Menuju Injil Kehidupan Sejati – Kisah Vicki Larson

Vicki Larson (Sumber: chnetwork.org)

Setelah empat tahun berjuang dan mencari-cari, saya meminta tolong kepada seorang teman, “Berdoalah bagi kami supaya tahu Gereja yang Tuhan ingin kami ikuti.” Dia menjawab, “Mungkin kamu bisa mempertimbangkan Gereja Katolik.” Dalam batin, saya tertawa. Saya dan suami saya sedang mencari gereja yang berdasarkan Alkitab, dan dalam benak saya Gereja Katolik bukanlah sebuah gereja! Namun yang tertawa terakhir adalah Allah sendiri, kurang dari tiga tahun kemudian, kami pulang ke Gereja Katolik. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Saya dan Bruce, suami saya, merupakan penganut Lutheran di sepanjang hidup kami. Saya bersekolah di SMA Lutheran dan kami berdua lulus dari sebuah perguruan tinggi seni liberal Lutheran. Setelah kami lulus, kami menikah, dan setahun kemudian Bruce sebagai seorang Lutheran mulai berkarier dalam mengajar dan melatih di sebuah SMA Katolik, selama 14 tahun. Pada masa itu, kami dikaruniai tiga anak perempuan.

Pada tahun 1984, saya mulai berkarier dalam bidang pendidikan paroki di sebuah gereja ELCA (Evangelical Lutheran Church in America) yang besar selama 15 tahun, kami juga bergereja di sana. Tak lama kemudian, pada KKR Billy Graham di daerah kami, saya dan suami saya menyatakan komitmen hidup kami pada Yesus secara terbuka. Setelah itu, saya memiliki keinginan yang tak terpuaskan untuk membaca Kitab Suci, dan pergumulan batin yang hebat antara baptisan bayi terhadap baptisan dewasa, atau terhadap baptisan rindu. Saya memeriksa Alkitab dan yakin kalau saya tahu akan kebenaran, bahwa baptisan bayi itu tidak benar, bagaimanapun juga saya sudah mempelajari Kitab Suci! Ironisnya, sebagai seorang pendidik di paroki Lutheran, saya mengajarkan Katekismus Kecil Luther pada anak-anak sekolah Minggu untuk dibaptis, hal ini juga memungkinkan seorang bayi untuk dibaptis. Saya melakukan banyak diskusi hangat mengenai baptisan dengan seorang teman dekat yang Katolik, namun dia tidak mau mengalah pada ajaran Katolik, sesuatu yang tidak saya pahami.

Hampir selama 17 tahun, saya menjadi bagian dari studi Alkitab non-denominasi, dan juga mengundang teman-teman Katolik dengan harapan bisa “menyelamatkan mereka.” Pada masa ini, saya dan Bruce merasa tidak puas dengan ELCA dalam hal seksualitas dan kehidupan … semacam pembenaran perilaku berdosa menurut Kitab Suci. Sekarang apa yang harus kami lakukan? Jika kami tetap di ELCA, kami harus sepakat dengan gereja ini. Maka kami mulai “mencoba” berbagai denominasi, mencari-cari yang mengikuti kebenaran Alkitab seperti yang kami lihat! Selama lebih dari empat tahun, kami berdoa mengenai hal ini. Dalam berbagai hari Minggu, di Gereja Injili Bebas (Evangelical Free Church), kami akan menempatkan sebuah kartu doa di tempat persembahan, memohon bimbingan Tuhan. Namun ada sesuatu yang menghalangi kami untuk berkomitmen pada gereja ini.

Pada masa ini adalah tahun-tahun “seperti di padang gurun.” Kami akan bertanya, “Kemana kami harus pergi pada hari Minggu ini?” Gereja-gereja itu berpusat pada Kristus, dipimpin oleh orang-orang yang saleh, tapi ada sesuatu yang hilang. Pada musim gugur tahun 2000, putri kami yang paling muda mulai berkuliah dengan beasiswa bola voli, dan kami memanfaatkan akhir pekan untuk bepergian ke berbagai pertandingan di berbagai tempat. Kami akan menghadiri berbagai gereja Lutheran, Baptis, Injili Bebas, non-denominasi, membaca pernyataan doktrinal dari gereja-gereja itu untuk melihat apakah kami setuju dengan pernyataan itu. Bukankah persatuan adalah satu hal terakhir yang didoakan Yesus? Dengan ribuan denominasi yang berbeda, saya merasa tidak yakin merasakan persatuan!

Kami ingin berada di bawah otoritas sebuah gereja, bukan di bahwa pendeta. “Jika kami bergabung dengan sebuah gereja karena kami suka akan kepercayaan dari pendeta itu, homilinya, dan sebagainya. Apa yang terjadi jika pendeta itu pergi?” Apakah kami akan tetap mengikuti ajaran denominasi itu? Dan kemudian ada masalah dengan doktrin-doktrin yang bertentangan seperti “sekali selamat, tetap selamat” terhadap “keselamatan bisa hilang,” atau “baptisan bayi” terhadap “baptisan orang percaya,” atau “konsubstasiasi” (merujuk pada komuni Lutheran) terhadap “hanya sekadar simbol.” Dengan pernyataan-pernyataan yang bertentangan seperti ini, kami tahu bahwa keduanya mungkin tidak benar, dan percaya akan sesuatu itu tidak menjadikan hal itu menjadi benar. Orang-orang mengira bawah bumi itu datar … namun hal itu tidak menjadikannya benar. Hal itu menjadi bukti bahwa kebenaran itu ada, tidak peduli kita percaya atau tidak. Kami perlu menemukan kebenaran, tapi denominasi mana yang punya kebenaran itu?

Saya keluar dari pekerjaan di gereja dan mulai bekerja di klinik kehamilan Kristen setempat sebagai  direktur “tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah.” Saya sudah menemukan panggilan saya, bersamaan dengan banyak informasi mengenai seksualitas, perkawinan, kemurnian. Saya tidak bisa merasa cukup! Setiap kali kami berkendara untuk pergi ke pertandingan bola voli, saya membawa kaset dan CD. Para pembicara yang berasal dari berbagai latar belakang agama, dan suami saya juga menikmati pembicaraan itu seperti saya. Kamu mulai belajar lebih banyak mengenai teologi di balik perkawinan dan Trinitas. Sang Pengasih (Allah) memiliki Yang Dikasihi (Yesus), yang timbal balik dengan Roh Kasih (Roh Kudus). Kami menyadari persatuan menjadi satu daging dalam perkawinan itu sakral dan kudus, gambaran Tritunggal Mahakudus, persatuan dan komunitas kasih yang ada di dalamnya. Saya mulai menyebut perkawinan sebagai sakramen … hmmm, sama seperti umat Katolik!

Direktur klinik kehamilan memperkenalkan saya pada “Teologi Tubuh” yang diajarkan oleh Paus St. Yohanes Paulus II. Kami mulai memahami ajaran Gereja tentang seksualitas, kontrasepsi, dan sifat maskulin dan feminin itu saling melengkapi. Bagaimana Alkitab dimulai dan diakhiri dengan perkawinan. Mukjizat pertama Yesus terjadi pada pesta perkawinan. Bagaimana perkawinan kita mencerminkan pemberian diri yang total dan kasih pengorbanan Yesus yang diberikan bagi mempelai-Nya.

Suatu hari, kami mendengarkan hipotesis St. Edith Stein mengenai Dosa Asal. Bagai sebilah pisau menusuk jantung saya ketika saya disadarkan akan dosa, memahami bagaimana kita sudah menyangkal anak-anak Allah yang Ia kehendaki untuk kita miliki, namun dengan tidak percaya kepada-Nya dengan mensterilkan persatuan kami. Hal itu menyakitkan! Kami berlutut di hadapan Tuhan untuk mengaku dan menyesalinya sambil bercucuran air mata. Kami memahami akar dosa dari kontrasepsi, yang dijelaskan begitu banyak sebagai penyakit dalam budaya kita, dan kebingungan kita akan kewanitaan dan kepriaan kami, seks tanpa pamrih terhadap seks yang mementingkan diri sendiri, yang begitu sering berakhir dengan pelecehan, perceraian, dan berbagai penyakit lainnya.

Pada musim gugur 2002, putri sulung kami yang bernama Karin pindah ke Colorado untuk mengajar. Dia sudah bosan dengan obrolan saya yang terus-terusan mengenai integritas seksual, Teologi Tubuh, dan lain sebagainya, dan dia berkata, “Biarkan saya mendengarkan CD ini dan saya putuskan sendiri!” Dengan perjalanan 14 jam yang akan dia tempuh, saya menyerahkan tumpukan CD itu kepadanya. Setelah mendengarkannya, tanggapan awalnya adalah, “Semua ini masuk akal!” Dia benar-benar mulai berkembang secara rohani, dan dia bergabung dengan studi Alkitab non-denominasi yang saya dan suami saya ikuti. Obrolan kami akan berkisar tentang apa yang dia pelajari dalam studi Alkitab dan bagaimana Teologi Tubuh terbukti dalam apa yang kami pelajari. Dia juga mulai bergumul dengan rasa frustasi dalam mencari gereja … tampaknya gereja saat ini bersifat kasual (tidak formal), kurangnya rasa hormat dalam tata cara peribadahan. Dia juga berdoa, “Tuhan, kemana Engkau ingin saya pergi?”

Pada musim gugur yang sama, Christopher West (seorang awam Katolik yang mempopulerkan Teologi Tubuh), sedang membicarakannya di wilayah kami. Saya merasa sangat senang mendengarkannya secara pribadi! Saya diminta untuk memberikannya tumpangan sejauh 70 mil dari satu seminar ke seminar lainnya, dan pria malang itu harus mendengarkan apa yang sedang terjadi pada diri saya. Ia berkata, “Anda sudah digigit ‘serangga’ Teologi Tubuh … berkatalah Ya kepada Allah, Vicki.”

Suatu malam, saya dan suami saya mendengarkan kaset yang berjudul “Father Larry Richards Explains the Mass.” Kaset itu menjelaskan mengapa orang banyak memberkati diri mereka dengan air suci, atau juga membungkuk, mengapa hanya imam atau diakon yang membacakan Injil selama liturgi berlangsung, apa yang diperankan seorang imam dalam konsekrasi, dan yang paling penting adalah Kehadiran Nyata Yesus yang berarti perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh, Darah, Jiwa, dan Keilahian Yesus. Inilah yang diajarkan Gereja sejak awal mula agama Kristen. Semuanya menjadi masuk akal dan memiliki makna yang dalam, begitu kami memahami hal itu ada dalam Alkitab atau Tradisi suci itu berasal. Ketika kaset itu selesai, saya bertanya kepada Bruce, “Apakah ini membuatmu ingin menerima Yesus dalam Ekaristi? Jawabnya, “Ya.” Saya baru saja mendengar jawaban ‘Ya’ dari mulut suami saya. Apa yang sedang terjadi pada kami berdua? Setelah kejadian itu, saya akan terbangun pada malam hari dan bersyukur pada Allah karena telah memperkenankan saya dan suami saya untuk melakukan perjalanan ini bersama!

Peristiwa pencerahan lainnya terjadi ketika Misa yang dirayakan pada konferensi pro-life. Saya mengamati uskup agung dan empat orang imam mencuci tangan mereka dalam air, dan setelah konsekrasi, memakan “kurban Misa” sebelum umat “menerima” Hosti Kudus. Inilah yang Allah perintahkan kepada para imam Perjanjian Lama ketika mereka mengorbankan kurban bagi dosa-dosa bangsa Israel … sangat berbeda dengan tradisi Lutheran kami, di mana umat “mengambil” komuni terlebih dahulu dan pastor “mengambil” terakhir. Bahkan bahasa “mengambil” terhadap “menerima” berbicara banyak dalam hati saya.

Pada bulan Agustus 2004, konferensi Teologi Tubuh yang pertama diadakan di Pennsylvania, saya dan putri saya Karin menghadirinya. Sebelum kami pergi, saya berada di salah satu toko buku Katolik, dan Uskup Samuel Aquila (saat itu menjawab Uskup Fargo, North Dakota di tempat kami tinggal, kemudian ia menjabat sebagai Uskup Agung Denver, Colorado) datang. Kami baru bertemu sekali, namun saya merasa tidak sabar untuk mengatakan kepadanya bahwa saya sedang menghadiri konferensi Teologi Tubuh. Tiba-tiba, manajer toko buku meminta apakah Bapa Uskup berkenan memberikan kami berkat. Setiap orang berlutut, termasuk saya, karena saya tidak mau menjadi satu-satunya orang yang berdiri … kemudian Bapa Uskup memberikan berkat imamatnya yang pertama bagi saya. Maka sekarang saya pergi dalam petualangan ini yang diberkati oleh uskup dari keuskupan kami!

Saya dan Karin merupakan dua dari empat orang Protestan di antara 80 umat Katolik. Kami merasa dicintai dan disambut. Pada malam yang pertama, sebuah lagu dinyanyikan yang kata-katanya berasal dari Kitab Suci dan kami tidak asing mendengarkannya. Kata-kata itu diucapkan oleh Paus Yohanes II di masa awal kepausannya, “Jangan takut!” Kata-kata itu berbicara pada jiwa saya yang bersemangat namun juga merasa gemetar, kata-kata itu pula memberikan saya kedamaian. Rasanya seperti dirayu oleh seorang kekasih pada masa pacaran. Saya merasa tertarik dan takut, bertanya-tanya apakah ini yang sedang saya cari atau Ia yang sedang mencari saya.

Setiap pagi, konferensi itu dimulai dengan Misa. Ada air suci di pintu masuk namun kami tidak punya keberanian untuk mencelupkan jari-jari kami ke dalamnya. Kami mengamati apa yang sedang terjadi, dan ketika umat menerima Komuni, kami melihat betapa hormatnya mereka. Tubuh mereka “membicarakan suatu bahasa” yang mengungkapkan roh mereka: Teologi Tubuh berada di depan mata kami! Pekan itu bagaikan pengalaman di puncak gunung yang memberikan pemahaman yang indah mengenai sakramen Gereja, khususnya Ekaristi. Kitab Suci mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh karena kasih karunia, dan bukan oleh jasa apa pun yang telah kita lakukan, hal ini membuat baptisan bayi mudah dipahami. Maria, Bunda Gereja, adalah Bunda kita juga, dan melalui jawaban ‘Ya,’ Tuhan kita menerima daging-Nya (Yohanes 1:14: Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita), yang pada akhirnya menyatukan kita dengan Putranya dan kepada Bapa. Dan karena para kudus itu bersatu dengan Kristus, dan kita menjadi satu dalam Kristus dalam Ekaristi, kita semua dipersatukan setiap kali Misa. Inilah Persekutuan Para Kudus yang kita nyatakan dalam Syahadat (Credo), persatuan yang didoakan oleh Kristus! Ketika kita semua mulai memahami Teologi Tubuh, dengan hati terbuka dan mau menerima, maka ada kesadaran akan dosa dan proses pemurnian terjadi, mengurai kebohongan budaya dan dunia kita.

Kami belajar bahwa Martin Luther mempercayai itu, karena Dosa Asal kita, kita bagaikan tumpukan kotoran yang hanya akan ditutupi dengan lapisan salju (yang melambangkan Kristus), namun keadaan lama yang berdosa masih ada. Gereja Katolik selalu mengajarkan demikian, karena Allah menciptakan kita menurut citra-Nya, kita itu baik, dan kebaikan kita ditutupi oleh Dosa Asal. Baptisan yang kita terima menghilangkan Dosa Asal, mengembalikan kita ke keadaan yang baik. Hal ini merupakan wahyu yang luar biasa bagi saya. Dalam kelas penguatan di gereja Lutheran saya, jauh dalam lubuk hati saya, saya sudah membeli teori “kotoran yang ditutupi salju.” Saya menyadari bahwa saya tidak memiliki masalah dengan apa yang gereja Lutheran ajarkan, baptisan saya sama dengan yang diajarkan oleh Gereja Katolik selama ini! Karin berkomentar bahwa dia juga percaya dengan apa yang diajarkan Luther. Hal itu membuat saya sedih. Pada petang itu, seorang wanita cantik mengundang saya ke Adorasi. Saya tidak tahu apa itu Adorasi! Saya berdoa untuk penyembuhan diri saya sendiri dan juga Karin. Karin tidak tidur sama sekali pada malam itu, dan keesokan paginya dia berkata, “Apakah Ibu tahu mengapa saya tidak tidur? Sepanjang malam, saya menyadari kalai ‘Saya baik, Ibu baik! Kita itu baik.’” Ini merupakan berkat yang besar dari Allah, jawaban atas doa-doaku!

Ajaran Teologi Tubuh bersifat transformatif (mampu mengubah diri), dan juga menakjubkan. Sepekan ini dengan cepat berakhir. Sekarang apa? Saya menyadari bahwa dalam diri saya, saya itu Katolik, namun merasa tidak yakin apa yang dipikirkan oleh Bruce. Kami tiba di hari Minggu pertama setelah mengalami pengalaman Teologi Tubuh yang menakjubkan ini. Kita harus ke gereja yang mana? Ada semacam ketegangan yang tidak bisa diucapkan … saya ingin Bruce yang memimpin jalan. Ketika ia keluar dari jalan masuk rumah kami, saya berdoa, karena saya merasa bingung dan putus asa, “Ya Tuhan, saya mohon, karena saya sangat ingin menjadi Katolik. Saya perlu dorongan dan pertanda dari Engkau!” Saya tidak mengucapkan sepatah kata pun, saya merasa tidak yakin ke mana Bruce membawa saya, namun tiba-tiba ia memarkirkan mobil di Newman Center, dan tanpa bicara apa pun, kami masuk dan duduk di kursi belakang, sehingga kami tidak yang memperhatikan kami. Selama Misa, saya merasa kagum dengan pastor. Ketika umat menerima Ekaristi Kudus, seperti Mempelai Perempuan menuju ke Mempelai Prianya, dan jawaban “Amin” umat bagaikan panggilan altar yang luar biasa! Apakah mereka menyadari bahwa Tuhan yang empunya surga dan bumi berada dalam diri mereka masing-masing? Oh, betapa saya merindukan itu!

Pada malam yang sama, Karin menelepon bahwa dia juga menghadiri Misa di katedral di Denver, dan homilinya tentang Maria, merangkum apa yang sudah kami pelajari di konferensi Teologi Tubuh. Kami hanya sedikit tahu kalau pada waktu itu adalah tanggal 15 Agustus yang merupakan Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, yang ditetapkan sebagai dogma oleh Paus Pius XII pada tahun 1950, pada tahun yang sama dengan Bruce dilahirkan! Meskipun Gereja selalu mengajarkan bahwa Maria diangkat tubuh dan jiwanya ke surga ketika hidupnya di dunia berakhir, waktu penetapan dogma itu penting. Hal ini menekankan kenyataan bahwa, kita itu akan seperti Maria yang dalam tubuh dan jiwanya akan dipersatukan kembali dan “diangkat” ke Surga pada akhir zaman. Tubuh itu kudus! Dengan kata lain, jika kita perhatikan dalam masa sejarah manusia, pada masa itu kita menyaksikan serangan yang tak terhitung jumlahnya terhadap martabat pribadi manusia (dua perang dunia, rezim Stalin, dan lain sebagainya). Dunia sangat membutuhkan pengingat akan martabat pribadi manusia. Seseorang bisa mengatakan bahwa dogma ini menjadi pendahulu Teologi Tubuh yang dikemukakan oleh Paus St. Yohanes Paulus II. Teologi itu yang sekarang sedang membimbing Karin ke dalam Gereja Katolik!

Daya Tarik iman Katolik begitu kuat, rasanya batin saya seperti besi yang sedang ditarik ke sebuah magnet. Ketika kami mulai menceritakan perjalanan hidup kami pada orang banyak, mereka akan bertanya paroki mana yang akan kami tuju, namun kami akan berkata bahwa ini bukanlah tentang paroki. Kami tahu bahwa kami sudah Katolik jauh sebelum kami melangkah masuk ke dalam Gereja. Kami tidak sedang ditarik pada seorang pribadi atau sekelompok orang, namun kepada Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Kami tidak sedang lari dari sesuatu, namun kami sedang berlari ke arah Sesorang yang bernama Yesus!

Sekarang perjalanan kami sudah berubah menjadi tahap keterlibatan, sudah waktunya untuk membuat keputusan. Hal ini merupakan langkah yang sulit sekaligus menyenangkan. Kata-kata Paus St. Yohanes Paulus II “Jangan takut!” membantu saya lagi. Hal ini saya tahu bisa memisahkan kami dari teman-teman bahkan juga keluarga. Hal ini sangat sulit bagi orang tua kami, yang dibesarkan dengan mendengarkan hal-hal mengerikan tentang Gereja Katolik yang membuat mereka sangat khawatir. Menjadi Katolik berarti liburan kami akan berbeda, pemakaman kami akan berbeda. Satu hal yang sulit dilakukan, namun menjadi satu-satunya hal yang harus dilakukan. Secara khusus ketika kami menjadi tahu kepada siapa yang harus kami taati. Maka, pada musim gugur 2004, saya dan suami saya mulai kelas RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.) di Fargo sementara itu putri kami Karin mulai kelas RCIA juga di Denver.

Pada bulan Februari 2005, saya dan Bruce pergi ke Denver untuk hari istimewa Karin. Pada hari Sabtu sebelum Karin menerima Penguatan, kami diperkenankan untuk menerima sakramen pertama dengannya di kelas RCIA nya. Kami bertiga menerima Sakramen Rekonsiliasi, suatu berkat yang nyata dan dosis tambahan anugerah! Pada pagi berikutnya, dalam Misa, dengan air mata sukacita Karin menerima Sakramen Penguatan dan Ekaristi. Empat pekan kemudian, pada Malam Paskah, saya dan Bruce diterima ke dalam Gereja Katolik.

Sebagai umat Katolik, kami merasa diberkati memiliki Paus St. Yohanes Paulus II selama tujuh hari. Sungguh pengalaman yang luar biasa menyaksikan wafat dan pemakamannya sebagai umat Katolik! Tanpa Teologi Tubuh, kita tidak akan melihat Kebenaran Gereja. Terima kasih, Paus JP II!

Vicki dan suaminya, Bruce tinggal di Fargo, North Dakota. Dia menikmati pekerjaannya sebagai direktur pendidikan paroki di gereja Lutheran (ELCA), pendidikan integritas seksual di klinik kehamilan pro-life, dan pendidikan orang dewasa di parokinya. Dalam masa pensiunnya, dia dan Bruce sekarang menikmati waktu bersama ketiga putrinya yang sudah menikah dan juga bersama delapan cucunya. Versi sebelumnya dari kisah Vicki dimuat dalam buku yang berjudul “Freedom: Twelve Lives Transformed by the Theology of the Body,” yang disunting oleh Matthew Pinto, ©2009 Ascension Press.

Sumber: “Toward the True Gospel of Life”

Posted on 24 July 2020, in Kisah Iman and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.