
Pertimbangkan bahwa Yesus berada dalam masa kesusahan atas pengkhianatan Yudas yang Ia perkirakan terjadi pada Perjamuan Malam Terakhir (Matius 26:24-25; Markus 14:18-21; Lukas 22:21-23; Yohanes 13:21-30). Dalam tulisan Yohanes, kita mendapatkan petunjuk mengeni penderitaan Yesus dalam lubuk hati-Nya ketika Ia berkata kepada Yudas, “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera” (Yohanes 13:27). Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tidak menantikan apa yang akan terjadi, dan seperti kita sendiri, kita ingin menyelesaikan sengsara-Nya secepat mungkin tanpa berlama-lama.
Sekarang, karena penderitaan pada Perjamuan Malam Terakhir ditujukan kepada Salib, kita dapat mengatakan bahwa pada waktu itu adalah bagian dalam kurban penebusan-Nya. Dan karena kurban penebusan Kristus adalah penetapan kurban Perjanjian Baru, kita dapat menyimpulkan bahwa pengorbanan penebusan Perjanjian Baru telah dimulai pada Perjamuan Malam Terakhir.
Dengan demikian, pada saat Perjamuan Malam Terakhir, darah Kristus sudah memiliki status “darah perjanjian” yakni darah yang asli dan substansial dari kurban Perjanjian Baru hadir dalam piala dan dalam kurban penebusan Perjanjian Baru. Ya, kurban akan mencapai puncaknya pada hari kematian-Nya di hari berikutnya. Namun darah-Nya tetaplah darah kurban Perjanjian Baru dan dengan demikian wajar sekali memiliki status sebagai “darah perjanjian.”
Jadi, karena gugatan akan “darah perjanjian” kurban sembelihan dalam perjanjian Musa gagal membuktikan apapun, kita mempunyai alasan baik untuk berpikir bahwa darah Yesus pada Perjamuan Malam Terakhir memiliki status “darah perjanjian,” tantangan terhadap penafsiran harfiah dari kata-kata institusi menjadi gagal.
Masih banyak tantangan terhadap ajaran Gereja Katolik tentang Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi, namun kita akan membahasnya lain kali.
Sumber: “The Blood of the Covenant”
Posted on 9 March 2020, in Apologetika, Ekaristi and tagged Darah Perjanjian, Ekaristi, Perjamuan Malam Terakhir, Yesus Kristus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0