Bagaimana Ateisme Saya Dihapuskan – Kisah Patrick Flynn

Keluarga Patrick Flynn dan Christine Mooney-Flynn beserta anak-anaknya
(Sumber: Instagram @thecatholicmama)

Perubahan keyakinan saya kembali ke dalam Gereja Katolik dari ateisme bukanlah suatu loncatan yang tiba-tiba, namun serangkaian perjalanan yang labil, bertahun-tahun saya menjalaninya dengan melompati batu-batu pijakan spiritual. Saya hanya berharap untuk sampai di suatu tempat yang aman, stabil dan kokoh.

Saya dibesarkan di sebuah keluarga Katolik, namun mereka tidak begitu Katolik, hanya umat Katolik secara budaya. Kami pergi ke gereja pada Natal dan Paskah, bahkan saya pernah sebentar melayani sebagai putra altar. Namun saya tidak pernah mendapatkan tujuan untuk pergi ke gereja. Tak seorang pun yang meluangkan waktu untuk menjelaskan Katekismus atau Ekaristi ataupun Tuhan, sehingga keyakinan saya pada saat itu seolah-olah gagal bertumbuh. Iman itu dianggap sebagai salah satu kebiasaan, memang benar pada waktu itu saya anggap demikian, dan salah satu hal yang saya tinggalkan begitu saja ketika diberikan pilihan mengenai hal itu.

Kedua orang tua saya berhenti pergi ke gereja ketika saya masih di sekolah menengah (setingkat SMP –red.), dan saya beranggapan bahwa hal itu tidak begitu penting bagi mereka, maka hal itu sama sekali tidak penting bagi saya. Dan ini belum saya sebutkan dampak dari mentalitas ilmiah. Pada waktu itu saya mulai mempelajari segala hal yang menarik tentang dunia, seperti evolusi, nenek moyang bersama1, dan berbagai hal lainnya. Saya tidak ingat bahwa saya pernah diajarkan tentang suatu interpretasi Kitab Suci dan kisah penciptaan yang ketat dan harafiah, tetapi saya mulai berpikir bahwa mungkin salah satunya benar dan yang satu lagi salah. Yang terjadi dengan keyakinan saya waktu itu mulai lenyap, saya mulai kehilangan iman saya kepada Allah.

Saya cepatkan ke beberapa tahun ke depan, dan apakah Anda tahu, saya salah seorang tipe Ateis Baru. Saya mulai berpikir bahwa semua agama itu yang paling baik hanyalah takhayul, dan yang paling buruk dan lebih umum, bahwa agama sebagai suatu kerugian besar terhadap kemajuan umat manusia. Agama menyebabkan perang dan pertikaian dan cara pandang yang mundur akan berbagai hal, terutama moralitas. Agama tidak ingin manusia menjadi bebas, dan tentu saja tidak ingin manusia menjadi bahagia – itulah pandangan saya waktu itu.

Tetapi ketika saya mulai mempelajari para filsuf ateis dan kembali ke masa lau melalui Nietzsche dan para filsuf lainnya, kenyataan yang saya dapatkan bukan hanya mengejutkan, tetapi juga amat mendalam. Banyak hal yang mengejutkan saya, saya menemukan bahwa Ateis Baru telah kehilangan sesuatu: Ketika Anda menyingkirkan Allah, Anda menyingkirkan hampir segala sesuatu. Saya mulai bertanya-tanya apakah tindakan menyingkirkan Allah itu disengaja.

Tetapi para Ateis Kuno mengakui hal ini. Mereka mengetahui bahwa pada akhirnya konsekuensi pandangan mereka tanpa Allah itu adalah nihilisme. Karena tanpa Allah, tidak ada nilai moral yang objektif, maka tidak ada tujuan moral yang objektif. Yang ada hanya kehidupan yang tidak masuk akal – kekacauan yang luar biasa – peluang acak. Dan kita semua terjebak di tengah-tengah itu. Menyenangkan sekali! Adakah yang mau menangkap kepiting akhir pekan ini?

Apa yang saya kagumi tentang Ateisme Kuno adalah mereka jauh lebih konsisten dalam filsafatnya, lebih berkeinginan untuk menelusurinya segala pemikirannya, bahkan sampai ke akhir yang sangat menakutkan dan pesimistik. Jadi, saya menghargai semua itu. Dan konsistensi itu bagus.

Tetapi apa yang tidak bisa saya hargai bahwa segala sesuatu yang saya tahu, semua orang yang saya cintai, semua hal yang ingin dicapai, adalah sia-sia. Menurut sistem itu, segala sesuatu itu tidak ada artinya, tidak ada tujuan, dan tidak masuk akal. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memahami keberadaan kita adalah menemukan semacam makna untuk menambatkan diri kita sendiri, setidaknya sampai tubuh dan pikiran kita benar-benar berakhir dan tidak bisa kembali lagi saat kematian. Karena tidak ada yang bisa ditemukan dalam ateisme. Apapun yang ada di sini hanyalah sekedar pemikiran manusia yang lemah. Bagaimanapun juga, itu semua hanyalah sebuah kecelakaan kosmik, sekedar kebetulan yang aneh.

Namun untuk saat ini, marilah kita lupakan sejenak tentang ketidakmasukakalan dari kesimpulan itu dan setuju bahwa pandangan dunia yang materialistik dan naturalistik tidak mungkin benar, yang sekarang saya sangat pikirkan adalah kasusnya, meskipun kemudian saya sampai pada kesimpulan itu. Keraguan awal saya untuk memeluk ateisme sepenuhnya, dan memang satu-satunya hal yang akhirnya menahan saya jatuh pada nihilisme, adalah pengalaman dan identitas pribadu saya yang sangat memberontak melawan gagasan bahwa kesadaran hanyalah ilusi yang muncul dan tidak ada diri saya yang nyata, juga tidak ada yang trensenden. Kesimpulan akhir Ateisme Kuno terlalu radikal, terlalu menyedihkan. Jadi saya pikir, sebelum saya menerimanya setidaknya saya harus mempelajari sisi lain dari argumen ini, sebelum saya menarik diri ke dalam psikosis paranoid yang penuh goncangan. Saya merasa yakin itulah yang bias saya tawarkan pada diri saya sendiri.

Dalam studi berikutnya, saya menolak emosi yang menentukan keputusan akhir saya. Saya akan menimbang pendapat-pendapat dengan objektif dan adil, mengikuti ke mana pun pendapat itu membawa diri saya. Pilihan yang bertanggung jawab adalah membiarkan pilihan saya tetap terbuka. Sesuatu yang pada waktu itu saya juga sadari bahwa ateisme sama sekali bukan konsensus ilmiah sama seperti dugaan filosofis. Saya bukan seorang idiot, kawan. Saya tahu ada kemungkinan lain, bahkan jika saya belum yakin akan hal itu.

Jadi saya melakukan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang beragama tetapi tidak cukup siap menjadi seorang nihilis: Saya belajar agama Buddha. Dan tahukah Anda? Hal itu cukup membantu. Agama Buddha membuat saya kembali ke perasaan yang ada hubungannya dengan spiritualitas, dan saya menemukan bahwa meditasi adalah latihan yang hebat dan bermanfaat. Itulah sesuatu yang mendukung iman saya sebagai seorang Kristen pada tahun-tahun berikutnya. Jadi saya ikut latihan Zen dan belajar dengan seorang bhikkhu secara daring. Sungguh luar biasa. Dan tidak ada yang berada di luar batas, semuanya dibicarakan secara ilmiah, karena agama Buddha yang saya pelajari tidak dikemas dengan komitmen metafisik apa pun. Itu semua hanyalah tentang menyingkirkan ego. Namun juga tidak menjawab pertanyaan yang mendesak mengenai kehidupan: Mengapa kita ada di sini? Apakah Tuhan itu ada? Dan seterusnya. Agama Buddha adalah jalan keluar dari penderitaan, bukan penjelasan mengapa sesuatu yang ada dimulai dari apa. Dan saya ingin tahu dari mana sesuatu yang ada itu berasal.

Pada masa ini, prasangka saya terhadap orang Kristen begitu tinggi, sampai-sampai tidak pernah bias membayangkan jika saya nanti menjadi seorang Kristen. Namun dalam studi filsafat yang saya lanjutkan kemudian, saya sudah menemukan jalan menuju Aristoteles. Dan Anda tahu siapa yang akan datang setelah Aristoteles, kan? Anda bisa menebaknya, ia adalah Thomas Aquinas. Dan orang ini membuat saya terkesan! Ia sepertinya punya jawaban untuk semua hal, dan setiap jawaban sangat memuaskan dan tertata rapi. Pada tingkatan tertentu, ia seorang yang keras kepada para filsuf yang sebelumnya saya sudah pelajati dan tampaknya sebagian besar tidak mampu, terutama hal yang bersifat ateistik. Anda tahu bagaimana mereka membicarakan bahwa mereka tidak membuatnya seperti dulu? Ya, saya pikir itu sangat benar bagi para filsuf.

Maka saya akan memberikan hal itu secara singkat: Pada dasarnya, setelah bertahun-tahun merenung dan belajar, saya merasa yakin bahwa Aquinas itu benar, benar mengenai Tuhan, benar mengenai kebajikan, dan benar tentang makna kehidupan. Mungkin tidak sepenuhnya benar, tapi sebagian besar hal itu benar. Dan hal itu cukup bagi saya. Summa Theologica adalah titik balik hidup saya.

Jadi saya menerima filosofi Aquinas cukup lama sebelum saya menerima ajaran Gereja, bahkan sebelum saya menjadi seorang Kristen untuk kedua kalinya. Pada titik ini saya yakin bahwa Tuhan itu ada. Karena argumennya akan Tuhan, seperti halnya di pengadilan, jauh lebih besar daripada argumen lawannya. Dan yang saya maksud itu semua argumen dari argumen kosmologis, argumen teleologis, hingga argumen moral, tepat berada di ujung tanduk. Saya tidak yakin ada satu argumen yang pada mulanya meyakinkan saya. Tetapi ketika saya mulai belajar dan belajar tentang hal itu secara pribadi, ada efek bertahap dan kumulatif yang menyebabkan saya menjatuhkan vonis yang mendukung teisme dan akhirnya menolak ateisme sepenuhnya yang sudah saya ikuti sejak lama. Inilah yang saya sebut sebagai melompati batu-batu loncatan dan sampai di tanah yang kokoh.

Jadi ada beberapa hal yang tersisa. Dan Yesus adalah salah satunya.

Sekarang, ketika Anda seorang ateis maka Anda tidak akan terlalu memperhatikan Yesus, karena Anda tidak percaya pada mukjizat. Jadi, jelas sekali bahwa Kebangkitan itu tidak “nyata” dan semua “mukjizat” yang Ia perbuat itu tidak lebih dari tipu daya dari seorang penipu yang parasnya sesuai sebagai seorang yang spiritual. Namun, ketika Anda bukan lagi seorang ateis, pertanyaan ini membayangi Anda: Siapa orang ini?

Setelah saya berubah keyakinan, percakapan saya dengan banyak orang Katolik berpusat pada semua hal tentang mengapa saya kembali ke agama Kristen.

Beberapa orang ingin tahu mengapa saya tidak memilih sesuatu yang spiritual tapi memilih yang religius. Mengapa saya tidak memilih hal seperti retret yoga. Ini yang menjadi tema yang terus menerus saya bagikan mengenai kisah saya kepada orang Katolik, bahkan saya baru saja melakukan percakapan ini beberapa hari yang lalu.

Jadi saya menceritakan kepada mereka suatu kisah yang sama kepada semua orang yang bertanya: Bagaimana cara saya keluar dari ateisme menuju kepada Tuhan para filsuf (terima kasih kepada Aquinas), dan akhirnya setelah bertahun-tahun mengindari pertanyaan ini, kepada Pribadi Yesus Kristus, dan semakin saya mempelajari Yesus, maka semakin menarik dan fantastis Yesus itu. Saya benar-benar menempatkan diri saya ke dalam sesuatu yang disebut “trilema” yang pernah disampaikan oleh C.S. Lewis, meskipun saya tidak pernah membaca karya C.S. Lewis beberapa tahun kemudian. Pada dasarnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa Yesus itu harus benar-benar gila, atau berdasarkan kenyataan bahwa Ia seperti yang Ia nyatakan sendiri sebagai Putra Allah.

Oleh karena itu, Kekristenan adalah salah satu (Kemungkinan pertama) perbuatan penipu yang paling besar yang pernah dilakukan umat manusia, atau (Kemungkinan kedua) satu-satunya hal paling penting yang dapat dilakukan seseorang dalam hidup mereka. Tidak ada kemungkinan ketiga.

Inilah realisasi yang mengejutkan, bahkan saya pikir kepada umat Katolik yang ada. Yaitu, hanya melihat radikalitas semata.

Karena inilah hal yang sangat fantastis: Allah, satu-satunya realitas utama, alasan keberadaan kita, Ia benar-benar datang ke bumi, mati bagi kita, dan berkata kepada kita bahwa Ia mengasihi kita. Maksud saya, astaga! Karena jika itu benar, bagaimana Anda tidak bisa mencurahkan seluruh hidup Anda kepada-Nya? Bagaimana Anda tidak mau berlutut dan berdoa kemudian pergi dan mewartakan kabar baik? Seperti bicara tentang pengumuman yang baik.

Itulah kisah saya. Dan bagaimana selanjutnya? Ya, semua itu cukup mudah. Karena begitu saya menemukan Yesus, maka yang tersisa adalah masalah membedakan siapa (atau apa) yang menjadi penafsir iman Kristen yang paling setia. Jadi saya diberikan kemampuan untuk menilai (sekali lagi saya kira hal ini agak kurang berperasaan), yaitu mengenai perbedaan Katolik dan Protestan. Dengan melakukan itu, saya langsung melihat bahwa sebagian besar serangan yang ditujukan kepada Katolik ternyata bukan apa yang sebenarnya Katolik percayai, seperti penyembahan patung atau apa pun itu. Saya juga melihat sola Scriptura dari Luther sebagai penyangkalan diri dan bisa dikatakan sebagai satu-satunya hal terburuk yang pernah terjadi dalam Kekristenan, yang pada dasarnya menghancurkan budaya dan moralitas Yahudi-Kristen.

Tapi sebagian besar saya merasa bahwa Gereja Katolik sudah melakukannya dengan benar, seperti yang mereka nyatakan sebagai doktrin pada kenyataannya sebagai penafsiran yang masuk akal dari Kitab Suci, dan tidak ada yang bertentangan dalam iman Katolik dengan yang diketahui dunia secara ilmiah, yang bukan kasus dari sekte tertentu, katakanlah seperti fundamentalisme. Secara intelektual saya harus menerima kenyataan itu, bahwa Gereja Katolik masuk akal, sedangkan yang lainnya tidak.

Namun, menerima sesuatu secara intelektual tidak sama dengan pindah secara spiritual ke dalamnya. Saya sepenuhnya setuju bahwa perubahan keyakinan untuk kembali menjadi Katolik itu didukung oleh kuasa Roh Kudus, apa yang saya katakan sebelum mengalami hubungan pribadi dengan Kristus. Maka, saya berdoa untuk pertama kalinya sejak terakhir berdoa sebagai seorang anak kecil, saya menundukkan kepada dan memberi tahu Tuhan bahwa saya percaya kepada-Nya dan ingin mengenal-Nya lebih baik lagi. Dan setelah saya mengakhiri doa saya itu, saya berdiri dan menjalani hari itu. Seminggu berlalu, tapi ketika kami sudah mendekati Natal, ada sesuatu yang kokoh menetap dalam diri saya, dan saya merasa tergerak untuk ikut Misa. Pada hari itu adalah Malam Natal, dan saya berjalan menuju gereja Katolik setempat dan untuk pertama kalinya menyaksikan konsekrasi Ekaristi setelah beberapa dekade berlalu. Ketika lonceng berbunyi, menyuarakan transubstansiasi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Tuhan kita, pada saat itulah, keinsafan saya akhirnya selesai. Akhirnya saya menemukan tanah yang kokoh yang sudah lama saya cari-cari.

 

Catatan kaki:

  • common ancestry / common descent salah satu teori biologi evolusi bahwa semua makhluk hidup berasal dari leluhur yang sama, spesies yang ada sebelumnya lambat laun berubah menjadi spesies lain, pencetusnya adalah Charles Darwin.

 

Sumber: “How My Non-Belief Was Obliterated”

Advertisement

Posted on 2 May 2020, in Kisah Iman and tagged , , . Bookmark the permalink. 1 Comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: