Menemukan Makna Ekaristi melalui Manga – Kisah Alan Truong

Alan Truong (Sumber: chnetwork.org)

Pengenalan akan Tuhan

Saya tidak begitu ingat waktu saya tidak percaya keberadaan Tuhan. Saya kira saya mendapatkan hal tentang Tuhan dari ibu saya. Waktu saya masih kecil, ketika saya bertanya kepada ibu saya tentang bagaimana sesuatu di dunia ini terjadi misalnya “Mengapa ada hujan?” atau “Mengapa bunga tumbuh semakin besar?” maka ibu saya selalu menjawab bahwa Tuhanlah yang menyebabkan semua ini terjadi. Saya menerima jawaban itu tanpa mempertanyakannya dan karena itu pula saya menerima Tuhan itu ada dan Tuhan bertanggung jawab atas mekanisme yang terjadi di alam semesta. Inilah pengenalan pertama saya kepada Tuhan.

Di luar tanya jawab yang saya lakukan dengan ibu saya, Tuhan dan agama bukan bagian kehidupan keluarga kami. Ibu saya pernah menjadi jemaat gereja Baptis dan juga saya ingat dengan samar-samar ketka saya ikut sekolah Minggu hanya beberapa kali dan tidak lama. Ayah saya tidak tertarik dengan agama dan sejak ibu saya menjauhkan diri dari kehidupan gereja. Waktu iktu saya berusia 5 atau 6 tahun, dan tidak ada agama apa pun dalam keluarga kami.

Segalanya mulai berubah ketika ibu saya memutuskan untuk meninggalkan ayah saya yang kasar dan membawa anak-anak bersama dengannya. Peristiwa itu terjadi ketika saya berusia sekitar 7 atau 8 tahun. Kami pindah dari Leicester ke Birmingham, Inggris untuk memulai kehidupan baru. Karena dia percaya bahwa Rosary Catholic Primary School adalah sekolah terbaik di lingkungan itu, ibu saya mendaftarkan saya di sana. Di sekolah itu saya diperkenalkan dengan agama Kristen.

Ada dua peristiwa penting yang terjadi selama saya bersekolah di Rosary. Di kelas, guru kami meminta setiap siswa untuk menggambar  seperti apa Tuhan itu. Kebanyakan murid menggambar stereotip seorang tua yang berada di awan. Namun, saya dan teman saya melakukan sesuatu yang berbeda. Pada masa hidup saya ini (mungkin saya berusia 9 atau 10 tahun), pandangan saya tentang Tuhan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat. Tuhan itu tidak punya wajah atau tubuh. Ia melampau alam fisik. Karena itu, saya memutuskan untuk menggambarkan bola cahaya untuk menekankan bawha jika seseorang melihat cahaya itu, mereka tidak akan bisa melihat seperti apa Tuhan itu. Bagi saya, Tuhan itu seperti cahaya yang tidak dapat dijangkau dan tidak dapat diketahui. Setelah saya menyelesaikan gambar saya, saya melihat gambar dari seorang teman saya yang bernama Anthony. Ia menggambar hati, gambar hati kartun yang sederhana. Saya bertanya kepadanya, mengapa ia menggambar hati. Saya berkata kepadanya, “Itu bukan Tuhan. Itu cuma organ tubuh.” Anthony menjawab, “Ya, Tuhan adalah kasih.” Pernyataan ini terasa sangat aneh bagi saya. Inilah pertama kalinya saya merasa bahwa pandangan saya ditantang namun hal ini bukan menjadi yang terakhir.

Sekitar setahun kemudian, guru kami meminta setiap murid untuk menulis surat untuk Tuhan. Ada seorang anak laki-laki yang membacakan suratnya di hadapan semua orang. Suratnya seperti berikut (saya ceritakan menurut kata-kata sendiri): “Ya Tuhan, Suatu hari saya berharap supaya saya bisa tumbuh besar dan kuat seperti Engkau. Amin.” Seperti itu. Pak Guru tidak terlalu senang dengan surat itu. Ia berjalan menuju anak itu dan berteriak di hadapannya, “TUHAN ITU TIDAK KUAT OLEH KARENA KEKUATAN FISIKNYA. IA KUAT KARENA KUASA FIRMAN-NYA.” Saya mungkin hanya mengingat peristiwa ini karena teriakan (dan kemudian suara tangisan yang terjadi tak lama setelah itu), dan sekali lagi saya merasa tertantang mengenai apa yang saya yakini seperti apa Tuhan itu. Mungkin ada lebih banyak kekuatan daripada kemampuan untuk menciptakan dan menghancurkan alam semesta. Kata-kata apa yang membuat Tuhan itu begitu kuat?

Saya belajar tentang kata-kata ini di kelas pelajaran agama. Pada masa ini, pelajaran agama menjadi kelas favorit saya karena saya belajar tentang kisah-kisah Alkitab. Setelah mendengar rekaman kisah Kain dan Habel, saya merasa terkejut karena Habel yang tak bersalah dibunuh oleh Kain yang jahat. Di akhir kisah itu, Habel tidak hidup lagi tapi Kain tetap hidup. Orang jahat menang. Ini kisah yang berbeda dengan kisah dongeng dan juga film Disney, yang mana para tokoh utamanya akan hidup bahagia selama-lamanya. Kisah-kisah yang sedih atau ambigu tampak lebih nyata bagi saya, dan saya akan terus melihat banyak kisah ini di sepanjang Alkitab.

Dengan membaca Perjanjian Baru di kelas pelajaran agama, saya belajar tentang kehidupan dan ajaran Yesus. Saya melihat sesuatu yang brutal dan keras dalam perumpamaan Yesus tentang Orang Samaria yang Baik Hati dan penyiksaan dan kematian Yesus di tangan orang Romawi. Mungkin kekejaman dan darah itulah yang menarik saya pada kisah-kisah ini. Namun, setelah saya merenungkannya, sekarang saya tahu bahwa saya tertarik pada kisah-kisah ini karena tidak menutup-nutipi keburukannya (sambil memberikan kita pengajaran moral dan harapan) dan karena itu kisah ini tampak lebih asli bagi saya.

Ketika saya berusia 11 tahun, saya sudah berada di sekolah Katolik selama sekitar 3 tahun. Meskipun saya sudah tertarik pada Alkitab dan ikut Misa bersama teman-teman sekelas saya, saya tidak percaya akan keilahian Kristus dan saya tidak memahami arti kematian Kristus di kayu salib. Saya hanya fokus untuk berprestasi di sekolah. Saya mempunyai kehidupan yang baik. Di kelas, saya termasuk siswa yang prestasinya di puncak. Segalanya tampak berjalan sesuai dengan keinginan saya, namun semunya itu akan berubah.

Di Rumah Nenek Saya

Pada tahun 1999, ibu saya menyampaikan kabar pada kami bahwa kami akan pindah ke Amerika Serikat. Saya sangat terpukul. Ibu saya sudah merencanakan hal ini sejak kami pergi meninggalkan ayah saya supaya lebih dekat dengan keluarga ibu saya, jadi sebenarnya hal ini bukanlah suatu kejutan. Saya tahu bahwa ada kemungkinan ini jauh di masa depan, tapi saya tidak berharap hal ini benar-benar terjadi.

Beberapa bulan kemudian, kami pindah ke Ogden, Utah, dan tinggal bersama kakek dan nenek saya. Saya akan tinggal di rumah mereka selama masa remaja saya. Mereka berdua beragama Buddha, tapi tak seorang pun yang membahas iman atau agama mereka dengan saya. Nenek saya seorang yang taat dan saya sering memperhatikan dia menyimpan persembahan di Butsudan (tempat sembahyang umat Buddha) di rumahnya dan berpantang daging pada hari-hari tertentu dalam sebulan. Saya mengagumi kesalehan beragamanya dan saya akan memulai rutinitas saya sendiri.

Di sekolah, saya ditempatkan di kelas 6 di Roosevelt Elementary yang merupakan sekolah negeri. Meskipun sebagian besar siswa itu sepertinya anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir (Mormon –red.), topik agama jarang dibicarakan di kelas. Oleh karena itu, saya kehilangan akses ke pendidikan agama dan kehidupan formal gereja atau sesuatu yang seperti itu. Kadang-kadang, beberapa teman sekelas saya akan mengajak saya ke gereja bersama mereka, tapi saya selalu menolaknya. Saat itu, saya tidak tertarik untuk berteman. Saya masih marah karena saya terpaksa meninggalkan teman-teman saya di Inggris dan tata cara yang sudah memberikan saya disiplin dan rasa ingin tahu tentang Tuhan dan kisah-kisah dunia kuno. Untuk mengisi kehampaan ini, saya mulai menciptakan tata cara saya sendiri, termasuk rutinitas latihan fisik, memprioritaskan PR, dan membaca Alkitab setiap hari.

Untungnya, kami punya Alkitab di rumah kami yang ibu saya bawa dari Inggris. Saya melihat ada Alkitab Anak-anak di lemari buku kami dan saya memutuskan untuk terlebih dahulu membacanya karena saya pikir bisa memberikan ringkasan singkat dari keseluruhan Alkitab. Sekali lagi, saya terpesona oleh kisah-kisah Perjanjian Lama. Perjanjian Baru kurang mengasyikkan, tapi ada satu bagian yang memberikan pengaruh panjang pada diri saya.

Setelah membaca kisah Yesus mengajar doa Bapa Kami kepada para murid-Nya, saya memutuskan untuk menghafal doa ini dan mengucapkannya pada malam itu. Itulah pertama kali saya berdoa tanpa disuruh. Saya tidak yakin kenapa saya melakukannya. Saya kira saya mengutip kata-kata Yesus secara harfiah ketika Ia berkata, “Berdoalah demikian” (Matius 6:9). Bagaimanapun juga, saya mengucapkan doa Bapa Kami setiap malam sebelum tidur (tanpa kecuali) dari kelas 8 sampai ke kuliah. Itulah disiplin spiritual saya yang pertama.

Segera setelah saya menyelesaikan Alkitab Anak-anak, saya lanjutkan ke Alkitab sebenarnya. Saya memutuskan untuk membaca satu halaman setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan saya melanjutkan rutinitas ini sampai saya menyelesaikannya pada tahun junior sekolah tinggi (setingkat SMP –red.). Ya, saya mulai dari Kejadian dan berhasil membacanya sampai Wahyu tanpa melewatkan satu kata pun. Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya mendapatkan banyak dari membaca Alkitab dengan cara ini. Saya sudah mendapatkan pengetahuan tentang karakter dan susunan Alkitab, namun saya merasa agak kecewa setelah menyelesaikannya. Pada saat itu, saya tidak menyadari bahwa saya sudah membaca seluruh bagian Alkitab tanpa memperhatikan konteks sejarah dan budayanya. Saya mengharapkan semacam pencerahan atau transformasi yang akan terjadi pada diri saya, namun saya tidak merasakan apa-apa, maka saya memutuskan untuk menjelajahi agama lain.

Suatu Penemuan di Perguruan Tinggi

Selama masa sekolah baik di SMA maupun awal kuliah saya, saya menggunakan banyak waktu luang saya untuk membaca sejarah dunia dan agama. Saya terpesona oleh keragaman begitu banyak agama dan semuanya mengaku menyembah Tuhan dengan berbagai cara. Namun, semakin saya belajar tentang agama-agama yang berbeda-beda ini, semakin saya merasa bingung dan saya semakin lumpuh dalam membuat pilihan tentang mana yang benar. Contoh keraguan yang saya alami di tahun pertama saya kuliah adalah ketika saya ditanya oleh mahasiswa lain apakah saya seorang Kristen. Saya menjawab, “Saya tidak tahu.” Kemudian ia bertanya apakah saya percaya bahwa Yesus bangkit dari kematian. Sekali lagi, saya mengatakan bahwa saya tidak tahu. Saya pikir bahwa Kebangkitan itu mungkin terjadi, tetapi tidak ada alasan saya untuk mempercayainya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya juga agnostik. Saya tahu bahwa saya percaya pada Tuhan. Saya hanya tidak tahu apa yang harus dipercaya tentang Tuhan.

Saya yakin bahwa tidak semua agama itu benar karena banyak kepercayaan agama-agama tentang Tuhan saling bertentangan. Oleh karena itu, saya tahu kalau ada kemungkinan saya membuat pilihan yang salah dan pemikiran inilah yang membuat saya enggan untuk mengambil keputusan tentang kepercayaan mana yang harus saya ikuti. Saya juga mempertimbangkan kemungkinan bahwa tidak ada agama yang benar. Mungkin baik-baik saja dengan menjadi orang yang baik dan percaya pada Tuhan tanpa memeluk suatu agama. Saya tidak yakin harus percaya yang mana, jadi saya tidak melakukan apa pun.

Kebuntuan yang saya alami mulai pecah selama tahun kedua saya kuliah. Pada tahun itu, ketiga orang sekamar saya menganut agama Kristen, dua orang Katolik dan seorang Evangelis. Kami berteman dan topik agama dan politik sering dibicarakan dalam perbincangan kami. Seringkali, perbincangan ini berubah menjadi perdebatan. Suatu hari, seorang teman Evangelis yang bernama Thodore dan saya berdebat tentang apakah orang Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang sama. Ia berpendapat bahwa Muslim menyembah Tuhan yang berbeda karena Tuhannya tidak termasuk Yesus. Pandangan saya adalah bahwa Allah Bapa dan Allah Muslim adalah Tuhan yang sama. Saya bertanya mengapa Yesus itu menjadi penting. Ia menjawab dengan pertanyaan lain, “Apakah kamu pernah berbuat dosa?” Saya jawab, “Tentu saja.” Kemudian ia menjelaskan pada saya bahwa inilah yang membuat Yesus penting. Karena saya seorang pendosa, saya ditakdirkan untuk dihukum dan hidup tanpa kehadiran Allah. Yesus wafat di kayu salib sehingga orang berdosa seperti saya bisa diampuni dan diselamatkan dari keterpisahan kekal dari Allah. Sekarang semua itu menjadi masuk akal bagi saya. Dengan satu pertanyaan, Theodore mampu menjangkau saya ketika pelajaran agama dan belajar mandiri selama bertahun-tahun sudah gagal menjangkau saya. Pada masa itu, saya memutuskan untuk percaya kepada Kristus dan saya mulai menganggap diri saya sebagai seorang Kristen.

Meskipun sekarang saya seorang Kristen, saya masih tidak yakin bagaimana cara menyembah Tuhan. Pertanyaan tentang gereja mana yang harus saya ikuti tidak terlalu sulit seperti memilih cabang agama Kristen mana yang harus saya taati. Saya tahu ada banyak pilihan dan saya tidak tahu mana yang benar. Singkatnya, saya mempertimbangkan untuk bergabung dengan Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir karena saya berada di Utah (di mana mayoritas penduduk adalah anggota Gereja OSZA) dan bergabung dengan gereja ini akan memberikan saya keuntungan sosial. Saya juga mempertimbangkan untuk menjadi Katolik karena itulah gereja yang yang paling saya kenal sejak masa kecil saya. Saya akhirnya memilih menjadi orang Kristen non-denominasi karena saya ingin menyembah Kristus dengan cara saya sendiri tanpa harus pergi ke gereja atau menyatakan doktrin-doktrin tertentu. Yang saya harus lakukan adalah percaya kepada Kristus dan saya akan ditetapkan untuk kekekalan. Hal ini tampaknya menjadi jawaban paling sederhana dan saya menerimanya selama beberapa bulan.

Ketenangan yang saya alami dengan menjadi seorang non-denominasi ditantang oleh seorang teman saya yang Katolik, ia bernama Sam. Mungkin ia seorang paling luar biasa yang pernah saya temui. Selain menjadi seorang mahasiswa dengan IPK 4,0, Sam meluangkan malamnya untuk pekerjaan amal dengan bermain gitar di rumah sakit dan mengajar bahasa Inggris kepada para pengungsi. Ia membantu saya dalam mengerjakan PR dan menunjukkan sukacita yang besar dalam semua usahanya. Dan yang paling penting bagi saya, ia seorang Kristen yang saleh yang lapar untuk belajar tentang iman Katoliknya. Ketika kami makan bersama, saya memberi tahu ia bahwa saya sudah berpikir untuk menjadi seorang Katoik. Saya sangat menghormati Gereja Katolik karena sejarah penjang dan pengalaman pribadi saya di sekolah Katolik sewaktu masih kecil. Namun, pemikiran saya untuk menjadi Katolik seperti paling tidak hanyalah masa depan yang jauh. Saya benar-benar tidak punya keinginan untuk pergi ke gereja dan saya sudah sibuk sebagai mahasiswa teknik. Saya tidak berpikir bahwa saya akan punya waktu untuk kehidupan menggereja. Sam menanggapinya dengan memberi saya sebuah buku yang berjudul The Essential Catholic Survival Guide: Answers to Tough Questions About the Faith yang ditulis oleh staf Catholic Answers.

Dengan buku ini, saya belajar banyak tentang Katolik dan Kekristenan tanpa banyak melakukan apa pun. Buku itu membahas banyak tentang masalah yang saya hadapi tentang Katolik seperti peran Maria dan Paus, kontrasepsi, homoseksualitas. Dan yang paling penting buat saya adalah tentang Kitab Suci dan Tradisi. Sebelum saya membaca buku ini, saya menerima begitu saja gagasa bahwa Alkitab itu dituliskan oleh Allah dan Alkitab itu sudah ada begitu adanya. Namun, setelah membaca bagian ini, saya menyadari bahwa Alkitab ditulis oleh banyak orang, diilhami oleh Allah, selama beberapa abad. Bahkan karya Perjanjian Baru tidak semuanya diakui sebagai bagian kanon sampai beberapa abad setelah Kristus wafat. Pertanyaan yang harus saya jawab adalah, “Siapa yang menentukan kitab mana yang harus dimasukkan ke dalam Alkitab?” Jawaban sederhana adalah “Allah.” Namun, bagaimana Allah mengungkapkan kepada manusia tentang kitab mana yang harus dimasukkan ke dalam Alkitab? Alkitab sendiri tidak menjawab pertanyaan ini karena tidak ada daftar lengkap kitab-kitab yang termasuk dalam Kitab Suci (Saya sudah mempelajari bahwa daftar kitab di awal setiap Alkitab itu ditulis oleh penerbit Alkitab itu sendiri dan tidak dianggap bagian Kitab Suci). Dan bagi saya menjadi jelas mereka itu adalah orang-orang mempunyai otoritas dalam Gereja perdana yang dibimbing oleh Roh Kudus, yang menentukan kitab mana yang harus menjadi bagian kanon Kitab Suci.

Saya berpikir lebih tentang otoritas Gereja perdana dan perannya dalam menangani Kitab Suci. Karena ayat-ayat Alkitab itu dapat dengan mudah disalahtafsirkan, ada banyak pandangan yang saling bersaing tentang makna dari berbagai ayat dalam Alkitab. Bukti dari klaim ini jelas sekali yaitu melalui kenyataan banyak sekali denominasi yang berbeda-beda dan perpecahan dalam Kekristenan dewasa ini denan masing-masing punya penafsiran Alkitabnya sendiri. Saya melihat Gereja Katolik kebal akan masalah ini karena ketergantungannya akan tradisi dan otoritas dari generasi sebelumnya untuk menafsirkan Kitab Suci.

Tradisi ini terlihat oleh saya selama kunjungan yang saya lakukan kepada seorang imam setempat untuk bertanya tentang iman Katolik. Ia menunjukkan kepada saya sebuah poster yang berisikan setiap paus dalam sejarah Gereja Katolik. Saya melihat gambar paus pada saat itu yaitu Benediktus XVI, di bawah poster itu dan saya juga melihat gambar dan deskripsi semua paus pendahulunya yang dirunut kembali ke St. Petrus. Sebagai pencinta sejarah, saya menghargai melihat tanggal-tanggal dari setiap paus itu menjabat dalam linimasa itu. Tampilan visual mengenai suksesi apostolik meyakinkan saya bahwa otoritas Gereja Katolik dapat ditelusuri kembali langsung ke Gereja perdana dan kepada para rasul itu sendiri yang merupakan pengikut asli Yesus. Akhirnya saya sudah cukup melihatnya dan memutuskan untuk menjadi Katolik.

Akhir tahun itu, Sam menawarkan diri untuk menjadi sponsor saya untuk RCIA (Rite of Christian Initiation for Adults atau katekumen), dan dia hadir bersama saya hampir di setiap kelasnya. Setahun kemudian, saya menerima sakramen inisiasi (Baptis, Penguatan, dan Ekaristi) dan dengan resmi saya disambut ke dalam Gereja Katolik pada Malam Paskah tahun 2009.

Seorang Katolik yang Kesepian

Meskipun saya belajar banyak tentang iman Katolik selama tahun persiapan RCIA saya, saya masih punya banyak pertanyaan tentang iman dan bagaimana menjalaninya. Sebagai orang yang baru berpindah keyakinan, saya menyadari bahwa masih banyak hal yang belum saya ketahui dan saya masih berusaha untuk mengisi kekosongan pengetahuan tentang Gereja Katolik dan ajarannya. Saya mulai membaca Katekismus Gereja Katolik untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang doktrin-doktrin Gereja. Kemudian saya membaca buku Thomas Bokenkotter yang berjudul A Concise History of the Catholic Church untuk belajar banyak tentang sejarah Gereja dan lebih baik dalam memahami mengapa Gereja menjadi seperti sekarang ini. Buku-buku itu memberikan saya kepercayaan diri untuk menyebut diri saya sebagai seorang Katolik dan dapat membenarkan ajaran-ajaran Gereja Katolik bagi diri saya sendiri dan orang lain. Hal ini penting bagi saya karena saya sering meragukan apakah saya benar-benar sudah menjadi anggota Gereja selama bulan-bulan pertama saya sebagai seorang Katolik dan apakah saya sudah membuat keputusan yang tepat.

Setelah menyelesaikan keragu-raguan ini, saya memutuskan untuk menghidupi iman saya dengan menjadi sukarelawan untuk mengantarkan makan siang setiap pekan kepada mereka yang tidak bisa keluar rumah karena alasan tertentu (biasanya sudah tua atau sakit –red.). Inilah pertama kali dalam hidup saya di mana saya menggambil inisiatif untuk bekerja tanpa dibayar. Saya berharap untuk merasa sangat puas dengan melakukan perbuatan baik seperti memberi makan mereka yang lapar karena saya mengikuti perintah Kristus (lihat Matius 25:35). Namun, yang saya ingat, saya merasakan kesepian ketika saya menjadi sukarelawan. Perasaan kesepian ini juga muncul selama dan setelah Misa. Saya dapat memahami mengapa saya merasakan perasaan ini dalam pekerjaan sebagai sukarelawan, karena saya mengantarkan makanan sendirian. Tapi, saya tidak mengerti mengapa saya memiliki perasaan yang sama terhadap Misa karena saya sering mengikuti Misa bersama Sam. Hal itu tidak masuk akal bagi saya.

Perasaan ini kelihatan semakin buruk ketika saya mengunjungi keluarga saya. Setiap kali saya makan malam bersama mereka, saya merasa diri saya tidak berada pada tempatnya. Karena saya tidak pernah merasakan perasaan ini sebelum saya masuk Gereja, saya menyimpulkan bahwa kesepian yang saya alami berasal dari saya sendiri sebagai satu-satunya orang Katolik (dan satu-satunya orang Kristen) dalam keluarga saya. Mungkin saya merasa kesepian ketika Misa karena keluarga saya tidak bersama saya (baik secara fisik maupun spiritual). Mungkin juga karena saya tidak punya komunitas Katolik untuk terlibat di dalamnya (Saya hanya punya beberapa teman Katolik). Bagaimanapun juga, saya seorang yang berpindah keyakinan menjadi Katolik di tengah dominasi jemaat OSZA di Utah. Apa lagi yang bisa saya harapkan?

