Dari Master Reiki ke Katolik – Kisah Shannara Johnson

Shannara Johnson (Sumber: chnetwork.org)
Saya lahir dan dibesarkan di Jerman pada pertengahan tahun 1960-an. Keluarga angkat saya beragama Protestan, tetapi tidak terlalu religius. Kami adalah Kristen Napas (Natal dan Paskah saja), dan di rumah kami saya tidak ingat pernah berdoa atau membaca Alkitab.
Di Jerman sekuler, semua orang yang saya kenal adalah Protestan atau Katolik, tetapi tidak ada seorang pun yang saya kenal yang benar-benar beriman. Kebanyakan orang patuh membayar pajak gereja bulanan – pajak 10 persen dari gaji – seakan-akan menjadi polis asuransi supaya tidak masuk neraka.
Sebagai anak tunggal, saya cukup dimanjakan, suatu hak istimewa yang harus dibayar mahal ketika saya masuk sekolah dasar. Saya tidak tahu bagaimana cara bergaul dengan anak-anak lain, bagaimana cara bertengkar atau bermain dalam kelompok, dan saya adalah seorang siswa dengan nilai A semua, namun saya tidak memperoleh penghargaan apapun dari teman-teman saya.
Ada empat anak perempuan dari lingkungan saya yang menerima saya dengan ramah ke dalam kelompok mereka, tapi tidak butuh waktu lama bagi saya menyadari kalau saya anak yang tidak berarti bagi mereka. Tahun-tahun berikutnya, saya sering mengalami berbagai perlakuan seperti didorong ke dalam semak belukar, dijatuhkan ke dalam kolam, dilempari bola salju, diolok-olok, dan pada suatu pesta Malam Tahun Baru, saya digantung dengan kaki terikat di luar jendela lantai tiga.
Tak lama setelah ulang tahun kesepuluh saya, Omi (nenek) tercinta saya meninggal dunia, peristiwa yang membuat hidup saya terguncang. Tetapi Tuhan mengulurkan tangan untuk mengangkat saya keluar dari penderitaan saya. Pada musim panas, ada sebuah tenda misi kebangunan rohani yang dibuka di lapangan di seberang jalan, dan saya – yang sedang putus asa untuk mendapatkan rasa dimiliki, dicintai, dan merindukan kedamaian batin – menghabiskan setiap waktu luang di sana. Saya ingat aroma jerami yang hangat, guru-guru sekolah minggu, flip chart dengan cerita-cerita Alkitab bergambar, dan bernyanyi bersama dengan seorang pria berusia dua puluh tahunan yang bermain gitar dan sangat mirip dengan Yesus.
Pada saat misi itu membereskan tenda dan pergi, saya menjadi begitu bersemangat untuk Tuhan. Saya bergabung dengan YMCA Jerman, rutin ke gereja, dan mengikuti pelajaran Alkitab dan retret pemuda. Saya menjadi orang beriman yang sungguh-sungguh sehingga Mama khawatir saya akan berubah menjadi seorang “fanatik.”
Tetapi Iblis, melihat bahwa ia kehilangan diri saya, menarik Ayub pada saya dan mulai melemparkan lebih banyak batu ke jalan hidup saya. Pada usia 12 tahun, saya adalah seorang yang puber lebih awal, yang memperparah intimidasi dari teman-teman sekelas saya, paman/ayah saya mulai melakukan pelecehan seksual terhadap saya. Meskipun saya benci dan takut padanya dan rayuan cabulnya, yang lebih buruk adalah reaksi Mama ketika saya memberanikan diri untuk memberitahukannya tentang hal itu.
Saya membayangkan Mama membela saya, memutuskan semua hubungan dengan paman saya, bahkan mungkin mengajukan tuntutan. Sebaliknya, Mama mendesak saya untuk merahasiakannya: “Jangan bicara dengan siapa pun tentang hal itu. Dan bersikaplah sedikit lebih baik kepada pamanmu; orang-orang sudah tahu bahwa kamu tidak menyukainya.”
Saya merasa dicampakkan dan dikhianati. Praktis dalam semalam, saya berubah menjadi remaja yang suka bertengkar yang sering berdebat dengan orang tuanya. Suatu kali, bahkan saya berkata kepada mereka bahwa saya berharap bahwa mereka tidak akan pernah mengadopsi saya.
Bersamaan dengan kejadian ini, terjadilah krisis iman. Sama seperti Mama, Tuhan juga pura-pura mengasihi saya – lantas mengapa Ia tidak melindungi saya dari semua kepedihan dan penderitaan ini? Mungkin Tuhan sama palsunya dengan orang lain. Sungguh tidak membantu saya setelah saya mengamati pemimpin kelompok pemuda YMCA kami, beberapa jemaat, dan bahkan pendeta kami yang bertindak dengan cara yang tidak Kristiani. Akhirnya, saya sangat muak sehingga saya keluar dari gereja.
“Semangat Bebas” dari New Age
Pada usia 17 tahun, saya memulai menjalin hubungan dengan seorang pria yang usianya hampir dua kali lipat dari usia saya. Saya pikir, daya tarik utama dari hubungan dengannya adalah bahwa ibu saya tidak menyukainya. Ia memperkenalkan saya pada misteri-misteri besar non-religius di dunia: paranormal, UFO, hantu dan gangguan roh jahat, kriptozoologi (pseudosains tentang penelitian hewan legendaris atau punah yang keberadaannya tidak diketahui, misalnya Bigfoot, Yeti, dll – red.), dan fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan seperti Spontaneous Human Combustion/SHC (pseudosains tentang terbakarnya tubuh manusia secara spontan yang dihasilkan oleh energi dalam tubuh manusia baik yang hidup atau baru saja meninggal).
Kami putus ketika saya berusia 21 tahun. Saya sudah pindah ke kota untuk mulai magang sebagai copywriter di bidang periklanan, dan hubungan jarak jauh itu tidak bertahan lama. Namun, saya tidak kehilangan minat pada paranormal. Sebaliknya, saya memperdalam pencarian intelektual saya dengan menambahkan teori konspirasi, channeling (istilah lain dari spiritisme, yaitu melakukan komunikasi dengan apa yang disebut sebagai makhluk cerdas dalam usaha mendapatkan pengetahuan rahasia –red.), kartu Tarot, huruf dan simbol bangsa Kelt, spiritualitas penduduk asli Amerika, dan Law of Attraction (Hukum Ketertarikan yang artinya pikiran positif seseorang akan berdampak positif pula dalam kehidupan manusia, demikian pula sebaliknya –red.). Saya membaca segala hal yang bisa saya dapatkan dari aliran ini; saya bergabung dengan kelompok-kelompok New Age dan menghadiri lokakarya dan seminar-seminar New Age.
Pada satu malam, saya mendengarkan sebuah acara radio paranormal dan mengikuti instruksi mereka tentang cara “menghubungi orang mati” dengan menggunakan papan Ouija sederhana dan bandul. Akibatnya, saya membawa teror nyata pada diri saya sendiri, peristiwa ini menjadi salah satu pengalaman paling menakutkan dalam hidup saya. Berkat rahmat Tuhan, saya berhasil menyingkirkan roh jahat itu, tetapi roh jahat itu kembali tujuh tahun kemudian untuk meneror saya lagi.
Pada kali kedua, seorang guru Reiki datang untuk menyelamatkan saya dan membantu saya mengusirnya. Ia menekankan kebutuhan saya akan perlindungan spiritual, jadi saya menjalani proses penyelarasan diri untuk menjadi seorang praktisi Reiki, dan beberapa tahun kemudian, saya sendiri menjadi seorang guru Reiki.
Daya tarik New Age sangat menarik; begitu penuh cinta kasih, saling menerima, dan juga toleran. Semua orang diterima; tidak ada batasan, tidak ada aturan, tidak ada perintah yang harus Anda patuhi. Tidak seperti orang Kristen, penganut New Age percaya bahwa tidak ada yang namanya dosa. Kita semua adalah makhluk spiritual dalam tubuh fisik, dan kita terus bereinkarnasi di Bumi untuk tujuan evolusi jiwa. Baik dan jahat tidak benar-benar ada; semuanya hanya terjadi begitu saja, tanpa adanya penghakiman.
Definisi Tuhan juga lebih lembut. Ya, Ia adalah Pencipta alam semesta, tetapi Ia juga adalah alam semesta itu sendiri. Ia murni, makhluk yang tidak berbentuk dan tidak menginginkan atau membutuhkan apa pun dari saya, jadi saya bisa mencintainya, tanpa terkekang oleh semua hal yang berkaitan dengan ketaatan yang merepotkan itu. Saya merasa lebih dekat dengan Tuhan daripada sebelumnya.
Seiring berjalannya waktu, karier saya sebagai copywriter di bidang periklanan yang penuh tekanan menyebabkan kelelahan. Setelah beberapa usaha yang gagal untuk memulai karier di TV/radio dan setelah dua tahun belajar psikologi klinis, yang saya inginkan hanyalah keluar dari gaya hidup gemerlap palsu ini.
Pada tahun 1999, saat berusia 34 tahun, saya menjual semua yang saya miliki dan pindah ke Sedona, Arizona, tempat yang menjadi pusat New Age di Barat Daya Amerika. Saya hidup hemat dengan anggaran terbatas, berbagi tempat tinggal di sebuah apartemen kecil dengan seorang teman lama dari Jerman dan pacarnya. Uang sangat terbatas, tetapi saya merasa seperti sudah mati dan pergi ke surga. Saya mencintai kehidupan baru saya yang penuh pesona.
Pengalaman supernatural dan paranormal yang sudah biasa saya alami selama bertahun-tahun sekarang menjadi kejadian yang hampir terjadi setiap hari. Beberapa di antaranya menggembirakan dan menginspirasi, yang lainnya kelam dan menakutkan, tetapi saya merangkul semuanya karena bagi saya, semua itu adalah bukti bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan benar-benar ada di luar panca indera kita. Semua itu benar; semuanya nyata. Dengan memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan ini membuat saya merasa istimewa, seperti hidup dalam dongeng.
Saya terjun langsung ke dalam praktik Law of Attraction saya dan menjadi sangat mahir dalam hal itu sehingga teman-teman saya mulai memanggil saya “ratu manifestasi”. Saya belajar membaca kartu Tarot dan sementara waktu bekerja sebagai pembaca Tarot profesional di sebuah pusat New Age di kota itu. Dengan kehidupan berjiwa bebas, datanglah banyak sekali pacar, teman kencan, dan cinta satu malam. Akhirnya saya menjalani gaya hidup “melebarkan sayap dan melambung tinggi” yang tidak terbebani seperti yang selalu saya impikan.
Tentu saja, ada sisi negatifnya. Sepertinya saya tidak bisa menemukan hubungan yang berkomitmen, hubungan yang saya inginkan lebih dari apa pun juga. Saya juga menemukan bahwa teman-teman New Age saya, “pekerja cahaya” yang manis dan suci itu, sangat dangkal. Masalah-masalah dunia nyata tidak dapat ditoleransi dengan baik karena mereka “menurunkan getarannya.” Menurut The Secret, kitab suci para murid Law of Attraction, orang-orang menarik kemalangan dengan memproyeksikan pikiran negatif ke Alam Semesta. Oleh karena itu, yang terbaik adalah memberi kesempatan kepada siapa pun yang menderita untuk mencegah kontaminasi.
Saya juga menghadapi kegelapan dan bahaya spiritual. Ilmu hitam, Setanisme, dan sihir merajalela di daerah itu. Saya melibatkan diri saya ke dalam beberapa situasi yang berisiko baik secara fisik maupun spiritual, dan saya berhasil melarikan diri tanpa mengalami cedera hanya karena belas kasihan Tuhan.
Jadi saya tahu Tuhan itu ada, Iblis itu ada, dan saya tahu setan itu nyata. Namun, saya tidak bisa membawa diri saya untuk meneruskan pemikiran ini sampai ke ujung logisnya. Jika Iblis itu nyata, bukankah itu artinya neraka juga ada? Jika Iblis itu nyata, bukankah itu berarti seluruh narasi kasih dan terang, dan narasi tidak ada yang bisa menyakiti kamu dari ajaran New Age adalah bohong? Dan jika neraka itu nyata, surga juga harus ada … yang berarti konsep reinkarnasi, yang sangat penting bagi agama New Age, juga harus salah. Lebih baik tidak memikirkannya.
Tahun-tahun Tanpa Tuhan
Pada tahun 2001, saya menikah dengan pacar saya, yang saya jumpai di Sedona, dan segera setelah itu, kami meninggalkan kota itu. Selama delapan bulan berikutnya, kami berpindah-pindah negara bagian dari Oregon, Washington, dan akhirnya New Jersey. Saya segera mengetahui bahwa orang-orang Yankee di pantai timur sangat menolak kepercayaan New Age daripada orang-orang Sedona.
Ada seorang wanita Kristen di New Jersey, setelah mendengar tentang beberapa petualangan spiritual saya, menyatakan dengan tegas bahwa saya bersekongkol dengan Iblis, entah saya menyadarinya atau tidak. Saya mencoba berdebat dengannya bahwa beberapa pengalaman saya adalah pertemuan langsung dengan yang ilahi, tetapi satu-satunya tanggapannya adalah, “Bahkan Setan pun dapat menyamar sebagai malaikat terang.” Seorang wanita lain dengan penuh kasih memberikan saya sebuah pamflet yang mengutip Keluaran 22:18 (Versi King James): “Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup.”
Meskipun bermaksud baik, kedua orang ini mencapai apa yang tidak berhasil dilakukan oleh “Sisi Gelap”: Mereka benar-benar membuat saya tidak menyukai Kekristenan. Karena merasa sakit hati dan marah, saya bersumpah bahwa saya tidak mau lagi bergaul dengan gereja untuk selamanya … dan juga dengan Yesus.
Tetapi Tuhan menolak untuk melepaskan saya dan secara bertahap meruntuhkan tembok pertahanan saya.
Ketika saya hamil, saya dan suami saya membawa keluarga kecil kami pindah ke Vermont. Saya sadar bahwa setiap kali saya memasuki sebuah gereja, saya akan menangis dan melankolis tanpa alasan yang jelas. Diam-diam saya iri pada orang-orang Kristen dan komunitas mereka yang erat yang hanya bisa saya amati dari luar.
Suatu hari, saya menerima panggilan penting saat bangun tidur. Ada sebuah kelompok pagan kecil dan saya menjadi bagian di kelompok itu, saat itu mereka berkumpul di rumah saya. Teman saya L. mengeluh tentang rasa sakit di lutut kirinya yang bermula ketika dia mengunjungi beberapa kuil kuno di Peru. Saya pernah belajar menggunakan Reiki untuk menarik keluar “serpihan roh” yang bersarang di bagian tubuh energi dan merasakan sesuatu di salah satu lutut L.
Saat saya mengalirkan energi Reiki, L., yang sedang berbaring di sofa saya dengan mata terpejam, mengatakan bahwa dia merasa mual, seperti ada sesuatu yang bergerak dari lututnya melalui perutnya dan lebih jauh lagi ke atas. Kemudian mulutnya terbuka, dan dia mengeluarkan erangan yang menggetarkan. Terdengar seperti suara dari dalam jurang. Saya merasa takut tetapi berhasil tetap tenang. Ketika L. sadar, saya mengasapi ruangan dengan membakar daun sage untuk membersihkannya (membakar daun sage adalah ritual pembersihan energi yang konon berasal dari suku asli Amerika [https://www.healthline.com/health/benefits-of-burning-sage], perlu ditekankan bahwa praktik seperti ini bertentangan dengan iman Katolik).
Semua orang pergi, dan saya sedang merokok di teras ketika anak saya yang berusia tiga tahun berteriak. Saya langsung melompat dan berlari masuk ke dalam. Ia sedang duduk di tempat tidur, menunjuk ke sudut gelap kamarnya dan menangis histeris. Saya menenangkannya, membersihkan kamarnya, dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, dan ia pun kembali tidur. Ia tidak pernah mengalami teror tidur sebelumnya.
Kejadian itu membuat saya sadar bahwa praktek okultisme yang saya lakukan malah membahayakan anak saya sendiri, dan saya pun berhenti menghadiri pertemuan-pertemuan kelompok itu.
Yesus menghendaki supaya saya kembali, dan Ia dengan sabar terus mengajak saya, tidak peduli betapa keras kepalanya saya sudah menolak. Apa yang saya tidak tahu adalah bahwa Ia tidak menginginkan saya di mana saja – diam-diam Ia bermanuver untuk membawa saya ke dalam Gereja-Nya yang Satu dan Sejati.
Ketika tiba saatnya untuk menyekolahkan anak saya ke taman kanak-kanak, saya memilih untuk mendaftarkannya ke sekolah Katolik yang memiliki kebijakan tidak mentolerir perundungan. Saya juga ingin membaptisnya untuk berjaga-jaga, dan saya pikir karena ia sudah belajar tentang iman Katolik, mungkin ia juga mau dibaptis.
Juga penting bagi saya bahwa Gereja Katolik memiliki para eksorsis: Di sini ada orang-orang yang percaya dan tahu bahwa Iblis benar-benar ada sebagai sebuah entitas, tidak seperti banyak denominasi Kristen lainnya yang telah mereduksi “Sisi Gelap” menjadi metafora belaka, sebuah analogi untuk kejahatan psikologis pada diri manusia.
Perlawanan saya benar-benar runtuh sekarang. Saya mulai menghadiri kebaktian di Gereja Kongregasional terdekat. Setelah dibesarkan dalam “sistem kasta” agama yang tertutup di Jerman, bahkan saya tidak terpikir untuk mempertimbangkan untuk menjadi seorang Katolik.
Pada awalnya, saya senang menjadi anggota Gereja Kongregasional, tetapi tak lama kemudian ada yang mulai mengganggu saya bahwa semua perhatian sepertinya tertuju pada bagian keadilan sosial dari Kekristenan, dan bagian tentang Tuhan menjadi terabaikan.
Sebaliknya, beberapa kali saya membawa anak saya ke Misa Minggu di gereja Katolik ( biasanya ia ikut Misa di sekolahnya) bagaikan balsem bagi jiwa saya. Semuanya tentang Tuhan, penyembahan, dan kurban, bukan tentang pengalaman saya, perasaan saya, atau angan-angan saya.
Saya menyukai kecenderungan Gereja Katolik terhadap mukjizat dan hal-hal adikodrati, hal-hal yang tidak asing lagi bagi saya. Saya juga memperhatikan bahwa anak-anak Katolik jauh lebih hormat dan berperilaku lebih baik daripada anak-anak di gereja-gereja Protestan liberal, di mana mereka sering dibiarkan bebas berlari-lari, tanpa ada upaya dari orang tua untuk mengendalikan mereka.
Dua Hal yang Tidak Mengenakkan
Dua hal terakhir yang membuat saya memutuskan untuk menjadi seorang Katolik adalah kebaktian kaum feminis dan sebuah “legenda urban (semacam cerita rakyat yang dianggap suatu yang benar karena beredar dari mulut ke mulut –red.).”
Pada hari Minggu Paskah 2017, saya dan anak saya menghadiri sebuah gereja komunitas lokal. Dalam khotbahnya, pendeta wanita itu menyatakan bahwa hal yang paling penting dalam kisah Kebangkitan bukanlah Yesus bangkit dari kematian, tetapi “para wanitalah yang menemukannya.” Itulah terakhir kalinya saya menginjakkan kaki di gereja Protestan liberal.
Masalah yang kedua adalah bukti bahwa sesuatu yang selalu saya anggap sebagai legenda urban adalah benar: kisah tentang “Manusia Bertopi,” seorang bayangan menyeramkan yang mengenakan Fedora dan jubah panjang yang suka meneror orang-orang di malam hari bahkan terkadang menyerang mereka secara fisik.
Beberapa orang mengira ia adalah Iblis itu sendiri. Salah seorang yang selamat dari percobaan bunuh diri mengatakan bahwa ia terbangun di rumah sakit untuk melihat seorang pria dengan topi Gaucho duduk di tempat tidurnya. Sosok mengerikan itu menyeringai dan berkata, “Aku hampir mendapatkanmu.” Kemudian sosok mengerikan itu pun menghilang.
Suatu hari, teman saya G. – seorang konselor kesehatan mental dan penganut agnostik garis keras – dia menceritakan kepada saya tentang sesuatu yang telah terjadi padanya pada tahun 1990-an: ada seorang pria menyerupai bayangan dengan Fedora dan jubah panjang memasuki kamar tidurnya, tiba-tiba mendekati (tanpa berjalan) ke samping tempat tidurnya, dan mencekiknya hampir mati.
Saya berteriak, “Kamu melihat si Pria Bertopi!”
“Apa?” dia bertanya. Dia belum pernah mendengar tentang itu.
Dia percaya kalau semua itu hanyalah mimpi, tetapi bagi saya, hal itu membuktikan lagi bahwa Sisi Gelap tidak bisa dianggap sepele. Peristiwa itu hanya memperkuat tekad saya untuk menjadi seorang Katolik dan masuk ke dalam mantel perlindungan Gereja.
Banyak penganut New Age yang berkecimpung dalam okultisme akan mengalami apa yang disebut “serangan astral,” yang sebenarnya adalah serangan setan. Saya tahu betul bagaimana rasanya takut akan kegelapan, merasa diawasi dari belakang saat berada di kamar kosong, merasakan kehadiran roh jahat, dan mendaraskan Doa Bapa Kami di bawah selimut sampai fajar menyingsing.
Sebagian besar penganut New Age pada suatu saat akan belajar bagaimana cara menangkal roh-roh jahat dengan cara mengasapi dengan membakar daun sage, melingkupi diri mereka dengan “cahaya ilahi,” dan lain sebagainya. Tetapi langkah-langkah ini tidak tahan serangan; tidak satupun dari langkah-langkah ini yang pernah membuat saya merasa benar-benar aman.
Sementara itu, perkawinan saya mulai berantakan dan akhirnya bercerai, meskipun kami berpisah secara kekeluargaan. Setelah perceraian, saya mengikuti RCIA (Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.). Saya kasihan pada diakon yang malang dan istrinya yang mengajar di kelas itu: Saya suka membangkang dan keras kepala, dan saya menolak percaya akan Kehadiran Yesus yang Nyata dalam Ekaristi, atau Maria dan para kudus sebagai perantara doa.
Bahkan setelah Penguatan, saya tetap mempertahankan beberapa kepercayaan dan praktik New Age. Apa salahnya melakukan beberapa pembacaan Tarot untuk diri saya sendiri? Dan nasihat “perwujudan diri berkesinambungan” yang saya bagikan secara daring adalah tentang menyelaraskan kehendak kita dengan kehendak Tuhan. Tentunya, Tuhan tidak keberatan.
Penugasan di Gereja Evangelis
Pada tahun 2020, saya mencalonkan diri sebagai anggota Partai Republik untuk kursi di DPR Vermont. Kemudian COVID melanda, dan Keuskupan Burlington menutup semua gereja Katolik selama beberapa bulan. Ketika ketua komite daerah GOP (Grand Old Party atau Partai Republik) mengundang saya ke gereja Evangelisnya, saya langsung mengambil kesempatan itu.
Orang-orangnya hangat dan ramah, dan kami tidak perlu memakai topeng menakutkan selama kebaktian. Saya sangat menyukainya sehingga saya hampir saja tinggal di sana – tetapi Tuhan punya rencana lain. Tiba-tiba, mobil saya tidak mau menyala ketika saya mencoba meninggalkan rumah pada hari Minggu. Sesaat sebelum Thanksgiving, pendeta mengumumkan bahwa mulai sekarang, setiap orang harus mengenakan masker sepanjang waktu. Saya menangis sepanjang kebaktian. Secara intuitif saya tahu bahwa inilah saat terakhir saya berada di sana (Perlu diketahui konteks masalah pro-kontra masker di Amerika Serikat adalah imbas politik antara Partai Demokrat yang mewajibkan menggunakan masker, dan Partai Republik yang menolak penggunaan masker).
Teguran dari Atas
Saya masih seorang Katolik suam-suam kuku. Saya tidak setuju dengan beberapa bagian doktrin Katolik yang lebih ketat, seperti tidak boleh menggunakan kontrasepsi, tidak boleh melakukan perkawinan gay. Saya tidak percaya pada Kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Di rumah saya dipenuhi dengan patung-patung Buddha, kartu-kartu Tarot, dan buku-buku tentang Law of Attraction – dan saya tidak memikirkan apa-apa saat menonton secara maraton serial Lucifer di Netflix.
Panggilan terakhir saya untuk sadar – atau lebih tepatnya, teguran ilahi – terjadi pada tanggal 4 November 2020, sehari setelah pemilihan umum (saat itu saya kalah). Saya sedang membuka Amazon, membaca uraian untuk sebuah buku tentang kecerdasan buatan untuk pekerjaan.
Tiba-tiba, dengan sendirinya halaman mulai bergulir ke bawah dan berhenti pada baris bagian, “Buku yang Mungkin Juga Anda Sukai.” Seperti yang sudah diduga, sebagian besar buku-buku itu adalah buku AI, tetapi ada satu buku yang tampak berbeda dari yang lain, karena ada tanda salib bercahaya di sampulnya. Itulah buku yang berfokus pada realitas dosa dan kebutuhan untuk melihat beban pelanggaran kita dalam terang kekekalan.
Karena penasaran, saya membeli versi Kindle … dan kemudian saya terhanyut oleh gelombang rasa malu dan kesedihan. Untuk pertama kalinya, saya menyadari betapa banyak perbuatan saya yang mencela dan menyakiti Yesus. Setiap sikap ketidaktaatan, setiap perkataan gosip, keangkuhan, kesombongan, dan keegoisan saya – semuanya membuat Salib-Nya semakin berat, membuat paku-paku semakin tajam, membuat penderitaan-Nya semakin menyiksa. Bahkan iman saya adalah tentang diri saya sendiri. Saya tahu bahwa jika Yesus kembali pada hari itu, saya akan masuk neraka.
Saat membaca buku itu menjadi titik balik yang saya perlukan. Saya membuat janji untuk melakukan pengakuan umum (pengakuan atas semua dosa mortal di sepanjang hidup, dimulai dari masa kecil Anda) dengan Romo J., pastor paroki kami, dan saya menghabiskan waktu lebih dari empat jam untuk menceritakan pelanggaran-pelanggaran saya yang paling parah. Kemudian saya membeli buku versi cetaknya dan membagikannya kepada semua orang yang saya kenal. Saya mulai berdoa Rosario setiap hari dan mempersembahkan diri saya kepada Sang Bunda Kudus, meskipun saya masih tidak yakin akan daya guna dari hal itu.
Mukjizat Ekaristi yang saya alami
Pada awal Maret 2021, paroki kami menjadi tuan rumah acara Sisters of Life yang berlangsung selama dua hari. Melihat sukacita yang dipancarkan para suster muda itu, saya tahu mereka sangat mengasihi Yesus. Saya sangat menginginkan apa yang mereka miliki. Saya masih tidak tahu apa yang dimaksud dengan “Adorasi” – secara harfiah, orang-orang menyembah makanan – tetapi saya akan segera mengetahuinya.
Ketika Romo J. mengumumkan bahwa ia akan melakukan perarakan dengan monstrans sehingga setiap orang bisa “bertatap muka dengan Yesus,” saya merasakan ketegangan yang aneh di dalam diri saya, seperti listrik sebelum badai petir. Ketika Ia mendekat, saya mulai menangis tanpa alasan yang jelas, dan kemudian – wajah saya hanya beberapa inci dari kaca kecil bundar pada monstrans – saya baru tahu.
Ini benar-benar Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita yang hidup dan bernafas. Menerima Komuni Suci berarti benar-benar menerima Tubuh dan Darah, Jiwa, dan Keilahian-Nya. Mengikuti Adorasi berarti mengunjungi-Nya, tinggal bersama-Nya. Dan sekarang saya bisa merasakan Ia menatap saya melalui kaca itu, dengan penuh kasih, kesedihan, dan belas kasihan.
Air mata mengalir di wajah saya, saya berseru, “Yesus, kasihanilah saya!”
Orang-orang di sekitar saya melirik saya dengan cemas; seorang wanita di bangku saya bertanya apakah saya baik-baik saja. Saya tidak peduli. Yesus, Yesus, Yesus, Yesus, Yesus.
Kekekalan kini
Setelah peristiwa perjumpaan ini, Anda tidak bisa lagi menjauhkan saya dari gereja. Saya sesering mungkin ikut Misa harian bahkan kadang-kadang mengunjungi Yesus ketika gereja kosong, hanya untuk mendapatkan waktu sendirian bersama-Nya. Saya juga mengetahui bahwa, selama Adorasi, Ia sering berbicara di dalam hati saya dan memberi tahu saya hal-hal yang dapat membantu pertumbuhan rohani saya.
Saya tidak pernah menjalani masa Prapaskah seserius tahun 2021. Pada Kamis Putih, wahyu pribadi lainnya mengguncang diri saya.
Setelah Misa malam yang indah, umat pindah ke aula paroki, tempat monstrans ditempatkan di antara beberapa tanaman hijau untuk Adorasi yang berlangsung selama tiga jam. Saya duduk untuk berdoa dan merenung dengan tenang, tetapi saya masih belum mengerti apa yang sedang terjadi sampai kelompok ibadah mulai melantunkan nyanyian: Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah bersama-Ku; saatnya sudah tiba. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah bersama-Ku; berjaga-jagalah dan berdoalah.
Tiba-tiba, saya tahu: Kami berada di sana untuk berjaga-jaga bersama Yesus di Taman Getsemani. Kami adalah orang-orang yang akan tetap terjaga sementara para murid tertidur. Kami adalah saksi langsung dari Sengsara Kristus, di luar ruang dan waktu.
Dalam Kekekalan Kini, Yesus masih berada di Taman, menderita atas apa yang akan terjadi pada diri-Nya.
Dalam Kekekalan Kini, Ia masih meregang nyawa di kayu Salib.
Dalam Kekekalan Kini, Pilatus masih membasuh tangannya, orang banyak masih mencemooh, Maria masih mencengkeram tangannya ketika melihat penderitaan dan penghinaan yang harus ditanggung oleh putra tunggalnya.
Semua terjadi dalam satu momen, namun terjadi untuk selamanya.
Ketika saya mulai merenungkan Misteri Sengsara yang pertama, Penderitaan di Taman, dalam benak saya, saya melihat jendela berkabut yang terbuka, memberi saya pemandangan yang jelas dari Taman Getsemani. Di sana ada Yesus, sedang melangkah kian kemari di tempat yang diterangi sinar bulan, berdoa, mengerang, menangis – berada dalam penderitaan yang begitu menyedihkan sehingga Ia berkeringat darah.
Dalam hati saya mengulangi, “Yesus, saya di sini. Saya tidak tidur. Saya berjaga-jaga dengan-Mu.”
Saya melihat Yesus berhenti di jalan yang akan dilalui-Nya, perlahan-lahan Ia berpaling sampai wajah-Nya menatap saya. Saya tersentak. Ia mendengar saya. IA MELIHAT SAYA. Saat itu juga, di dalam Kekekalan Kini. Tidak ada penghalang di antara kami.
Mata-Nya menatap saya. Sambil terisak, saya berbicara kepada-Nya. Saya menyemangati-Nya. Saya berkata kepada-Nya bahwa Ia adalah satu-satunya harapan kami. Mata-Nya tidak beralih dari mata saya. Ia tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Setelah beberapa menit, penglihatan itu hilang, dan saya kembali ke aula paroki.
Setelah malam itu, saya merasa diyakinkan, seperti yang mereka katakan, merasa lebih dekat dengan Yesus dari sebelumnya. Tidak ada yang bisa menjauhkan saya dari-Nya. Beberapa minggu kemudian, saya juga sadar bahwa semua penglihatan yang menakjubkan itu terjadi tepat setelah saya mempersembahkan diri saya kepada Sang Bunda Suci, wanita yang sebelumnya saya hindari.
Perjalanan saya masih terus berlanjut, dan saya terus menikmati karunia kasih Tuhan yang luar biasa. Betapa banyak rahmat dan mukjizat yang Ia berikan kepada kita – jika kita mau memberikan perhatian!
Shannara Johnson adalah seorang penulis keuangan, penyunting naskah, penulis, dan blogger Katolik. Saat ini dia tinggal di Steubenville, Ohio. Blognya, Diary of a Stumbling Saint – A Catholic Convert’s Meandering Path to Holiness, dapat dikunjingi di stumblingsaint.substack.com
Posted on 28 January 2023, in Kisah Iman and tagged New Age Movement, Protestan Injili, Reiki. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0