Tidak ada Alkitab tanpa Gereja
Oleh Mike Aquilina

St. Yohanes Penginjil di Patmos (sumber: stpaulcenter.com)
“Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku” (Yohanes 5:39).
Kita bisa membaca Kitab Suci sepanjang waktu. Google siap membantu Anda. Kita hanya perlu menekan tombol pencarian di mesin pencari itu untuk menemukan apa yang ingin kita temukan dalam Alkitab. Setiap terjemahan ada di sana, juga ada jutaan tafsiran untuk membantu kita untuk memahami – atau salah memahami – apa yang kita baca.
Bahkan sebelum zaman internet, Alkitab sudah ada di mana saja. Dahulu di Amerika, jika Anda check in ke hotel, ada Alkitab versi Gideon yang sengaja ditinggalkan di meja lampu tidur oleh penyewa kamar sebelumnya. Di Amerika juga banyak pengkhotbah jalanan yang membawa box berisi Kitab Perjanjian Baru untuk dibagikan. Anda juga bisa membeli Alkitab dari harga yang paling terjangkau sampai yang bentuknya mewah. Memang, sedikit sulit untuk menemukan Alkitab Katolik daripada Alkitab Protestan.
Dengan semua itu, artinya kita hidup di zaman yang hampir setiap orang punya Alkitab. Kecuali jika kita pernah tinggal di negara totaliter yang melarang Alkitab, dan memang tidak ada tempat seperti itu.
Inilah keistimewaan yang tidak pernah dibayangkan oleh nenek moyang kita. Kita bisa “menelusuri isi Kitab Suci” dalam hitungan detik. Di dunia kuno, menelusuri Kitab Suci adalah pekerjaan bagi mereka yang punya keahlian, bahkan membutuhkan keterampilan seumur hidup. Bahkan, di Aleksandria tempat pernah berdiri perpustakaan terkenal, seharusnya menyimpan salinan setiap buku yang pernah ditulis, untuk menemukan suatu tulisan dalam buku tertentu merupakan kerja keras – dengan asumsi jika Anda bisa menemukan buku tertentu dengan sekali percobaan.
Benar-benar dibutuhkan imajinasi untuk menerawang kembali ke lima belas atau dua puluh abad ke zaman ketika orang biasa tidak punya Alkitab. Tapi, jika kita tidak melakukannya, kita akan sangat salah memahami umat Kristen perdana. Mereka tidak hidup pada zaman kita sekarang, dan perjumpaan mereka dengan Kitab Suci hanya terjadi dalam satu konteks utama, yaitu liturgi. Di sana mereka mendengar Kitab Suci. Dan yang sama pentingnya, pada saat yang sama juga mereka mendengarkan tafsiran Kitab Suci.
Pada zaman itu, buku adalah barang mewah, bahkan di antara mereka yang terdidik, tidak banyak orang yang mampu memiliki banyak buku. Dan ada berapa banyak orang yang bisa membaca? Para cendekiawan masih memperdebatkan pertanyaan itu tanpa henti dan membuat kesimpulan yang berbeda-beda. Tapi mereka semua sepakat bahwa mayoritas orang di dunia kuno itu buta huruf. Satu-satunya cara buku bisa menjangkau banyak orang adalah jika ada seseorang yang membacakannya dengan lantang.
Maka, ketika Yesus berkata, “Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci” maka Ia sedang berbicara dengan para ahli yang benar-benar punya akses ke kitab-kitab itu. Yohanes menggunakan pilihan kata kalau Yesus sedang berbicara dengan “orang Yahudi” yang merupakan istilah yang biasa digunakan Yohanes bagi orang-orang yang punya otoritas di Bait Allah. Jelas sekali, kalau Yesus dan semua orang di sekitar-Nya adalah “orang Yahudi” dalam pengertian umum, tapi ketika Yohanes berkata “orang Yahudi” maka yang ia maksud adalah orang-orang yang secara khusus punya tanggung jawab atas kehidupan beragama di Yerusalem. Dan tugas mereka untuk menyelidiki Kitab Suci.
Orang-orang biasa akan menjumpai Kitab Suci di sinagoga, tempat di mana pembacaan kitab-kitab suci merupakan bagian penting dari liturgi. Kenyataannya, sebagian besar cendekiawan percaya bahwa Liturgi Sabda berasal dari liturgi kuno di sinagoga. Liturgi Sabda sendiri menjadi bagian pertama dari Misa di mana kita mendengar pengajaran dan penafsiran Kitab Suci.
Beginilah cara Alkitab mendatangi umat. Sebenarnya, “Kitab Suci” punya makna khusus, baik bagi umat Kristen maupun umat Yahudi. Artinya adalah kitab-kitab yang boleh diwartakan kepada jemaat selama liturgi berlangsung. Kitab-kitab lain mungkin saja kitab yang bagus, bahkan sangat bagus, tapi Kitab Suci adalah apa yang Anda dengar di gereja atau di sinagoga.
Inilah yang harus selalu kita ingat ketika para Bapa Gereja menafsirkan Alkitab bagi kita. Kita harus ingat bahwa rumah bagi Kitab Suci adalah liturgi.
Sekarang, kita bisa membaca berjilid-jilid tafsiran Kitab Suci karya para Bapa Gereja. Tapi kita lupa kalau tafsiran itu punya konteks. Hampir tanpa kecuali, para Bapa Gereja merupakan orang-orang yang punya jemaat yang harus dipelihara. Meraka menulis tanggapan dan tafsiran karena mereka punya kawanan yang perlu mengetahui apa makna Kitab Suci dalam hidup mereka sendiri.
Saat ini, dengan adanya Alkitab di setiap ponsel pintar, kita mudah sekali melupakan bahwa Gereja adalah rumah bagi Kitab Suci. Kembali ke para Bapa Gereja, mereka yang membantu kita mengingatkan bahwa tidak ada Kitab Suci tanpa Gereja.
Mike Aquilina adalah wakil presiden eksekutif dari St. Paul Center dan penyunting kontributor untuk Angelus News. Ia adalah penulis lebih dari lima puluh buku, termasuk bukunya yang berjudul “The Fathers of the Church” dan “The Eucharist Foretold.”
Posted on 3 March 2023, in Apologetika and tagged Alkitab, Gereja, Kitab Suci. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0