Gereja Katolik, Inilah Daftar Pertanyaanku – Kisah Jennifer Southers

Jennifer Southers (Sumber: chnetwork.org)

Marilah kita bersahabat

Saya menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, dan kemudian dibaptis pada musim semi tahun 1980. Di sepanjang hidup saya, saya ikut di berbagai gereja-gereja Protestan, saya menjadi anggota gereja Sahabat (Friends church) lebih dari 30 tahun sebelum pindah keyakinan ke Katolik. Tahun terakhir di gereja Sahabat, rasanya Tuhan memberi tahu saya kalau sudah saatnya saya untuk masuk lebih dalam lagi, melihat ke luar dari tempat saya berada.

Gereja itu penuh dengan kenangan. Suami saya bernama Denny, kami menikah di sana, pemakaman suami saya juga di gereja itu. Tempat berlutut di depan altar didirikan dan dipasang dengan tempat dana kedukaan dari pemakaman suami saya. Sahabat saya pergi ke gereja itu, dan kami duduk bersama setiap hari Minggu. Inilah keluarga gereja saya. Apa yang Tuhan minta dari saya yaitu dengan mengatakan saya harus pergi lebih dalam lagi, yang menuntun saya untuk melihat melampaui tempat ini?

Gereja Sahabat itu adalah gereja pedesaan kecil yang dipenuhi dengan umat Kristen yang baik hati dan saling peduli. Mereka sangat hebat dalam pengetahuan Alkitab, dan mereka menunjukkan kasih Allah kepada kami. Sulit rasanya bagi kami bahwa teologi mereka tidak punya pembahasan untuk baptisan dan komuni. Pendiri Gereja Sahabat (Quaker) di Inggris yang bernama George Fox percaya bahwa Gereja Inggris menekankan pada tradisi dan ritual daripada memberikan penyembuhan dan mendengarkan suara Roh Kudus. Saya sendiri dibesarkan di Gereja Methodist, bukan di Gereja Sahabat. Pembantukan iman saya ditanamkan akan pentingnya Baptisan dan Komuni Kudus. Gereja Sahabat memang memiliki banyak aspek yang luar biasa, meskipun mereka tidak melakukan kehidupan sakramental.

Setiap hari Minggu, pendeta akan berkata, “Coba pikirkan bahwa Yesus sedang duduk di sebelah Anda, dan pikirkan apa yang hendak Ia katakan kepada Anda.” Ketika Anda memikirkannya, maka akan memengaruhi cara berdoa Anda. Doa hening kontemplatif ini adalah gagasan yang sangat Katolik, meskipun saat itu saya tidak mengetahuinya. Saya baru tahu bahwa Gereja Sahabat punya hidup doa yang begitu dalam. Saya juga ikut terlibat dengan urusan gereja dan sadar akan dukungan mereka untuk misi. Kami memahami akan pentingnya misi lokal, domestik, dan internasional. Saya melakukan beberapa perjalanan misi.

Ketika rumah kami dirampok, suami saya waktu itu sedang bekerja shift kedua, dan setiap malam seseorang dari gereja Sahabat akan menelepon untuk memastikan saya baik-baik saja. Satu kejadian lagi, ketika putra kami berumur tiga tahun, saya harus menjalani operasi punggung. Umat gereja membawakan makanan untuk kami dan membantu untuk membersihkan rumah. Bertahun-tahun kemudian, saya dan suami pertama saya bercerai, dan keluarga saya menjadi fokus misionaris bagi jemaat kami. Mereka memerhatikan saya dan anak-anak laki-laki saya dan membantu kami untuk terus menjalani hidup. Pada bulan Februari 2006, saya menikah lagi, dan suami saya, Denny, meninggal dunia sembilan tahun kemudian. Dan sampai saat ini, saya masih menjanda.

Marilah kembali ke masa lalu

Pada bulan Maret 2019, saya bersama dengan kelompok gereja pergi ziarah ke Israel. Inilah perjalanan yang mengubah hidup saya, dan Alkitab menjadi hidup. Ada banyak pengalaman yang menggema dalam diri saya dan banyak hal yang saya pahami lebih baik lagi sejak saya memasuki Gereja Katolik. Perhentian pertama kali yaitu di Yope, tempat Yunus mencoba lari dari Tuhan, dan setelah ia naik ke perahu yang mengalami badai hebat, ia terlempar ke laut dan ditelan ke dalam perut paus. Di kota yang sama, kami melihat rumah yang ditinggali Petrus yang diundang untuk mengajarkan iman kepada seorang perwira Romawi bernama Kornelius. Saya kagum karena rumah itu masih ada setelah 2.000 tahun dan ditempati oleh sebuah keluarga. Di atas ambang pintu ada tulisan “Rumah Simon, sang penyamak kulit” (Matius 9:43). Pentingnya sejarah ini setiap kali membuat saya terkejut.

Hujan berkabut terjadi waktu kami berada di Bukit Zaitun dan menelusuri jalan yang dilalui Yesus Ketika Ia memasuki kota Yerusalem pada Minggu Palma. Bukit itu terjal dan licin. Saya bertanya-tanya apakah kondisi demikian itu ada hubungannya dengan orang-orang meletakkan jubah dan daun palem di depan Kristus. Tapi kesan utama saya berada di Tanah Suci yaitu Tuhan dan Juruselamat saya sudah berjalan dan menapaki tanah itu. Pemikiran seperti itu yang berulang-ulang ada di benak saya Ketika mengunjungi banyak situs di Yerusalem.

Kami menyusuri Via Dolorosa, jalan yang dilalui Yesus sambil memikul salib. Perhentian Jalan Salib dibuat sepanjang rute ini, dan orang banyak berdoa di setiap perhentian itu. Saya tidak mengerti dengan Jalan Salib karena waktu itu saya belum Katolik. Saat ini, Jalan Salib berdampak besar terhadap diri saya.

Sekarang, ketika saya mendengarkan homili dan tempat di Israel yang disebutkan, maka saya bisa membanyangkan tempat-tempat itu dan menempatkan diri saya di sana. Saya bisa membayangkan gua tempat Daud bersembunyi, karena saya pernah ke sana. Saya pernah berjalan di tempat St. Petrus dan St. Paulus pernah berjalan, bahkan di tempat Yesus sendiri pernah menginjakkan kaki-Nya!

Kejutan terbesar terjadi ketika kami mengunjungi katedral. Ada rasa damai yang melingkupi diri saya. Saya duduk dan menenangkan diri, sambal berdoa. Kadang-kadang hal seperti itu menjadi sesuatu yang menakjubkan. Satu tempat yang paling mengesankan adalah Gereja St. Petrus di Gallicantu, Yerusalem, yang mengingatkan kembali peristiwa Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Sehingga, gereja itu didedikasikan bagi kita semua yang menyangkal Kristus supaya kita bertobat dan menerima penebusan. Seperti banyak gereja lain, ada salib di atapnya, tapi di gereja ini ada ayam jago emas di atas salibnya. Ketika saya pulang ke Indiana, saya memperhatikan banyak baling-baling ayam jago di atas lumbung dan bangunan. Seolah-olah, St. Petrus mendorong saya untuk lebih dekat lagi dengan suatu hal. Hanya saya belum tahu apa itu.

Mari kita melangkah lebih dalam

Pada bulan Mei 2019, saya sudah menjanda selama lebih dari empat tahun. Saya dikenalkan kepada seorang pria duda, Bruce. Ia beragama Katolik, dan setelah beberapa bulan mengenalnya, saya bertanya apakah saya bisa ikut Misa dengannya. Ketika saya pertama kali masuk ke gereja, kedamaian dan ketenangan yang luar biasa menghampiri saya seperti yang pernah saya alami di Tanah Suci. Saya menyukai liturgi Misa. Saya ikut Misa ketika memungkinkan, tetapi karena saya juga masih terlibat dan ikut beribadah di gereja Sahabat setiap minggunya, saya merasa satu kaki saya berada di gereja Protestan saya, sementara kaki yang lain mencoba melangkah masuk ke dalam Gereja Katolik. Sepanjang waktu, saya merasa Tuhan mendorong saya untuk terus berpikir dan berdoa.

Pada tanggal 11 Agustus 2019, Bruce, teman saya, bertanya kepada saya mau ke gereja mana pada hari Minggu. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan berdoa mengenai hal itu, dan saya akan memberitahukannya. Minggu, 12 Agustus, saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan pergi bersamanya. Saya menyebutnya “hari Minggu keputusan,” karena saat kami memasuki tempat parkir gereja St. Patrick, suatu perasaan meliputi diri saya dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Saya tidak berkata apa-apa kepada siapa pun, tetapi saya tahu bahwa saya berada di tempat yang seharusnya. Saya sudah membuat keputusan. Akhirnya saya menceritakan pengalaman itu kepada Bruce sekitar dua minggu kemudian. Dia sudah tahu ketika saya sudah membuat keputusan karena menurutnya, ada perubahan dalam diri saya yang kelihatan.

Saya berbicara dengan pendeta saya dan menceritakan bahwa saya ingin mendalami Gereja Katolik dan ajaran-ajarannya. Ia berkata kepada saya bahwa ia tidak terkejut. Selama kami berada di Israel, ia tahu bahwa saya sedang berjuang. Saya menelepon sahabat saya dan mengatakan kepadanya bahwa saya ingin datang dan mengobrol dengannya serta suaminya. Ketika saya memberi tahu mereka tentang keputusan saya, mereka tidak senang. Saya senang untuk mengatakan bahwa persahabatan kami kembali ke jalur yang benar. Namun sayangnya, kami tidak pernah berbicara lagi tentang gereja dan jarang sekali berbicara tentang iman kami.

Inilah daftar pertanyaan saya

Saya memulai ikut RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.) pada tanggal 1 September 2019. Bruce menjadi sponsor saya dan selalu ikut di setiap kelas dengan saya. Saya bertemu dengan presbiter yaitu Romo Brian, pada awal pertemuan. Saya membawanya daftar pertanyaan yang harus saya tanyakan. Ia mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu akan dijawab melalui kelas-kelas saya, dan jika tidak, ia memastikan akan menjawabnya secara pribadi bagi saya. Dia sabar dan sangat memberi dukungan. Kelas-kelas itu membantu saya untuk menempatkan banyak hal sesuai dengan yang semestinya, banyak hal yang sudah mengusik saya selama bertahun-tahun. Saya belajar tentang Petrus dan bagaimana Yesus menunjuknya secara khusus ketika Ia berkata, “Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku” (Matius 16:18). Saya belajar tentang liturgi. Saya tidak tahu bahwa liturgi dan bacaan-bacaannya sama di setiap Gereja Katolik di seluruh dunia. Kami membahas pertanyaan-pertanyaan saya dan banyak hal lainnya.

Beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepada Romo Brian adalah:

  • Mengapa saya perlu mengaku dosa kepada seorang imam? Saya pikir ketika saya meminta pengampunan kepada Tuhan dan mencurahkan isi hati saya, saat itu juga saya sudah diampuni.
  • Bagaimana bisa seorang manusia duniawi bertindak menggantikan Yesus untuk pengakuan dosa atau hal-hal lainnya?
  • Saya tidak mengerti tentang berdoa kepada para kudus atau kepada Maria. Saya berdoa langsung kepada Tuhan melalui Roh Kudus. Apakah cara ini tidak cukup?
  • Mengapa Maria memiliki kuasa yang sedemikian rupa dalam Gereja Katolik? Sedangkan Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat kita.
  • Api penyucian? Yesus datang agar kita bisa tinggal dalam kekekalan bersama-Nya di surga. Mengapa kita butuh api penyucian?
  • Dalam doa Rosario, mengapa saya berdoa kepada Maria?
  • Mengapa saya tidak bisa menyambut Komuni? Mengapa saya harus tetap menunggu di bangku gereja?

Kelas kami sempat terganggu oleh pandemi COVID-19. Ada penundaan kelas, tetapi pada tanggal 22 Juli 2020, saya bergabung dengan Gereja Katolik dan menerima Komuni pertama. Keluarga saya mengatakan kalau saya berseri-seri dalam Misa. Tanpa keraguan, saya tahu bahwa saya sudah pulang ke rumah.

Saya merenungkan pertanyaan-pertanyaan saya di kelas RCIA pertama dan bagaimana saya dapat menyatukan kepingan-kepingan tersebut selama minggu-minggu itu. Saya sangat gugup untuk pengakuan dosa pertama saya, tetapi setelah itu, saya merasa lebih damai dengan segala sesuatu di masa lalu saya daripada sebelumnya. Saya belajar bahwa imam adalah agen Tuhan dan bahwa setiap imam dapat melacak garis silsilah imamatnya sampai kepada Yesus dan para Rasul pertama. Dalam Yohanes 20:19-23, kita membaca:

Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!” Dan sesudah berkata demikian, Ia menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada mereka. Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan. Maka kata Yesus sekali lagi: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.”

Kuasa untuk mengampuni dosa, yang diberikan Yesus kepada para Rasul-Nya pada peristiwa itu, tidak akan berakhir ketika para rasul wafat. Apa gunanya mempercayakan kuasa itu kepada mereka ketika Ia hendak naik ke surga jika kuasa itu akan ikut berakhir dengan kematian mereka? Maka kuasa itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui Sakramen Tahbisan Kudus.

Dalam Matius 22:31-32, dikatakan: “Tetapi tentang kebangkitan orang-orang mati tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah, ketika Ia bersabda: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup.”

Saya pernah menafsirkan bahwa Tuhan adalah Tuhan bagi kita di bumi, yang hidup. Matius mengatakan bahwa orang-orang kudus di surga itu hidup, bukan mati; mereka hidup dalam kekekalan. Sungguh, mereka lebih hidup daripada kita manusia yang berada di bumi ini. Saya sepenuhnya percaya bahwa St. Petrus adalah orang yang terus menarik saya dan dengan lembut membantu saya sampai pada titik di mana saya siap untuk mengatakan, “Saya pulang!”

Dalam kitab Wahyu 5:8, St. Yohanes menulis: “Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus.” Doa-doa itu adalah doa-doa yang kita panjatkan kepada para kudus.

Saya punya akses ke sebuah buku yang berisi daftar semua orang kudus dan apa yang membuat mereka menjadi orang kudus ketika saya mengikuti kelas RCIA. Sangat luar biasa bagi saya untuk mempertimbangkan ribuan orang kudus yang terdaftar dan banyak hal biasa dalam hidup kita yang karenanya mereka dijadikan orang kudus pelindung. Kita semua berpotensi untuk menjadi seorang kudus. Itulah yang seharusnya menjadi tujuan kita.

Tentang Maria, saya sudah jatuh cinta dengan Bunda Maria. Selama bertahun-tahun, saya bertanya-tanya mengapa kita hanya memikirkan atau berbicara tentang Maria pada saat Natal. Dia tidak hanya melahirkan Putra Allah, tetapi juga memiliki andil dalam hidup Yesus dan menyertai-Nya sepanjang pelayanan-Nya (Yohanes 2:1-12 dan Yohanes 19:26-27). Baru-baru ini, dampak Maria terhadap saya sangat penting. Saya melihatnya sebagai wanita terhebat dalam iman, kekuatan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan keibuan. Begitu banyak orang yang salah paham, berpikir bahwa Gereja Katolik ingin supaya umat awam menempatkan Bunda Maria di atas relasi seseorang dengan Putranya, Yesus Kristus. Ini sama sekali bukan ajaran Katolik. Maria memegang tempat kehormatan yang tinggi karena dia membantu membentuk Gereja setelah wafat dan kebangkitan Yesus. Seandainya dia tidak memiliki iman untuk mendengar, menafsirkan dan memahami perkataan Malaikat Agung Gabriel dan dorongan Roh Kudus, kita tidak akan memiliki Putranya. Yesus adalah Tuhan dan Juruselamatnya – dan juga milik kita. Yesus sangat mengasihi kita sehingga dari kayu salib, Ia memberikannya Maria bagi semua murid dengan menyerahkannya kepada Yohanes, murid yang dikasihi (Yohanes 19:26-29). Saya bersyukur bahwa Maria ada dalam hidup saya dan berdoa untuk saya di altar surgawi.

Doa Rosario juga menjadi bagian penting dari ritual harian saya. Saya bangun pagi-pagi, membaca renungan dan berdoa Rosario. Rosario bukanlah berdoa kepada Maria atau menyembah Maria. Salam Maria seratus persen alkitabiah, tetapi karena saya hanya mengingat ayat-ayat itu pada hari Natal ketika saya masih Protestan, saya tidak pernah menyadari hal ini. Seseorang menggambarkan doa Salam Maria kepada saya sebagai pengulangan kudus dari doa ini supaya saya bisa fokus pada kisah Injil di balik setiap misteri. Melalui peristiwa-peristiwa dalam doa Rosario, saya menjadi lebih dekat dengan Yesus. Saya sering menerima pemahaman atau pemikiran baru mengenai misteri tertentu.

Banyak dari peristiwa-peristiwa Rosario adalah bagian-bagian dari Injil yang saya pelajari saat saya tumbuh dewasa di gereja-gereja Protestan. Misalnya, dalam Peristiwa Sedih kita mulai dengan Yesus berdoa di Taman Getsemani. Di Taman itu, Ia mulai menanggung semua dosa kita dan mengalami keterpisahan dari Allah Bapa yang disebabkan oleh dosa kita. Rasa sakit yang luar biasa dari beban itu, pengetahuan tentang apa yang akan terjadi – saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya hal itu. Selama bertahun-tahun, saya tidak pernah memikirkan akibat yang sesungguhnya dari apa yang terjadi pada Yesus di Taman Getsemani. Peristiwa Sedih membawa saya lebih dalam ke dalam semua penderitaan Kristus, dari Taman Getsemani hingga Penyaliban. Ia melakukan semua itu untuk saya – dan juga untuk Anda.

Akhirnya, Ekaristi. Inilah karunia terbesar yang diberikan kepada saya ketika saya menyambut Komuni Pertama. Sebagai seorang Protestan, saya memandang roti dan anggur hanya sebagai simbol Perjamuan Terakhir. Ketika kami mempelajari Sakramen Ekaristi di RCIA, saya mulai memahami betapa agungnya Kehadiran Nyata Yesus dalam Sakramen Mahakudus, bahwa Ia berada di depan dan di pusat dalam seluruh perjamuan ekaristi, dalam seluruh Misa. Saya menjadi jauh lebih sadar akan Kehadiran-Nya, dan sekarang saya benar-benar menyerahkan seluruh diri saya di kaki-Nya. Saya harus belajar, berdoa dan menunggu, dan penantian itu begitu sulit. Namun, memang benar untuk menunggu sampai seseorang sepenuhnya memahami dan menghargai Siapa yang kita terima di setiap Misa. Hati saya sedih untuk teman-teman Protestan saya yang tidak tahu bahwa Yesus sedang menunggu mereka juga.

Saya terus bertumbuh dan belajar. Banyak orang sudah merekomendasikan banyak buku kepada saya, dan karena saya pensiun pada tanggal 31 Desember 2021, akhirnya saya punya waktu untuk membaca buku-buku itu. Saya ingin sekali dapat mengikuti Misa harian dan meluangkan waktu untuk Adorasi. Saya hanya ingin belajar lebih banyak, lebih dekat dengan Yesus dan tinggal bersama-Nya.

Saya sudah berdoa dan memikirkan tahapan berikutnya dalam hidup saya. Selama karier saya, sangatlah penting untuk berkontribusi kembali kepada komunitas tempat saya bekerja. Saya sudah berdoa tentang cara saya ingin membantu orang lain yang sedang melalui proses berduka dan menangani anak-anak. Sekarang saya dapat melakukan kedua hal itu melalui paroki saya.

Saya bersyukur bahwa St. Petrus terus mendorong saya ke Gereja Katolik.

Ketika saya menyelesaikan artikel ini, saya merenungkan kenyataan bahwa kita harus selalu melakukan pemeriksaan batin. Kita harus memperhatikan di mana kita berada dalam perjalanan hidup kita bersama Yesus Kristus. Apakah Ia memanggil kita untuk masuk lebih dalam? Apakah Ia memanggil kita untuk semakin dekat? Pertanyaan-pertanyaan yang tetap ada pada saya dari hari ke hari adalah sebagai berikut: Apakah saya menjalani kehidupan yang berkenan kepada Tuhan? Apakah saya melakukan semua yang dikehendaki Tuhan dari diri saya? Apakah iman saya cukup kuat sehingga pikiran dan hati saya benar-benar terbuka terhadap apa yang Tuhan minta dari saya? Sudahkah saya menjadi wanita yang sesuai dengan rancangan-Nya? Apakah saya sudah hidup kudus seperti yang dikehendaki-Nya?

Sumber: “Catholic Church, Here’s My List”

Advertisement

Posted on 10 March 2023, in Kisah Iman and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: