Kata Alkitab: ‘Memiliki Anak adalah Kebodohan’?
Oleh Trent Horn

Anak-anak (Sumber: gacoeonline.gsu.edu)
Membahas sensasi Abraham Piper di media sosial bahwa kitab Pengkhotbah menyatakan demikian
Ada seorang teolog Calvinis ternama di Amerika Serikat, namanya John Piper. Tapi putranya yang berusia 39 tahun, namanya Abraham Piper, viral di TikTok dengan mempromosikan dirinya sebagai seorang “exvangelical” (mantan Kristen Injili/Evangelikal) dan menyebut Alkitab “tidak masuk akal.”
Dalam video terbarunya dikatakan demikian:
Tahukah Anda bahwa Alkitab berkata bahwa yang paling baik itu tidak mempunyai anak? … Dengarkan sedikit ketakutan eksistensial yang menarik dari kitab Pengkhotbah: “Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia dari pada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup. Tetapi yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu kuanggap orang yang belum ada.” Itulah yang dikatakan Alkitab! Dari tiga wujud yang ada bagi manusia potensial, Allah rupanya berpikir bahwa suatu kondisi mereka yang ideal adalah: tidak ada.
Kata Piper dalam kalimat penutupnya, “Sangat keren dan jelas untuk tidak sepakat dengan kitab Pengkhotbah. Tapi jika Anda ingin mengatakan bahwa itulah firman Allah secara harfiah, kata-kata itu memberi tahu Anda bahwa sungguh bodoh mempunyai bayi.”
Salah satu masalah dengan keberatan terhadap Piper adalah ia menggunakan kata “Alkitab” yang seolah-olah mengacu pada satu kitab dengan Allah sebagai satu-satunya yang menuliskannya. Ada banyak orang dengan keliru menganut semacam “teori dikte ilahi” yang artinya bahwa penulis manusia hanya dalam keadaan dirasuki dan menuliskan firman Allah yang dibicarakan kepada mereka. Maka tidak masuk akal dengan perikop-perikop seperti 1 Korintus 1:16, di mana Paulus berkata, “Juga keluarga Stefanus aku yang membaptisnya. Kecuali mereka aku tidak tahu, entahkah ada lagi orang yang aku baptis.” Tentu saja Allah tahu siapa yang dibaptis oleh Paulus, maka artinya Paulus membagikan pemikirannya sendiri sambil diilhami oleh Roh Kudus. Itulah mengapa Konsili Vatikan II dalam Dei Verbum mengajarkan bahwa “dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya–sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka, – semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh” (11)[1].
Lantas, mengapa Allah menggunakan para penulis manusia yang mengatakan bahwa lebih baik tidak pernah dilahirkan?
Setiap kali kita membaca sesuatu yang mengejutkan dalam Alkitab, kita harus selalu mencari tahu konteksnya untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Dalam hal ini, kita harus bertanya, “Mengapa penulis kitab Pengkhotbah mengatakan demikian?” Inilah ayat sebelumnya yang dikutip oleh Piper: “Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan.” Beberapa ayat lenjutannya, penulis mengatakan tentang pekerja yang tidak ditindas, “Ada seorang sendirian, ia tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, dan tidak henti-hentinya ia berlelah-lelah, matanyapun tidak puas dengan kekayaan” (Pengkhotbah 4:8).
Salah satu garis besar yang ada dalam kitab Pengkhotbah adalah hidup tanpa Allah itu tidak ada gunanya. Jika Anda ditindas, maka tidak ada “terang di ujung terowongan” atau tidak ada “akhir dari penderitaan.” Bahkan jika Anda menjalani kehidupan yang layak menurut standar manusia, tidak ada kebaikan yang bisa kita peroleh dengan bekerja meskipun cukup untuk membuat kita puas. Sebaliknya, kebahagiaan tertinggi hanya berasal dari Allah, di mana penulis kitab Pengkhotbah mengakhiri kitab ini dengan tulisan: “Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (Pengkhotbah 12:13-14).
Piper berusaha untuk mencegah tuduhan ini dengan berkata, “Hanya perlu dua detik kudus bagi seseorang untuk menghampiri saya dan memberi tahu bahwa saya sudah mengambil ayat ini di luar konteks. Tapi tahukan Anda? Cukup jelas, dengan mengasumsikan Anda seharusnya memahami Alkitab secara harfiah” Ini sama saja dengan Piper mengatakan, “Orang banyak akan menyatakan bahwa saya mengambil ayat ini di luar konteks, tapi saya sama sekali tidak melakukannya.” Inilah semacam pembelaan yang tidak pantas untuk tanggapan apa pun karena kesembronoannya sudah terbukti dengan sendirinya bagi siapa pun yang mendengarnya.
Ada kritik yang lebih kuat lagi, yaitu mengatakan bahwa Alkitab berkontradiksi dengan dirinya sendiri ketika memberikan nasihat. Contohnya, apakah hikmat membuat kita bahagia? Amsal 3:13 mengatakan demikian, tetapi dalam Pengkhotbah 1:18 mengatakan sebagai penyebab susah hati.
Ketika kita berbicara tentang literatur mengenai hikmat dalam Alkitab atau kitab-kitab seperti Amsal, Mazmur, Sirakh, dan Pengkhotbah, kita harus ingat bahwa kita sedang membaca puisi dan prosa, bukan sebagai petunjuk teknis. Kitab-kitab ini harus ditelusuri berdasarkan konteks aslinya, siapa pembaca yang ditujunya, dan pesan apa yang ditegaskan oleh masing-masing penulis melalui naskahnya.
Misalnya, salah satu tema dalam kitab Amsal adalah kebahagiaan berasal dari hikmat, dan permulaan hikmat adalah penghormatan yang sehat kepada Allah yaitu takut akan Tuhan (Amsal 1:7). Orang bijak akan menjalani kehidupan yang bahagia karena ia menghormati kehendak Allah dan tidak menjatuhkan diri mereka dalam kebiasaan yang merusak seperti penyalahgunaan alkohol, kesombongan, dan pergaulan bebas.
Di sisi lain, salah satu pelajaran yang bisa kita petik dalam kitab Pengkhotbah adalah ketika kita menjadi seorang yang lebih bijaksana (berhikmat), kita berhenti menjadi menjadi orang yang tidak tahu akan kebahagiaan. Kita melihat dengan lebih jelas kedua aspek kehidupan baik sisi positif dan sisi negatifnya, serta kekurangan dalam diri kita sendiri. Maka itu tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengejar hikmat. Tapi artinya mengejar hikmat itu tidak mudah. Dalam hal kehidupan yang bijaksana, Amsal dan Pengkhotbah keduanya benar jika dibaca dalam konteks yang tepat. Seperti yang dikatakan seorang filsuf Katolik yang bernama Peter Kreeft:
Seringkali Amsal tampak saling bertentangan padahal sebenarnya tidak demikian, jika merujuk pada situasi yang berbeda. Ayat-ayat itu tidak universal seperti yang kelihatannya, dan dua proporsi yang tidak universal itu tidak saling bertentangan. “Di luar jangkauan penglihatan, di luar jangkauan pemikiran” itu benar dalam hubungan-hubungan yang lemah, “ketidakhadiran membuat hati semakin dekat” adalah benar untuk suatu hubungan yang kuat (Socratic Logic, 173).
Singkatnya, literatur mengenai hikmat bukanlah kumpulan aksioma yang bersifat universal. Tapi merupakan kumpulan prosa yang memberikan pengajaran bagi kita, melalui berbagai tema dan gaya penulisan, bagaimana kita menemukan kebahagiaan dengan hidup sesuai kehendak Allah. Kita tidak dijamin hidup bahagia, tapi menjalani hidup dalam kekudusan, kita bisa menemukan makna bahkan dalam penderitaan. Seperti yang dikatakan dalam ayat favorit saya dalam Alkitab: “Segala-galanya yang menimpa dirimu terimalah saja, dan hendaklah sabar dalam segala perubahan kehinaanmu. Sebab emas diuji di dalam api, tetapi orang yang kepadanya Tuhan berkenan dalam kancah penghinaan. Percayalah pada Tuhan maka Iapun menghiraukan dikau, ratakanlah jalanmu dan berharaplah kepada-Nya” (Sirakh 2:4-6).
Catatan kaki:
[1] Dei Verbum (Sabda Allah): Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. 2011
Posted on 24 April 2021, in Apologetika, Kitab Suci and tagged Amsal, Dei Verbum, Kitab Suci, Pengkhotbah, Peter Kreeft, Trent Horn. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0