Roma Rumahku – Kisah Dr. Scott Hahn

Scott, Kimberly and Jeremiah Hahn (Sumber: Facebook)

Kisah ini merupakan perjalanan yang membawa seorang pendeta hebat dari aliran Presbiterian dan juga Profesor Teologi dari seminari Protestan ternama, menjadi seorang teolog Katolik Roma dan juga dikenal sebagai apologis Gereja Katolik bertaraf internasional. Melalui pembelajaran dan doa, Scott Hahn menyadari bahwa kebenaran Gereja Katolik berakar kuat dalam Alkitab. Kisah lengkapnya dapat ditemukan di buku laris yang berjudul “Rome Sweet Home,” yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1993.

Hidup dipenuhi dengan kejutan yang tak terduga, dan begitulah saya ketika masuk ke Gereja Katolik untuk menjadi keluarga Allah yang Ia kehendaki supaya semua anak-anak-Nya ikut ambil bagian di dalamnya. Mengutip Venerabilis Fulton Sheen, “Tidak sampai 100 orang di Amerika Serikat yang benar-benar membenci Gereja Katolik, namun ada jutaan orang yang membenci apa yang mereka salah pahami tentang Gereja Katolik dan apa yang diajarkannya.” Saya bersyukur kalau saya masuk ke kategori yang kedua. Selama bertahun-tahun menentang Gereja Katolik dan bekerja keras bagi umat Katolik supaya meninggalkan Gereja. Namun saya bisa melihat hal ini, melalui banyak studi dan doa, bahwa Gereja Katolik itu berlandaskan Kitab Suci.

Percaya kepada Yesus Saat Remaja

Kisah saya dimulai dengan pengalaman perubahan keyakinan yang saya alami di sekolah menengah (setara SMA –red.). Saya tidak tumbuh dari keluarga Kristen yang kuat. Kami tidak sering ke gereja, maka kami tidak terlalu religius. Apa yang Tuhan pergunakan dalam hidup saya adalah sebuah organisasi yang bernama Young Life, organisasi untuk menjangkau anak SMA yang belum bergereja, dan seorang pria bernama Jack yang secara khusus berteman dengan saya dan mewartakan Injil Yesus Kristus kepada saya. Hal itu membuat perbedaan besar dalam hidup saya.

Di awal-awal masa SMA, saya membuat sebuah komitmen, memohon Yesus Kristus masuk ke dalam hati saya. Saya memohon kepada-Nya untuk menjadi Juruselamat dan Tuhan saya. Saya menyerahkan dosa-dosa saya, dan saya menerima anugerah pengampunan dan keselamatan. Bagi saya, hal itu membuat dunia menjadi berbeda. Saya kehilangan banyak teman, namun dalam artian tertentu, Tuhan menggantinya dengan memberi teman-teman sejati, yakni teman-teman dalam Kristus.

Jack yang mengajarkan saya untuk mengasihi Tuhan, juga mengajarkan saya untuk membaca Alkitab, bukan sekadar membacanya, namun mempelajarinya, dan bukan sekadar mempelajarinya, namun untuk masuk ke dalamnya, dengan membaca dan membaca ulang dari awal sampai akhir. Maka ketika saya lulus SMA, saya sudah membaca Alkitab sampai habis sebanyak dua atau tiga kali. Saya jatuh cinta dengan Kitab Suci. Sebagai akibatnya, saya menjadi yakin mengenai beberapa hal.

Pertama, selain membaca Alkitab, Jack berbagi pengetahuan dengan saya, dari perpustakaan pribadinya, karya-karya tulis Martin Luther dan John Calvin, dan saya menjadi seorang Kristen Protestan yang yakin dengan imannya. Bukan sekadar Kristen Alkitab, namun sebagai seseorang yang yakin bahwa sampai tahun 1500-an Injil sudah hampir hilang di tengah-tengah takhayul dan praktik penyembahan berhala pada abad pertengahan yang sudah diadopsi oleh Gereja Katolik. Jadi dengan keyakinan pertama ini, saya harus membantu teman-teman Katolik saya untuk melihat Injil Yesus Kristus yang sederhana, menunjukkan Alkitab kepada mereka, dan menunjukkan apa yang ada dalam Alkitab, Anda hanya cukup menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan, dan itu saja sudah cukup. Tidak perlu omong kosong seperti Maria, para kudus, api penyucian, atau devosi. Hanya memohon Yesus untuk menjadi Juruselamat dan Tuhan.

Pada masa itu, saya sedang berkencan dengan seorang gadis yang Katolik, dan kami menjadi lebih serius. Tapi saya tahu kalau tidak ada masa depan dalam hubungan kami jika dia tetap menjadi seorang Katolik. Maka saya memberikannya sebuah buku tebal karangan Loraine Boettner yang berjudul Roman Catholicism. Buku itu terkenal sebagai kitab anti-Katolik. Buku itu isinya lebih dari 450 halaman yang penuh dengan segala macam penyimpangan dan kebohongan mengenai Gereja Katolik. Namun, pada waktu itu saya tidak tahu isinya demikian, maka saya meminjamkan buku itu dengan itikad baik. Dia membaca buku itu dari awal sampai akhir, dan pada musim panas dia menulis untuk mengatakan, “Terima kasih untuk bukunya, saya tidak akan pernah ikut Misa lagi.” Saya mengatakan itu tentunya dengan rasa malu dan sedih, namun saya mengatakan itu untuk menggambarkan ketulusan yang dimiliki kebanyakan orang Kristen Alkitab ketika menentang Gereja Katolik. Saya berpikir kalau jika hosti yang disembah umat Katolik di atas altar bukanlah Allah, maka mereka adalah penyembah berhala, mereka orang kafir, mereka harus dikasihani dan ditentang. Jika Paus di Roma bukan wakil Kristus yang tidak dapat salah, siapa yang bisa mengikat ratusan juta umat Katolik dalam iman dan praktik iman mereka, maka Paus adalah seorang tirani. Secara jelas dan sederhana, Paus adalah diktator spiritual. Dan karena saya tidak berpikir kalau Paus itu adalah wakil yang tidak dapat salah, maka bagi saya hal itu masuk akal untuk membantu umat Katolik supaya mereka bisa melihat hal yang sama dan segera meninggalkan Gereja.

Satu-satunya orang Katolik di keluarga saya baik dari pihak ayah dan pihak ibu adalah nenek saya yang tercinta. Dia sangat pendiam, sangat rendah hati, dan harus saya akui bahwa dia sangat kudus. Dan dia seorang Katolik yang taat. Ketika dia meninggal dunia, kedua orang tua saya memberikan barang-barang religius kepunyaannya kepada saya. Saya membaca buku doa dan buku Misa, dan kemudian saya menemukan rosario miliknya. Semua benda-benda ini membuat batin saya mual! Saya tahu kalau nenek saya itu punya iman yang nyata akan Yesus, namun saya bertanya-tanya apa artinya semua ini. Jadi saya memutuskan manik-manik rosario itu dan membuangnya ke tong sampah. Saya memikirkan kalau manik-manik itu hampir seperti belenggu, setidaknya nenek saya bisa dibebaskan dari benda itu. Itulah aspek kedua mengenai pandangan pribadi saya. Mungkin orang-orang Katolik itu memiliki iman, namun iman itu dikelilingi oleh kebohongan. Mereka memerlukan orang Kristen Alkitab untuk membebaskan mereka.

Setelah saya lulus SMA, saya memutuskan tidak hanya mengejar pelayanan, namun juga belajar teologi. Keputusan itu terjadi sebagai hasil dari makalah penelitian senior yang saya tulis pada tahun terakhir di SMA. Saya menulis makalah dengan judul Sola Fide. Suatu frasa Latin yang artinya hanya iman atau hanya dengan iman. Frasa ini sebenarnya digunakan oleh Martin Luther untuk memulai Reformasi Protestan. Luther berkata bahwa kita dibenarkan (kita dijadikan benar oleh Allah) hanya dengan iman, bukan dengan perbuatan apa pun yang bisa kita lakukan. Dan baginya, inilah artikel mengenai runtuh dan bangkitnya Gereja, seperti yang dikatakannya. Oleh karena itu, Gereja Katolik runtuh dan Protestanisme bangkit. Saya menulis makalah itu dengan penuh keyakinan, setelah banyak melakukan penelitian, bahwa jika Anda salah dalam hal ini, maka Anda salah dalam semua hal lainnya. Jika Anda berkata iman dan apa pun, Anda sudah mencemari kebenaran Injil yang sederhana. Saya masuk perguruan tinggi dengan keyakinan yang kuat mengenai hal ini.

Masa Kuliah

Empat tahun di perguruan tinggi dihabiskan dalam tiga jurusan dalam bidang Filsafat, Teologi dalam Kitab Suci, dan Ekonomi. Namun sambil kuliah, saya juga melakukan pelayanan di Young Life. Karena saya ingin membalas rasa terima kasih kepada Allah yang telah menggunakan Young Life dalam hidup saya untuk memperkenalkan saya pada Kristus. Maka selama empat tahun itu, saya mengabdikan diri untuk menjangkau anak-anak yang belum bergereja yang belum mengenal Kristus, dan saya akui kalau kategori ini juga termasuk anak-anak Katolik di SMA tempat saya bekerja, karena saya memandang mereka sebagai jiwa-jiwa malang yang tidak mengenal Yesus Kristus. Setelah beberapa kali studi Alkitab, saya menemukan bahwa anak-anak ini tidak hanya belum mengenal Yesus Kristus, namun hampir semua anak SMA yang beragama Katolik itu tidak tahu apa yang Gereja Katolik ajarkan. Jika ada seorang atau dua orang yang tahu tentang apa yang Gereja ajarkan, mereka tidak tahu mengapa diajarkan demikian. Mereka tidak punya alasan untuk mendukung kepercayaan mereka sebagai orang Katolik. Jadi dengan membuat mereka melihat dari dalam Alkitab, Injil yang saya pahami dari Martin Luther, dari sudut pandang anti-Katolik, bagaikan memunguti bebek hasil berburu ke dalam tong. Mereka tidak siap. Mereka tidak diperlengkapi. Mereka tidak berdaya.

Saya tidak tahu persis apa yang terjadi dalam 15, 20, atau 25 tahun terakhir, namun saya melihat kembali anak-anak itu dan bertanya-tanya apakah mereka itu kelinci percobaan dalam percobaan pendidikan katekese. Orang-orang Katolik itu pikir bahwa kami bisa melewati mereka dalam mengajarkan mereka doktrin yang mereka butuhkan untuk dipercaya dan alasan mengenai doktrin-doktrin itu. Namun begitulah adanya mereka. Saya melihat bahwa kebanyakan dari orang-orang Katolik yang meninggalkan Gereja, dan dalam artian tertentu saya menentang mereka karena itikad baik yang tulus, namun juga saya menentang mereka karena diri saya sendiri tidak memperoleh informasi.

Pada tahun ketiga pelayanan saya di Young Life, saya bertanya kepada seorang wanita muda, yang merupakan wanita paling cantik di kampus, apakah dia mau bergabung dengan saya dan bekerja sama untuk menjangkau anak-anak yang belum bergereja ini. Kimberly berkata, “Ya.” Kami bekerja sama selama dua tahun, dan kami bersenang-senang. Kadang-kadang kami bertengkar layaknya kakak beradik dalam membahas berbagai macam cara dan sarana untuk menjangkau anak-anak itu. Namun kami menumbuhkan rasa saling menghormati, sehingga pada akhir tahun keempat di perguruan tinggi, saya mengajukan “Pertanyaan.” Dan saya pikir kalau hal ini merupakan hal yang paling bodoh yang dia pernah ucapkan, namun hal yang paling besar yang pernah dia katakan adalah jawaban “Ya.” Kami segera menikah setelah lulus kuliah. Kami ingin melakukan pelayanan bersama, kami ingin mewartakan kabar baik tentang Kristus, kami ingin membuka Alkitab dan menjadikannya hidup bagi orang banyak.

Masa di Seminari

Kami masuk seminari setelah satu atau dua minggu setelah perkawinan kami. Sungguh pengalaman luar biasa mempelajari teologi bersama dan mendapatkan gelar Master! Saya mengambil program gelar selama tiga tahun di Gordon-Conwell Seminary di Boston, sedangkan Kimberly mengambil program gelar selama dua tahun.  Akhirnya kami berdua mendapatkan gelar Master. Setelah tiga tahun, saya lulus sebagai yang terbaik di kelas saya. Saya mengatakannya, bukan dengan maksud menyombongkan diri, namun untuk menggambarkan bagaimana saya mengejar studi saya dengan semacam balas dendam. Di seminari, orang banyak mengenal saya sebagai orang yang gigih. Saya akan menghabiskan setiap jam di luar jam tidur saya untuk membaca dan mempelajari Kitab Suci atau buku-buku tentang Kitab Suci yang akan membuat Alkitab menjadi masuk akal. Jika saya tidak sedang membaca dan belajar, maka saya akan keluar melihat toko-toko buku bekas, mencari bahan bacaan. Saya dan Kimberly mengalami pengalaman yang hebat selama tiga tahun. Namun beberapa hal terjadi di sepanjang hidup kami yang perlu saya sebutkan, karena dalam ulasan masa lalu saya, saya melihatnya sebagai pengalaman yang penting.

Hal yang pertama adalah mata kuliah yang diambil Kimberly di tahun pertamanya, atau sebuah kelas yang sudah saya ambil tahun sebelumnya, kelas itu berjudul Etika Kristen. Dr. Davis meminta semua mahasiswa untuk dibagi menjadi beberapa kelompok kecil sehingga masing-masing kelompok itu akan membahas satu topik. Ada satu kelompok kecil yang membahas tentang aborsi, kelompok lain membahas perang nuklir, kelompok lainnya lagi membahas hukuman mati. Dan pada suatu kesempatan di waktu makan malam, Kimberly berada di sebuah kelompok yang akan membahas kontrasepsi. Waktu itu saya masih ingat berpikir, “Mengapa kontrasepsi?”

Tahun sebelumnya, ketika saya mengambil kelas itu, tidak ada yang mendaftar untuk kelompok itu, dan saya memberitahunya. Dia berkata, “Ya, ada tiga orang lain yang mendaftar untuk topik itu, dan kami akan mengadakan pertemuan yang pertama pada hari ini. Ia menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi ketua komite, dan ia mengumumkan hasil penelitian kami bahkan sebelum dimulai. Ia berkata, ‘Ya, kita semua tahu, sebagai umat Protestan, sebagai orang Kristen Alkitab, kontrasepsi itu baik-baik saja, maksud saya selama tidak menggunakan kontrasepsi yang bersifat abortif, seperti IUD dan semacamnya.’ Ia juga mengumumkan lebih lanjut bahwa satu-satunya umat yang menyebut diri mereka Kristen dan menentang kontrasepsi buatan adalah Katolik. Ia memberi tahu kami, ‘Tentu saja, alasan mereka menolaknya karena mereka dipimpin oleh seorang paus yang selibat dan juga oleh para presbiter yang tidak perlu membesarkan anak-anak, namun mereka ingin para orang tua Katolik membesarkan banyak anak bagi mereka, maka mereka bisa memiliki banyak presbiter dan biarawati bagi mereka.’”

Argumentasi semacam itu tidak terlalu berkesan bagi Kimberly. Dia berkata, “Apakah kamu yakin kalau argumen itu merupakan argumen terbaik yang bisa mereka tawarkan?” Dan saya kira bahwa ketua kelompok itu pasti akan mengejek atau berkata seperti, “Yah, apakah kamu mau melihatnya sendiri?” Kamu tidak mengatakan hal semacam itu kepada Kimberly. Dia berkata, “Ya,” dan dia tertarik untuk menelitinya sendiri. Seminggu berlalu, dan seorang teman menghentikan saya di aula. Ia berkata, “Kamu sebaiknya bicara dengan istrimu, dia menggali beberapa informasi menarik tentang kontrasepsi.” Informasi menarik tentang kontrasepsi? Apa yang menarik tentang kontrasepsi? “Dia istrimu,” katanya kepada saya “Kamu harus mencari dia.” “Ya, baiklah, saya akan mencarinya.”

Jadi, pada makan malam hari itu, saya bertanya kepadanya. Kimberly berkata, “Saya telah menemukan bahwa sampai dengan tahun 1930, setiap denominasi Protestan, tanpa kecuali, menentang kontrasepsi yang punya dasar alkitabiah.” Kemudian saya berkata, “Oh, ayolah, mungkin hal itu membawa kita beberapa abad untuk meneliti sisa-sisa terakhir dari Romanisme, entahlah.” Dan dia berkata, “Ya, saya akan memeriksa hal itu.”

Seminggu kemudian, teman saya yang sama menghentikan saya lagi dan berkata, “Argumennya masuk akal.” Saya bertanya, “Argumen menentang kotrasepsi dari Alkitab?” Ia berkata, “Sebaiknya kamu berbicara dengannya.” “Baiklah, saya akan berbicara dengannya.” Mengingat pokok bahasannya, saya kira saya sebaiknya melakukannya juga.

Jadi saya mengangkat masalah ini, dan Kimberly memberikan saya sebuah buku. Buku itu berjudul Birth Control and the Marriage Covenant karya John Kippley. Kemudian buku itu diterbitkan kembali dengan judul Sex and the Marriage Covenant. Anda bisa memperoleh bukunya dari Couple to Couple League. Saya mulai membaca buku itu dengan penuh minat karena dalam studi pribadi saya, dengan membaca Alkitab beberapa kali, saya menemukan keyakinan yang kuat bahwa jika Anda ingin mengenal Allah, Anda harus memahami perjanjian karena perjanjian merupakan gagasan utama dari semua Kitab Suci. Jadi ketika saya mengambil buku ini, saya tertarik melihat kata “perjanjian/covenant” pada judulnya. Saya membuka buku itu dan mulai membacanya. “Tunggu sebentar, Kimberly, orang ini Katolik. Kamu harap say abaca buku orang Katolik?” Pikiran itu langsung terlintas di benak saya, Apa yang dilakukan seorang Katolik dengan menulis “perjanjian” dalam judul bukunya? Sejak kapan orang Katolik membajak konsep favorit saya?

Saya mulai membaca buku itu. Saya membaca dua atau tiga bab, dan penulis itu mulai masuk akal dalam apa yang dituliskannya. Saya melemparkan buku itu ke meja saya! Terus terang saya ingin kalau buku itu tidak masuk akal. Tapi kemudian saya mengambilnya dan membacanya lagi. Argumen-argumennya sangat masuk akal. Dari Alkitab, dari perjanjian, ia menunjukkan bahwa tindakan perkawinan bukan hanya tindakan fisik melainkan tindakan rohani yang telah dirancang oleh Allah yang mana perjanjian perkawinan diperbarui. Dan dalam semua perjanjian, Anda memiliki kesempatan untuk memperbarui perjanjian. Tindakan pembaruan perjanjian adalah tindakan atau momen rahmat. Ketika Anda memperbarui perjanjian, Allah mencurahkan kasih karunia, dan kasih karunia itu adalah kehidupan, kasih karunia itu adalah kekuatan, kasih karunia itu adalah kasih Allah sendiri. Kippley menunjukkan bagaimana perjanjian perkawinan, Allah sudah merancang tindakan perkawinan sebagai kekuatan cinta yang memberi hidup, bahwa dalam perjanjian perkawinan, keduanya menjadi satu. Allah sudah merancangnya sehingga ketika dua orang menjadi satu, mereka menjadi banyak sehingga sembilan bulan kemudian, Anda mungkin harus memberikannya nama. Dan anak yang dikandung mewujudkan keesaan yang telah diciptakan Allah dari keduanya melalui tindakan perkawinan. Semua ini adalah cara Allah merancang perjanjian perkawinan. Allah bersabda, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Allah yang merupakan tiga dalam satu, menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, dan bersabda, “Beranakcuculah dan bertambah banyak.” Keduanya menjadi satu, dan ketika yang dua menjadi satu, yang satu itu menjadi yang ketiga yakni seorang anak, sehingga mereka menjadi tiga dalam satu. Hal ini baru saja mulai menjadi masuk akal, dan Kippley melakukannya juga pada argumen-argumen lainnya. Waktu saya menyelesaikan membaca buku itu, saya merasa diteguhkan.

Hal ini sedikit mengganggu saya karena Gereja Katolik merupakan satu-satunya denominasi (satu-satunya tradisi Gereja di dunia) yang mendukung ajaran Kristen yang kuno ini yang berdasar dalam Kitab Suci. Pada tahun 1930, Gereja Anglikan melepaskan diri dari tradisi ini dan mulai memperbolehkan kontrasepsi. Tak lama kemudian, setiap denominasi arus utama secara praktis menyerah pada tekanan yang tinggi dari revolusi seksual. Pada tahun 1960-an dan 70-an, dalam denominasi saya sendiri, gereja Presbiterian di Amerika Serikat, mendukung bukan hanya kontrasepsi, namun juga permohonan aborsi dan pendanaan pemerintah untuk aborsi. Hal itu mengejutkan saya, dan saya mulai bertanya-tanya apakah tidak ada hubungan antara membuka sedikit celah dan kemudian tiba-tiba melihat pintu air terbuka (artinya ketika Scott sedikit membuka diri dengan mau sebuah buku Katolik, namun setelah itu, Scott dihantam dengan banyak kebenaran mengenai ajaran Katolik –red.). Saya berpikir, Tidak, tidak, kamu tahu kalau Gereja Katolik sudah ada selama 2.000 tahun, mereka pasti akan melakukan sesuatu dengan benar. Di keluarga kami, kami punya pepatah demikian, “Bahkan seekor babi hutan yang buta bisa menemukan sebutir kacang.” Dan saya berpikir demikian. Itulah tahun kedua saya.

Selama tahun ketiga dan menjadi tahun terakhir di seminari, sesuatu terjadi yang merupakan krisis bagi saya. Saya sedang belajar tentang perjanjian, dan saya mendengar seorang teolog lain yang juga sedang mempelajari perjanjian, seorang pria yang bernama Profesor Shepherd di Philadelphia, yang mengajar di Westminster Seminary. Saya mendengar tentang Shepherd karena ia sedang dituduh karena bidah. Banyak orang mengatakan bahwa ajaran sesatnya bertumbuh dari pemahamannya mengenai perjanjian. Jadi saya mendapatkan beberapa dokumen yang ditulis olehnya, dan juga beberapa artikel, dan saya membaca semuanya itu. Saya menemukan kalau Profesor Shepherd menemukan kesimpulan yang saya dengan yang sudah saya lakukan.

Di dunia Protestan, gagasan mengenai perjanjian dipahami secara praktis, atau identik dengan, atas padanan kata dengan kontrak. Ketika Anda memiliki perjanjian dengan Allah, sama saja dengan memiliki kontrak. Anda memberikan dosa Anda kepada Allah, Allah memberikan Anda Kristus, dan semuanya itu adalah kesepakatan iman untuk keselamatan.

Namun semakin saya mempelajarinya, saya semakin ingin melihat hal itu dari sudut pandang orang Ibrani kuno, dan dalam Kitab Suci, perjanjian itu berbeda dengan kontrak, sama halnya perkawinan berbeda dari prostitusi. Dalam kontrak, Anda bertukar properti, sedangkan dalam perjanjian Anda bertukar orang. Namun dalam Kitab Suci menunjukkan bagaimana dalam suatu perjanjian, Anda berkata, “Aku milikmu, dan engkau milikku.” Ketika Allah membuat suatu perjanjian dengan kita, Ia berkata, “Aku akan menjadi Allahmu, dan kamu akan menjadi umat-Ku.” Setelah mempelajari bahasa Ibrani, saya menemukan bahwa kata ‘am untuk bahasa Ibrani “umat” secara harfiah berarti “kerabat, keluarga.” Aku akan menjadi Allah dan Bapamu, dan kamu akan menjadi keluargaku, putra dan putriku, anggota rumah tanggaku. Maka perjanjian membentuk ikatan kekerabatan, yang menjadikan kita satu keluarga dengan Allah.

Saya membaca artikel-artikel Profesor Shepherd, dan ia mengatakan banyak hal yang sama: perjanjian kita dengan Allah berarti status sebagai anak. Saya berpikir, “Ya, ini hal yang baik.” Saya bertanya-tanya, ajaran sesat apa yang ada di dalamnya. Kemudian seseorang memberi tahu saya, “Shepherd menyerukan sesuatu yang mempertanyakan sola fide.” Apa! Tidak mungkin! Maksud saya, itulah Injil. Kebenaran yang sederhana mengenai Yesus Kristus. Ia wafat karena dosa, Saya percaya kepada-Nya. Ia menyelamatkan saya, hal yang murni dan sederhana, suatu kesepakatan yang sudah selesai. Sola fide? Shepherd menanyakan itu? Tidak mungkin.

Saya menelepon Profesor Sheperd. Saya berkata, “Saya sudah membaca tulisan-tulisan Anda mengenai perjanjian. Dan sangat masuk akal. Saya sampai pada kesimpulan yang hampir sama. Tapi kenapa membuat Anda mempertanyakan doktrin Luther tentang sola fide?” Dalam diskusi yang kami lakukan, ia menunjukkan bahwa pemikiran Luther tentang pembenaran sangat ketat dan terbatas. Hal itu punya banyak kebenaran sekaligus kehilangan banyak kebenaran.

Ketika saya menutup telepon, saya mengejar hal ini lebih jauh lagi dan menemukan bahwa, bagi Luther dan semua umat Kristen Alkitab dan Protestanisme, Allah adalah hakim, dan perjanjian adalah adegan di ruang sidang di mana kita semua adalah penjahat yang bersalah. Namun, karena Kristus mengambil alih hukuman kita, kita memperoleh kebenaran-Nya, dan Ia mendapatkan dosa-dosa kita, maka kita menjadi bebas dari hukuman, dan kita dibenarkan. Dengan kata lain, menurut Luther, keselamatan adalah pertukaran yang sah. Namun menurut Paulus dalam Surat kepada jemaat di Roma dan Galatia, itulah keselamatan, namun lebih dari sekedar hal itu. Keselamatan bukan hanya pertukaran yang sah karena perjanjian tidak menunjuk ke ruang sidang Romawi, melainkan lebih ke ruang keluarga Ibrani. Allah bukan hanya sekadar hakim, Allah adalah bapa, dan hukumannya bersifat kebapaan. Kristus bukan hanya seseorang yang mewakili korban tidak bersalah yang menerima hukuman kita. Ia adalah putra sulung di antara para saudara. Ia adalah saudara paling tua dalam keluarga, Ia memandang kita sebagai orang-orang yang melarikan diri, anak yang hilang, pemberontak yang terputus dari kehidupan keluarga Allah. Dan oleh perjanjian baru, Kristus bukan hanya melakukan pertukaran dalam artian hukum, namun Kristus memberikan kita keputraan diri-Nya, sehingga kita benar-benar menjadi anak-anak Allah.

Ketika saya menceritakan hal ini dengan teman saya, mereka sepertinya berkomentar, “Ya, itulah Paulus.” Namun ketika saya mempelajari tulisan Luther dan Calvin, saya tidak menemukannya lagi. Luther dan Calvin telah mengajar saya untuk mempelajari Kitab Suci, tapi dalam menerapkan apa yang diajarkan, saya menemukan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan dalam ajaran mereka. Maka saya sampai pada kesimpulan bahaw sola fide itu salah. Pertama, karena Alkitab tidak pernah menggunakan istilah itu di kitab mana pun. Kedua, karena Luther menambahkan kata “saja” dalam Surat kepada jemaat di Roma dalam terjemahan Alkitabnya dalam bahasa Jerman, walaupun Luther tahu dengan pasti kalau kata “saja” tidak ada dalam bahasa Yunaninya. Tidak pernah Roh Kudus menginspirasikan para penulis Kitab Suci untuk mengatakan kita diselamatkan oleh iman saja. Paulus mengajarkan kita diselamatkan oleh iman, namun dalam Surat Galatia, ia berkata bahwa kita diselamatkan oleh perbuatan iman dalam kasih. Dan begitulah cara sebuah keluarga, bukan? Seorang ayah tidak akan berkata demikian kepada anak-anaknya, “Hai, anak-anak, karena kamu adalah keluargaku, sedangkan semua anak lain yang menjadi temanmu bukan keluargaku, kamu tidak perlu bekerja, kamu tidak perlu patuh, kamu tidak perlu berkorban, kamu sudah diselamatkan. Kamu akan mendapatkan warisan tak peduli apa yang kamu lakukan.” Tentu saja cara kerjanya bukan begitu, kan?

Maka saya berubah pikiran dan tumbuhlan kekhawatiran besar. Salah seorang profesor saya yang paling hebat, Dr. John Gerstner pernah berkata, jika kita salah mengenai sola fide, kita akan berlutut di luar Vatikan di Roma dan keesokan harinya melakukan silih dosa. Sekarang, kami bisa tertawa, Anda tahu kalau hal itu retorika. Namun, ia mengerti maksudnya, sola fide menjadi satu hal dari mana semua doktrin lainnya berasal. Dan jika kami salah mengenai hal ini, kami akan punya beberapa pekerjaan rumah yang harus kami lakukan yaitu mencari tahu letak kesalahan kami. Saya merasa khawatir, tapi saya tidak terlalu khawatir. Pada saat itu, saya berencana untuk pergi ke Skotlandia untuk mempelajari doktrin perjanjian di Universitas Aberdeen, karena teologi perjanjian lahir dan berkembang di Skotlandia. Saya sangat ingin pergi dan belajar di sana, jadi saya tidak terlalu khawatir untuk menyelesaikan masalah ini. Toh, hal itu bisa jadi fokus studi doktoral saya.

Tiba-tiba di kemudian hari, kami mendapat kabar bahwa perubahan teori kami tentang kontrasepsi membawa perubahan pada anatomi dan fisiologi Kimberly. Dia hamil! Dan Margaret Thatcher (Perdana Menteri Britania Raya) tidak tertarik mendanai kelahiran bayi orang Amerika di kerajaan besarnya. Maka dengan melihat situasi dan menyadari bahwa kami belum mampu pergi ke Skotlandia. Kami harus cuti selama setahun. Namun apa yang hendak kami lakukan mengingat kami sudah hampir lulus? Kami tidak yakin dan kami mulai berdoa.

Pendeta dari Gereja di Virginia

Telepon bordering. Sebuah gereja di Virginia yang ternama, dan saya sudah mendengarkan banyak hal baik tentang gereja itu, memanggil saya dan berkata, “Apakah Anda mempertimbangkan untuk datang menjadi kandidat calon pendeta di sini?” Ini artinya melakukan pengujian khotbah, memimpin studi Alkitab, dan wawancara dengan para penatua yang melakukan sesi ini. Saya menjawab, “Tentu saja.” Saya ke sana, memimpin studi Alkitab, dan menjalani sesi ini. Mereka berkata, “Bagus sekali, kami ingin Anda di sini. Kami akan menggaji Anda sepadan sehingga Anda bisa belajar setidaknya 20 jam sepekan dalam Kitab Suci dan teologi. Namun, kami ingin Anda berkhotbah paling tidak 45 menit setiap Minggu pagi untuk menjelaskan Firman.” 45 menit! Bisa Anda bayangkan jika seorang presbiter Katolik yang berkhotbah selama 45 menit? Maka minggu depan gereja itu akan kosong. Namun di sini, para penatua yang berwenang dari gereja Presbiterian ini, meminta saya untuk berkhotbah paling sebentar 45 menit. Saya berkata, “Jika Anda bersikeras, saya akan mengusahakannya. Tentu saja.” Dan mereka berkata, “Kami ingin Anda membenamkan diri kami ke dalam Firman Allah.” Dan kemudian saya memulai pekerjaan itu.

Hal pertama yang saya lakukan adalah memberi tahu mereka tentang konsep perjanjian. Hal kedua yang saya lakukan adalah mengoreksi kesalahpahaman mereka tentang perjanjian sebagai kontrak, untuk menunjukkan mereka bahwa perjanjian itu artinya sebagai keluarga. Hal ketiga yang saya lakukan adalah menunjukkan mereka tentang keluarga Allah menjadi masuk akal tentang siapa kita dan apa yang telah Kristus lakukan dalam Alkitab. Allah adalah Bapa, Allah adalah Putra, dan Allah melalui Roh Kudus menjadikan kita satu keluarga dengan-Nya. Tak lama setelah saya mulai berkhotbah dan mengajarkan hal-hal ini, maka ajaran ini berkobar seperti api. Ajaran ini menyebar ke seluruh paroki gereja Presbiterian ini, dan Anda bisa melihatnya kalau ajaran ini berdampak pada perkawinan dan keluarga. Sungguh menarik!

