Ayat Tersembunyi tentang Perkawinan Sesama Jenis dalam Alkitab?
Oleh Trent Horn

Ilustrasi Terkejut (Sumber: catholic.com)
Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa Matius 8 berisi tentang hubungan sesama jenis … dan Yesus memberkatinya! Sebenarnya apa yang terjadi dalam kisah ini?
Saya selalu kagum dengan begitu banyaknya orang yang berusaha memutarbalikkan Alkitab untuk mempertahankan ideologi mereka sendiri. Sebagai contoh, sebuah situs Kristen pro-gay menyatakan bahwa perwira yang meminta pertolongan Yesus untuk menyembuhkan hambanya dalam Matius bab delapan, sebenarnya perwira itu memiliki hubungan seksual dengan hamba tersebut. Bukti utama untuk hal ini berasal dari penggunaan istilah pais oleh perwira tersebut untuk menggambarkan hamba tersebut, yang menurut operator situs tersebut merujuk pada seorang kekasih pria. Dari sini para penulis situs tersebut menyimpulkan, “Yesus memulihkan hubungan homoseksual melalui mukjizat penyembuhan dan kemudian mengangkat seorang pria homoseksual sebagai contoh iman yang harus diikuti oleh semua orang.”
Pertama-tama, hanya karena Yesus menyembuhkan satu orang, bukan berarti Yesus menyetujui semua yang dilakukan oleh orang tersebut. Ketika Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta, hanya satu orang yang kembali dan memuliakan Allah atas kesembuhannya, tetapi itu bukan berarti Yesus mendukung kelalaian beragama dari sembilan orang lainnya (Lukas 17:11-19).
Jadi, meskipun perwira dan hambanya memiliki hubungan seksual, bukan berarti mukjizat Yesus itu merestui semua aspek dari hubungan tersebut. Bahkan, kata “hubungan” sebenarnya adalah sebuah eufemisme, karena ini adalah kasus seorang pria yang lebih tua membeli pria yang lebih muda untuk tujuan seksual, atau apa yang kita sebut sebagai “budak seks.” Saya ragu bahwa kritikus revisionis akan menggambarkan peristiwa ini dengan mengatakan, “Yesus memulihkan hubungan tuan-budak dengan mukjizat penyembuhan dan kemudian mengangkat seorang pedagang budak seks sebagai contoh iman yang harus diikuti oleh semua orang.”
Para penulis artikel ini mengakui bahwa hubungan ini mungkin tampak “menjijikkan,” tetapi mereka menjelaskannya dengan mengatakan bahwa perkawinan pada masa itu pada dasarnya juga merupakan semacam perbudakan, jadi apa masalahnya? Mereka menulis, “Dalam budaya saat itu, jika Anda seorang pria gay yang menginginkan ‘pasangan’ pria, Anda mendapatkannya, seperti halnya rekan-rekan heteroseksual Anda, melalui transaksi komersial-membeli seseorang untuk memenuhi tujuan tersebut. Seorang budak yang dibeli untuk memenuhi tujuan ini sering disebut pais.”
Ada perbedaan: ketika para budak tidak dapat “menceraikan” tuannya, para istri dapat menceraikan suaminya (lihat Markus 10:12). Namun yang lebih penting, Yesus menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang meskipun mereka ini berdosa, dan penyembuhan serta pembebasan dari bahaya yang dilakukan-Nya merupakan undangan kepada keselamatan rohani. Sebagai contoh, Yesus menyelamatkan perempuan yang tertangkap basah berzinah dari hukuman mati, bukan supaya perempuan itu dapat kembali ke jalan hidupnya yang penuh dosa, tetapi supaya dia bisa bertobat dari dosa-dosanya. Itulah sebabnya Ia berkata kepadanya, “Jangan berbuat dosa lagi” (Yohanes 8:11).
Kendati demikian, tidak ada bukti bahwa perwira dan hambanya benar-benar terlibat dalam hubungan seksual. Profesor Perjanjian Baru John Byron menulis demikian:
Kata benda Yunani pais digunakan dalam Perjanjian Baru sebanyak dua puluh empat kali dan punya banyak makna yang mencakup “remaja,” “anak,” dan “hamba.” [Dalam Perjanjian Lama Yunani, kata ini muncul berkali-kali dan selalu merujuk pada “hamba.” Tidak ada kemunculan istilah ini di mana pun dalam Alkitab yang dapat ditafsirkan [sebagai] kata yang mengacu pada pasangan muda dalam hubungan homoseksual.
Usaha-usaha lainnya untuk menggali makna pro-homoseksual yang tersembunyi dalam Kitab Suci juga meragukan. Maka, tidak mengherankan jika argumen yang menyatakan bahwa Yesus “mendukung kaum gay” biasanya merupakan argumen yang berasal dari sikap diam – argumen yang didasarkan pada apa yang tidak dikatakan oleh Yesus. Dengan begitu banyak kata mereka menyatakan, karena Yesus tidak pernah mengutuk homoseksualitas, maka Ia pasti tidak pernah memandang ada yang salah dengan hal itu. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2012, mantan presiden Jimmy Carter pada dasarnya melakukan hal itu ketika ia mengatakan:
Homoseksualitas sudah dikenal di dunia kuno, jauh sebelum Kristus lahir, dan Yesus tidak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang homoseksualitas. Dalam semua ajarannya tentang berbagai hal – Ia tidak pernah mengatakan bahwa kaum gay harus dikutuk. Saya pribadi berpendapat bahwa tidak masalah bagi kaum gay untuk melangsungkan perkawinan dalam upacara sipil.
Karena ada tradisi yang tidak terputus dari umat Kristiani yang mengutuk perilaku seksual sesama jenis sejak awal sejarah Gereja, dengan aman kita dapat menyimpulkan bahwa tradisi ini berasal dari Yesus dan para rasul. Tentu saja, akan sangat aneh jika Yesus menyetujui perilaku homoseksual hanya untuk membuat semua pengikutnya mengajarkan hal yang sebaliknya – termasuk Paulus, yang dipilih Yesus sebagai rasul dan penulis yang diilhami Roh Kudus, namun dengan jelas ia sendiri mengutuk perilaku homoseksual dalam tulisan-tulisannya (Roma 1:26-28, 1 Korintus 6:9-10, 1 Timotius 1:10).
Uskup Episkopal Gene Robinson berada dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang pria lain, namun dalam hal bungkamnya Yesus terhadap homoseksualitas, ia mengakui, “Kita tidak dapat menarik kesimpulan penegasan tentang hubungan semacam itu dari sikap diam tersebut.” Robinson malah menyatakan bahwa “yang dapat kita simpulkan dengan aman dan bertanggung jawab dari sikap diam Yesus adalah bahwa ia diam terhadap masalah ini” (God Believes in Love, 83-84). Saya bertanya-tanya apakah Robinson juga akan mengatakan bahwa “yang dapat kita simpulkan dengan aman dan bertanggung jawab dari sikap diam Yesus terhadap poligami, inses, seks dengan binatang, penyembahan berhala, dan pengorbanan anak adalah bahwa Ia diam terhadap permasalahan tersebut.”
Kemungkinan besar ia tidak akan melakukannya, karena Yesus menegaskan tentang larangan dalam Perjanjian Lama misalnya tentang pembunuhan, ada hal yang menunjukkan bahwa Ia tidak akan pernah mendukung pengorbanan anak, sehingga pertanyaan ini tidak masuk akal untuk ditanyakan. Demikian juga, penegasan Yesus tentang larangan Perjanjian Lama tentang amoralitas seksual juga menunjukkan bahwa Ia tidak akan pernah mendukung aktivitas seksual antara sesama jenis, atau segala jenis perilaku yang melanggar hukum moral universal.
Kendati demikian, bukan berarti Yesus hanya akan menghakimi mereka yang melanggar hukum moral Allah. Sebaliknya, Ia menawarkan kepada mereka (termasuk Anda dan saya) tawaran keselamatan yang penuh kasih karunia melalui diri-Nya. Demikian menurut profesor Perjanjian Baru, Robert Gagnon:
Yang istimewa dari pelayanan Yesus bukanlah Ia menolak untuk menghakimi perilaku orang lain, atau bahkan menurunkan standar moralnya. Sebaliknya, di banyak hal, Ia justru meningkatkan standar-standar tersebut. Yang berbeda adalah sikap-Nya yang sangat murah hati bahkan terhadap mereka yang sudah lama hidup dalam ketidaktaatan kepada Allah. Ia mengerahkan upaya yang sangat besar dan menunjukkan belas kasihan yang luar biasa dalam mencari mereka yang terhilang. Yesus tidak menunggu mereka yang tersesat supaya datang kepada-Nya. Justru Ia pergi mencari mereka (The Bible and Homosexual Practice, 212).
Posted on 18 February 2023, in Apologetika and tagged LGBT, Trent Horn. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0