Pendeta Pentakosta Oneness Menjadi Katolik – Kisah Michael Garcia

Michael Garcia (Sumber: chnetwork.com)

Didikan dan Sejarah Keluarga

Saya dilahirkan di sebuah keluarga Katolik pada bulan Mei 1953, dibaptis saat masih bayi, lalu melakukan pengakuan dosa, menerima Komuni Kudus pertama, dan menerima Sakramen Penguatan dari Uskup Buswell di gereja Our Lady of Guadalupe, paroki tertua di Colorado. Saya sangat menyukai segala sesuatu tentang Tuhan dan Gereja. Bahkan, saya sempat membayangkan diri saya menjadi seorang imam suatu hari nanti, tetapi akhirnya saya mengurungkan niat itu karena saya ingin menikah dan memiliki anak. Ibu saya akan meminta kami berdoa Rosario setiap kali ada masalah, dan memastikan kami mengikuti Misa; tetapi ayah saya jarang ke gereja dan tidak pernah berdoa Rosario bersama kami, meskipun saya tahu dia mengasihi Tuhan.

Saya dibesarkan di Conejos, suatu komunitas kecil di Colorado selatan, di mana leluhur saya adalah para pemukim pertama yang membangun rumah di sana. Diceritakan bahwa, ketika kakek buyut saya membawa penghuni pertama ke lembah, salah satu burro (keledai) menolak untuk melanjutkan perjalanan, dan mereka menemukan patung Bunda Maria dari Guadalupe di tempat tersebut, sehingga mereka memulai mendirikan pemukiman di daerah itu dan membangun sebuah gereja untuk menghormatinya. Di komunitas lain, salah satu kakek buyut saya menyumbangkan tanah kepada Gereja Katolik sehingga bisa dibangun gereja dan pemakaman. Saya diberitahu bahwa leluhur saya yang lain akan mengisi waktu di tepi sungai dengan berdoa dan membaca Kitab Suci. Melihat ke masa lalu, saya bersyukur atas kesetiaan mereka.

Sewaktu remaja, perlahan-lahan saya mulai menjauh dari Gereja dengan tidak menerima Komuni dan akhirnya tidak menghadiri Misa sama sekali. Saya selalu mencari-cari alasan untuk tidak ikut Misa. Saya memang masih mengikuti Misa Natal Tengah Malam dan Paskah, bersama dengan semua “orang Kristen NaPas (Natal Paskah)” lainnya. Setelah lulus SMA, saya masuk Angkatan Laut Amerika Serikat pada bulan November 1971, dan kehadiran saya di gereja semakin berkurang, tetapi saya selalu merasa bahwa Tuhan selalu bersama saya. Saya ingat pernah sekali pergi ke Gereja Katolik, ketika saya ditempatkan di Hawaii, dan saya merasakan kehadiran Tuhan dan mengalami keindahan Misa bersama orang-orang setempat. Tetapi saya tidak pernah melakukan Pengakuan Dosa atau menerima Komuni. Pada saat itu, kakak laki-laki saya bergabung dengan United Pentecostal Church (UPC), dan saya melihat sebuah perubahan dalam hidupnya. Ia akan berbicara kepada kami tentang Allah setiap kali kami berada di dekatnya.

Ketika berada di Angkatan Laut, saya punya seorang teman yang tergabung dalam kelompok pemuda Kristen. Dia berbicara kepada saya tentang memberikan hati saya kepada Tuhan. Saya ingat saat mau tidur malam dan berbicara kepada Tuhan, mengatakan bahwa saya belum siap untuk memberikan hati saya kepada-Nya. Saat itu saya merasa bahwa hal itu akan membuat saya “kehilangan hidup,” tetapi rencana saya adalah suatu saat nanti ketika saya siap, saya akan dengan sepenuh hati memberikan hidup saya kepada Tuhan.

Masuk ke dalam Pelayanan Aliran Pentakosta

Ketika saya diberhentikan dari Angkatan Laut, pada musim gugur 1975, saya kuliah di Adams State di Alamosa, Colorado, tetapi saya sudah tidak lagi mengikuti Misa. Pada saat itu, Tom, kakak saya, sudah pindah ke Denver dan mengundang saya ke sebuah kebaktian kebangunan rohani di sebuah gereja UPC yang baru dirintis olehnya dan istrinya. Saya berkendara untuk mengunjungi sebuah kebaktian di sana dan terpesona dengan musik dan khotbah yang emosional. Pada musim semi tahun 1976, setelah menyelesaikan semester musim gugur di perguruan tinggi, saya pindah ke Denver, di mana saya terlibat dengan UPC. Kebaktiannya dipenuhi dengan musik dan banyak emosi, dan karena saya termasuk orang yang emosional, saya tertarik pada kebaktian tersebut.

Saya mengalami pengalaman dengan Roh Kudus dan merasa bahwa Tuhan itu nyata. Saya ingin lebih banyak tentang Tuhan. Teringat doa saya di Hawaii, kali ini terasa serupa. Saya ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. UPC mengkhotbahkan pesan “Satu Allah” dan bahwa baptisan harus dilakukan dengan menggunakan frasa “di dalam nama Yesus.” Dari apa yang dapat saya lihat dengan pengetahuan Alkitab dan latar belakang gereja saya yang terbatas, saya merasa mereka memberitakan kebenaran. Saya dengan sungguh-sungguh mulai mempelajari Alkitab dan doktrin Oneness (Keesaan), berusaha keras untuk membenarkan diri saya sendiri bahwa apa yang diajarkan kepada saya adalah kebenaran. Doa menjadi bagian besar dalam hidup saya, dan saya menjadi aktif untuk umat, mengetuk banyak pintu rumah dan mengundang orang ke gereja.

Setelah beberapa tahun, saya merasakan panggilan untuk berkhotbah, dan saya mendekati pendeta saya untuk masuk ke sekolah Alkitab, tetapi dia merasa lebih baik bagi saya untuk berada di bawah kepemimpinannya dan belajar darinya. Tak lama kemudian, saya mendapat undangan untuk berkhotbah di beberapa gereja setempat.

Denominasi kami mengadakan pertemuan perkemahan setahun sekali, biasanya di pegunungan dekat Denver. Kebiasaan di balik pertemuan ini sudah ada sejak dulu, ketika berbagai organisasi Pantekosta bertemu di musim panas untuk bersekutu dan mendiskusikan hal-hal administratif.

Pada salah satu pertemuan perkemahan ini, pada bulan Juli 1978, saya berjumpa dengan istri saya, Susanne, yang berasal dari Albuquerque, New Mexico dan baru saja pindah keyakinan ke Pentakosta. Seluruh keluarganya Katolik, dan orang kudus favorit ayahnya adalah St. Ann, sehingga semua delapan anak perempuannya memiliki nama Ann dalam nama mereka. Susanne sedang berada di Craig, Colorado, membantu saudara perempuannya mengasuh anak-anaknya, ketika ia bergabung dengan Gereja Pentakosta. Saya berkesempatan untuk berkhotbah di gerejanya, dan seketika itu juga kami langsung merasa cocok. Dalam waktu enam bulan, kami menikah.

Kami melangsungkan perkawinan pada tanggal 1 Januari 1979 karena kami ingin memulai tahun ini bersama-sama. Melihat ke belakang, dengan pasti saya dapat mengatakan bahwa yang mempertemukan kami adalah karena campur tangan Tuhan. Dia telah menjadi mitra yang luar biasa dalam perjalanan hidup yang kami jalani bersama. Kami sempat tinggal di Denver selama sekitar satu setengah bulan ketika kami menggembalakan sebuah gereja Home Missions, dengan sekitar delapan orang umat, di Walsenburg, Colorado. Saat itu menjadi sebuah perjuangan secara finansial dan rohani. Karena sulitnya mencari pekerjaan, kami benar-benar berdoa untuk mendapatkan makanan, uang sewa, dan uang bensin, dan Tuhan selalu mencukupkan.

Saya ingat pernah menghadiri sebuah persekutuan gereja komunitas, di mana semua gereja diundang untuk berpartisipasi. Saya diminta untuk menjadi pembawa acara. Imam Katolik setempat diundang untuk berbicara, dan saya ingat dia berbicara tentang perpecahan dalam Gereja secara umum, dan bagaimana kaum Protestan terus membangun tembok-tembok baru untuk memecah belah komunitas Kristen. Hal itu tidak diterima dengan baik oleh para hadirin, tetapi meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam ingatan saya. Namun, di kemudian hari saya baru menyadari betapa banyak organisasi gereja baru yang bermunculan karena masalah doktrin dan masalah-masalah lainnya.

Ketika melayani di gereja Home Missions ini, saya mempelajari semua kepercayaan yang bisa saya pelajari di sini. Salah satu pelajaran yang sangat saya sukai adalah tentang Tabernakel di padang gurun, dan bagaimana Tuhan memerintahkan Musa untuk membangun Tabut yang berisi dua loh batu yang berisi Sepuluh Perintah Allah, tempayan yang berisi manna dari surga, dan tongkat Harun. Untuk menyimpan Tabut dan memulai penyembahan kepada Allah yang esa dan benar, bangsa Israel harus membangun sebuah tabernakel yang berisi Tempat Mahakudus, tempat Tabut itu disimpan. Perintah ini diberikan tentang bagaimana para imam Lewi akan melakukan tugas mereka dan melayani umat dan bagaimana Imam Besar akan memasuki Ruang Mahakudus untuk mengadakan pendamaian bagi umat. Pada akhirnya, bentuk ibadah ini dipindahkan ke Bait Suci Salomo. Pelajaran saya tentang Tabernakel pada akhirnya membantu saya untuk lebih memahami Gereja Katolik.

Melanjutkan Pelayanan

Setelah sekitar satu setengah tahun, kami kembali ke Denver dan ke gereja asal kami, tempat saya membantu pendeta dan terlibat dalam pelayanan berbahasa Spanyol. Setiap saat kami berada di gereja. Ada kebaktian Minggu pagi, kebaktian Minggu malam, kebaktian Selasa malam dalam bahasa Spanyol, kebaktian Rabu malam di tengah minggu, kebaktian Kamis malam, kunjungan Sabtu pagi, dan kebaktian Sabtu malam dalam bahasa Spanyol. Umat berbahasa Spanyol adalah sekelompok orang yang luar biasa, dan kami mengalami beberapa kebaktian yang penuh kuasa.

Pada masa inilah putri saya, Kristina, dan putra saya, Michael, lahir. Saya ditahbiskan ke dalam UPC pada sebuah pertemuan perkemahan gereja pada musim panas 1984 dan terus melayani di gereja berbahasa Spanyol dan berkhotbah untuk kelompok-kelompok di luar gereja setiap kali diundang. Kami mengalami beberapa (seperti yang mereka katakan di kalangan Pantekosta) “gerakan Tuhan yang dahsyat,” dan ada saat-saat ketika kami mengadakan kebaktian pelepasan yang luar biasa. Kami bahkan terlibat dalam pelayanan radio berbahasa Spanyol, yang disebut “El Camino de Amor.” Pada tahun 1985, kami diberitahu tentang sebuah gereja di Alamosa, Colorado yang baru saja dirintis, tetapi pendetanya pergi. Meninggalkan gereja asal kami, gereja berbahasa Spanyol dan semua teman kami untuk mengejar kesempatan itu memang sulit, tetapi saya merasa bahwa kami harus beralih dari situasi yang nyaman.

Selama setahun penuh, kami melakukan perjalanan setiap akhir pekan dari rumah kami di Aurora, Colorado sekitar 250 mil (±402 km) untuk melayani sebuah kelompok kecil dalam jemaat tersebut. Beberapa umat adalah mantan anggota organisasi Kerasulan Keesaan (Oneness Apostolic) yang gerejanya sudah ditutup. Kami juga memiliki kesempatan yang luar biasa untuk menghabiskan hampir setiap akhir pekan bersama orang tua saya, yang tinggal sekitar 30 mil (±48 km) dari tempat penugasan gereja kami yang baru. Namun, perjalanan bolak-balik itu akhirnya membuat saya lelah, dan kami memutuskan untuk kembali ke Denver dan memulai sebuah gereja UPC di salah satu pinggiran kota tempat kami tinggal dan bekerja. Sayangnya, organisasi berpikir bahwa lebih baik bagi kami untuk tidak memulai gereja lain, dan saya mulai mempertanyakan masa depan saya dalam organisasi tersebut. Pada tahun 1987, kami memutuskan untuk meninggalkan UPC dan mengambil cuti sejenak untuk memikirkan perjalanan hidup kami.

Seorang teman saya memberi tahu saya tentang sebuah gereja keluarga Kerasulan Keesaan di Denver dan merencanakan supaya saya berbicara di sana. Penatua yang telah memulai gereja tersebut meminta saya untuk menggembalakan gereja itu, dan pada tahun 1990 saya terpilih sebagai gembala sidang. Jemaat itu memiliki sebuah gedung yang bagus dengan sebuah rumah pendeta, yang ruang bawah tanahnya digunakan untuk Sekolah Minggu. Jemaat tidak pernah sungguh-sungguh berpartisipasi dalam kebaktian perjamuan kudus, jadi saya mengambil kesempatan untuk memperkenalkan mereka pada Perjamuan Tuhan. Ketika saya mengangkat roti untuk mengucapkan firman Tuhan atas roti tersebut, saya merasakan sentuhan adikodrati di kepala dan bahu saya, dan di kemudian hari saya menyadari betapa sakralnya peristiwa tersebut.

Saya ingat berbicara dengan salah seorang pendeta tentang bagaimana di gereja Apostolik, tidak ada perkembangan iman bagi para anggotanya. Hal itu membuat saya berpikir tentang tujuh sakramen Gereja Katolik dan bagaimana seseorang harus mempersiapkan diri untuk setiap sakramen.

Setelah menggembalakan umat selama beberapa tahun di sana, saya merasa sudah cukup dan akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Kami menghadiri sebuah gereja Sidang Jemaat Allah untuk sementara waktu. Mereka mempunyai waktu doa pagi yang saya sukai. Kami segera meninggalkan Sidang Jemaat Allah karena doktrin Oneness yang kami anut sangat istimewa dan berbeda dengan Kekristenan arus utama, kami mendirikan sebuah gereja non-denominasi bernama Christ Church pada bulan Agustus 1993. Tujuan kami adalah untuk melayani orang-orang yang keluar dari berbagai organisasi Oneness yang tidak mempunyai gereja. Kami menemukan sebuah kompleks perkantoran di mana terdapat gereja-gereja lain yang telah menyewa tempat, dan kami beruntung bertemu dengan seorang pria bernama Mark yang memiliki gedung tersebut. Dia sangat baik dan tidak pernah menaikkan harga sewa. Saya mengetahui tentang beberapa gereja lain yang beraliran Kerasulan Kesatuan, dan kami akan berkumpul bersama mereka untuk mengadakan pertemuan perkemahan dan persekutuan.

Seorang teman saya membawakan acara siaran langsung di pagi hari, di mana dia akan mendoakan orang-orang secara langsung, dan ada kalanya dia tidak bisa hadir, jadi dia meminta saya untuk menggantikannya. Saya benar-benar menikmati berdoa untuk kebutuhan para penelepon. Akibatnya, kami dapat memulai program setengah jam yang disiarkan pada pukul lima pagi. Tentu saja, kami tidak mendapatkan banyak pendengar dan tidak berlangsung lama, tetapi hal ini menjadi suatu pengalaman.

Kami memiliki sekelompok orang yang hebat, tetapi setelah beberapa tahun, saya mulai mempertanyakan validitas dan kesia-siaan penggembalaan sambil bekerja penuh waktu. Kelelahan akhirnya menghampiri saya. Kami menutup gereja kami pada tahun 2007 dan mulai menghadiri gereja Vineyard yang besar yang berada di dekat rumah kami, dengan musik yang meriah dan khotbah-khotbah yang positif. Waktu di Angkatan Laut memberi saya pengalaman di bidang komputer yang membuka peluang bagi saya dalam pengoperasian komputer dan rekayasa perangkat lunak, sehingga saya selalu memiliki karier dan penghasilan. Saya bekerja di berbagai instansi pemerintah dan akhirnya mulai bekerja untuk Pemerintah Federal, pensiun setelah tiga puluh tahun mengabdi.

Berpindah-pindah gereja

Pada tahun 2009, saya dan istri saya pindah ke Indianapolis karena saya dipindahtugaskan. Selama di Indianapolis, kami mengunjungi sejumlah gereja – Reformed, Mennonite, Methodist, dan Pentecostal Assemblies of the World (PAW) – tetapi akhirnya kami menetap di sebuah gereja besar yang merupakan bagian dari gerakan Reformed. Mereka mengadakan tiga kebaktian pagi: satu kebaktian untuk orang-orang yang lebih tradisional, dengan nyanyian pujian dan paduan suara, sementara dua kebaktian lainnya lebih mengarah ke rock and roll.

