[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Bagaimana Kita Menjelaskan Mengapa Kita Percaya pada Tuhan?
Oleh Uskup Jeffrey Monforton

Perarakan Sakramen Mahakudus (Sumber: stpaulcenter.com)
Inilah pertanyaan yang sudah diajukan sepanjang zaman. Kita semua tahu bahwa iman adalah anugerah dari Allah. Dan anugerah Allah itu dimaksudkan untuk dipelihara dalam kehidupan kita, terutama melalui doa dan penerimaan sakramen.
Sejak saya masih kecil, saya percaya akan Allah, namun iman saya akan Allah perlu untuk bertumbuh. Selain itu, kasih saya kepada Yesus semakin dalam ketika saya terus maju dalam pengetahuan saya bahwa Yesus selalu bersama dengan saya dan telah memberikan hidup-Nya bagi saya supaya saya bisa menjadi satu dengan-Nya.
Saya percaya akan Allah karena saya dengan penuh kasih menanggapi undangan Allah untuk percaya kepada-Nya. Tidak ada sesuatu yang ajaib mengenai hal ini, karena hal ini benar-benar nyata. Saya sangat mengasihi Allah dan setiap hari saya ingin belajar banyak tentang Allah, dan saya melakukan yang terbaik bagi-Nya melalui rahmat Allah untuk meniru-Nya. Keyakinan saya akan Allah tidak diatur oleh “harus,” namun sebaliknya yaitu “saya ingin.” Yesus mengundang, dan saya menanggapi.
Kita semua sadar akan anggota keluarga dan teman-teman kita yang memiliki tingkat kepercayaan yang berbeda-beda, dari yang kelihatannya sangat kecil sampai yang luar biasa. Tentu saja, saya percaya akan Allah, karena Ia telah mengundang saya ke dalam hidup-Nya, dan saya menanggapi dengan mengundang Allah dalam hidup saya.
Seperti saya dan Anda yang telah mempelajari hubungan kita dengan keluarga dan teman, kita juga ingin memiliki iman kepada mereka juga. Dan kadang-kadang, perlu kerja keras untuk membina atau menumbuhkan hubungan itu. Pada akhirnya, kasih dan persahabatan itulah yang mengatur kepercayaan kita satu sama lain, dan yang paling penting adalah, kepercayaan kita akan Allah. Seperti yang kita baca dalam Injil Yohanes, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal” (Yohanes 3:16).
Bagaimana mungkin saya dan Anda tidak mau belajar tentang sahabat kita, Yesus, yang memberikan seluruh hidup-Nya supaya saya dan Anda memperoleh hidup kekal bersama-Nya? Saya percaya akan Allah karena saya mengasihi Allah. Saya percaya akan Allah karena saya ingin belajar lebih banyak mengenai Allah. Saya percaya akan Allah karena Allah ingin supaya saya tinggal bersama-Nya untuk selama-lamanya, dan hal itu dimulai dengan saya dan Anda memperkenankan Allah masuk ke dalam kehidupan kita sekarang.
Kita hidup di era di mana sekularisme sudah menjadi agama bagi sebagian besar orang. Lebih buruk lagi, relativisme sekuler sudah membahayakan tatanan budaya kita. Namun, sebelum saya membahas lebih jauh ke dasar khotbah saya ini, saya akan membahas hal ini di lain waktu.
Apa yang sudah saya lakukan adalah mengatur panggungnya, dengan mengenali bahwa kita hidup di dunia di mana orang banyak sudah kehilangan atau setidaknya sudah meredam kepercayaan mereka pada Allah yang pengasih. Dalam pertanyaan Anda, saya curiga kalau Anda lebih merujuk ke ateis dan juga agnostik, atau dalam kata lain mereka yang percaya bahwa tidak ada Tuhan atau percaya Tuhan itu ada namun kurang memedulikan jalan hidupnya. Sebagai umat Kristiani, kita mengakui kenyataan bahwa Allah menciptakan dunia dan Yesus Kristus, Putra Allah Bapa, datang menghampiri kita, dan akibatnya Yesus menderita, wafat, dan bangkit dari antara orang mati bagi Anda dan saya. Dengan kata lain, Allah peduli pada kita.
Sebagai seorang yang menikmati ilmu pengetahuan ketika masih muda, saya diteguhkan untuk melihat pekerjaan Allah, terutama melalui pengetahuan ilmiah. Kami di antara para imam dan kaum religius sebelum memasuki biara atau seminari, bekerja di bidang ilmiah seperti kedokteran, astrofisika, dan teknik. Ketika orang-orang ini menyadari akan penggilan kudusnya, mereka tidak merendahkan atau meninggalkan latar belakang ilmiah mereka, namun sebenarnya telah memperkuat Gereja dengan menghargai dunia yang telah diciptakan.
Anda bertanya bagaimana kita bisa membuktikan bahwa Tuhan itu nyata kepada seorang realis. Sementara itu, iman adalah permulaan dari ziarah rohani kita, beberapa orang mungkin memiliki iman kepada Allah yang sedikit bahkan juga tidak memilikinya. Sikap belas kasih (bukan belas kasihan) harus mengatur tanggapan kita terhadap pernyataan mereka tentang Allah. Mungkin kita bisa memulai dengan merujuk kisah-kisah tertentu dalam Alkitab, dimulai dengan Kabar Baik Yesus dan kasih-Nya bagi kita. Alkitab lebih dari sekadar kisah tentang kita. Alkitab adalah Sabda Allah yang hidup. Kita bisa berjumpa dengan Allah. Anda bisa bertanya kepada orang itu, apa yang membuatnya tidak percaya akan Allah, bahkan lebih baik lagi, Anda bisa menghidupi iman Anda untuk ditunjukkan kepada semua orang. Bukan sebagai cara yang sombong, namun hidup dengan cara yang orang lain melihat Anda sebagai orang yang mewartakan Kabar Baik, sambil menghormati orang lain yang berada dalam perziarahan di Bumi ini. Seperti yang dikemukakan Paus Fransiskus berulang kali, perjumpaan kita dengan orang lain harus dimulai dengan belas kasih dan kemurahan hati.
Kita semua diundang menjadi realis, karena kenyataan bahwa Yesus Kristus tetap sama, kemarin, sekarang, dan selama-lamanya. Kenyataan bahwa Allah begitu mengasihi dunia sehingga Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal kepada kita. Allah mengasihi kita lebih dari yang bisa kita bayangkan.
Uskup Jeffrey M. Monforton adalah Uskup Steubenville Ohio. Ia adalah mantan rektor Sacred Heart Major Seminary di Detroit. Buku “Ask the Bishop” dimulai sebagai inisiatif dari surat kabar keuskupan dari Uskup Monforton, di mana anak-anak dari segala usia menuliskan pertanyaan tentang iman dan menerima tanggapan dari Bapa Uskup.
Posted on 16 August 2020, in Apologetika and tagged Iman, Ketuhanan, Sekularisme, Yesus Kristus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0