Makna Tersembunyi Dupa
Oleh Matt Fradd

Incense Burning (Sumber: pintswithaquinas.com)
Dupa punya sejarah panjang dalam liturgi Katolik. Seperti banyak aspek ibadah lainnya, dupa berakar dari liturgi Yahudi dalam Perjanjian Lama:
“Dan ia [Harun, saudara Musa] harus mengambil perbaraan berisi penuh bara api dari atas mezbah yang di hadapan TUHAN, serta serangkup penuh ukupan dari wangi-wangian yang digiling sampai halus, lalu membawanya masuk ke belakang tabir. Kemudian ia harus meletakkan ukupan itu di atas api yang di hadapan TUHAN, sehingga asap ukupan itu menutupi tutup pendamaian yang di atas hukum Allah” (Imamat 16:12-13)
Umat Katolik modern punya pendapat berbeda tentang dupa. Umat Katolik tradisional umumnya menyukainya. Sedangkan beberapa umat modern tertentu mengeluh tentang “bau dan lonceng.” “Bau” sebagian besar mengacu pada dupa – kecuali jika Anda kebetulan berada di ruang tangis yang dikelilingi banyak bayi.
Penggunaan dupa dalam liturgi penuh dengan simbolisme. Kita akan fokus pada salah satu makna yang kurang dikenal dan yang paling indah.
Mempersembahkan hati kita yang terluka kepada Tuhan
Beberapa jenis dupa berasal dari “darah” pohon. Apa maksudnya? Dengan melukai pohon secara berulang-ulang, getah yang dihasilkan akan membentuk butiran keras yang digunakan untuk dupa.
Kita bagaikan pohon yang terluka. Luka-luka kita telah mengeras, mati, dan tidak berguna.
Dalam konteks liturgi, membakar dupa melambangkan kita sedang membuka hati kita yang terluka kepada Tuhan. Imam menaruh dupa di atas bara api, yang melambangkan amal kasih ilahi. Luka-luka kita hanya dapat disembuhkan jika luka-luka itu dipersembahkan kepada hati Allah yang penuh belas kasih. Sama seperti dupa yang terbakar melepaskan aroma harum ketika bersentuhan dengan bara api, Tuhan mengubah luka-luka kita menjadi sesuatu yang indah.
Ingatlah bahwa Kristus mempersembahkan penderitaan-Nya di kayu salib sebagai tindakan penyembahan. Misa – representasi dari pengorbanan yang sama ini – menggabungkan luka-luka kita ke dalam luka-luka Kristus untuk dipersembahkan kepada Bapa.
Mendebarkan hati sang mempelai laki-laki
Dalam Kidung Agung 4:9 tertulis, “Engkau mendebarkan hatiku, dinda, pengantinku, engkau mendebarkan hati dengan satu kejapan mata, dengan seuntai kalung dari perhiasan lehermu.”
Dalam bahasa Ibrani kuno, frasa “mendebarkan hatiku” digunakan dalam literatur di luar Alkitab untuk mengartikan pengupasan kulit kayu dari sebuah pohon. Kita kembali ke pohon yang terluka! Kulit pohon adalah lapisan luar yang keras dari pohon yang melindunginya. Pengupasan kulit pohon membuatnya rentan. Pengupasan kulit pohon akan memperlihatkan lapisan lembut di bawah kulit pohon, tempat getah mengalir.
Kembali ke Kidung Agung, hati mempelai laki-laki dibuat rentan oleh mempelai perempuan. Mempelai laki-laki meruntuhkan temboknya. Mempelai laki-laki membiarkan lapisan hatinya yang lembut terbuka – terluka oleh kecantikan, penderitaan, dan kerentanan mempelai perempuan. Hal ini membangkitkan hasratnya untuk menyelamatkan sang mempelai perempuan.
Kristus telah menyatakan diri-Nya sebagai Mempelai Laki-laki dari Gereja, yang adalah mempelai perempuan-Nya. Ia melihat keindahan mempelai perempuan-Nya dan juga luka-lukanya. Kecantikannya mendebarkan hati-Nya dan Ia datang untuk menyelamatkannya.
Inilah hal-hal yang begitu indah untuk direnungkan. Semoga ketika kita melihat asap dan mencium bau dupa, kita hati kita semakin tersentuh dengan hal-hal indah ini.
Sumber: “The Hidden Meaning of Incense”
Posted on 11 February 2023, in Ekaristi and tagged Dupa, Ekaristi, Liturgi, Misa Kudus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0