[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Perjalanan Berliku dari Ateisme ke Katolik – Kisah Gregory Graham

Gregory Graham (Sumber: EWTN Youtube Channel )
Masa Kanak-kanak
Saya lahir pada tahun 1962 di Abilene, Texas. Ayah saya seorang operator rudal Nike di Angkatan Darat. Saya dibesarkan dalam tradisi gereja Baptis, dan ibu saya dibesarkan dalam gereja Methodist. Ayah saya keluar dari Angkatan Darat, dan kami pindah ke Dallas ketika saya berumur setahun. Ayah saya memasuki bidang baru yaitu pemrograman komputer dan terus di bidang itu sampai ia pensiun. Ibu saya bekerja di perusahaan telepon selama beberapa tahun, sampai adik laki-laki saya lahir.
Kami tidak ke gereja sampai saya berusia 10 tahun, ketika para tetangga mengundang kami ke gereja Presbiterian, yang mana kedua orang tua saya menjadi anggotanya sampai hari ini. Ingatan pertama saya mengenai iman adalah percakapan yang saya lakukan dengan nenek dari pihak ibu yang seorang Methodist, ketika saya masih berusia 5 atau 6 tahun. Dia memberi tahu saya tentang bagaimana Yesus adalah Putera Allah yang wafat di kayu salib demi dosa-dosa kita. Jika saya percaya kepada-Nya, saya akan diselamatkan dari neraka dan saya akan menuju surga ketika saya mati. Tentu saja saya ingin masuk surga, jad saya ingin percaya kepada Yesus. Namun, saya bertanya-tanya apakah keyakinan saya itu cukup baik dan cukup nyata. Saya diberi buku cerita Alkitab, yang kadang-kadang saya membacanya, dan berpikir bahwa hal itu cukup baik dilakukan. Saya menemukan beberapa kisah yang sulit dipercaya, dan saya merasa sulit untuk tetap tertarik dengan kisah itu.
Pada masa kanak-kanak minat saya yang sebenarnya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, secara khusus pada pesawat terbang, roket, dan robot. Saya punya sebuah poster yang menggambarkan semua planet, poster itu menempel di dinding kamar saya. Saya juga masih ingat ketika menonton misi Appolo di TV, saya merasa sangat tertarik dan juga sangat senang. Film kartun favorit saya sebagai bocah laki-laki adalah Jonny Quest, yang menceritakan petualangan seorang putra ilmuwan. Ketika saya besar nanti, saya ingin menjadi astronot atau ilmuwan.
Remaja Ateis
Ketika saya berusia 12 tahun, saya masuk kelas persiapan menjadi anggota di gereja saya. Saya dengan rajin hadir di kelas itu dan berusaha mempelajari apa yang diajarkan. Karena waktu itu saya belum dibaptis, maka pada waktu itu saya dibaptis dan menjadi anggota tetap gereja. Namun demikian, komitmen saya terhadap ilmu pengetahuan tampaknya bertentangan dengan iman Kristen saya yang masih minim, dan antusiasme yang saya miliki pada saat pembaptisan segera memudar. Seperti yang diharapkan dari diri saya, saya terus terlibat di gereja, dan saya berusaha untuk mempelajari apa yang diajarkan di sekolah Minggu. Saya di sana untuk menyenangkan guru saya, tapi hati saya tidak ada di dalamnya.
Alih-alih agama, saya mengikuti semacam optimisme teknologi, seperti yang diberitakan oleh Gene Roddenberry, yang membuat acara TV favorit saya yaitu Star Trek. Roddenberry membayangkan masa depan di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah memecahkan masalah utama keberadaan manusia. Di bumi menurut Star Trek, tidak ada lagi perang, kemiskinan, penyakit, atau kelaparan. Konflik acara TV itu mulai terjadi ketika ada interaksi dengan makhluk aneh atau makhluk buas dari galaksi lain.
Walaupun minat saya pada ilmu pengetahuan dan fiksi ilmiah membawa diri saya pada ateisme yang tidak jelas, di mana ada dua hal yang saya temui yang di kemudian hari membuka pintu iman kepada Tuhan. Hal yang pertama adalah esai yang ditulis penulis favorit saya yaitu Isaac Asimov. Meskipun pertama kali saya membaca tentang Asimov melalui cerita-cerita fiksi ilmiahnya, ia banyak menulis berbagai macam topic. Salah satu esainya berjudul “The Judo Argument” memandang suatu usaha untuk membuktikan eksistensi Tuhan dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Asimov meneliti argumen-argumen itu dan menunjukkan bahwa semua argumen itu tidak berhasil, namun Asimov mengejutkan saya di akhir artikel. Walaupun ia percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan, ia berkata bahwa ilmu pengetahuan juga tidak bisa membantahnya. Dari sudut pandang ilmiah, keberadaan Tuhan adalah sebuah pertanyaan terbuka. Kesimpulan yang mengejutkan ini merupakan hal yang tidak pernah saya lupakan. Pengaruh yang kedua adalah film Star Wars. Film itu merupakan film fiksi ilmiah, namun juga ada aspek mistik dengan hadirnya the Force. Hal ini tampaknya menantang gagasan bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan perjalanan ruang angkasa tidak sesuai dengan agama dan supranatural.
Saya masih ingat ketika saya berada di sekolah menengah (setingkat SMA –red.), saya mempertimbangkan kemungkinan bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang berada di luar jangkauan metode ilmiah, dan mungkin juga agama mengetahui sesuatu yang tidak dimiliki ilmu pengetahuan. Maka dari itu, saya berpikir bahwa suatu hari saya harus melakukan penelitian terhadap semua agama besar di dunia, untuk melihat apakah ada sesuatu yang berharga yang perlu saya ketahui.
Perubahan Keyakinan
Pada tahun-tahun awal di sekolah menengah, ada beberapa teman saya yang beragama Kristen di antaranya Mike, Chad, Doug, mereka akan berbicara kepada saya mengenai iman mereka. Saya menghormati mereka karena mereka pintar terutama dalam bidang ilmu pengetahuan alam dan komputer. Suatu hari pada menit-menit sebelum kelas fisika, Chad menunjukkan kepada saya bagaimana nubuat Perjanjian Lama yang menubuatkan Yesus Kristus, namun nubuatan itu dituliskan berabad-abad sebelum Yesus ada di muka bumi. Saat itu saya mendapatkan pencerahan bahwa Alkitab itu adalah kitab supernatural. Alkitab dituliskan oleh banyak penulis selama berabad-abad, namun memiliki pesan yang konsisten dan hal ini mungkin terjadi karena ilham yang ilahi.
Sejak saat itu, saya ingin mempelajari segala hal mengenai Alkitab. Saya mulai membaca Alkitab, menonton acara-acara TV Kristen, membaca buku-buku Kristen, dan mendengarkan lagu-lagu Kristen. Saya beralasan bahwa jika Alkitab itu berasal dari Allah, maka tidak ada yang lebih penting daripada ini. Tak lama kemudian, semua ini menuntun saya untuk beriman kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saya, dan itulah awal mula perjalanan saya sebagai seorang Kristen.
Acara TV Kristen favorit saya adalah Zola Levitt Live. Pak Levitt adalah seorang Yahudi yang menjadi seorang Kristen, dan saya suka acara ini karena ia membicarakan akar Yahudi dari Iman Kristen, dan bagaimana Yesus adalah penggenapan Perjanjian Lama, hal inilah yang menjadi permulaan perubahan keyakinan saya. Inilah inti ajaran dari sebuah buku yang ia tulis bersama, judul buku itu adalah “The Bible Jesus Read is Exciting.” Setelah membaca buku ini maka mulai saat itu saya sangat menyukai Perjanjian Lama.
Di Perguruan Tinggi dan Kontoversi
Saya kuliah di Texas A&M University, untuk belajar teknik. Walaupun di sekolah menengah saya ikut di gereja Presbiterian bersama dengan keluarga saya, di perguruan tinggi saya ikut di gereja Bible, karena gereja itu yang diikuti oleh teman-teman saya di sekolah menengah. Saya terlibat dalam kelompok anak kuliah di gereja itu, dan ikut studi Alkitab di asrama saya.
Menjelang akhir tahun pertama saya, dua orang teman saya dari gereja Bible berdebat mengenai pengajaran seorang pelayan di perguruan tinggi, teman saya itu akan saya sebut Bob. Bob mengajarkan kalau seseorang menerima Kristus sebagai Juruselamat Anda, Anda akan menuju surga tidak peduli apa yang Anda lakukan atau betapa berdosa kehidupan seseorang setelahnya. Pergi ke gereja dan menghindari berbuat dosa adalah hal baik untuk dilakukan, namun hal itu tidak berpengaruh apakah seseorang menuju ke surga atau tidak. Seorang teman yang memihak Bob, namun seorang teman lainnya berkata bahwa Anda harus menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat untuk ke surga, dan jika Yesus adalah Tuhan Anda, maka Anda akan menjalani kehidupan yang berbeda. Saya terkejut melihat dua orang yang percaya akan Alkitab bisa tidak sepakat dalam masalah yang mendasar seperti itu.
Pada tahun berikutnya, saya memutuskan untuk mengambil kelas pemuridan yang dipimpin oleh Bob, terutama ketika saya menemukan bahwa ia akan membaca Surat Yakobus. Saya tahu ayat yang mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (lih. Yakobus 2:17), maka saya ingin melihat bagaimana Bob memperlakukan ayat itu. Namun, saya tidak berhasil untuk sampai pada pertengahan bab satu. Kami tiba pada ayat yang berbunyi, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12). Bob berkata kalau “mahkota kehidupan” itu adalah hadiah khusus yang diberikan kepada orang-orang Kristen yang menanggung cobaan, namun tidak semua orang yang pergi ke surga itu berhasil menanggung cobaan, jadi mereka tidak memperoleh mahkota itu.
Bagi saya “mahkota kehidupan” itu merujuk pada kehidupan kekal. Saya menunjukkan kepada Bob kalau mahkota ini dijanjikan untuk semua orang yang mengasihi Allah. Bob menjawab kalau tidak semua orang Kristen itu mengasihi Allah, hal kelihatannya sangat salah bagi saya, dan saya khawatir pengajaran seperti ini akan membuat orang-orang berpikir bahwa mereka akan pergi ke surga padahal kenyataannya tidak demikian. Saya memutuskan untuk meninggalkan pelayanan kampus gereja Bible dan ikut dengan Persekutuan Kristen InterVarsity. Persekutuan itu adalah pelayanan antar-denominasi, dan di kelompok saya ada orang-orang dari aliran Baptis, Presbiterian, Methodist, Pentakostal, Episkopal, dan bahkan juga seorang Katolik. Saya merasa bahwa semuanya mengasihi Yesus, dan saya mulai menerima gagasan bahwa saya bisa menemukan pengikut Kristus di semua gereja yang berbeda ini. Saya berbicara dengan seorang staf InterVarsity mengenai kontroversi mengenai ajaran Bob ini, dan ia merekomendasikan sebuah gereja lokal yang berada dalam Presbyterian Church in America (PCA), sebuah denominasi Presbiterian yang lebih kecil dan konservatif daripada gereja tempat saya dibesarkan. Saya mulai ikut di gereja itu, dan saya terkesan dengan ajaran moral mereka yang kuat, rasa otoritas pastoral yang kuat, dan mengakar pada sejarah.
Pada semester musim semi di tahun kedua saya, kakak perempuan dari teman di sekolah menengah saya yang bernama Toni pindah ke Texas A&M. Karena dia orang baru di kampus, saya dan teman sekamar saya ingin memastikan bahwa dia merasa diterima, maka kami makan bersama diruang makan. Dia tidak punya mobil, sehingga ketika saya pulang ke Dallas, saya akan menawarkan tumpangan. Saya tahu kalau keluarganya tidak ke gereja manapun, maka saya ingin mewartakan Injil kepadanya, walaupun saya tidak berhasil memberikan kesaksian kepada adik perempuannya.
Ada suatu kesempatan ketika saya dan Toni naik mobil dari Dallas ke A&M. Saya berusaha mengumpulkan keberanian untuk berkata sesuatu kepada Toni, dan setelah sekitar satu atau dua jam, saya akhirnya mengatakan sesuatu seperti ini, “Apakah kamu tertarik dengan hal-hal rohani?” Dia menjawab bahwa dia tertarik dan ingin membicarakan hal itu, tapi masih menunggu saya untuk mulai membicarakannya. Kami begitu asyik mengobrol tentang Injil sehingga saya melewatkan pintu keluar tol dan tidak menyadarinya setelah lewat sejauh 30 mil. Toni kemudian menjadi percaya, dan dia mulai pergi ke gereja dan pertemuan InterVarsity bersama saya. Ketika dia berada di Dallas waktu liburan dan setelah kelulusan, saya merekomendasikan dia untuk ikut di gereja Bible yang diikuti oleh teman-teman sekolah menengah saya, dan di sana saya mendapat kehormatan melihatnya dibaptis.
Lulus Kuliah Menjadi Calvinis
Saya lulus dari A&M pada tahun 1985 dan mulai bekerja di Fort Worth, Texas. Saya menemukan gereja misi PCA baru dan ikut kebaktian keempat di sana. Pendeta saya itu membimbing dan mengajari saya teologi Calvinis. Kami punya guru sekolah Minggu dewasa yang wawasannya luas tentang sejarah Gereja, jadi saya juga menimba banyak ilmu darinya. Ketika status gereja itu mengalami transisi dari gereja misi menjadi gereja yang mandiri, saya menjadi seorang diakon perdana, dan menerima Pengakuan Iman Westminster beserta Katekismusnya.
Saya dan Toni menikah di gereja tempat dia berasal, namun saya mulai percaya dengan keunggulan Calvinisme dan tradisi Reformasi di atas Dispensasionalisme yang dianut gereja Bible. Ketika saya mendapatkan pekerjaan baru di wilayah Dallas, saya dan Toni bergabung dengan gereja PCA terdekat. Namun, kami mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di sana, dan setelah berusaha selama dua tahun, kami mendapat kesempatan untuk berkunjung ke gereja Bible tempat kami menikah. Penerimaan yang kami rasakan sangat hangat, dan mereka sangat memperhatikan kesejahteraan Toni, maka kami memutuskan bergabung dengan gereja itu, hal itu berarti saya harus menguji kembali posisi saya mengenai pandangan antara Dispensasionalisme dan Calvinisme. Saya merasa frustasi karena kedua belah pihak punya kumpulan ayat Alkitab mereka masing-masing untuk mendukung keyakinan mereka, dan saya tidak punya cara yang bisa diandalkan untuk memilih salah satunya. Saya memutuskan bahwa dasar keyakinan Calvinisme saya tidak cukup kuat untuk mencegah saya kembali ke gereja Bible. Akibatnya, saya mulai meragukan kegunaan dari teologi, saya pikir bahwa teologi itu menyebabkan perpecahan.
Menyusuri Jalan
Beberapa peristiwa terjadi bersamaan untuk membangkitkan minat saya pada Gereja kuno. Yang pertama dalah percakapan saya dengan seorang teman waktu di sekolah menengah yang bernama Mike. Mike sudah lulus kuliah dan mendapat gelar dalam bidang Klasik, dan sekarang sudah menikah. Ia sudah membaca tulisan para Bapa Gereja dan mempelajari kontroversi Arian. Mike kaget dengan apa yang ia temukan bahwa sekte Arian percaya pada sola Scriptura namun tidak percaya pada Trinitas, sementara itu di pihak Trinitarian memegang Tradisi seperti juga memegang Alkitab. Ia juga memberi tahu saya tentang seorang temannya yang pernah berbicara dengan Uskup Agung Ortodoks Dmitri dari Dallas, yang menyatakan kepadanya bahwa perbedaan antara Ortodoks dan aliran-aliran Protestan adalah aliran-aliran Protestan menyembah hanya dengan pikiran mereka, namun Ortodoks selain dengan pikiran juga menyembah dengan tubuhnya. Kritik ini bergetar dalam diri saya karena kecintaan saya terhadap Perjanjian Lama. Penyembahan Tabernakel (Kemah Suci) dan di Bait Allah itu begitu kaya tindakan dan gambaran simbolis, tetapi penyembahan yang kami lakukan sebagai umat Protestan itu tidak ada bedanya dengan ikut pelajaran di dalam kelas, kecuali kami menyanyikan beberapa lagu pada pembukaannya.
Di tempat kerja, saya punya seorang manajer yang seorang Katolik. Pada suatu pertemuan bersama saya dan dua orang rekan kerja yang beragama Kristen, ia menyebutkan sebuah acara debat yang akan diadakan antara seorang apologis Katolik dan seorang apologis Protestan. Saya penasaran dengan sebutan apologis Katolik, saya tidak tahu hal itu ada. Kemudian salah seorang rekan kerja mengatakan bahwa harus ada satu orang yang mewakili Ortodoksi. Saya bertanya kepadanya mengenai hal itu, dan ia berkata kalau ia sedang dalam proses pindah keyakinan dari gereja Episkopal ke Gereja Ortodoks. Manajer saya yang seorang Katolik itu meminjamkan saya kaset pengajaran tentang Injil Yohanes oleh Scott Hahn. Saya merasa terkesan mendengar seorang Katolik memperlakukan Alkitab dengan sangat baik.
Sementara itu, Toni sudah mendengarkan beberapa kaset oleh seorang pengkhotbah Inggris yang bernama Malcolm Smith. Kami memutuskan untuk ikut retret Malcolm Smith yang paling dekat, dan ketika kami tiba, kami terkejut ketika melihat ia mengenakan Roman collar (kerah Romawi). Kami tahu kalau ia adalah seorang uskup di Charismatic Episcopal Church (CEC). Ia menjelaskan bahwa CEC adalah “Katolik, tapi bukan Romawi.” Selama retret itu, ia menceritakan kisah bagaimana ofisi harian dalam Buku Doa Umum Anglikan membawa stabilitas dalam kehidupan doanya. Pada retret itu, ia juga merayakan Ekaristi, menjelaskan kehadiran nyata Kristus dalam sakramen. Semua hal ini menarik minat saya, maka ketika saya sampai di rumah, saya mulai menyelidiki CEC di internet.
Ortodoksi
Saya tidak bisa menemukan paroki CEC terdekat, tapi saya menemukan bahwa teologi CEC mirip dengan Ortodoksi Timur, dan hal ini mengingatkan saya tentang teman saya yang berpindah keyakinan. Saya sering merasa tergerak dengan gereja Ortodoks Yunani yang indah di Dallas Utara, jadi saya menelepon dan mengobrol dengan seorang imam di sana. Imam itu mengundang saya dan istri saya untuk datang ke sana dan untuk berkeliling di gereja itu. Ia menjelaskan beberapa hal, bahkan memberikan saya sebuah buku untuk dibaca. Pertama kali saya mengikuti Liturgi Ilahi Ortodoks pada tanggal 1 Januari 1999 pada Pesta St. Basil. Saya merasa terkejut dengan keindahan liturgi Byzantine dan seperti terhubung dengan penyembahan di surga.
Pada saat itu, saya sedang membaca satu buku penting yang berjudul “Evangelical is Not Enough” yang ditulis oleh Thomas Howard. Ia berbicara tentang kebutuhan manusia akan upacara atau ritual pada sesuatu yang dianggap penting, dan menjadikan liturgi sebagai sesuatu yang esensial bagi hal-hal paling penting dalam kehidupan Kristen, yaitu menyembah Allah.
Ketika saya kembali bekerja setelah liburan Natal, saya memberi tahu rekan kerja saya mengenai apa yang saya alami, dan ia berkata kalau saya sebaiknya ikut studi Alkitab pada hari Rabu malam yang dipimpin oleh Uskup Agung Dmitri di katedral Orthodox Church in America (OCA). Studi ini sedang mempelajari Surat kepada jemaat di Roma, yang mungkin menjadi kitab paling penting dalam Alkitab bagi teologi Calvinis. Dalam studi ini, saya melihat cara lain untuk memahami Surat Roma ini yang berbeda dengan cara Calvinisme, namun pembahasannya masih sangat alkitabiah.
Saya menghabiskan beberapa bulan untuk ikut ibadat Ortodoks dan juga membaca banyak buku tentang teologi Ortodoks dan buku tentang perpindahan keyakinan dari Protestan ke Ortodoks. Saya belajar tentang para Bapa Gereja perdana, dan bagaimana Ekaristi adalah pusat dari ibadat mereka. Saya sedang bersiap diri untuk memulai proses untuk bergabung dengan Gereja Ortodoks, tapi istri saya merasa tidak siap karena budaya Ortodoksi sangat asing baginya. Ketika kami membicarakan hal ini, kami memutuskan untuk mencoba CEC terlebih dahulu sebelum berkomitmen dengan Ortodoksi, karena Malcolm Smith berpengaruh bagi Toni. Kami mulai pergi ke katerdal CEC di wilayah selatan di tengah-tengah Amerika Serikat, yang berlokasi di Sherman, Texas, yang jauhnya 45 mil. Meskipun jauh, hal itu tampaknya merupakan perpaduan sempurna antara tradisi Protestan Injili yang biasa kami ikuti yang digabungkan dengan liturgi yang berakar pada Kekristenan perdana. CEC juga punya unsur Karismatik yang tidak biasa kami ikuti, namun saya bersedia untuk mencobanya.
Gereja Episkopal Karismatik
Di CEC, saya belajar banyak apa yang kami sebut “tradisi Katolik,” yang kami katakan bahwa hal itu mencakup Ortodoksi Timur, Katolik Roma, dan Anglikanisme. Dalam konteks ini, saya belajar arti dari banyak kepercayaan dan praktik Katolik yang dulu saya katakan tidak alkitabiah. Dalam beberapa kasus, saya tahu bahwa saya sudah diajarkan distorsi mengenai kepercayaan Katolik, seperti “umat Katolik menyembah Maria layaknya seorang dewi.” Di kasus-kasus lainnya, saya belajar mengenai dasar-dasar alkitabiah untuk kepercayaan seperti Persekutuan Para Kudus dan memohon perantaraan para kudus. Saya diundang untuk mendaftar dalam program seminari mereka, yang dilakukan pada satu akhir pekan dalam sebulan. Para klerus dan seminaris dari keuskupan akan datang ke Sherman pada akhir pekan itu. Saya berkenalan dan mengikuti kelas-kelas bersama para pria itu, di mana saya belajar banyak hal, yang menjadi hal penting bagi perjalanan iman saya.
Kami mempelajari surat-surat Ignatius, Uskup Antiokhia, yang menulis pada akhir abad pertama. Ia tidak hanya menulis bahwa Ekaristi adalah pusat ibadat Kristen, namun juga ia menulis bahwa seorang uskup adalah pokok dari persatuan gereja setempat. Kami membicarakan bagaimana sola Scriptura, pernyataan dan pengakuan doktrinal, atau jajak pendapat umat tidak mencapai kesatuan umat Kristen. Sebaliknya, harus ada satu orang yang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan perselisihan. Yesus memberikan wewenang ini pada para rasul-Nya, dan telah diteruskan kepada para uskup melalui suksesi apostolik. Hal ini masuk akal bagi saya, terutama mengingat tentang sejarah Protestanisme yang terus terpecah-pecah. Namun, ada masalah di dunia Anglikan. Ada sekelompok uskup-uskup Anglikan yang tidak setuju dalam isu-isu penting, seperti penahbisan wanita dan imoralitas perilaku homoseksual. Seorang uskup mungkin bisa mempersatukan di tingkat lokal, namun tidak ada yang bisa mempersatukan para uskup. Saya menjadi sadar kalau prinsip persatuan dalam tingkat global hanya ada di Gereja Katolik Roma sebagai penerus Petrus. Jika para rasul adalah fondasi otoritas Gereja, maka Petrus sebagai pemimpin para rasul, kelihatannya menjadi fondasi persatuan di antara para rasul dan penggantinya. Hanya Gereja Katolik yang memilki klaim yang bisa dipercaya sebagai penerus St. Petrus dalam diri Paus.
Di kelas lain, saya membaca buku “The Spirit and Forms of Protestantism” yang ditulis oleh Louis Bouyer. Dari buku itu, saya belajar bahwa Reformasi Protestan didahului oleh bangkitnya filsafat yang dikenal dengan istilah Nominalisme, yang menolak kenyataan substansi dan dasar filosofis dari transubstansiasi. Saya mulai melihat bahwa banyak pertentangan teologis antara Katolik dan Protestan yang bersumber dari perbedaan filosofis yang tidak diteliti.
Demi persatuan, saya merasakan panggilan kepada Gereja Katolik, namun saya tidak memberitahukan hal ini kecuali kepada uskup saya dan mentor seminari saya. Mereka berdua berusaha membujuk saya supaya tidak terlibat dengan pendapat-pendapat yang berbeda itu, namun tak seorang pun yang bisa meyakinkan saya. Pada seminari akhir pekan berikutnya, saya mengalami konflik. Kami mengikuti Misa Krisma pada akhir pekan itu, dan para uskup menegaskan kembali hubungan mereka dengan uskup. Ketika saya melihat teman-teman saya berlutut di hadapan uskup, saya percaya bahwa Allah sudah menempatkan saya bersama dengan orang-orang ini, dan setidaknya saya harus tinggal bersama mereka untuk sementara waktu. Selama dua tahun berikutnya, saya menyingkirkan masalah saya dengan Katolik dan membenamkan diri di seminari dan pelayanan.
Ke Gereja Katolik
Dua tahun kemudian, saya membantu seorang imam CEC dalam mendirikan sebuah paroki misi dan saya dijadwalkan untuk ditahbiskan menjadi seorang diakon beberapa bulan ke depan, sampai suatu waktu terjadi suatu insiden yang membawa diri saya pada keyakinan bahwa saya tidak bisa terus bekerja dengan paroki misi itu. Sepanjang hari itu saya merasa bingung, karena kami sudah pindah tempat tinggal supaya dekat dengan paroki ini, dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Malam itu, ketika saya terbangun, saya sadar kalau inilah saat bagi kami untuk menuju ke Gereja Katolik. Saya dipenuhi rasa damai. Keesokan paginya, saya berbicara dengan Toni mengenai hal ini, dan dia siap ikut dengan saya jika saya percaya bahwa Allah sedang menuntun kita.
Kami tidak mengenal seorang Katolik pun di wilayah itu. Teman sewaktu sekolah menengah yang bernama Mike sudah menjadi Katolik beberapa tahun sebelumnya, namun ia dan istrinya tinggal di South Carolina, sehingga mereka hanya bisa memberi semangat dan membantu dalam doa di tempat yang jauh. Saya pergi ke paroki terdekat, dan mereka berkata kalau saya sudah terlambat dua bulan untuk ikut RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.) tahun itu, namun saya bisa memulai proses itu tahun depan. Saya memberi tahu mantan rektor seminari mengenai hal ini, dan ia berkata pada saya mengenai paroki St. Mary the Virgin di Arlington, Texas, yang dulunya paroki gereja Episkopal namun sudah menjadi Gereja Katolik di bahwa Provisi Pastoral Paus Yohanes Paulus II. Pastor di sana setuju untuk memberikan pengajaran privat, dan kami berada dalam persekutuan penuh pada Malam Paskah 2006.
Kami tinggal di tempat yang jauhnya satu jam perjalanan dari St. Mary, jadi setelah beberapa waktu, kami pindah ke paroki yang lebih dekat. Saya bergumul dengan kenyataan bahwa saya sudah merencanakan diri untuk menjadi seorang imam, namun hal ini tidak mungkin lagi terwujud. Maka saya memutuskan untuk mengambil gelar Magister Teologi di University of Dallas. Tak lama setelah saya ikut kelas pertama, saya menemukan pekerjaan sebagai Direktur Teknologi di Cistercian Preparatory School, di seberang universitas itu. Saya merasa betah dengan pekerjaan di Sistersien, di mana saya juga mengajar ilmu komputer dan teologi. Secara khusus saya sangat senang bekerja dengan para rahib Sistersien yang bekerja di sekolah. Saya menerima kenyataan bahwa saya tidak akan menjadi seorang imam, namun Allah masih punya tujuan yang khusus bagi diri saya.
Baru-baru ini, kami kembali ke paroki St. Mary the Virgin, yang sekarang menjadi bagian Ordinariat Personal Takhta Santo Petrus (Personal Ordinariate of the Chair of Saint Peter) yang didirikan oleh Paus Benediktus sebagai rumah bagi para mantan Anglikan yang masuk ke Gereja Katolik. Kami merasa tertarik untuk kembali ke sana karena tradisi dan rasa hormat dalam liturgi, dan hal itu cocok dengan kami. Ketika saya melihat kembali perjalanan hidup saya, saya melihat bahwa Allah menuntun kami di sepanjang jalan yang kelihatan berliku-liku menurut sudut pandang manusia. Namun saya melihat setiap fase perjalanan hidup saya itu berkontribusi pada siapa diri saya saat ini. Saya bersyukur kepada Allah atas rencana bijaksana-Nya, dan saya percaya bahwa Ia akan terus membimbing kami sampai kita sampai di rumah surgawi kita.
Gregory Graham dan istrinya, Toni, sudah menikah selama 29 tahun. Mereka tinggal di Irving, Texas. Greg adalah Direktur Teknologi di Cistercian Preparatory School, di mana ia juga mengajar ilmu komputer dan teologi. Greg dan Toni adalah umat Saint Mary the Virgin di Arlington, Texas, sebuah paroki Ordinariat Personal Takhta Santo Petrus (Personal Ordinariate of the Chair of Saint Peter), rumah bagi para umat Anglikan yang masuk ke Gereja Katolik. Greg sangat senang membaca filsafat, teologi, dan fiksi ilmiah, serta bermain permainan kartu yang rumit.
Posted on 26 June 2020, in Kisah Iman and tagged Ateisme, Calvinis, Episkopal, Ortodoks, Presbyterian. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0