Kami mengikuti kebaktian tradisional di pagi hari sehingga kami dapat mendengar paduan suara dan menyanyikan lagu-lagu pujian. Kami sering bepergian di akhir pekan, jadi kami tidak berada di sana sepanjang waktu, tetapi pendeta di sana mengambil cuti panjang, lalu akhirnya keluar. Dari apa yang saya dengar, beberapa anggota jemaat tidak terlalu senang dengannya. Sebagai seorang pendeta Protestan, Anda dievaluasi berdasarkan kemampuan Anda untuk menyampaikan khotbah yang baik, dan jika Anda tidak menjalin hubungan yang baik dengan jemaat, Anda bisa kehilangan pekerjaan.

Berpaling ke Gereja Katolik

Ketika tinggal di Indiana, kami melakukan pelayaran ke Eropa, mengunjungi Barcelona, Roma, Athena, Istanbul, Efesus dan Malta. Melihat Vatikan dan Basilika Santo Petrus sungguh menakjubkan. Berjalan ke dalam bangunan besar itu dan melihat semua sejarah yang ada di hadapan kami begitu memikat sehingga membuat saya ingin menjadi seorang Katolik saat itu juga.

Pada tahun 2012, ketika saya pensiun, saya dan Susanne kembali ke Colorado dan menetap di Pueblo West. Kami mulai beribadah di sebuah gereja Sidang Jemaat Allah, tetapi karena mencari sesuatu yang lebih, kami pindah ke persekutuan Church of God, lagi-lagi menemukan sekelompok orang yang luar biasa, musik dan penyembahan yang indah. Namun tetap saja, ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya.

Beberapa tahun sebelumnya, saya dan istri saya pernah menghadiri beberapa pemakaman anggota keluarga kami yang beragama Katolik, dan setiap kali kami meninggalkan gereja, kami berdua merasakan sesuatu yang istimewa. Pada suatu akhir pekan, kami berkendara ke Santuario de Chimayo, sebuah tempat suci Katolik di Chimayo, New Mexico. Tempat ini merupakan salah satu tempat ziarah paling populer di Amerika Serikat. Saat kami memasuki kapel, kami dapat merasakan kehadiran Roh Kudus yang begitu indah. Banyak mukjizat telah dikaitkan dengan Tuhan melalui Santuario. Kunjungan ini meninggalkan kesan yang mendalam bagi kami.

Setiap kali kami menghadiri Misa Katolik, saya merasa iri dengan orang-orang yang menerima Komuni. Saya mulai belajar tentang Gereja Katolik, dan tak lama kemudian saya tidak bisa lagi menghadiri kebaktian di gereja Protestan yang kami pilih. Susanne yang malang! Dia menyukai ibadah di sana, tetapi saya tidak bisa datang ke sana. Saya menjelaskan kepadanya apa yang sedang terjadi dalam hidup saya, dan saya pikir ia pasti berpikir dalam hati, “Apa yang sedang terjadi dengan orang ini?”

Akhirnya, saya mengajak istri saya untuk menghadiri Misa bersama saya di sebuah gereja Katolik, dan dia bersedia. Ketika kami menghadiri Misa, saya benar-benar larut di dalamnya. Dari saat imam memasuki panti imam hingga berkat terakhir diberikan, saya melihat segala sesuatunya dengan cara yang berbeda dari saat saya masih muda dan mengikuti Misa hanya untuk memuaskan ibu saya. Pada titik ini dalam perjalanan hidup saya, setiap bagian dari Misa memiliki makna yang baru bagi saya.

Saya terpesona dengan bagaimana Gereja perdana terbentuk setelah para Rasul wafat, dan siapa yang mengambil alih jubah St. Petrus dan meneruskannya. Membaca tentang bapa-bapa Gereja perdana, seperti Klemens, Polikarpus, Ignatius, dan yang lainnya, membuat saya menyadari bagaimana Tuhan menggunakan orang-orang kudus untuk mengembangkan Gereja yang akan bertahan selama dua ribu tahun. Membaca tentang ajaran-ajaran sesat yang sering kali diciptakan oleh para rohaniwan yang beragama Katolik, dan bagaimana Gereja harus mengadakan konsili untuk mendiskusikan berbagai doktrin baru ini dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah, membuat saya percaya bahwa para hamba Allah ini dipimpin oleh Roh Kudus. Beberapa dari ajaran-ajaran sesat ini masih ada dalam berbagai bentuk hingga saat ini, tetapi Gereja masih tetap berdiri teguh menghadapi semuanya.

Yang sangat saya sukai dari Gereja perdana yaitu bukan hanya satu orang yang membuat sebuah doktrin untuk Gereja, namun merupakan sebuah upaya kolaboratif melalui para uskup dari berbagai wilayah yang berkumpul untuk mendiskusikan dan menyetujui ajaran-ajaran yang sesuai dengan apa yang telah diwariskan kepada mereka sejak awal. Selain itu, melihat bahwa Gereja perdana adalah Gereja yang liturgis dalam tata caranya, dan kita mendapatkan Alkitab dari Gereja Katolik benar-benar mengubah cara berpikir saya tentang Kekristenan.

Selama bertahun-tahun, saya tidak dapat melepaskan doktrin Oneness dan berjuang untuk menyesuaikan diri karena di UPC kami tidak percaya pada Tritunggal, sementara hampir semua denominasi Kristen di luar gerakan Oneness percaya akan Tritunggal. Saya mulai membenamkan diri untuk mempelajari doktrin Tritunggal, dan semakin saya pelajari, semakin masuk akal bagi saya. Setelah membaca tentang Gereja perdana, bagaimana mereka percaya akan Tritunggal dan pentingnya Ekaristi, saya siap untuk melakukan perubahan. Saya berdoa dengan sungguh-sungguh agar Allah menuntun saya dan Susanne kepada Gereja yang Sejati. Saya ingat pernah membaca tentang seorang profesor bernama Mark McNeil yang dulunya adalah seorang pendeta UPC, dan bagaimana ia berhasil menemukan jalan menuju Gereja Katolik. Saya menemukan kisahnya melalui Coming Home Network, sebuah kelompok kerasulan yang dibentuk oleh seorang mantan pendeta Presbiterian, Marcus Grodi, yang sudah berpindah ke iman Katolik. Kesaksiannya dan kesaksian orang lain membantu saya untuk melihat bahwa kembali ke Gereja adalah hal yang mungkin. Pada saat itu, Susanne belum sepenuhnya bergabung, meskipun ia sering mengikuti Misa bersama saya di berbagai gereja.

Kembali ke Gereja

Saya menghubungi Ken Hensley, seorang mantan pendeta Baptis yang bertanggung jawab atas Pelayanan Pastoral di Coming Home Network (CHNetwork). Kami berbicara melalui telepon dan saya mendaftar untuk menerima buletin bulanan mereka yang mengulas berbagai topik dan perubahan keyakinan. Sejujurnya, kesaksian-kesaksian ini sangat menginspirasi saya sehingga saya ingin sekali menjadi seorang Katolik. Ken mengadakan pertemuan Zoom dengan orang-orang dari berbagai negara bagian. Susanne sangat terkesan dengan orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu. Kami berencana untuk pergi ke salah satu retret yang disponsori oleh CHNetwork, tetapi COVID melanda. Kemudian kami mulai melakukan renungan harian di rumah dengan menggunakan bahan-bahan dari Gereja Katolik.

Selama masa ini, saya berdoa untuk istri saya karena saya tahu bahwa peralihan keyakinan ini akan sulit baginya. Ketika pandemi mulai mereda, kami masih belum beribadah ke gereja mana pun, tetapi terus melakukan renungan pribadi. Saya ingin sekali kembali mengikuti Misa, tetapi saya tahu bahwa Susanne membutuhkan waktu untuk memahami semuanya.

Suatu malam, kami sedang makan malam dengan salah satu saudari Susanne, yang bertanya kepada kami tentang di gereja mana kami beribadah. Susanne menjawab dengan mengatakan bahwa kami tertarik untuk kembali ke Gereja Katolik. Hal ini mengejutkan semua orang termasuk saya sendiri, tetapi saya menyadari bahwa ia sudah berusaha untuk terbuka kepada Tuhan dan Tuhan menunjukkan jalan untuk kembali.

Saya segera mendaftar untuk mengikuti retret CHNetwork yang diadakan di Milford, Ohio pada bulan Maret 2023. Kami melakukan perjalanan darat dan disambut dengan ramah oleh beberapa orang yang luar biasa di retret itu. Di sana, kami bertemu dengan orang-orang yang berada dalam perjalanan yang sama dengan kami, bersama dengan orang-orang lain yang berada beberapa langkah di depan kami dalam perjalanan mereka, dan  retret itu sangat menginspirasi. Para pendeta Protestan yang telah melepaskan penghidupan mereka dengan meninggalkan pelayanan mereka dan bergabung dengan Gereja Katolik membuat kami menyadari betapa sulitnya hal itu bagi mereka, tetapi sangat menguatkan bagi kami untuk melihat bahwa mereka bersedia melakukannya karena kasih mereka kepada Tuhan dan Gereja. Kami senang mengunjungi mereka dan berbagi cerita. Saya dan Susanne sedikit khawatir tentang Pengakuan Dosa, tetapi kami memiliki seorang Monsinyur yang luar biasa yaitu Jeffrey Steenson, yang membantu menuntun kami melalui proses itu. Kami didoakan oleh kelompok sebelum melakukan pengakuan dosa, dan keesokan harinya, setelah selang waktu hampir lima puluh tahun, saya dan Susanne mendapat kesempatan yang luar biasa untuk menerima Ekaristi. Saya tidak dapat menggambarkan perasaan yang saya rasakan ketika saya menyadari bahwa saya benar-benar menerima Tubuh dan Darah yang berharga dari Tuhan Yesus Kristus. Kami berdua saling memandang dan meneteskan air mata sukacita. Kami merasa bahwa kami sedang menjunjung tinggi perkataan Yesus dalam Yohanes 6:53-58.

Petang itu, kami menghadiri Adorasi Ekaristi pertama kami dan itu sangat indah. Duduk dalam keheningan dan merenungkan Ekaristi di hadapan kami memberikan perspektif baru tentang menjadi seorang Katolik. Retret ini sangat informatif dan hanya dengan mendengarkan perjalanan iman yang dilakukan oleh para peserta sangat menarik. Kami mendapat banyak teman baru yang menjadi bagian dari hidup kami. Pulang dari Milford, Ohio, kami menemukan gereja paroki kami, St. Paul the Apostle, di Pueblo West. Kami mulai beribadah di sana dan diberkati oleh pastor kami, Romo Edmundo Valera.

Meninggalkan organisasi Pentakosta/Rasuli adalah hal yang sulit karena orang-orang yang luar biasa yang sudah kami kenal, cintai, dan hargai. Di sisi lain, tidak ada lagi pencarian kebenaran, tidak ada lagi pencarian gereja, tidak ada lagi perdebatan berbagai doktrin, tidak ada lagi pengembaraan di padang gurun dengan kepercayaan yang membingungkan. Saya bersyukur atas kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang sejarah Gereja yang dirintis oleh Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.

Saya bersyukur untuk istri dan sahabat saya yang cantik, Susanne. Dia adalah penunjuk jalan saya yang sejati dan berada di sisi saya dalam perjalanan ini. Anak perempuan dan laki-laki kami dibesarkan dalam gerakan Oneness tetapi tidak lagi terlibat dalam gerakan ini. Doa kami adalah supaya suatu hari nanti putra dan putri kami bersama dengan pasangan mereka, cucu-cucu kami, keluarga dan teman-teman kami, mereka semua akan memahami bahwa perpindahan keyakinan kami ke Gereja Katolik dilakukan dengan banyak doa, pembelajaran, penelitian, permenungan dan ketulusan. Saya merasa bahwa kami telah bergabung dengan banyak pelayanan dan umat awam lainnya yang merasakan tarikan Roh Kudus dan mencari jalan mereka menuju Gereja. Saya tahu bahwa akan sulit bagi beberapa keluarga dan teman-teman kami untuk menerima perjalanan iman kami. Tetapi ini adalah perjalanan kami dan kami akan terus menggali kedalaman dan kekayaan iman Katolik yang kami miliki.

 

Michael dan Suzanne Garcia mengikuti Misa di paroki St. Paul the Apostle di Pueblo West, Colorado. Setelah pensiun dari pemerintahan, Michael terlibat dalam genealogi dan menulis buku pertamanya yang berjudul “Memorias de Mi Familia: Memories of My Family” (Kenangan Keluarga Saya). Dia senang membaca tentang sejarah, mempelajari Alkitab dan belajar tentang Gereja perdana. Menikah dengan Susanne, mereka memiliki dua anak yang sudah dewasa, Kristina dan Michael, dan lima cucu perempuan: Isabela, Ameya, Olivia, Sierra dan Luciana. Mereka senang berjalan-jalan, bepergian dan berkemah di tanah milik mereka di Colorado selatan.

 

Sumber: “A Oneness Pentecostal Minister Becomes Catholic”

Posted on 29 December 2023, in Kisah Iman and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.