Hal keempat yang saya lakukan adalah mengajar mereka tentang liturgi dan perjanjian dan keluarga, bahwa dalam Kitab Suci perjanjian dirayakan melalui ibadah liturgi, di mana keluarga Allah berkumpul untuk perjamuan merayakan kurban Kristus. Saya menyarankan, dalam khotbah dan pengajaran saya, mungkin kita harus mengadakan perjamuan keluarga, komuni, bahkan saya menggunakan kata “Ekaristi.” Mereka belum pernah mendengar hal ini sebelumnya. Saya berkata, “Mungkin kita harus merayakan menjadi perjanjian keluarga Allah dengan melakukan komuni setiap pekan. “Apa?” Saya berkata, “Alih-alih berpusat pada khotbah, mengapa tidak menjadikan khotbah sebagai pendahuluan dan persiapan memasuki perayaan tentang siapa kita sebagai keluarga Allah?” Dan mereka pun, menyukainya!

Namun ada seorang pria berdiri dan berkata, “Setiap pekan? Anda tahu kalau kebiasaan menghasilkan penghinaan, apakah Anda yakin kita harus melakukannya setiap pekan?” Saya berkata, “Baiklah, tunggu sebentar. Apakah Anda berkata ‘I love you’ kepada istri Anda hanya empat kali dalam setahun? Lagipula, kebiasaan menghasilkan penghinaan, sayang. Kamu tahu saya tidak ingin menciummu lebih dari empat kali dalam setahun.” Pria itu menatap saya dan berkata, “Saya mengerti maksud Anda.”

Saat kami mengubah liturgi, kami merasakan suatu perubahan dalam kehidupan kami yang kami jalani sebagai satu paroki, dan juga dalam keluarga kami. Sangat menarik untuk melihatnya, dan ketika saya mengajarkan lebih banyak tentang perjanjian, mereka hanya merasa lapar dan haus untuk menerima pengajaran lebih banyak lagi.

Sementara itu, saya juga mengajar paruh waktu di SMA Kristen setempat dan juga bertemu dengan mereka yang ada di gereja. Saya punya beberapa siswa paling cerdas yang pernah saya ajar, dan mereka menanggapi gagasan perjanjian dengan antusias. Saya mulaimengajar kursus tentang sejarah keselamatan. Pada awalnya mereka takut karena pelajaran itu sangat membingungkan, yakni tentang nama-nama dan tempat-tempat yang sulit diucapkan dan peristiwa yang kurang masuk akal. Maka, saya menunjukkan mereka, “Hai, begitu kalian menganggap perjanjian sebagai keluarga, maka hal itu menjadi sangat sederhana.” Saya mengajarkan siswa saya serial perjanjian dalam Perjanjian Lama, yang menuju kepada Kristus. Pertama, kita punya perjanjian yang dibuat Allah dengan Adam, itulah perkawinan, satu ikatan keluarga. Perjanjian kedua adalah perjanjian Allah dengan Nuh. Itulah satu keluarga, satu rumah tangga yang di dalamnya ada Nuh, istrinya, ketiga putranya dan istri-istri mereka (tiga orang menantu perempuan Nuh), bersama-sama mereka membentuk satu keluarga Allah, satu rumah tangga iman. Kemudian, pada zaman Abraham, kita sebenaranya punya keluarga Allah yang berkembang menjadi satu keluarga kesukuan. Dalam perjanjian berikutnya, yang dibuat Allah dengan Musa, Israel mempunyai 12 suku yang menjadi satu bangsa, namun melalui perjanjian, mereka menjadi keluarga bangsa Allah. Dan akhirnya, ketika Kristus mendirikan perjanjian baru, alih-alih menjadikan keluarga Allah yang dikenal sebagai satu bangsa, ada perbedaan besar dalam Perjanjian Baru, saya mengajarkan kepada mereka, bahwa sekarang kita mempunyai satu keluarga internasional, satu keluarga dunia, satu keluarga katolik.

Salah seorang siswa saya mengangkat tangan dan bertanya, “Akan seperti apa perjanjian ini jika kita benar-benar mengembangkannya kembali?” Saya menggambar sebuah piramida di papan tulis, dan saya berkata, “Anggap saja ini adalah keluarga yang besar, dengan figur ayah dan ibu di semua tingkatan yang berbeda ini, dan kita semua adalah saudara dan saudari dalam Kristus.” Saya mendengar seseorang bergumam di belakang, “Bagi saya kelihatan seperti Gereja Katolik.” Saya berkata, “Bukan, bukan, bukan! Saya berikan solusi untuk masalah atau penawar dari racun.” Nah, suatu hari Rebecca menghampiri saya ketika makan siang. Saya sedang makan siang, dan dia berkata, “Kami melakukan voting kecil-kecilan di belakang kelas, dan hasilnya satu suara, kami semua berpikir kalau Anda akan menjadi seorang Katolik Roma.” Saya tersedak ketika makan sandwich. “Jangan keras-keras, Saya tidak mau kehilangan pekerjaan. Rebecca, saya tegaskan apa yang saya berikan bukan hal Katolik, tapi penawar racun Katolik.” Dia hanya berdiri menatap saya di sana. “Tidak, hasilnya sepakat, Anda akan menjadi seorang Katolik.” Kemudian dia berpaling dan pergi.

Saya tercengang dengan hal itu. Sore harinya saya pulang, berjalan ke dapur, dan melihat Kimberly di dekat kulkas. Saya mulai bicara, “Kamu tidak akan pernah bisa menebak apa yang dikatakan Rebecca hari ini. Kimberly bertanya, “Apakah ada cerita Rebecca lainnya?” Saya menjawab, “Dia datang pada saya waktu makan siang dan mengumumkan kalau dia membuat pemungutan suara di belakang kelas, dan dengan suara bulat bahwa saya akan menjadi seorang Katolik Roma. Bisa kamu bayangkan, kalau saya jadi Katolik?” Namun Kimberly tidak tertawa sedikit pun. Dia hanya berdiri di sana dan menatap saya. “Apakah kamu merasa begitu?” Seolah-olah seseorang menikam belati dari belakang. Kamu tahu Et tu, Brute (Bahkan kamu Brutus? Ungkapan Julius Caesar kepada temannya Brutus yang membunuhnya yang artinya pengkhianatan yang tidak terduga dari seorang teman), Kimberly? Bahkan kamu juga seperti itu! Dengan lantang saya berkata, “Kamu tahu saya seorang Calvinis, seorang Calvinis dari Calvinis, seorang Presbiterian, dan seorang anti-Katolik. Saya sudah memberikan banyak buku Boettner, saya sudah membuat banyak orang Katolik keluar dari Gerejanya. Saya dididik dalam ajaran Martin Luther.” Kimberly hanya berdiri di sana dan berkata, “Ya, tapi kadang-kadang saya bertanya-tanya apakah kamu itu bukan Luther yang kembali.” Wah, tunggu dulu! Saya tidak bisa berkata apa pun.

Saya perlahan-lahan kembali ke ruang kerja saya, menutup pintu dan menguncinya, duduk di kursi, dan benar-benar merenung. Saya takut. Luther yang kembali! Bagi saya, pada satu titik hal itu berarti keselamatan yang terbalik. Saya takut. Mungkin saya terlalu banyak belajar dan kurang berdoa. Jadi saya mulai sering berdoa. Saya mulai membaca buku-buku anti-Katolik, namun semuanya jadi tidak masuk akal lagi. Jadi saya beralih ke sumber-sumber Katolik dan membacanya.

Guru di Seminari Presbiterian

Sementara itu, sesuatu yang dramatis terjadi. Saya didekati oleh seminari Presbiterian dan meminta apakah saya bisa mengajar kursus kepada para seminaris yang dimulai dengan seminar Injil Yohanes. Saya menjawab, “Tentu saja.” Jadi, saya mulai menceritakan Injil Yohanes dan semua tentang perjanjian, tentang keluarga Allah, dan apa makna dari dilahirkan kembali. Dalam studi saya, saya menemukan bahwa dilahirkan kembali bukan hanya menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan secara pribadi dan memohon-Nya masuk ke dalam hati Anda, meskipun hal itu penting bagi Katolik maupun Protestan, namun juga membangun relasi pribadi dengan-Nya. Tapi saya menemukan bahwa yang Yesus maksud dalam Yohanes 3 ketika Ia berkata kamu harus dilahirkan kembali. Ia berbalik dan berkata bahwa kamu harus dilahirkan dalam air dan Roh. Dalam bab sebelumnya, Yesus baru saja dibaptis dengan air dan Roh turun di atas-Nya. Segera setelah Yesus berbicara tentang air dan Roh dengan Nikodemus, pada ayat berikutnya mengatakan bahwa Yesus dan para murid pergi untuk membaptis. Oleh karena itu, saya mengajarkan bahwa dilahirkan kembali adalah tindakan perjanjian, suatu sakramen, suatu pembaruan perjanjian yang melibatkan pembaptisan. Saya menceritakan hal ini dengan para siswa seminari, dan mereka merasa yakin.

Sementara itu, saya sedang mempersiapkan khotbah dan caramah sebelum masuk Yohanes bab 3. Saya sedang mempelajari Yohanes bab 6. Dalam banyak hal, Injil Yohanes merupakan Injil yang isinya paling kaya di antara yang lainnya. Namun bab 6 merupakan bab favorit saya. Di sana, saya menemukan sesuatu yang saya yakini sudah saya baca sebelumnya, namun saya tidak pernah menyadarinya. Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” Saya membaca perikop itu, kemudian saya membacanya lagi. Saya melihatnya dari sepuluh sudut pandang yang berbeda. Saya membeli semua buku mengenai hal ini, yaitu komentar tentang Injil Yohanes. Saya tidak bisa mengerti bagaimana hal itu bisa masuk akal.

Saya sudah dilatih untuk menafsirkan bagain itu dalam makna kiasan, bahwa Yesus menggunakan simbol. “Daging dan darah” sebenarnya hanyalah lambang Tubuh dan Darah-Nya. Namun semakin saya mempelajarinya, semakin saya menyadari bahwa penafsiran seperti itu tidak masuk sama sekali. Mengapa? Karena begitu orang Yahudi mendengar perkataan Yesus, mereka semua pergi. Sampai saat ini, ada ribuan orang yang mengikuti-Nya, dan kemudian tiba-tiba, orang banyak hanya terkejut bahwa Ia berkata, “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman,” dan mereka semua pergi. Ribuan orang murid meninggalkan Yesus. Jika Yesus hanya bermaksud kalau bahasa itu sebagai kiasan, Ia secara moral berkewajiban sebagai guru dan berkata, “Berhenti, Aku hanya bermaksud kiasan.” Namun Yesus tidak melakukannya, sebaliknya, apa yang Yesus lakukan?

Riset yang saya lakukan menunjukkan bahwa Yesus berpaling ke Dua Belas Murid, dan Ia berkata apa kepada mereka? Apakah Yesus berkata, “Sebaiknya kita merekrut seorang agen humas (hubungan masyarakat/public relations), Aku benar-benar mengacaukannya.” Tidak! Ia berkata, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Ia tidak berkata, “Apakah kalian mengerti kalau Aku hanya bermaksud kalau hal itu adalah simbol? Tidak! Ia berkata kalau kebenaran itu akan memerdekakan kamu, dan Aku telah mengajarkan kebenaran. Apa yang hendak kalian lakukan? Petrus berdiri dan berbicara, “Kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal dan kami telah percaya.” Pernyataan Petrus “Kepada siapakah kami akan pergi?” menyiratkan “Engkau tahu Yesus, kami tidak paham apa yang Engkau maksud, namun apakah Engkau punya Rabi lain yang bisa Anda rekomendasikan? Engkau tahu, kepada siapakah kami akan pergi? Sekarang sudah terlambat bagi kami, kami, kami percaya apa yang Engkau katakan walaupun kami tidak memahami sepenuhnya. Jika Engkau berkata kalau kami harus makan daging dan minum darah-Mu, maka entah bagaimana caranya Engkau akan memberikan kami rahmat yang kami butuhkan untuk menerima perkataan-Mu begitu saja.” Yesus tidak bermaksud kiasan.

Ketika saya mempelajari bab ini, saya mulai menyadari bahwa ada satu hal untuk meyakinkan umat Presbiterian bahwa dilahirkan kembali artinya dibaptis, namun bagaimana mungkin saya bisa meyakinkan mereka bahwa kita harus benar-benar makan Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya? Kemudian, saya memusatkan perhatian lebih pada Perjamuan Malam Terakhir dan komuni. Saya menemukan bahwa Yesus tidak pernah menggunakan kata “perjanjian” dalam pelayanan publik-Nya. Ia hanya sekali menggunakan kata itu ketika Ia menetapkan Ekaristi, ketika Ia berkata, “Cawan ini adalah darah perjanjian baru” Jika perjanjian bermakna keluarga, apa yang membuat kita menjadi keluarga? Membagikan tubuh dan darah. Maka jika Kristus membentuk satu perjanjian yaitu satu keluarga baru, apa yang harus Ia sediakan bagi kita? Tubuh yang baru dan Darah yang baru. Saya mulai melihat mengapa pada zaman Gereja perdana (selama lebih dari 700 tahun), tidak ada satu orang pun di mana pun yang memperdebatkan makna perkataan Yesus. Semua Bapa Gereja perdana, tanpa kecuali, menerima perkataan Yesus apa adanya. Mereka percaya dan mengajarkan Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi. Saya merasa takut, saya tidak tahu harus bertanya kepada siapa.

Kemudian ada satu episode yang terjadi pada satu malam dalam suatu seminar, sesuatu yang belum siap saya hadapi. Seorang mahasiswa pascasarjana mantan Katolik yang bernama John mengangkat tangan. Ia baru saja menyelesaikan presentasi untuk seminar mengenai Konsili Trente. Konsili Trente adalah tanggapan resmi Gereja Katolik terhadap Martin Luther dan Reformasi.

Dalam waktu satu setengah jam, ia mempresentasikan Konsili Trente dengan cara pandang yang terbaik. Ia sudah menunjukkan betapa banyak pendapat Katolik yang sebenarnya berdasar pada Alkitab. Kemudian ia membalikkan keadaan pada saya. Para mahasiswa yang seharusnya bertanya satu atau dua pertanyaan kepadanya. Tapi ia berkata, “Bolehkah saya bertanya dulu, Profesor Hahn? Anda tahu bagaimana kalau Luther itu punya dua slogan, bukan hanya sola fide, namun slogan kedua yang ia gunakan untuk memberontak terhadap Roma yang bunyinya sola Scriptura (hanya Kitab Suci). Pertanyaan saya adalah, ‘Di mana Alkitab mengajarkan itu?’”

Saya menatapnya dengan tatapan kosong. Saya bisa merasakan keringat mengalir di dahi saya. Dulu, saya bangga ketika saya menanyakan pertanyaan yang sangat membingungkan kepada profesor saya, namun saya belum pernah mendengar pertanyaan ini. Maka saya mendengarkan diri saya sendiri mengucapkan sumpah serapah yang tak pernah saya ucapkan, tapi saya bicara, “John, itu pertanyaan yang sangat bodoh.” John tidak merasa terhasut. Ia menatap saya dan berkata, “Berikan saya jawaban yang bodoh.” Saya berkata, “Baiklah, saya akan coba.” Saya mulai berbicara. Saya berkata, “Ya, kuncinya ada dalam 2 Timotius 3:16: ‘Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.’” Ia mengulangi, “Tunggu sebentar, ayat itu hanya mengatakan bahwa Kitab Suci diilhami dan bermanfaat, tidak mengatakan kalau hanya Kitab Suci yang diilhami, atau lebih jelas lagi, hanya Kitab Suci yang bermanfaat untuk hal-hal itu. Kita juga butuh hal-hal lain seperti doa.” Ia melanjutkan, “Bagaimana dengan 2 Tesalonika 2:15?” Saya menjawab, “Apa itu lagi?” Ia berkata, “Ya, dalam ayat itu Paulus memberi tahu jemaat di Tesalonika supaya mereka berpegang teguh atau mereka harus memegang erat tradisi yang telah Paulus ajarakan pada mereka baik tertulis maupun lisan.” Wah! Saya belum siap. Saya berkata, “Ya, mari kita lanjutkan dulu dengan pertanyaan. Saya akan membahasnya minggu depan. Mari kita lanjutkan.”

Saya rasa kelas itu tidak menyadari kepanikan yang saya alami. Ketika saya mengemudi kendaraan pulang ke rumah pada malam itu, saya hanya menatap langit dan bertanya kepada Tuhan, mengapa saya tidak pernah mendengar pertanyaan itu? Mengapa saya tidak pernah menemukan jawaban? Keesokan harinya, saya mulai menelepon para teolog di seluruh negeri, juga mantan profesor, dan saya bertanya kepada mereka, “Di mana Alkitab mengajarkan sola Scriptura? Di mana Alkitab mengajarkan kita bahwa Alkitab sebagai satu-satunya otoritas?” Satu orang berkata pada saya, “Sungguh pertanyaan yang bodoh darimu.” Saya berkata, “Jadi beri saya jawaban yang bodoh juga.” (Saya mengerti!) Salah seorang profesor yang sangat saya hormati, seorang teolog Oxford, berkata kepada saya, “Scott, kamu tidak berharap menemukan Alkitab yang membuktikan sola Scriptura karena hal itu bukanlah sesuatu yang ditunjukkan oleh Alkitab. Hal itu adalah asumsi kami, dan hal itu adalah anggapan awal kami ketika kami melakukan pendekatan terhadap Alkitab.” Menurut saya hal itu aneh, saya berkata, “Tapi profesor, hal itu tampak janggal karena apa yang kita katakan kemudian adalah apa yang seharusnya hanya kita percayai yaitu yang diajarkan oleh Alkitab, tapi Alkitab tidak mengajarkan supaya kita percaya hanya pada yang Alkitab ajarkan. Asumsi kita tidak diajarkan oleh Alkitab. Rasanya seperti memotong dahan pohon yang sedang kita duduki.” Kemudian, profesor menjawab, “Pilihan apa yang kita punya?” Baiklah ini merupakan satu poin yang bagus.

Ada seorang teman lainnya yang merupakan seorang teolog, menelepon saya dan berkata, “Scott, saya dengar kamu sedang mempertimbangkan Iman Katolik?” Saya menjawab, “Tidak, Art. Saya tidak benar-benar sedang mempertimbangkan Iman Katolik.” Kemudian saya memutuskan untuk bertanya kepadanya, “Art, menurutmu tiang penopang dan dasar kebenaran itu apa?” Ia menjawab, “Scott, bagi kita semua tiang penopang dan dasar kebenaran adalah Kitab Suci.” Saya berkata, “Art, terus mengapa Alkitab katakan bahwa tiang penopang dan dasar kebenaran adalah Gereja (jemaat), rumah tangga iman?” Ada keheningan dan ia berkata, “Baiklah, Scott, saya kira kamu sedang menjebak saya denga pertanyaan itu.” Saya berkata kepadannya, “Art, saya merasa kalau saya sedang bersiap-siap untuk banyak masalah.” Art berkata, “Nah, gereja yang mana Scott? Kan ada banyak gereja.” Lalu saya menjawab, “Art, berapa banyak gereja yang menyatakan pekerjaannya sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran? Maksud saya, jika kamu berkata tentang sebuah gereja yang berkata, ‘Kami ini adalah tiang penopang dan dasar kebenaran; lihatlah kami, dan kamu akan mendengar Kristus yang berbicara dan mengajar’ – ada berapa gereja yang bekerja seperti itu? Saya tahu hanya ada satu. Saya tahu hanya Gereja Katolik Roma yang mengajarkan bahwa dia didirikan oleh Kristus, dia sudah ada selama 2.000 tahun, dan dia membuat beberapa pernyataan aneh yang kelihatan sangat mirip dengan 1 Timotius 3:15.”

Nah, pada saat ini saya tidak yakin harus berbuat apa. Suatu hari saya menerima telepon dari Steve, yang merupakan pimpinan dewan di seminari tempat saya mengajar. Steve mengajak keluar untuk makan siang. Saya tidak yakin mengapa. Saya kira, “Kabar sudah sampai pada pimpinan dewan bahwa apa yang saya ajarkan agak-agak Katolik.” Ketika saya ikut dengannya untuk makan siang, saya sangat takut dan merasa tidak yakin. Steve melanjutkan pengumumannya bahwa para anggota dewan sudah mencapai mufakat. Karena kelas saya berjalan dengan sangat baik dan begitu banyak orang mendaftar untuk kursus yang saya berikan, mereka bertanya apakah saya bisa mempertimbangkan diri untuk menjadi dekan seminari pada usia 26 akhir (menjelang usia 27 tahun). Saya tidak percaya. Ia berkata, “Kami akan mengizinkan kamu mengajar kursus yang kamu inginkan. Kami akan mengizinkan kamu mempekerjakan pengajar jika kamu butuh. Bahkan kami akan membayari program doktoral teologimu.” Saya berkata, “Di mana ada program doktoral teologi terdekat?” Ia berkata, “Ada di universitas Katolik.” Saya berpikir, Tidak, tidak, tidak. Saya tidak mau belajar di sana; Saat itu saya sedang melarikan diri dari cara pandang itu. Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya katakan padanya. Kenyataannya, ia berkata, “Ya, maukah kamu membawa hal ini dalam doa?” Saya berkata, “Saya akan membawanya dalam doa, tapi Steve, saya kira saya sudah tahu jawabannya. Dan anehnya, saya kira saya akan menjawab ‘Tidak’ dan saya tidak akan bisa menjelaskan jawaban itu karena saya sendiri tidak yakin.”

Ketika saya sampai di rumah, Kimberly sedang menunggu saya. Dia berkata, “Apa yang Steve inginkan?” Saya berkata, “Ia meminta saya untuk menjadi dekan.” Kimberly menjawab, “Kamu bercanda!” Saya jawab, “Terus kamu jawab apa?” Saya jawab, “Tidak.” Kimberly bertanya kembali, “Maaf, apa yang kamu katakan?” Saya menjawab lagi, “Tidak.” Kimberly bertanya sekali lagi, “Kenapa kamu jawab tidak?” Saya berkata, “Kimberly, karena saat ini saya tidak yakin apa yang akan saya ajarkan. Saat ini saya tidak yakin apa yang diajarkan Alkitab, dan saya tahu kalau suatu hari nanti saya akan berdiri di hadapan Yesus Kristus untuk penghakiman, dan bagi saya tidak cukup sekadar berkata, ‘Ya, Yesus, saya baru saja mengajarkan apa yang sudah diajarkan guru saya.’ Yesus sudah menunjukkan pada saya bahwa hal-hal dari Kitab Suci adalah benar, dan saya harus setia pada apa yang telah Ia tunjukkan.” Kimberly datang menghampiri saya, merangkul dan memeluk saya dengan erat. Kemudian dia berkata, “Scott, itulah yang saya sukai dari kamu; itulah mengapa saya menikah denganmu – Oh, tapi kita harus membawanya dalam doa.” Kimberly tahu apa artinya itu: Hal itu bukan hanya menolak tawaran itu, tapi berarti mengundurkan diri dari pekerjaan luar biasa sebagai pendeta di gereja yang sedang bertumbuh besar.”

Asisten Administrasi untuk Presiden Perguruan Tinggi

Kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Kami sendirian dan tidak ada yang membantu pada bulan Juli. Setelah banyak berdoa, kami memutuskan untuk pindah kembali ke kota tempat kampus kami berada yang juga menjadi tempat di mana kami bertemu. Ketika kami kembali ke sana, saya melamar pekerjaan di berbagai tempat, namun di kampus sendiri saya dipekerjakan sebagai seorang administrator, untuk menjadi asisten presiden. Selama dua tahun saya bekerja di sana, dan pekerjaan itu agak ideal, karena saya bekerja pada siang hari, dan pada malam harinya menjadi waktu luang yang saya gunakan untuk melakukan penelitian yang mendalam. Dari sekitar pukul delapan malam, setelah menidurkan anak-anak kami, hingga pukul satu atau dua pagi, saya akan membaca, belajar dan melakukan penelitian.

Dalam rentang waktu dua tahun, saya sudah membaca beberapa ratus buku dan untuk pertama kalinya saya mulai membaca para teolog dan ahli Kitab Suci Katolik. Saya terkejut karena betapa mengesankan wawasan mereka, namun ada sesuatu yang lebih dari itu yakni wawasan mereka sesuai dengan penemuan pribadi saya. Saya tidak percaya berapa banyak novel, penemuan inovatif yang saya hasilkan, di sini mereka berasumsi dan menerima begitu saja. Dan itulah yang mengganggu saya.

Kadang-kadang saya keluar dan membacakan bagian tulisan kepada Kimberly, “Dengarkan ini, sebutkan nama penulisnya.” Dalam arti tertentu, Kimberly adalah seorang teolog, namun dia sangat sibuk membesarkan anak-anak sehingga dia benar-benar kehabisan tenaga. Namun, dia akan duduk di sana, mendengarkan, dan saya akan berkata, “Menurutmu apa itu?” Dia menjawab, “Wow! Kedengarannya seperti salah satu khotbahmu di Virginia. Oh, saya merindukan khotbahmu.” Kemudian saya berkata, “Itu dari Vatikan II yang judulnya Gaudium et Spes. Tulisan Gereja Katolik.” Kimberly memohon, “Scott, saya tidak mau mendengarnya lagi.” Kemudian saya menanggapinya, “Kimberly, hal-hal tentang liturgi ini sangat menarik. Saya sendiri tidak yakin, tapi saya pikir kalau Allah memanggil kita menjadi umat Episkopal.” Inilah sebuah rumah singgah. Kemudian Kimberly menatap saya sambil berlinang air mata, “Episkopal! Saya orang Presbiterian, ayah saya pendeta Presbiterian, paman saya pendeta Presbiterian, suami saya pendeta Presbiterian, adik saya ingin jadi pendeta, dan saya sendiri sudah memikirkan untuk menjadi pendeta. Saya tidak mau jadi seorang Episkopal.” Saat ini Kimberly merasa ditinggalkan, merasa sangat dikhianati.

Saya masih ingat percakapan itu, karena beberapa bulan kemudian, setelah lebih banyak membaca, suatu malam saya keluar dan berkata, “Kimberly, saya tidak yakin, tapi saya mulai berpikir kalau Allah mungkin memanggil saya untuk menjadi seorang Katolik Roma.” Ekspresi putus asa timbul di wajahnya. Kimberly menjawab, “Tidak bisakah kita menjadi Episkopal saja? Apa pun asal bukan Katolik.” Umat Katolik suam-suam kuku mungkit tidak tahu ketakutan seperti apa yang terjadi pada seorang Protestan ketika berpikir harus berenang di Sungai Tiber (idiom berpindah keyakinan jadi Katolik –red.), mungkin hal mengenai “Paus,” seperti yang dikatakan teman saya. Nah, Kimberly menjadi sangat putus asa, dia mulai berdoa supaya ada seseorang yang menyelamatkan suaminya, mungkin profesor, teolog, atau juga teman.

Perjalanan Langsung menuju Gereja Katolik

Dan akhirnya, hal itu terjadi. Saya mendapat telepon dari sahabat saya dari seminari, namanya Gerry, dia seorang sarjana Phi Beta Kappa dalam bidang bahasa Yunani klasik dan Perjanjian Baru. Ia satu-satunya siswa di seminari, bersama dengan saya yang memegang kepercayaan Protestan lama bahwa Paus itu adalah Antikristus. Kami berdiri bahu membahu, menentang semua kompromi yang kami lihat pada saudara-saudara Protestan kami. Pada suatu malam, ia berbicara dengan saya di telepon. Saya membacakannya satu bagian dalam buku Romo Bouyer. Ia berkata, “Wow, tulisan itu kaya dan mendalam. Siapa yang menulisnya?” Saya berkata, “Louis Bouyer.” Kemudian ia menanggapi, “Bouyer? Saya belum pernah mendengarnya, siapa ia?” Saya menjawab, “Apa maksudmu?” Gerry bertanya, “Jadi, ia itu seorang Methodist?” Saya menjawab, “Bukan.” Gerry kembali bertanya, “Apakah ia seorang Baptis?” Jawab saya, “Bukan.” Gerry bertanya lagi, “Maksud saya, apakah ia seorang Lutheran? Dia orang apa, sudah 20 pertanyaan? Siapa ia?” Kemudian saja jawab, “Ia seorang Kat-. Maaf ada yang terlewat, Ia seorang Kat- Roma.” Gerry menanggapi, “Tunggu sebentar, pasti ada koneksi buruk, Scott. Saya pikir kami bicara ia itu Katolik,” Kemudian saya berkata, “Gerry, saya memang bicara kalau ia seorang Katolik, memang ia Katolik, dan saya sedang membaca banyak buku Katolik.”

Tiba-tiba hal itu mulai menyembur seperti Air Terjun Niagara. Saya berkata, “Saya sudah membaca buku Daniélou dan Ratzinger dan de Lubac dan Garrigou-Lagrange dan Congar, dan semua orang-orang ini, dan ternyata tulisannya sangat kaya! Kamu juga harus membacanya.” Gerry menyela, “Sebentar, sebentar, Scott jiwamu mungkin sedang dalam bahaya.” Kemudian saya mendesaknya, “Gerry, boleh saya memberikan judul-judul bukunya?” Gerry menjawab, “Tentu saja, saya akan membacanya, apa pun yang bisa menyelamatkanmu dari jebakan semacam ini. Dan saya akan beri kamu juga beberapa judul buku.” Kemudian Gerry memberikan sepuluh judul buku anti-Katolik. Saya berkata, “Gerry, saya sudah membaca semua buku itu, setidaknya satu atau dua kali.” Gerry berkata, “Berikan saya daftarnya,” dan saya mengirimkannya.

Sekitar sebulan kemudian, kami janjian untuk mengobrol panjang di telepon. Kimbery sangat bersemangat, akhirnya ada ksatria Phi Beta Kappa dengan baju zirah berkilauan datang untuk menyelamatkan suaminya dari cengkraman Romanisme (paham Gereja Katolik Roma –red.). Jadi Kimberly menunggu sambil menahan nafas ketika percakapan kami selesai. Saya berkata kepada Kimberly bahwa Gerry senang karena membaca semua hal ini, dan Gerry menganggap saya serius. Kimberly berkata, “Luar biasa, saya tahu Gerry bisa melakukannya.”

Nah, ini berlangsung selama tiga sampai empat bulan. Kami akan berbicara di telepon dua, tiga, bahkan sampai empat jam lamanya, mendiskusikan teologi dan Kitab Suci sampai jam tiga atau empat pagi. Kimberly senang dan berterima kasih kepada Gerry karena sudah menghadapi saya dengan sangat serius.

Pada suatu malam, saya tidur sekitar jam dua atau tiga dini hari, dan Kimberly masih terbangun. Lampunya sudah padam, namun dia masih duduk di tempat tidur dan berkata, “Bagaimana kabarmu?” Saya berkata, “Baik.” Kimberly berkata, “Ceritakan pada saya.” Kemudian saya berkata, “Gerry hampir terpengaruh dan mulai bersemangat tentang semua kebenaran Kitab Suci yang dikemukakan Gereja Katolik.” Kimberly terkejut, “APA!” Saya tidak bisa memandang wajahnya, tapi saya bisa merasakan dirinya seperti tenggelam ketika dia berbaring di tempat tidur, menaruh wajahnya di bantal dan mulai menangis. Bahkan, saya tidak bisa memeluknya, Kimberly merasa terluka dan ditinggalkan.

Beberapa saat kemudian, Gerry menelepon dan berkata, “Dengar, saya agak takut. Teman-teman saya agak takut. Kami harus mengganggap kalau hal ini serius. Saya sudah bicara dengan Doktor John Gerstner, seorang Presbiterian lulusan Harvard, teolog anti-Katolik. Ia akan bertemu dengan kita selama kita mau.” Kami sudah atur janji satu sesi selama 6 jam untuk saya, Gerry, dan Dr. Gerstner, yang akan membahas Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani, dan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, dan dokumen-dokumen konsili dalam sejarah Gereja. Setelah enam jam berakhir, saya dan Gerry berharap akan terlempar keluar dari permasalahan ini oleh bantuan seorang jenius ini. Sebaliknya, yang kami temukan adalah Gereja Katolik hampir tidak butuh pembelaan. Hal ini bagaikan seekor singa, biarkan singa itu keluar dari kandangnya, dan singa itu akan mengurusnya sendiri. Kami hanya menyajikn ajaran-ajaran Gereja dan menunjukkan ayatnya dalam Kitab Suci, kami merasa tidak menjawab satu pun dari pertanyaan dan keberatan kami. Pada akhirnya, kami saling bertanya, “Wow, apa artinya ini?” Tidak seorang pun dari kami yang tahu: sebagian besar seminaris anti-Katolik yang bertanya-tanya apakah Allah itu mungkin Katolik … kami merasa ketakutan!

Sementara itu, saya mengirimkan lamaran ke Marquette University karena saya dengar di sana ada beberapa teolog hebat yang berdasarkan perjanjian, yang sedang mempelajari Gereja dan melakukan banyak hal baik. Tepat sebelum saya mendengar kabar balasan dari mereka bahwa saya diterima dan akan menerima beasiswa, saya mulai mengunjungi beberapa presbiter di daerah saya. Saya takut. Saya melakukannya pada malam hari sehingga tidak ada yang akan melihat saya. Saya hampir merasa kotor dan najis ketika melangkah ke pastoran. Saya duduk dan akhrnya punya beberapa pertanyaan. Setiap presbiter berkata kepada saya, “Mari ngobrol hal lain, selain teologi.” Tak seorang pun dari mereka ingin membahas pertanyaan saya. Sampai seorang presbiter benar-benar berkata, “Apakah Anda sedang memikirkan untuk berubah keyakinan? Tidak, Anda tidak ingin melakukannya. Sejak Vatikan II kami tidak dianjurkan untuk melakukannya. Hal terbaik yang bisa Anda lakukan bagi Gereja adalah hanya menjadi seorang pendeta Presbiterian yang baik.” Saya berkata, “Tunggu, Romo …” Kemudian ia menyela, “Jangan, panggil saya Mike.” Saya melanjutkan, “Baik, Mike. Saya tidak meminta supaya Anda mengalahkan saya dan memaksa saya masuk Katolik. Saya pikir kalau Allah sedang memanggil saya.” Kemudian ia menjawab, “Nah, jika Anda ingin bantuan saya, Anda datang ke orang yang salah.”

Setelah tiga atau empat bahkan lima pertemuan semacam ini, saya kebingungan. Saya menceritakannya kepada Kimberly. Dia berkata, “Kamu harus ke sekolah Katolik supaya kamu bisa belajar penuh waktu, di mana kamu bisa mendengarnya dari mereka sendiri dan bisa yakin bahwa Gereja Katolik yang kamu percayai itu masih ada.” Kimberly benar. Jadi setelah banyak berdoa dan persiapan, kami pindah ke Milwaukee, di mana saya belajar selama dua tahun dalam program doktoral mereka.

Masa dua tahun itu menjadi pembelajaran yang sangat kaya yang pernah saya alami sekaligus waktu doa terbanyak. Saya ikut beberapa seminar, di mana sebenarnya saya satu-satunya Protestan yang membela ajaran Gereja terhadap serangan yang berasal dari umat Katolik sendiri. Aneh sekali. Misalnya, saya menjelaskan kepada orang-orang ini tentang ajaran Yohanes Paulus II yang sangat alkitabiah dan sangat “erat dengan perjanjian,” bukan orang Katolik yang menjelaskannya pada saya. Namun, ada juga beberapa teolog yang baik dan sangat memahami semua itu. Dan saya sangat menikmati saat-saat itu.

Di sepanjang perjalanan saya ada sesuatu yang terjadi, sebenarnya ada dua hal.

Yang pertama, saya mulai berdoa rosario. Saya sangat takut melakukannya. Saya memohon kepada Tuhan supaya jangan tersinggung jika saya mencobanya. Saya melanjutkan berdoa rosario, dan dalam hati saya saya merasakan sesuatu yang lebih dari yang saya ketahui dalam pikiran saya, bahwa saya adalah anak Allah. Saya bukan hanya punya Allah sebagai Bapa saya dan Kristus sebagai saudara saya, tapi saya juga punya Bunda-Nya yang menjadi bunda saya sendiri.

Suatu hari ada telepon dari seorang teman saya yang mendengar kalau saya sedang memikirkan Gereja Katolik, dan ia berkata: “Apakah kamu menyembah Maria seperti yang dilakukan orang Katolik?” Saya menjawab, “Mereka tidak menyembah Maria, mereka menghormati Maria.” Kemudian ia menjawab, “Apa bedanya?” Saya menjawab, “Mari saya jelaskan. Ketika Kristus menerima panggilan dari Bapa-Nya untuk menjadi manusia, Ia menerima tanggung jawab untuk mematuhi Hukum Taurat, hukum moral yang terkandung dalam Sepuluh Perintah Allah. Ada satu perintah yang berbunyi, ‘Hormatilah ayah dan ibumu.’ Chris, dalam bahasa Ibrani, kata ‘menghormati’ berbunyi kaboda yang artinya memuliakan, mempersembahkan apa pun seperti kemuliaan dan penghormatan kepada ayah dan ibumu. Kristus menggenapinya lebih sempurna daripada manusia lainnya dengan mengaugerahkan kemuliaan-Nya kepada Bapa Surgawi-Nya dengan mengambil kemuliaan Ilahi-Nya sendiri dan menghormati ibu-Nya dengan kemuliaan itu. Chris, segala yang kami lakukan dalam doa rosario adalah meniru Kristus yang menghormati Bunda-Nya dengan kemuliaan-Nya. Sehingga, kami memuliakan Maria dengan kemuliaan Kristus.”

Hal kedua yang terjadi yaitu waktu saya diam-diam menyelinap ke dalam kapel bawah tanah di Marquette, namanya Kapel Gesu. Mereka mengadakan Misa siang, dan saya belum pernah mengikuti Misa. Saya menyelinap masuk. Saya duduk di bangku belakang. Saya tidak berlutut, saya tidak menunduk, saya tidak berdiri. Saya hanya mengamati, saya di sana hanya untuk melihat. Tapi, saya terkejut ketika ada 40, 50, 60, 80, atau 100 orang biasa berjalan memasuki kapel dari jalan untuk ikut Misa siang. Orang-orang itu masuk ke sana kemudian berlutut satu kaki kemudian masuk ke bangku dan berlutut dan berdoa. Kemudian bel berbunyi, dan mereka semua berdiri dan Misa dimulai. Saya belum pernah melihat yang seperti ini.

Liturgi Sabda sangat kaya, dan bukan hanya dalam pembacaan Kitab Suci. Saya pikir mereka membaca lebih banyak Kitab Suci pada Misa harian daripada yang kami baca di kebaktian hari Minggu di gereja saya. Tetapi, doa-doa mereka meresap dengan bahasa dan frase yang alkitabiah yaitu dari Yesaya dan Yehezkiel. Saya duduk di sana dan berpikir, “Hei, hentikan sejenak pertunjukkannya, biarkan saya jelaskan doa-doamu itu. Itu Zakharia, itu Yehezkiel. Wow! Alkitab menjadi hidup dan menari di atas panggung. Di sinilah tempat saya berada.”

Kemudian Liturgi Ekaristi dimulai. Saya melihat dan mendengarkan ketika presbiter mengucapkan kata-kata konsekrasi dan mengangkat hosti. Dan saya akui, pada waktu itu tetesan terakhir keraguan saya mengering. Saya memandang dan berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku.” Ketika orang-orang mulai menyambut Komuni, saya mulai ingin memakan-Nya. Tuhan, saya menginginkan Engkau. Saya ingin persekutuan yang lebih penuh lagi dengan Engkau. Engkau telah datang ke dalam hati saya. Engkau Tuhan dan Juruselamat pribadi saya, namun saya pikir Engkau ingin masuk ke di lidah saya dan perut saya dan juga ke dalam tubuh saya sampai komuni ini selesai.

Tak lama setelah komuni dimulai, maka komuni sudah selesai. Orang-orang diam selama satu atau dua menit untuk bersyukur dan kemudian mereka meninggalkan kapel itu. Akhirnya, saya keluar begitu saja dengan bertanya-tanya. Apa yang sudah saya lakukan? Tapi keesokan harinya saya Kembali ke sana, hari berikutnya lagi, dan hari berikutnya lagi. Saya tidak bisa memberi tahu seorang pun. Saya tidak bisa memberi tahu istri saya. Tapi, dalam dua atau tiga pekan, saya ketagihan. Saya sangat mencintai Kristus dan Kehadiran Nyata-Nya dalam Sakramen Mahakudus. Dan itu menjadi sumber dan puncak serta klimaks di setiap harinya, dan saya belum memberi tahu seorang pun.

Kemudian, suatu hari Gerry menelepon saya. Ia sendiri sudah membaca ratusan buku. Ia menelepon saya untuk mengumumkan, “Saya dan Leslie memutuskan untuk menjadi Katolik pada Paskah tahun ini (1986).” Saya berkata, “Sebentar Gerry, Kamu seharusnya mencegah saya masuk Katolik; Sekarang kamu pikir kamu mau mengalahkan dan menghantam saya? Ini tidak adil.” Gerry menjawab, “Dengar Scott, saya tidak tahu keberatan atau pertanyaan apa yang masih kamu punya, namun semua keberatan dan pertanyaan kami sudah terjawab.” Saya menjawab, “Saya juga begitu.” Gerry menjawab lagi, “Yah, lihat saya tidak akan melakukan interogasi.”

Ketika saya menutup telepon, maka saya terpikir untuk menunda ketaatan, yang bagi saya hampir menjadi ketidaktaatan. Dalam Kitab Suci, Allah sudah membuat semuanya menjadi begitu jelas tentang Maria, Paus, bahkan juga Api Penyucian dari 1 Korintus 3:15 dan berikutnya, kemudian tentang para kudus sebagai keluarga Allah yang juga menjadi saudara-saudari saya dalam Kristus. Saya sedang menjelaskan kepada seorang teman saya tentang bagaimana Keluarga Allah adalah gagasan utama yang masuk akal dari semua Iman Katolik. Maria sebagai ibu kita, Paus sebagai bapa spiritual kita, para kudus seperti saudara dan saudari, Ekaristi sebagai jamuan keluarga, hari-hari raya sebagai hari jadi dan ulang tahun. Kita adalah Keluarga Allah. Saya bukan anak yatim piatu, saya punya rumah. Cuma saya belum ada di sana. Saya mulai bertanya kepada Tuhan, “Apa yang Engkau kehendaki untuk saya lakukan? Gerry bergabung ke Gereja Katolik. Apa yang Engkau kehendaki?” Dan Tuhan baru saja membalikkan keadaan dan kemudian saya berkata berkata “Apa yang hendak Engkau hendaki?” Saya berkata, “Jawabannya mudah, saya ingin pulang. Saya ingin menerima Tuhan kita dalam Ekaristi suci.” Dan saya baru saja merasakan bahwa Tuhan sedang berkata kepada saya, “Saya tidak akan menghentikanmu.” Jadi saya pikir, lebih baik saya berbicara kepada seorang lain yang ingin menghentikan saya (masuk Katolik).”

Saya turun ke bawah dan mengumumkan sesuatu, “Kimberly, kamu tidak akan menyangka apa yang direncakan Gerry dan Leslie.” Katanya, “Apa?” Saat ini, Kimberly sudah putus asa. Saya menjawab, “Mereka akan menjadi Katolik Paskah tahun ini (1986).” Kimberly memandang saya dan dengan tatapan yang dalam dia tahu dengan baik dan masih mencintai saya, dia berkata, “Lalu apa? Apa bedanya? Kamu memberikan janji pribadi bahwa kamu tidak akan bergabung (ke Gereja Katolik) sampai awal tahun 1990.” Saya berkata “Ya, kamu masih ingat itu, dan itu benar demikian. Tapi saya boleh dibebaskan dari janji itu jika kamu merasa …” Kimberly menyela, “Tidak, tidak, jangan, jangan merendahkan janjimu, Scott.” Kemudian saya memohon, “Tapi Kimberly, kamu tidak mau mendengarkan hal ini, kamu tidak mau membaca hal ini, kamu tidak mau mendiskusikannya. Tapi, bagi saya menunda ketaatan yang sudah dibuat jelas oleh Allah, justu menjadi ketidaktaatan.” Saya tahu kalau Kimberly cukup mencintai saya sehingga tidak pernah memperkenankan atau mengizinkan saya untuk tidak mematuhi Tuhan dan Juruselamat saya. Kimberly berkata, “Saya akan mendoakannya, tapi saya harus memberitahumu, saya merasa dikhianati. Saya merasa ditinggalkan. Saya tidak pernah merasakan begitu sendirian seperti ini di sepanjang hidup saya. Semua impian saya pupus karena ini.” Tetapi, Kimberly berdoa dan Allah memberkatinya, dia Kembali kepada saya dan berkata, “Hal ini yang paling menyakitkan sepanjang hidup saya, dalam perkawinan kita, tapi saya pikir itulah yang Allah ingin saya lakukan.”

Paskah 1986, Kimberly menemani saya ke Misa Malam Paskah, di mana saya menerima sesuatu yang suka saya sebut sebagai Sakramental Grand Slam: Baptisan bersyarat, Pengakuan Dosa perdana, Penguatan, dan juga syukur kepada Allah, menerima Komuni suci. Ketika saya Kembali, saya merasakan bahwa Kimberly sedang menangis, dan saya memeluknya, dan kami mulai berdoa. Tuhan berkata kepada saya, “Lihat, saya tidak meminta engkau menjadi seorang Katolik meskipun engkau mencintai Kimberly, karena saya mengasihi Kimberly lebih daripada engkau. Saya meminta engkau menjadi seorang Katolik karena kekasihmu. Karena engkau tidak memiliki kekuatan untuk mencintanya sebesar Aku hendak mengasihinya. Aku akan memberikan apa yang kurang dalam Komuni suci.” Saya berusaha untuk menjelaskannya kepada Kimberly. Dan perlahan-lahan, saya merasakan kedamaian ini ketika Ia berkata, “Aku hendak menjelaskannya di waktu yang tepat, engkau mundur saja. Engkau bukan Roh Kudus, engkau tak bisa mengubah hatinya.” Beberapa hari kemudian, beberapa pekan kemudian dan berbulan-bulan, Kimberly masih belum tertarik. Sungguh sulit.

Akhirnya saya mengambil pekerjaan di Joliet, mengajar selama beberapa tahun di sebuah perguruan tinggi di sana. Tepat sebelum kami pindah ke sana, ada sesuatu yang terjadi yang digerakkan oleh Tuhan. Kami punya anak ketiga yang kami beri nama Hannah. Ketika Hannah masih berada di dalam kandungan, saya benar-benar ketakutan, takut karena banyak alasan, tapi tidak pernah sebegitu takut seperti pada suatu hari Minggu pagi ketika Kimberly masih hamil empat bulan. Kami sedang berdiri di gerejanya, menyanyikan bait terakhir dari lagu pujian, dan Kimberly melihat saya. Wajahnya putih seperti hantu dan dia berkata, “Saya tidak enak badan.” Dia duduk dan berbaring di bangku gereja ketika setiap orang meninggalkan tempat itu. Saya panik. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya berlari ke telepon umum. Saya menelepon dokter kandungan saya. Saya berkata, “Dokter ada di mana? Kemudian ada jawaban, “Saya tidak tahu di mana Dr. Marmion berada. Ini akhir pekan, ia mungkin ke luar kota.” Kemudian saya membalasnya, “Bisakah Anda mengirimkannya pesan?” Balasnya, “Kami akan mengirimkannya pesan, dan ia akan menelepon jika ia sudah ada.” Saya menutup telepon. Saya panik. Saya mulai berdoa kepada St. Gerardus, kepada semua orang kudus. Saya hanya memohon kepada Tuhan Yesus Kristus supaya menolong kami. Sepuluh atau lima belas detik berlalu, dan telepon berdering. Saya mengangkatnya dan berkata: “Halo.” Jawabnya: “Scott.” Saya menjawab: “Ya.” Jawabnya, “Ini Dr. Marmion.” Saya berkata, “Pat, kamu di mana?” Ia menjawab, “Kamu di mana?” Saya berkata, “Saya di luar kota di suatu wilayah.” Katanya, “Di mana?” Saya menjawab, “Di gereja.” Katanya, “Kamu di gereja mana?” Jawab saya, “Saya di luar Gedung gereja, dekat telepon umum.” Ia berkata, “Ini luar biasa. Saya kebetulan mengunjungi gereja itu tadi pagi. Saya sedang menelepon di basement. Saya akan segera naik.” Ia naik tangga sekitar empat, lima, atau delapan detik. Ia berkata, “Di mana dia [Kimberly]?” Saya berkata, “Di sana.” Ia berlari dan mulai memberikan pertolongan kepadanya. Kimberly masuk ke dalam mobil. Kami bergegas ke St. Joseph Hospital, dan nyawa Kimberly terselamatkan, nyawa bayinya juga terselamatkan, dan akhirnya Hannah dilahirkan.

Saya baru saja merasakan bahwa Tuhan itu sangat dekat dengan kami dan dalam perkawinan kami, yang tampaknya lebih hancur daripada yang saya sadari. Saya mulai berdoa, “Apa yang akan kita lakukan dengan bayi itu?” Kimberly mendekati saya sebelum Hannah dilahirkan, tapi Tuhan memberikan kesan bahwa Hannah menjadi seorang anak rekonsiliasi. Saya tidak begitu yakin maksudnya.” Kami berpelukan dan kami mulai mendoakannya.

Setelah Hannah dilahirkan, Kimberly mendekati saya lagi. Dia berkata, “Saya merasa tidak yakin, tapi Tuhan ingin supaya Hannah dibaptis di Gereja Katolik.” Saya berkata, “Apa!” Kimberly berkata, “Saya tidak yakin, tapi saya yakin begitu.” Kami mulai mengikuti liturgi baptisan ini bersama-sama. Monsignor Bruskewitz, seorang presbiter yang membawa saya masuk ke dalam Gereja Katolik, ia seorang yang luhur dan saleh. Kemudian, ia menjadi Uskup Lincoln, Nebraska. Namun, bagi kami, ia melakukan liturgi pribadi ini dengan sangat baik, penuh dengan tradisi dan Kitab Suci, sehingga di tengah-tengah perayaan itu ketika ia berkata, “Alleluia, alleluia,” dalam salah satu doa liturgis, Kimberly hampir melonjak karena kaget. Dia berkata, “Alleluia! – Oh, Maaf.” Ia [Monsignor Bruskewitz] berkata, “Tidak usah minta maaf, saya berharap umat Katolik juga melakukannya, ini baik.”

Hasil dari perayaan liturgis baptisan ini, dia [Kimberly] memfotokopi liturgi baptisan itu dan mengirimkannya kepada keluarga dan teman-temannya. Namun dia belum siap untuk berdebat. Dia mulai membaca dan berdoa. Saya hanya berusaha untuk mundur dan dan semakin mundur.

Perjalanan ke Vatikan di Roma

Ayah saya meninggap pada bulan Desember 1990. Ia adalah pria yang mengajarkan saya untuk suka menyebut Allah dengan sebutan “Bapa.” Pada bulan Januari, ayah mertua saya mengundang saya untuk ikut serta di kelompok kecil untuk memerangi pornografi di Eropa Timur dalam perjalanan ke Vatikan untuk konferensi dan audiensi pribadi dengan Paus Yohanes Paulus II. Ayah mertua saya yang seorang pendeta Presbiterian mengundang saya untuk bertemu dengan Paus? Tentu saja saya menjawab, “Ya!” Maka pada saat itu, saya bukan hanya bertemu dengan Paus dalam kelompok kecil ini, tetapi juga saya diundang bersama beliau di dalam kapel pribadinya untuk Misa Jumat pagi pada pukul 7. Saya hanya berjarak beberapa meter dari beliau, dan saya merasakan beliau sedang berdoa. Anda bisa mendengarkan beliau berdoa dengan kepala dan tangannya, memikul beban Gereja dengan semua beban di dalam hatinya.

Ketika beliau merayakan Misteri Misa Kudus, saya membuat satu resolusi, sebenarnya ada dua: untuk masuk lebih dalam lagi dalam Misa setiap harinya, dan masuk ke dalam pelayanan yang beliau [Paus] miliki, untuk berdoa untuk beliau. Resolusi kedua adalah membagikan pengalaman ini dengan saudara dan saudari saya dalam Kristus tentang Bapa Suci dan bagaimana Kristus sudah memberkati kita dengan keluarga yang luar biasa, dengan Santa Perawan Maria sebagai Bunda spiritual kita sendiri, dengan Paus sebagai pembimbing dan figur bapa spiritual, yang memimpin kita semua dalam menyembah Bapa Surgawi kita, bersama para kudus sebagai saudara dan saudari, juga untuk mengenal diri kita sendiri sebagai keluarga Allah, tapi yang terpenting adalah dengan Ekaristi kudus, kita tahu diri kita sendiri di meja perjamuan itu sebagai satu rumah tangga.

 

Dr. Scott Hahn adalah seorang penulis (atau penyunting) lebih dari 40 buah buku, termasuk judul-judul laris seperti Rome Sweet Home, The Lamb’s Supper, and Hail Holy Queen. Buku terbarunya adalah: The Creed, The Fourth Cup, and The First Society. Ia menjabat sebagai Fr. Michael Scanlan Chair of Biblical Theology and the New Evangelization di Franciscan University of Steubenville, tempat ia mengajar sejak tahun 1990. Ia adalah pendiri dan presiden St. Paul Center for Biblical Theology.

Sebagai seorang pembicara dan guru yang populer, Dr. Hahn sudah menyampaikan banyak ceramah secara nasional maupun internasional mengenai berbagai topik yang berkaitan dengan Kitab Suci dan Iman Katolik. Ceramahnya efektif dalam membantu ribuan umat Protestan memeluk Iman Katolik dan umat Katolik yang sudah meninggalkan imannya untuk memeluk kembali Iman Katolik.

Ia lulus dari Grove City College pada tahun 1979 dengan gelar B.A. dalam bidang Teologi, Filsafat, dan Ekonomi. Ia juga meraih gelar M.Div. dari Gordon-Conwell Theological Seminary pada tahun 1982 dan gelar Ph.D. dalam bidang Teologi dari Marquette University pada tahun 1995. Pada tahun 1982, ia ditahbiskan di Trinity Presbyterian Church (Fairfax, VA). Ia memasuki Gereja Katolik pada Malam Paskah tahun 1986, sedangkan istrinya Kimberly pada tahun 1990. Mereka tinggal di Steubenville, Ohio dan mempunyai enam orang anak.

 

Sumber: “Rome Sweet Home – Dr. Scott Hahn Tells His Story”

Advertisement

Posted on 3 February 2021, in Kisah Iman and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: