[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Pentingnya Cerita Kristen pada Anak-anak
Oleh Tim Drake

Membaca cerita foto oleh Jonathan Borba (Sumber: stpaulcenter.com)
Yesus Kristus mengetahui tentang kekuatan dari perkataan. Ia sendiri adalah Sang Sabda. Ketika Kristus menjadi manusia dan memulai pelayanan publiknya, Ia sering menyampaikan kebenaran tentang Surga, Bapa Surgawi-Nya, dan menghidupi kehidupan moral melalui cerita.
Selama umat manusia ada dan mampu berkomunikasi, cara utama mereka berbagi informasi, mengajar, dan menghibur adalah melalui cerita, baik lisan maupun tertulis.
Menurut Anda, mengapa demikian? Apakah ada kaitannya dengan kemampuan kita untuk mengingat cerita dengan mudah, atau apakah kekuatan cerita mampu menggerakan banyak orang? Puluhan tahun setelah mendengar satu cerita yang bagus, kita masih bisa mengingatnya, atau setidaknya kita masih mengingat pelajaran yang disampaikan cerita itu.
Orang tua berperan penting dalam berdongeng bagi anak-anaknya. Orang tua adalah pendongeng pertama bagi anak-anak. Orang tua pula menjadi teladan bagi anak-anaknya, bukan hanya melalui tindakan mereka, melainkan juga dari cerita yang mereka ceritakan.
Pikirkan cerita George Washington menebang pohon ceri, atau kisah kura-kura dan kelinci, atau kisah singa dan tikus.
Cerita membentuk kita, membimbing kita, dan mengarahkan kita. Ibu saya yang suka mendongeng, bahkan suka mengarang dongeng sendiri, mengarahkan saya untuk suka akan buku, cerita-cerita, dan juga perpustakaan. Inilah pula hasrat yang saya bagikan kepada anak-anak saya, hasrat yang sudah membentuk pekerjaan kehidupan saya sebagai seorang penulis, dan bahkan membentuk relasi saya dengan istri saya. Dulu ketika kami pergi keluar untuk berkencan, Mary melakukan pekerjaan seperti merajut, sementara saya membacakan cerita karya Rumer Godden, Charles Dickens, Michael O’Brien, Graham Greene, dan berbagai macam buku lainnya.
Dalam imajinasi seorang anak yang masih subur, cerita punya bagian hidupnya sendiri. Kami merancang cerita yang kami ceritakan. Melalui ceritalah anak-anak memahami dunia, membantu kita cara untuk saling memahami satu sama lain, dan membantu kita mengetahui bagaimana cara berinteraksi. Cerita yang baik membantu kita untuk menjalani kehidupan moral. Cerita yang salah bisa membawa kita pada jalan yang sia-sia.
Kristus juga menggunakan cerita untuk menjelaskan konsep teologis, untuk menerangi perilaku manusia, untuk mengajar dan membimbing. Kita sebagai umat Kristen Katolik, yang sudah berulang-ulang mendengarkan kisah-kisah ini dalam Misa, kita sering dicap oleh orang-orang bukan Katolik karena tidak bisa mengutip Kitab Suci dan ayatnya. Namun, dengan mendengar cerita ini, kita tahu kisah-kisah tentang Yesus. Kisah itu tertanam dalam diri kita dengan sedemikian rupa, sehingga jika kita mendengar sebaris ceritanya, kita bisa melanjutkan seluruh ceritanya. Contohnya:
“Suatu kisah ada seorang bapa yang memiliki dua orang anak laki-laki … ”
“Seorang janda miskin yang punya dua koin kecil … “
“Ada seorang Yahudi berjalan dari Yerusalem ke Yerikho. Di tengah perjalanan, ia diserang oleh penyamun … “
Dan dalam setiap perumpamaan Kristus berisikan pelajaran, bukan hanya untuk pendengar aslinya di zaman dahulu, tapi juga untuk kita yang mengisahkan cerita itu pada hari ini. Cerita-cerita itu mengajarkan kita untuk mengampuni, bagaimana mengasihi, bagaimana menjadi orang yang bisa berderma.
Terutama bagi anak-anak, karena mereka masih dalam tahap perkembangan, mereka paling baik belajar melalui cerita. Dan sangat penting bagi kita untuk punya cerita yang benar, cerita yang baik, dan cerita yang indah untuk diceritakan pada mereka. Maka hari ini saya ajak para orang tua untuk ke perpustakaan dan Anda akan menemukan banyak judul buku cerita anak-anak yang bukan tiga contoh di atas.
Terutama pada zaman pasca-Kristen yang mana ada kelompok dominan yang mengatakan dirinya “Nones/Tidak kemana-mana” (mereka yang menyatakan dirinya sebagai agnostik atau ateis), kita sedang memasuki zaman di mana sebagian besar orang tidak akrab lagi dengan kisah-kisah yang saya sebutkan di atas.
Kita bisa melihat hal ini sebagai kerugian besar, dan memang demikian. Atau, di sisi lain kita bisa menyebutnya sebagai peluang. Bagi mereka yang tidak pernah mendengarkan cerita-cerita itu, mereka bisa diperkenalkan kembali dengan cara baru melalui cara imajinatif, dengan sarana audio atau visual. Seorang novelis Katolik yang bernama Ron Hansen pernah membahas bagaimana novelnya yang berjudul Atticus menceritakan semacam kisah Anak yang Hilang, kisah yang mungkin belum pernah didengar banyak orang sebelumnya.
Ada buku cerita anak karangan saya yang berjudul “The Attic Saint” yang diterbitkan oleh Emmaus Road, ada orang tua protagonis muda yang sengaja dibuat ambigu. Jika seseorang mensurvei buku itu, maka akan dikategorikan sebagai buku orang “Nones.” Dalam buku cerita itu, Yesus Kristus (cahaya) mengutus Roh Kudus-Nya (pantulan kaca patri berbentuk burung merpati) yang membawa Leo kecil berpetualang di loteng, di mana tabir Surga dan bumi itu sangat tipis. Di sana ia menemukan harta karun yang sebenarnya yaitu ikon dari St. Ambrosius. Dengan membaca ikon St. Ambrosius, Leo belajar bukan hanya tentang St. Ambrosius dan kisah hidupnya saja, melainkan belajar tentang iman. Penemuan itu berdampak pada setiap orang yang tinggal di rumah itu.
Mengisahkan cerita Kristen menyimpan kisah aslinya tetap hidup, yaitu kisah terbesar yang pernah diceritakan tentang Allah menjadi manusia, mati bagi setiap orang, dan bangkit dari kematian. Setiap kisah Kristiani yang kita ceritakan dan kita ceritakan kembali kepada anak-anak kita, akan tercetak dalam diri mereka dan akan membawa ke kisah yang asli itu. Sebagai orang tua, itulah tugas kita, menjaga supaya kisah ini tetap hidup bagi anak-anak kita. Itulah salah satu janji baptis yang kita buat ketika kita dibaptis. Jika tidak, maka dunia punya kisahnya sendiri yang akan diceritakan pada anak-anak kita.
Tim Drake melayani sebagai direktur eksekutif di Pacem in Terris Hermitage Retreat Center. Ia seorang penulis pemenang penghargaan dan mantan jurnalis, bukunya diantaranya “The Attic Saint,” “Behind Bella,” dan juga buku mewarnai untuk anak-anak yaitu “Viva Cristo Rey!” dan “From an Angel in a Dream.” Ia tinggal dengan istri dan anak-anaknya di St. Joseph, Minnesota.
Sumber: “The Importance of Christian Story-Telling to Children”
Posted on 16 October 2020, in Keluarga and tagged Bina Iman Anak, Moralitas, Parenting. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0