Roti Harian Saya

Perasaan kesepian dan kurangnya kedamaian ini membuat saya yakin untuk meninggalkan Utah dan melanjutkan sekolah pascasarjana di Indiana. Saya memilih Purdue University karena universitas itu adalah salah satu sekolah teknik terbaik di negara ini dan juga ada komunitas pelajar Katolik yang besar. Saya berteman dengan banyak teman Kristen (baik Katolik maupun Protestan) selama saya berada di sini dan akhirnya saya bergabung dengan sebuah komunitas. Saya tidak merasa kesepian lagi.

Ketika teman-teman saya mulai lulus dan meninggalkan Indiana, rasa kesepian saya kembali. Saya tahu bahwa sudah waktunya untuk pulang ke Utah. Kali ini akan berbeda karena saya sudah memiliki pengalaman selama 5 tahun menjadi Katolik. Selama saya berada di Indiana, saya sudah membiasakan diri untuk ikut Misa harian kapan pun dirayakan. Saya tidak ingat bagaimana kebiasaan ini dimulai tetapi saya ingat bahwa Misa pada hari kerja merupakan waktu yang paling damai dalam sehari itu. Saya meneruskan kebiasaan ini saat pulang ke Salt Lake City.

Setelah pulang ke Salt Lake City sekitar setahun, ketika saya menyetir kendaraan pulang dari Misa harian, tiba-tiba saya mendapat pencerahan mengenai Ekaristi. Ini hal yang aneh karena Ekaristi bukanlah sesuatu yang saya hargai atau yang sering saya pikirkan. Bahkan ketika waktu kelas katekumen, saya mendapatkan bahwa topik Ekaristi dan sakramen itu cukup membosankan. Sebagian besar tahun-tahun yang saya jalani sebagai seorang Katolik, saya memandang sakramen Ekaristi hanyalah ritual belaka yang saya ikuti. Pencerahan itu mengubah segalanya. Dalam pencerahan itu, saya ingat adegan dari manga (buku komik Jepang) yang berjudul Attack on Titan yang saya baca beberapa minggu sebelumnya. Dalam adegan ini, ada seorang raja yang membiarkan dirinya dimakan oleh monster raksasa. Setelah raja itu dimakan, monster itu berubah menjadi manusia yang menyerupai sang raja. Saya melihat raja itu sebagai Yesus dan monster itu adalah diri saya sendiri. Ketika saya menerima Ekaristi, saya memakan Sang Raja yang mengorbankan diri demi menyelamatkan saya, si monster yang berdosa. Dengan memakan-Nya, saya memperoleh kehidupan yang baru dan Roh-Nya ada di dalam saya. Sejak saat itu, saya memiliki cinta dan semangat baru akan Ekaristi. Sekarang saya sadar bahwa tidak akan ada Gereja tanpa Ekaristi. Saya juga menyadari bahwa dengan Ekaristi, saya tidak pernah sendirian lagi. Melalui Ekaristi, saya juga dalam persekutuan dengan semua yang menerima Ekaristi pada hari itu dan juga bersama semua orang kudus yang menerima Ekaristi di sepanjang sejarah.

Akhirnya, saya seperti mencapai jantung dari Gereja Katolik, yang saya yakini sebagai Ekaristi. Roti dipecah-pecahkan seperti Tubuh Yesus yang dihancurkan di kayu salib. Anggur dicurahkan seperti Darah Yesus yang ditumpahkan di kayu salib. Saya perlu satu dekade setelah menjadi Katolik untuk melihat hubungan indah antara Ekaristi dan wafat Yesus di kayu salib. Inilah misteri mendalam yang pernah saya syukuri dan saya Imani bahwa Ekaristi akan terus menopang saya selama perjalanan saya seterusnya.

Alan Truong tinggal di Salt Lake City, ia bekerja sebagai insinyur perangkat lunak. Ia menghanpiri Gereja pada tahun 2009 dan sangat menyukai untuk berbagi kebenaran dan sejarah Iman Katolik.

Sumber: “A Love of History Led Me Home”

Advertisement

Posted on 10 May 2020, in Kisah Iman and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: