Memulihkan Keteguhan Ajaran Imamat

Oleh Dr. John Bergsma

Brother Joseph (Shaun) Bailham O.P. foto oleh @FatherJames (Sumber: stpaulcenter.com)

Suatu pemulihan ajaran Katolik mengenai imamat sangat diperlukan, baik di kalangan umat biasa maupun klerus.

Pertama-tama, sebagai umat biasa (tidak tertahbis/laici) perlu memulihkan perasaan akan status imamat kita. Dan status imamat bukanlah bukanlah bahan pembicaraan dan teori yang banyak, tetapi sesuatu yang membuat perbedaan dalam cara kita menjalani kehidupan sehari-hari.

Sering kali kita jatuh dalam pola pikir “klerikal” yaitu cara pandang Gereja dan kenyataan yang membesar-besarkan peran dari para imam pelayanan. Kita mengharapkan supaya para presbiter menjadi profesional dalam bidang keagamaan yang “melakukan pekerjaan Gereja” sementara itu kita hanya membayar sumbangsih kita kepada organisasi. Sering kali, pertumbuhan dalam kehidupan rohani, dan mendalami iman dengan lebih serius disamakan dengan “menjadi lebih aktif” di paroki dan mengambil peran para-klerikal (seperti klerus), seperti menjadi lektor atau melayani sebagai pelayan komuni tidak lazim (asisten imam/prodiakon).

Sementara itu ada beberapa orang yang dipanggil dalam peran-peran itu, mereka hendaknya tidak dipandang sebagai ekspresi dari imamat rajawi dari umat beriman, fungsi yang tepat bagi orang-orang itu adalah menguduskan tatanan duniawi, bukan membantu dalam liturgi. Menguduskan tatanan duniawi memang cukup berat, tapi pada dasarnya adalah menjadikan dunia sekuler menjadi suatu tempat yang lebih kudus: kantor, tempat kerja, kelas, dan rumah kita, yang menjadi tempat kita tinggal, bekerja, dan memenuhi panggilan kita. Itulah yang menjadi perspektif “ke luar” dari kehidupan Kristen, bukan yang “ke dalam.” Meningkatkan kekudusan sejalan dengan pindah ke dunia, menyebarkan pengaruh kerajaan, daripada melangkah lebih dalam ke Gereja institusional. Dan sekilas dalam situs-situs berita, jelas sekali kita sangat butuh orang-orang Katolik yang benar-benar menjalankan imamat dalam media, bisnis, kedokteran, politik, akademik serta di usaha, sekolah, dan pelayanan yang membentuk kehidupan kita sehari-hari.

Cara terbaik untuk memulainya adalah dengan mulai menjadi “orang-orang Katolik imamat” itu sendiri: bangun setiap pagi dengan mempersembahkan hari kita kepada Allah dengan tindakan nyata berdoa, kemudian menangani setiap tugas sebagai kesempatan menjadikannya sebagai persembahan kepada Allah dengan melakukan yang terbaik sambil memanfaatkan karunia Allah. Banyak hal bisa dibicarakan mengenai hal ini, tapi ada beberapa orang kudus dan penulis spiritual, terutama St. Josemaría Escrivá, mereka sudah menjalani kehidupannya untuk memikirkan impilasi imamat umum bagi kehidupan sehari-hari umat Katolik, dan buku-buku mereka sudah ada dan bisa dibaca.

Yang tidak kalah penting adalah pemulihan identitas imamat yang kokoh antara imam pelayanan yang juga adalah bapa rohani kita. Waktu saya menuliskan ini, bangsa ini [konteks Amerika Serikat dan bisa diterapkan di negara kita masing-masing pada masa-masa sulit] sudah dicengkram dengan kekerasan selama berminggu-minggu di kota-kota besar, kekerasan yang seolah-olah dipicu oleh kondisi sosial ekonomi perkotaan yang memburuk. Banyak solusi yang dibuat-buat oleh para pakar dan politisi, tapi hanya ada sedikit suara-suara kecil dan yang tersisihkan yang berani menunjukkan kondisi yang mungkin menjadi pernyataan kuat secara statistik dan bertanggung jawab atas kondisi yang menimbulkan berbagai protes: kondisi rumah kita yang tanpa sosok seorang ayah/bapa. Sayangnya, masalah ini tidak terbatas di perkotaan Amerika, namun juga berkembang pesat di area dan demografi lain. Budaya Amerika dan banyak masyarakat modern lainnya, menderita kesedihan yang menyebabkan kehancuran karena tidak ada sosok ayah/bapa dan menyebabkan begitu banyak patologi: sosial, psikologis, dan rohani.

Kita orang modern sedang mengerang kesakitan menginginkan seorang bapa yang penuh kasih. Dan dalam situasi kontemporer, sekali lagi saya merasa terkesan dengan bagaimana Allah memberikan Gereja-Nya bersama dengan jawaban dari kesakitan dunia. Tulang punggung Gereja terdiri dari sepasukan bapa rohani, karena bapa adalah kodrat terdalam dari para presbiter, para bapa/romo yang menggambarkan kasih Allah Bapa terhadap saudara dan saudari mereka di bumi.

Semenjak saya menjadi Katolik, saya merasa diberkati dengan begitu banyak bapa rohani dalam hidup saya, yang sudah membantu saya mengatasi rasa sakit dalam hidup, mengalami kasih dan pengampunan Allah, dan mengumpulkan keberanian untuk menghadapi rintangan dan peziarahan hidup kita. Saya juga merasa terkesan dengan betapa efektifnya budaya imamat di dalam Gereja dalam memberikan perawatan rohani: sebagai seorang Katolik, saya bisa mendekati seorang asing di negeri asing di belahan dunia lain, dan karena ia adalah seorang presbiter Katolik, dalam sekejap saya bisa melepaskan diri dari rasa sakit di relung jiwa yang terdalam dan menerima pengampunan dan bimbingan dari Allah Bapa yang penuh kasih melalui suara pria ini. Betapa kita membutuhkan lebih banyak pria untuk menanggapi panggilan tanpa pamrih ini untuk menjadi gambaran dan keserupaan dengan Allah Bapa terhadap anak-anak-Nya di dunia!

 

Dr. John Bergsma adalah Profesor Teologi di Franciscan University of Steubenville. Ia seorang mantan pendeta Protestan, Dr. Bergsma sudah menulis beberapa buku mengenai Kitab Suci dan Iman Katolik, termasuk buku yang berjudul “Jesus and the Old Testament Roots of the Priesthood.”

 

Sumber: “Recovering Strong Teaching on the Priesthood”

Advertisement

Posted on 9 March 2021, in Panggilan and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: