Produser TV Protestan jadi Katolik – Kisah Andrea Garrett

Andrea Garrett (Sumber: chnetwork.org)

Saya dibesarkan di New England di sebuah keluarga yang beragama Kristen. Ayah saya adalah mantan Katolik yang menikahi ibu saya, mantan Methodist.

Pada mulanya, Tuhan …

Ketika mereka mulai dikaruniai anak, orang tua saya membaptis kami di Gereja Methodist. Mereka berpikir bahwa kami harus memperoleh pendidikan dasar Kristiani, sehingga ketika kami pindah ke kota yang tidak ada jemaat Methodist, mereka membawa kami ke gereja Protestan arus utama terdekat, yaitu United Church of Christ. Mereka mendaftarkan kami ke Sekolah Minggu dan mengantar kami pada hari Minggu pagi, sementara itu mereka sendiri jarang menghadiri kebaktian di gereja.

Ketika saya berusia 14 tahun, kelompok remaja gereja kami diundang untuk menghadiri perkemahan musim panas Kristen selama seminggu yang diselenggarakan oleh orang-orang Kristen Fundamentalis. Di sana mereka berbicara tentang relasi pribadi dengan Yesus Kristus dan tentang mendoakan “doa orang berdosa,” sesuatu yang belum pernah saya dengar. Suatu malam, menjelang akhir pekan, mereka mengadakan kebaktian di mana pesan Injil dijelaskan secara sederhana, dan mereka yang ingin membuat pengakuan iman diundang untuk maju ke depan altar dan berdoa untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi dan supaya “dilahirkan kembali.” Saya adalah salah satu peserta pertama yang berdiri dan berjalan ke depan kapel di mana saya memohon kepada Tuhan supaya mengampuni dosa-dosa saya dan mengundang Yesus ke dalam hati saya.

Beberapa teman saya juga maju ke depan, dan kami semua tahu bahwa ada sesuatu yang penting telah terjadi. Di gereja asal kami, istilah “dilahirkan kembali” dan berdoa untuk menerima Kristus ke dalam hati kami adalah konsep yang asing. Namun, orang tua saya menganggap hal ini adalah sebuah fase dan memperingatkan supaya saya tidak terlalu berlebihan dengan semangat religius yang baru saya temukan ini. Bahkan, pendeta di gereja kami tidak antusias, dan mengatakan kepada saya dan teman-teman saya bahwa ia tidak setuju dengan semua “hal-hal tentang dilahirkan kembali.” Ia menganjurkan kami supaya tetap beribadah di gereja dan mengikuti persekutuan pemuda di gereja kami, dan begitulah akhirnya.

Itu adalah pertama kalinya saya sadar bahwa ada perbedaan besar dalam apa yang diyakini dan diajarkan oleh berbagai denominasi Kristen. Hal itu membingungkan, tetapi seperti yang akan saya lakukan selama lebih dari 30 tahun ke depan, saya tidak terlalu memikirkan perbedaan-perbedaan itu.

Meskipun sambutan di rumah tidak begitu hangat, sebuah benih telah ditanamkan, dan saya ingin tahu lebih banyak tentang iman yang menyelamatkan yang sudah saya terima. Saya meminta Alkitab kepada orang tua saya, dan pada hari Natal mereka memberikan saya The Living Bible, yaitu terjemahan Alkitab dalam bentuk parafrase yang mudah dimengerti. Saya membacanya setiap hari dan berdoa agar Tuhan menuntun saya kepada orang-orang Kristen yang mempercayai hal-hal yang telah diajarkan kepada saya di perkemahan musim panas.

Beberapa tahun kemudian doa saya dikabulkan, ketika saya melanjutkan kuliah dan terjun ke dalam pelayanan kampus. Para mahasiswa di sana berasal dari berbagai denominasi gereja, tetapi benang merahnya adalah bahwa setiap orang memiliki suatu pengalaman ketika mereka bertobat dari dosa-dosa mereka, menerima Kristus ke dalam hidup mereka, dan menjadi orang percaya yang dilahirkan kembali.

Selama beberapa tahun berikutnya, iman saya bertumbuh dan berkembang. Pada awal tahun 1980-an, ketika televisi Kristen mulai marak di seluruh jaringan kabel dan satelit di seluruh negeri, saya mengunjungi sepupu saya dari Virginia yang bekerja di Christian Broadcasting Network (CBN). Ia mendukung saya untuk melamar pekerjaan di sana. Saya melakukannya, dan beberapa bulan kemudian, saya diterima. Karena saya tidak punya latar belakang di bidang televisi, pekerjaan pertama saya adalah sebagai asisten administrasi. Namun, dalam beberapa tahun, saya beralih menjadi periset, penulis, dan akhirnya menjadi produser.

Dari New England ke Bible Belt

Pindah dari kampung halaman saya yang kecil di Massachusetts ke Virginia merupakan pergeseran budaya yang sangat besar. Ada tiga gereja di kota tempat saya dibesarkan: Gereja Katolik, United Church of Christ, dan Gereja Unitarian. Di kota baru saya, Virginia Beach, ada ratusan gereja yang bisa dipilih.

CBN adalah sebuah pelayanan non-denominasi, dan para stafnya terdiri dari orang-orang Kristen dari berbagai tradisi Kristen. Beberapa tahun pertama saya di pelayanan tersebut dihabiskan dengan berpindah-pindah gereja, jarang sekali saya menetap di satu gereja selama lebih dari satu tahun. Ada masa-masa ketika saya tidak pergi ke gereja sama sekali, karena saya percaya bahwa saya dapat menjalankan iman saya dengan baik sendirian. Saya kemudian membenarkan ketidakhadiran saya di gereja dengan mengatakan pada diri saya sendiri bahwa dengan bekerja di sebuah pelayanan yang mengadakan kebaktian kecil selama 30 menit setiap hari bagi para stafnya, itu sudah cukup. Apakah saya benar-benar perlu menghadiri kebaktian di gereja setiap hari Minggu?

Kebiasaan saya berpindah-pindah gereja dan tidak rutin beribadah di gereja berakhir ketika saya bertemu dengan calon suami saya, Bill Garrett. Bill dibesarkan sebagai seorang Baptis tetapi mirip seperti saya, ia tidak lagi memiliki kesetiaan pada denominasi tertentu. Setelah kami menikah, kami pindah ke sebuah kota yang lebih kecil di pinggiran daerah Hampton Roads dan menetap di sebuah Gereja Presbiterian Reformed. Untuk pertama kalinya selama lebih dari sepuluh tahun saya tinggal di Virginia, saya bergabung dengan gereja ini bersama suami saya, dan kami tinggal di sana selama hampir 20 tahun.

Keretakan dalam Dasar Iman

Dasar iman Kristen Evangelikal saya mulai retak pada awal tahun 2000-an. Gereja Presbiterian Reformed yang kami ikuti mengajarkan kami untuk memiliki relasi pribadi dengan Yesus Kristus. Namun, gereja ini juga mengajarkan hal-hal yang berbeda dengan apa yang saya pelajari di gereja-gereja evangelikal yang pernah saya ikuti. Mereka semua percaya pada sola Scriptura – bahwa hanya Alkitab saja yang menjadi sumber otoritas bagi iman dan perilaku orang Kristen. Tetapi bagaimana mungkin Alkitab ditafsirkan berbeda dari satu denominasi ke denominasi lainnya. Denominasi Presbiterian kami mengajarkan doktrin Calvinis, yang (di antaranya) menegaskan bahwa Allah telah menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan dan sebagian lainnya untuk dibinasakan.

Doktrin predestinasi, yang diajarkan oleh kaum Calvinis, tidak pernah cocok dengan saya, dan seperti doktrin-doktrin Protestan lainnya yang tidak saya pahami sepenuhnya atau tidak saya terima sepenuhnya, saya hanya mengabaikannya. Saya berkata pada diri saya sendiri bahwa ada begitu banyak hal baik tentang gereja saya – khotbahnya luar biasa, musiknya kontemporer, dan saya mendapatkan teman-teman yang baik serta mempunyai persekutuan Kristen yang luar biasa – sehingga jika ada beberapa doktrin yang saya tidak sepakat atau sulit untuk saya pahami, maka tidak menjadi masalah. Saya pikir perbedaan-perbedaan ini juga tidak akan menjadi masalah bagi Tuhan, karena orang-orang Kristen yang tulus hati juga bisa berbeda dalam banyak hal. Tentunya hal itu artinya perbedaan-perbedaan itu tidak terlalu penting bagi keselamatan seseorang. Karena kami semua sepakat tentang inti ajaran iman, maka tidak jadi masalah.

Tetapi seiring berjalannya waktu, perdebatan semakin sengit. Daftar doktrin yang tidak dapat disetujui oleh orang-orang Kristen sangat panjang dan terus bertambah, dan hal itu membuat saya gelisah. Mengapa ada sekelompok orang Kristen yang percaya bahwa bayi perlu dibaptis, sementara yang lain mengatakan bahwa baptisan harus dilakukan dengan cara dibenamkan seluruh badan ketika seseorang menyatakan iman kepada Kristus, biasanya sekitar usia 12 tahun atau lebih?

Ada juga perbedaan dalam hal apa yang dipercayai oleh orang-orang Kristen tentang apa yang dicapai melalui pembaptisan. Apakah baptisan merupakan sakramen yang menghapus Dosa Asal? Apakah baptisan menyelamatkan jiwa seseorang? Ataukah baptisan hanyalah sebuah tanda lahiriah bahwa dosa-dosa seseorang sudah dihapuskan?

Kegilaan Megachurch

Tren megachurch (gereja raksasa) meledak pada tahun 2000-an. Menurut Lifeway Research, pada tahun 2020 terdapat sekitar 1.750 megachurch di Amerika Serikat dengan jumlah jemaat yang hadir di akhir pekan mencapai 2.000 orang atau lebih. Sebagian besar gereja-gereja ini adalah gereja-gereja independen dan non-denominasi. Selama bertahun-tahun, saya menyaksikan pertumbuhan megachurch dengan perasaan kagum bercampur gelisah. Beberapa adalah jemaat yang “ramah bagi para pencari Tuhan” yang meniadakan salib dan mengganti bangku tradisional dengan tempat duduk stadion supaya Kekristenan terasa lebih mudah diakses dan lebih menarik. Beberapa megachurch lainnya berusaha menarik perhatian budaya keinginan jemaat, dengan menggembar-gemborkan gaya penyembahan ala band rock, kedai kopi di lobi, atau program-program kaum muda untuk menarik anggota-anggota baru.

Megachurch ini cenderung dikendalikan oleh kepribadian, dipimpin oleh pendeta-pendeta karismatik yang menjadi selebriti. Pesan-pesan yang mereka khotbahkan tampak semakin dangkal dengan doktrin-doktrin yang tidak jelas. Gereja-gereja ini dijalankan seperti bisnis – suatu institusi yang digerakkan oleh selera jemaat dengan sedikit pertanggungjawaban moral, keuangan, atau doktrin bagi para pemimpinnya.

Banyak teman dan kolega yang beribadah di salah satu gereja besar non-denominasi ini. Ketika kami berdiskusi tentang keyakinan inti dari iman Kristen, saya menyadari bahwa perbedaan doktrin semakin lebar. Di tempat kerja saya yang berbasis Kristen, kami mulai menganut Kekristenan yang “derajatnya paling rendah.” Karena ada begitu banyak teologi berbeda yang beredar, maka kami harus “sepakat dengan ketidaksepakatan” pada doktrin yang terus bertambah.

Penyembahan atau Manipulasi Emosi?

Gereja tempat kami beribadah selama hampir dua dekade memiliki format dasar yang mencakup pengumuman, doa pembuka, 20 menit “pujian dan penyembahan,” diikuti dengan khotbah selama 45 hingga 50 menit, doa penutup, dan lagu penyembahan terakhir. Sebagian besar gereja yang saya datangi mengikuti format dasar yang sama.

Saya ingat para pemimpin pujian yang akan mendorong jemaat untuk “masuk ke dalam” hadirat Tuhan. Penyembahan, dalam konteks gereja Protestan kontemporer, berarti menyanyikan serangkaian lagu-lagu Kristen kontemporer, biasanya dimulai dengan lagu yang bersemangat dan riang dan diakhiri dengan lagu yang pelan dan menggetarkan hati.

Saya tidak tahu apakah hal seperti ini disengaja atau tidak, tetapi lama-kelamaan, hal ini mulai terasa seperti manipulasi emosi dengan cara yang paling buruk. Beberapa hari Minggu saya merasakan emosi dan musik membuat saya merasa lebih dekat dengan Tuhan. Namun, di lain waktu, saya tidak merasakan apa-apa. Saya bertanya-tanya mengapa saya tidak dapat “masuk” ke dalam hadirat Tuhan secara konsisten, serta “merasa” diampuni dan dipulihkan secara rohani.

Saya menyadari bahwa sebagian besar kehidupan Kristen saya sudah dibangun di atas dasar emosi. Ketika perasaan itu hadir, sepertinya Tuhan hadir. Ketika perasaan itu tidak ada, sepertinya Tuhan juga tidak ada di sana.

Tertarik dengan Liturgi

Pada tahun 2015, saya mulai menyelidiki gereja-gereja liturgis. Saya tertarik dengan ritme dan keindahan dari bentuk-bentuk penyembahan Kristen tradisional dan kuno sehingga saya memutuskan untuk mengunjungi sebuah Gereja Anglikan tradisional yang menggunakan Buku Doa Umum versi lama, yang diterbitkan untuk Gereja Episkopal di Amerika pada tahun 1928. Doa-doanya sangat indah, dan saya jatuh cinta dengan liturgi Anglikan. Pada saat itu, saya tidak menyadari betapa dekatnya liturgi Anglikan dengan liturgi Katolik. Sementara itu, perlahan-lahan saya semakin tertarik untuk mendalami apa yang dipercayai oleh umat Katolik, tetapi untuk menjadi seorang Katolik masih belum terpikirkan. Saya adalah seorang penganut Evangelikal sepanjang hidup saya, dan meskipun saya tidak menganggap diri saya sebagai anti-Katolik, tapi Gereja Katolik terasa sangat asing. Saya masih percaya dengan apa yang sudah diajarkan kepada saya selama bertahun-tahun: bahwa agama Katolik penuh dengan tradisi buatan manusia dan bahwa sebagian besar umat Katolik mungkin tidak diselamatkan. Dan saat fondasi Evangelikal saya mulai runtuh, Roma masih menjadi jembatan yang terlalu jauh.

Selain itu, Bill, suami saya, juga perlu menjadi perhatian. Ia sudah tidak tertarik lagi dengan gereja Presbiterian tempat kami beribadah pada saat saya memutuskan untuk pindah gereja. Namun, alasan Bill jauh berbeda dengan alasan saya. Sepanjang perkawinan kami, Bill sudah beribadah bersama saya di gereja dan pernah mengatakan dan melakukan semua hal yang “benar” sebagai seorang Kristen. Namun saya menyadari bahwa komitmennya setengah hati, dan ketika saya mulai bergumul dengan Kristen Evangelikal, mudah baginya untuk mencari alasan untuk tidak beribadah ke gereja.

Ketika saya menemukan tempat bernaung dalam Anglikanisme tradisional, Bill turut berbahagia dan berjanji tidak akan pernah menghalangi perjalanan rohani saya. Gereja saya adalah bagian dari persekutuan Anglikan kecil yang disebut Gereja Katolik Anglikan (Anglican Catholic Church/ACC). Bill memberitahu saya bahwa meskipun ia mendukung saya di gereja mana pun yang saya mau, ia mengatakan dengan tegas bahwa saya tidak boleh mengajaknya pergi bersama saya ke gereja karena ia berkata, “Saya tidak akan pernah masuk ke gereja yang ada kata ‘Katolik’ dalam namanya.”

Saya dan Bill tidak pernah dikaruniai anak, jadi tidak ada orang lain dalam keluarga kami yang perlu diperhatikan. Jika Bill mendukung penjelajahan rohani saya, dan itu sudah cukup bagus bagi saya.

Tahun Menderita Kanker

Pada awal tahun 2017, saya didiagnosis menderita kanker payudara yang invasif dan agresif. Perawatan dilakukan selama berbulan-bulan dengan kemoterapi, pembedahan, dan radiasi. Di tengah-tengah “tahun kanker” saya, saya dan Bill memutuskan untuk melanjutkan mimpi kami yang telah kami rencanakan sejak ia pensiun setahun sebelumnya. Kami ingin membeli sebuah RV dan menjelajahi negara ini. Diagnosis kanker menjadikan hidup yang singkat ini menjadi sangat fokus, jadi kami berpikir, mengapa harus menundanya? Pada pertengahan Juni, kami memiliki mobil rumah baru yang mengkilap di halaman rumah kami.

Beberapa minggu kemudian, Bill bertanya kepada saya apakah pastor di gereja saya akan datang ke rumah kami dan memberkati RV tersebut. Saya terkejut dengan permintaan itu, tetapi saya berkata bahwa saya akan menanyakannya dan saya yakin ia akan mengiyakan.

Beberapa minggu kemudian, Romo Rob Whitaker datang ke rumah kami dan mendoakan RV kami, lengkap dengan dupa dan air suci. Ia juga singgah untuk makan siang dan berkunjung, di mana ia dan Bill berbicara panjang lebar tentang iman Anglikan.

Yang membuat saya terkejut, beberapa hari Minggu kemudian, Bill berkata kepada saya bahwa ia ingin pergi ke gereja bersama saya. Meskipun saya senang ia ikut dengan saya, saya benar-benar berpikir bahwa ia tidak akan menyukainya, dan hal itu akan memperkuat prasangkanya yang sudah terbentuk sebelumnya terhadap ibadah liturgi.

Bayangkan betapa terkejutnya saya, ketika kami meninggalkan gereja dan ia berkata bahwa ia menyukainya. Ia datang lagi minggu berikutnya, dan minggu berikutnya, dan tiba-tiba ia hadir setiap minggu. Bill adalah tipe pria yang benar-benar meneliti hal-hal yang diminatinya, jadi ia mulai mempelajari sejarah Gereja kuno. Penelitiannya membuatnya mempelajari Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik, serta Gereja Anglikan.

Perubahan Teologi

Tidak seperti saya yang merangkak perlahan untuk memahami kebenaran-kebenaran teologis tertentu, Bill memahami ajaran-ajaran dasar Katolik dengan cepat. Yang pertama adalah pemahamannya tentang Ekaristi. Ia dengan cepat dan antusias menerima kepercayaan akan Kehadiran Nyata Kristus dan apa artinya bagi dirinya secara pribadi dan bagi Gereja.

Domino teologis besar kedua yang terjadi adalah pemahamannya tentang baptisan. Bill dibaptis pada usia 26 tahun setelah membuat pengakuan iman kepada Yesus Kristus sebagai seorang Baptis. Ia menganggap baptisan hanya sebagai simbol, sesuatu yang dilakukan sebagai tindakan ketaatan setelah beriman. Gereja Presbiterian Reformed kami membaptis bayi, sesuatu yang tidak pernah dipahami atau didukung oleh Bill, tetapi umat Presbiterian tidak percaya pada kelahiran kembali melalui baptisan atau baptisan membersihkan bayi dari noda Dosa Asal. Melalui baptisan, umat Presbiterian menerima anak tersebut ke dalam gereja untuk menjadi “Anak Perjanjian.” Dalam tradisi Reformed, baptisan menggantikan sunat sebagai tanda iman dan perjanjian dengan Allah.

Namun, ketika kami belajar bersama, kami berdua menyimpulkan bahwa baptisan memang membersihkan kita dari Dosa Asal, dan baptisan menyelamatkan kita.

Dalam waktu enam bulan setelah beribadah di Gereja Katolik Anglikan bersama saya, Bill mendorong kami berdua untuk disahkan di ACC. Pada bulan Juni 2018, kami berdua bergabung di gereja tersebut.

Kami Bukan Protestan – Tapi Apakah Kami Katolik?

Sementara saya sudah banyak berubah selama bertahun-tahun, saya melihat perubahan yang lebih besar lagi pada diri Bill. Ia menjadi orang yang berbeda setelah menjadi umat Gereja Katolik Anglikan. Kemudian ia mengatakan kepada saya bahwa peristiwa tersebut merupakan pengalaman pertobatan yang sesungguhnya – bahwa ia tidak pernah benar-benar mengenal Kristus seperti yang ia rasakan saat ini. Saya melihatnya sebagai sebuah keajaiban. Sementara Bill merasa puas dengan tradisi Anglikan, saya masih merasa tertarik dengan Roma.

Meskipun kami berdua tidak lagi menganggap diri kami sebagai orang Protestan, apakah kami sungguh-sungguh Katolik? Jawabannya rumit, namun pada saat yang sama juga sederhana. Meskipun kami menganut banyak praktik-praktik Katolik, kami bukanlah bagian dari Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik dalam Pengakuan Iman Nikea. Saya terus merasakan tarikan ke arah Gereja Katolik dan percaya di dalam hati bahwa, pada suatu saat, saya akan menjadi Katolik. Tetapi karena Bill merasa puas dengan menjadi seorang Anglikan, sepertinya sekarang bukan waktunya.

COVID Mengubah Segalanya

Jemaat ACC kami sangatlah kecil, tetapi ketika COVID mengakibatkan penutupan ibadah secara langsung pada awal tahun 2020, hal itu sangat menghancurkan. Selama beberapa minggu, kami bertemu secara daring melalui Zoom. Kemudian, secara bertahap, kami beralih ke pertemuan di rumah-rumah dan melakukan ibadah live streaming di Facebook. Namun, pada akhir tahun 2020, jumlah umat kami menyusut menjadi hanya segelintir orang yang rutin beribadah, dan kami merasa sangat khawatir tentang masa depan gereja kami.

Pada bulan September 2020, saya memutuskan (dengan persetujuan Bill) untuk mendaftar di kelas RCIA (Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.). Saya melakukannya karena dua alasan. Meskipun saya sudah melakukan banyak studi pribadi tentang Gereja Katolik selama beberapa tahun, saya ingin mengikuti kelas untuk mendalami iman secara lebih penuh dan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Alasan lainnya yaitu saya tidak dapat melepaskan diri dari kegelisahan bahwa segala sesuatunya akan segera berubah, dan mungkin saja jemaat Anglikan kami akan terpaksa bubar. Saya tahu bahwa mengikuti kelas RCIA tidak mewajibkan saya untuk menjadi anggota Gereja di akhir prosesnya, tetapi saya ingin memastikan bahwa saya siap jika Tuhan menuntun saya ke arah itu. Walaupun Bill tidak ingin ikut dengan saya di RCIA, ia juga mulai melihat Gereja Katolik dengan lebih serius. Saya sudah menyelesaikan sebagian besar keberatan saya sebelumnya terhadap beberapa kepercayaan Katolik, tetapi Bill masih memiliki beberapa keberatan. Seperti kebanyakan orang Protestan yang memandang Gereja Katolik, isu-isu kepausan dan peran Maria serta orang-orang kudus merupakan penghalang terbesar bagi Bill.

Pada awal Maret 2021, saya harus menunda RCIA. Ibu Bill yang berusia 90 tahun, yang saat itu tinggal bersama kami dalam kondisi kesehatan yang menurun, jatuh sakit, dan kami memulai perawatan hospis untuknya di rumah kami. Pada tanggal 21 Maret, dia meninggal dunia. Pada saat yang sama ketika kami merawat ibunya, Bill mulai merasa sakit. Gejalanya tidak jelas, dan ia menganggapnya sebagai akibat dari stres karena merawat ibunya, jadwal tidur dan makan yang tidak teratur, alergi musiman, dan sejumlah penyebab sepele lainnya. Namun, pada pertengahan Mei, jelas terlihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Perjalanan ke UGD berubah menjadi rawat inap di rumah sakit untuk menjalani tes dan diagnosis kanker stadium IV.

Kami terkejut. Disodori pilihan, dengan cepat menjadi jelas bahwa penyakit ini tidak akan berakhir dengan baik, kecuali ada keajaiban. Kankernya sudah stadium akhir, dan para dokter yang berkonsultasi dengan kami mengatakan bahwa pengobatan pada tahap ini hanya akan membuat Bill menderita, dan mungkin tidak akan memperpanjang hidupnya, bahkan mungkin tidak akan bertahan lama.

Kami memilih untuk mempercayai Tuhan, membawa Bill pulang, dan menjalani perawatan hospis. Dalam sebuah kejadian yang tidak terduga, tim hospis yang sama yang pernah merawat ibu mertua saya kurang dari tiga bulan sebelumnya, kini mengepalai perawatan untuk suami tercinta.

“Damai dan Membahagiakan”

Waktu Bill dalam perawatan hospis sangat singkat – hanya sepuluh hari – tetapi sangat mendalam. Ketika berita tentang kondisinya menyebar, teman-teman, para klerus, tetangga, keluarga, dan mantan kolega datang ke rumah kami untuk berdoa bersama Bill, menyanyikan lagu-lagu rohani untuknya, membacakan Alkitab untuknya, dan mengucapkan selamat tinggal. Bill dalam keadaan tenang dan dapat mengunjungi semua orang yang datang menjenguknya, karena ia tidak merasa kesakitan dan oleh karena itu ia menolak obat apa pun yang bisa membuatnya tidak bisa bertemu dengan banyak pengunjungnya.

Pastor Anglikan kami datang dan memberinya ritual terakhir. Saya tidak sepenuhnya yakin, tetapi saya percaya bahwa Komuni Kudus adalah makanan dan minuman terakhir yang ia konsumsi di dunia. Dua hari sebelum ia meninggal, Bill menatap saya dan berkata, “Saya tidak pernah menyangka bahwa kematiannya akan begitu damai dan membahagiakan.” Ia meninggal dalam pelukan saya dengan damai dan penuh iman pada tanggal 3 Juni 2021.

Pemberian dari Perjalanan Hidup

Ketika orang yang kita cintai meninggal dalam persahabatan dengan Tuhan, Tuhan memberi kita pemberian, jika kita mampu menyadarinya melalui kesedihan kita. Tuhan tidak memberi kita banyak waktu sejak diagnosis Bill hingga kematiannya, tetapi Ia memberi kami waktu yang cukup, dan itulah sebuah karunia. Ada waktu untuk mengatakan hal-hal yang perlu dikatakan, untuk menyampaikan harapan, dan yang terpenting, waktu bagi Bill untuk siap diantar ke hadirat-Nya. Bill meninggal dengan penuh iman, percaya pada kerahiman, kemurahan, dan kebaikan Tuhan. Katekismus Gereja Katolik menggambarkan hal ini sebagai “kematian yang membahagiakan.” Dan memang benar, semua itu terjadi karena kedamaian.

Saya Menjadi Anggota Gereja – dan Pemberian Terakhir

Jelaslah bahwa pandemi COVID sudah mengubah jemaat Anglikan kami secara permanen. Hal itu, ditambah dengan perubahan yang terjadi dalam hidup saya sendiri, meyakinkan saya bahwa inilah saat bagi saya untuk bergabung dengan Gereja Katolik, dan saya melakukannya pada tanggal 28 Agustus 2021. Dengan jujur saya dapat mengatakan bahwa saya menerima dan membenarkan ajaran Gereja, jadi saya tidak ragu-ragu untuk menjadi seorang Katolik. Namun ada beberapa hal yang masih belum saya pahami sepenuhnya. Salah satunya adalah Api Penyucian.

Saya sudah membaca beberapa buku tentang Api Penyucian, dan memang masuk akal bahwa Tuhan mungkin menghendaki pembersihan lebih lanjut atas jiwa kita dalam suatu keadaan peralihan, tetapi saya masih bergumul untuk mengerti konsep yang begitu asing ini. Setelah Bill tiada, saya berdoa – memohon supaya Tuhan menolong saya. Apakah saat ini Bill sedang mengalami Api Penyucian? Apakah ia sepenuhnya sudah berada di hadirat Tuhan? Saya tidak tahu.

Beberapa bulan setelah saya menjadi anggota Gereja, saya terlibat dalam sebuah perbincangan melalui surel dengan seorang rekan kerja, ia seorang Katolik KTP. Ia tinggal dan bekerja di kota lain, meskipun kami pernah bertemu beberapa kali saat bekerja bersama, ia belum pernah bertemu dengan Bill dan tidak tahu apa-apa tentang perjalanan rohani kami.

Di akhir surelnya, ia menanyakan kabar saya dan mengatakan bahwa ia berdoa untuk saya dan Bill setiap hari. Saya membalas surelnya dan menyindirnya, “Betapa Katoliknya kamu dengan mendoakan orang yang sudah meninggal!” Kemudian saya menjelaskan bahwa beberapa bulan sebelumnya saya sudah pindah keyakinan dan berterima kasih bahwa ia sudah berdoa untuk Bill – sesuatu yang juga saya lakukan.

Ia membalas surat saya, mengucapkan selamat kepada saya karena sudah menjadi anggota Gereja dan mengatakan bahwa ia tidak berencana untuk memberitahukan hal ini kepada saya, karena ia tidak tahu bagaimana tanggapan saya. Ia berkata bahwa setiap hari ia berdoa Rosario, dan ketika ia berdoa, ia berdoa supaya ayah dan kakek-neneknya, yang semuanya sudah meninggal dunia, dapat beroleh kebahagiaan surgawi. Ia juga mulai berdoa untuk Bill saat berdoa Rosario. Ia mengatakan bahwa, suatu hari, ketika ia berdoa untuk Bill, ia memiliki perasaan yang kuat, sebuah “firman” dari Tuhan, ia menggunakan istilah kaum Evangelis, bahwa “Bill sudah ada di sana.” Itulah hadiah terakhir yang memberikan kedamaian bagi saya.

Akhir dan Awal yang Baru

Perjalanan pulang saya sangat panjang dan berliku-liku. Setelah bertahun-tahun mencari, bertanya, dan berpindah-pindah gereja, akhirnya saya bisa berkata bahwa saya sudah pulang. Saya bersyukur atas latar belakang Evangelikal saya, yang memperkenalkan saya kepada Kristus, menanamkan semangat untuk mempelajari Alkitab, dan menanamkan kasih kepada Tuhan di dalam hati saya. Saya juga bersyukur bahwa, ketika saya mulai mencari lebih dalam lagi, saya menemukan Gereja Katolik.

 

Andrea Garrett berasal dari paroki St. Mary of the Presentation di Suffolk, Virginia, di sana dia menjadi anggota aktif Klub Wanita dan menjadi sukarelawan dalam pelayanan RCIA. Sejak menjadi Katolik, dia mengembangkan minat dalam apologetika Katolik dan berharap dapat menggunakan bakatnya sebagai penulis dan pembicara publik untuk membantu orang lain menemukan jalan pulang ke Gereja Katolik.

 

Sumber: “From CBN Producer to Catholic Convert”

Advertisement

Posted on 3 February 2023, in Kisah Iman and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: