Kanon Perjanjian Lama dan “Konsili Yamnia”

Oleh Steve Ray

Gulungan Kitab Suci oleh jgroup (Sumber: istockphoto.com)

Banyak mitos populer yang dipercaya hanya karena orang banyak mau mempercayainya – bukan karena mitos itu benar. Angan-angan adalah pengganti yang kurang baik untuk kebenaran. Akan lebih baik jika kita menggali lebih dalam dan menemukan fakta-fakta yang ada, bukan hanya mempercayai sesuatu karena kita ingin hal itu benar.

Untuk menolak Alkitab Katolik, sudah menjadi hal yang populer di beberapa kalangan Protestan untuk menyatakan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai kanon Kitab Suci yang tertutup pada abad pertama dan umat Kristen perdana menerima kumpulan tulisan-tulisan Yahudi yang diilhami dari Allah ini sebagai yang final dan mengikat bagi Gereja. Konsili Yamnia biasanya dianggap sebagai “bukti” dari pernyataan ini. Dalam “Konsili Yamnia,” konon para rabi Yahudi berkumpul – seperti Konsili Ekumenis dalam Gereja Katolik – untuk menetapkan kriteria khusus bagi Kitab Suci yang berasal dari Allah dan akhirnya mendefinisikan dan menutup kanon Perjanjian Lama.

Apakah ini benar? Pertama, kita akan melihat bagaimana berbagai penulis yang membela sikap penolakan pihak Protestan terhadap tujuh buku berdasarkan pemahaman yang salah tentang apa yang disebut sebagai “Konsili Yamnia.” Kedua, apakah “konsili” ini benar-benar mendiskusikan batas kanon Perjanjian Lama? dan yang ketiga, jika benar demikian, apakah mereka mempunyai otoritas untuk menutup kanon? Keempat, apakah mereka benar-benar menyusun daftar final dari tulisan-tulisan itu? dan yang kelima, dan menjadi yang sangat penting, jika keputusan itu sudah ditetapkan, apakah orang Kristen juga terikat oleh keputusan itu? Kami akan menyimpulkan dengan ajaran Gereja Katolik dan mengapa mengapa kita dapat mempercayainya dengan begitu yakin.

Pertama, mari kita perjelas beberapa istilah. Kanon Kitab Suci mengacu pada kumpulan terakhir dari kitab-kitab yang diilhami Roh Kudus yang dimasukkan ke dalam Alkitab. Alkitab Katolik berisi tujuh kitab yang tidak ada dalam Perjanjian Lama Protestan. Ketujuh tulisan ini disebut deuterokanonika, atau Hukum Kedua. Umat Protestan biasanya menyebut tulisan-tulisan ini sebagai Apokrifa (yang berarti “tersembunyi”) – kitab-kitab yang mereka anggap di luar kanon. Ketujuh tulisan ini meliputi 1 dan 2 Makabe, Tobit, Yudit, Sirakh, Kebijaksanaan, Barukh, serta beberapa bagian tambahan dari kitab Daniel dan Ester. Sebelum zaman Kristus, tulisan-tulisan ini termasuk dalam Septuaginta Yunani Yahudi (LXX) – terjemahan bahasa Yunani dari Kitab Suci Yahudi, tetapi tidak termasuk dalam naskah Ibrani Masoretik.

Sebagian besar orang Yahudi pada abad pertama sebelum Masehi dan abad pertama sesudah Masehi tinggal di luar Israel. Mereka disebut Diaspora, yaitu mereka yang tersebar di seluruh Kekaisaran Romawi. Banyak di antara mereka yang telah mengalami Helenisasi, yang artinya mereka sudah mengadopsi budaya Yunani-Romawi termasuk bahasa Yunani. Septuaginta yang berisi kitab-kitab Deuterokanonika yang merupakan Alkitab utama yang digunakan oleh orang-orang Yahudi diaspora.

Pada abad pertama, orang-orang Yahudi non-Kristen umumnya menganggap Gereja sebagai sebuah aliran sesat dan kultus Yahudi yang salah kaprah, mungkin mirip dengan cara orang Kristen memandang Mormon atau Saksi-Saksi Yehuwa pada masa kini. Pada abad pertama, beberapa dekade setelah Kristus hidup, orang-orang Kristen perdana yang sebagian besar adalah orang bukan Yahudi dan mereka menggunakan Septuaginta Yunani sebagai Perjanjian Lama mereka, mengikuti teladan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani, Yesus dan para Rasul.1 Ketika orang-orang Kristen mulai menggunakan terjemahan bahasa Yunani ini untuk mempertobatkan orang-orang Yahudi ke dalam iman Kristen, orang-orang Yahudi mulai membencinya.2 Apakah mengejutkan bagi siapa pun juga kalau mereka akan mengutuk kanon dan terjemahan yang digunakan orang Kristen, bahkan jika kanon tersebut pada awalnya diterjemahkan, disetujui, dan diedarkan oleh orang Yahudi sendiri tiga ratus lima puluh tahun sebelumnya (sekitar tahun 250 SM)?

Gereja perdana sering sekali menggunakan Septuaginta Yunani, dari situ juga St. Paulus mengambil sebagian besar kutipan dari Perjanjian Lama. Gereja perdana menuruti Septuaginta dan para rasul menggunakannya secara luas, menerima kitab-kitab Deuterokanonika. Ketika akhirnya kanon ditutup oleh konsili-konsili Gereja Katolik, kitab-kitab ini dimasukkan ke dalam daftar akhir. Apa yang disebut “Konsili Yamnia” adalah sekelompok cendekiawan Yahudi sekitar tahun 90 Masehi yang diberi izin oleh Roma untuk bertemu di Palestina, di dekat Laut Mediterania di Yamnia (atau Yabneh). Di sini mereka membentuk Sanhedrin yang “dibentuk ulang” tetapi tidak memiliki otoritas.3 Di antara banyak hal yang mereka diskusikan adalah status dari beberapa tulisan yang dipertanyakan dalam Alkitab Yahudi. Mereka juga menolak tulisan-tulisan Kristen dan membuat terjemahan baru dari Septuaginta Yunani.

Karena banyak penulis Protestan yang merujuk kepada “Konsili Yamnia” dalam kasus mereka menentang kitab-kitab Deuterokanonika yang terdapat di dalam Alkitab Katolik, ada baiknya kita melihat beberapa contoh. Norman Geisler, dekan dari Southern Evangelical Seminary, dalam buku populernya yang berjudul Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences,4 kelihatannya ia cukup percaya diri dalam menyangkal kanon Perjanjian Lama Katolik, dengan menyatakan bahwa para rabi Yahudi di Yamnia menolak kitab-kitab Deuterokanonika yang diterima oleh umat Katolik, dan ia juga menyatakan bahwa kanon tersebut sudah diperbaiki (yang berarti sudah final) di Yamnia. Hal ini mengecewakan jika melihat fakta-fakta yang ada.

Geisler menulis: “Para cendekiawan Yahudi di Yamnia (sekitar tahun 90 M) tidak menerima kitab Apokrifa sebagai bagian dari kanon Yahudi yang diilhami secara ilahi (lihat Beckwith, 276-77).” Karena Perjanjian Baru secara eksplisit menyatakan bahwa Israel dipercayakan dengan nubuat-nubuat Allah dan merupakan penerima dari perjanjian-perjanjian dan Hukum Taurat (Roma 3:2), maka orang Yahudi harus dianggap sebagai penjaga batas-batas kanon bagi mereka. Dan mereka selalu menolak kitab-kitab Apokrifa” (Geisler, Norman L., dan Ralph E. MacKenzie. Roman Catholics and Evangelicals : Agreements and Differences [Grand Rapids, Mich.: Baker Books, 1995], 169).

Dan meskipun ia tampaknya menyangkal otoritas para rabi di Yamnia di salah satu bagian dalam bukunya A General Introduction to the Bible, ia kemudian menjelaskannya dalam sebuah bagan: “Konsili Yamnia (90 M), Kanon Perjanjian Lama ditetapkan” (Geisler, N.L., & Nix, W.E. [Chicago: Moody Press, 1996, c1986], 286).

Bukan hanya Geisler yang menyatakan bahwa kitab Apokrifa ditolak dan kanon Perjanjian Lama yang terakhir ditetapkan di Yamnia. Tampaknya ini adalah legenda umum yang digunakan sebagai “bukti” untuk mendukung asumsi yang tidak historis dan tidak benar. Sebelum kita melihat mitos ini, kami akan menunjukkan bagaimana mitos ini sering digunakan. Beberapa contoh singkat lain dari argumen pembuktian yang keliru terhadap “Konsili Yamnia” mungkin cukup membantu:

“Pada akhir abad pertama Kekristenan, para rabi Yahudi, dalam Konsili Gamnia [Yamnia], menutup kanon kitab-kitab Ibrani (yang dianggap berotoritas)” (Swaggart, Catholicism & Christianity [Baton Rouge, Louisiana: Jimmy Swaggart Ministries, 1986], 129).

“Setelah kehancuran Yerusalem, Yamnia menjadi kediaman Sanhedrin Agung. Sekitar tahun 100, sebuah sidang para rabi di tempat itu menetapkan kanon terakhir dari PL” (Ed. Martin, Ralph P., dan Peter H. Davids. Dictionary of the Later New Testament and Its Developments [Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2000, c1997], 185).

Meskipun sekarang banyak kalangan yang mengakui bahwa Yamnia tidak menolak kitab-kitab Deuterokanonika atau secara otoritatif menutup kanon Perjanjian Lama, namun masih ada banyak sumber yang menyatakan dan beranggapan demikian.

Menurut Oxford Dictionary of the Christian Church, “sidang” di Yamnia pada tahun 100 M bukanlah sidang “resmi” dengan otoritas yang mengikat untuk mengambil keputusan semacam itu.

“Setelah kejatuhan Yerusalem (70 M), suatu perkumpulan guru-guru agama didirikan di Yamnia; lembaga ini dianggap sebagai pengganti Sanhedrin sampai batas tertentu, meskipun tidak memiliki ciri-ciri representatif atau otoritas nasional yang sama. Tampaknya salah satu topik yang dibahas di antara para rabi adalah status beberapa kitab dalam Alkitab (mis. Ekklesiastes/Pengkhotbah dan Kidung Agung) yang ke-kanonikannya masih dipertanyakan pada abad ke-1 M. Usul supaya sebuah sinode khusus di Yamnia, yang diselenggarakan pada sekitar tahun 100 Masehi, akhirnya menetapkan batas-batas kanon Perjanjian Lama, dibuat oleh H. E. Ryle; meskipun hal ini sudah tersebar luas, namun tidak ada bukti yang mendukungnya” (ed. oleh F. L. Cross dan E. A. Livingston [New York, NY: Oxford Univ. Press]), 861 (cetak miring dari penulis asli artikel).

Bukankah menarik bahwa orang Yahudi tidak mempunyai “kanon tertutup” Kitab Suci pada masa Kristus, sebelum tahun 100 M, atau bahkan setelah Yamnia? Bahkan pada masa Kristus, ada beberapa pendapat yang saling bertentangan mengenai kitab-kitab mana saja yang termasuk dalam Alkitab Yahudi. Ada berbagai macam kumpulan kitab yang ada. Orang-orang Saduki dan Samaria hanya menerima Pentateukh, yaitu lima kitab pertama, sedangkan orang-orang Farisi menerima kanon yang lebih lengkap, termasuk Mazmur dan kitab-kitab para nabi. Naskah Masoretik tidak memuat kitab-kitab Deuterokanonika, sedangkan Septuaginta Yunani yang digunakan secara luas (yang secara umum digunakan oleh Paulus dan Gereja) memuat kitab-kitab Deuterokanonika.

Ketidakpastian ini terus berlanjut setelah masa Kristus, setelah “Konsili” Yamnia dan hingga abad berikutnya. Diskusi mengenai kitab-kitab yang termasuk dalam kanon Perjanjian Lama terus berlanjut di antara orang-orang Yahudi jauh setelah Yamnia, yang menunjukkan bahwa kanon masih terus didiskusikan hingga abad ketiga Masehi – jauh setelah periode para rasul. Tantangan terhadap kanonisitas di Yamnia hanya menyangkut kitab Ekklesiastes/Pengkhotbah dan Kidung Agung, tetapi perdebatan mengenai kanon terus berlanjut setelah Yamnia, bahkan hingga abad kedua dan ketiga. Bahkan kanon Ibrani yang diterima oleh umat Protestan saat ini diperdebatkan juga oleh orang-orang Yahudi selama dua ratus tahun setelah Kristus.

Lalu mengapa Geisler dan beberapa orang lainnya melebih-lebihkan alasan mereka ketika mereka menyatakan bahwa Yamnia membenarkan kanon Perjanjian Lama? Sederhananya, saya pikir beberapa orang membaca kembali sejarah tentang apa yang ingin mereka percayai dan apa yang mereka harapkan untuk bisa mereka percayai. Atau, mungkin saja mereka hanya salah informasi. Namun, dalam kedua kasus tersebut, tidak ada bukti yang mendukung pernyataan mereka, justru sangat banyak yang membantahnya.

Tafsiran Alkitab Hieronimus memberi informasi kepada kita tentang situasi ini: “Ada empat hal yang perlu diperhatikan: (1) Meskipun para penulis Kristen tampaknya berpikir dalam istilah konsili gereja formal di Yamnia, tidak pernah ada “konsili Yamnia.” Di Yamnia terdapat sebuah sekolah untuk mempelajari Hukum Taurat, dan para rabi Yamnia menjalankan fungsi-fungsi hukum dalam komunitas Yahudi. (2) Tidak ada bukti bahwa ada daftar kitab yang disusun di Yamnia. Tentu saja, para rabi mengakui bahwa kitab-kitab tertentu secara istimewa dianggap sakral dan ada kitab yang dapat “mengotori tangan,” sehingga perlu dilakukan pentahiran setelah menggunakannya (Mishnah, Yadaim 3:2). Namun sikap ini mungkin menunjukkan penerimaan umum terhadap 22 atau 24 kitab yang kita lihat dalam tulisan Josephus dan 4 Ezra pada masa yang kurang lebih sama. Tidak ada bukti bahwa sebuah daftar yang pasti pernah disusun. (3) Suatu diskusi khusus mengenai penerimaan di Yamnia hanya dibuktikan untuk kitab Ekklesiastes/Pengkhotbah dan Kidung Agung, dan bahkan dalam kasus ini perdebatan masih berlanjut dalam Yudaisme beberapa dekade setelah periode Yamnia. Ada juga perdebatan berikutnya tentang kitab Ester. (4) Kita tidak mengetahui adanya kitab-kitab yang ditolak di Yamnia. Sebuah kitab seperti Sirakh, yang pada akhirnya tidak menjadi bagian dari Alkitab Ibrani standar (berdasarkan dugaan kanon Yamnia), juga dibaca dan disalin oleh orang Yahudi setelah periode Yamnia. Tosefta, Yadaim 2:13, mencatat bahwa Sirakh dinyatakan tidak mengotori tangan, tetapi tidak menyebutkan di mana atau kapan hal ini diputuskan” (Brown, Raymond Edward, Joseph A. Fitzmyer, dan Roland Edmund Murphy. The Jerome Biblical Commentary (Tafsiran Alkitab Hieronimus). Englewood Cliffs, [N.J.: Prentice-Hall, 1996, c1968], Vol. 2, Hal. 522).

Bahkan seandainya para rabi Yamnia memang sudah menutup kanon, dan mereka memiliki otoritas untuk membuat keputusan kanonik seperti itu (menutup kanon Perjanjian Lama), siapakah yang mengatakan bahwa mereka memiliki otoritas dari Allah untuk membuat keputusan yang mengikat seperti itu? Mengapa orang Kristen harus menerima keputusan mereka? Pada tahun 100 M, apakah mereka masih menjadi juru bicara Allah, apakah mereka masih menjadi umat kenabian-Nya? Allah telah menyanggah orang-orang Yahudi sebagai “suara kenabian-Nya” tiga puluh tahun sebelumnya ketika Yerusalem dihancurkan dan diratakan dengan api. Allah menghakimi mereka dan menolak kulit anggur lama mereka. Anggur dan kantong anggur yang lama (Yudaisme) kini telah digantikan oleh anggur baru (Injil) dan kantong anggur yang baru (Gereja). Mengapa menerima keputusan para rabi yang sudah dicabut kewenangannya dan tidak otoritatif, dan bukannya menerima keputusan Gereja?

Untuk alasan lebih lanjut, kita tidak boleh bergantung pada orang-orang Yahudi abad pertama Masehi dalam menentukan kanon, bahkan jika seandainya mereka sudah menentukannya. Para rabi di Yamnia akhirnya menetapkan sebuah terjemahan baru dalam bahasa Yunani untuk menggantikan terjemahan Septuaginta yang mereka miliki sebelumnya? Mengapa? Karena orang-orang Kristen bukan Yahudi sudah mengambil alih Septuaginta sebagai milik mereka (bersama dengan “apokrifa” yang ada di dalamnya), dan menggunakannya untuk tujuan-tujuan apologetika dan penginjilan – mereka mempertobatkan orang-orang Yahudi dengan menggunakan Kitab Suci mereka sendiri yang berbahasa Yunani.

Sebagai contoh, mereka menggunakan Septuaginta untuk membuktikan kelahiran Yesus dari seorang perawan. Dalam Alkitab Ibrani, Yesaya 7:14 diterjemahkan, “Seorang perempuan muda (עַ לְ מָ ה/almah) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki,” sedangkan Septuaginta Yunani, yang dikutip oleh Matius (Matius 1:23), menerjemahkannya, “Anak dara (παρθένος /parthenos) itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki.5 Jadi, para rabi yang konon “menetapkan” kanon akhir Protestan, juga mengesahkan terjemahan baru dalam bahasa Yunani yang secara khusus mengoreksi untuk menghalangi Injil. Aquila, penerjemah Yahudi dari versi baru ini, menyangkal kelahiran dari seorang perawan dan mengubah kata Yunani dari perawan menjadi perempuan muda.

Salah satu isu utama mengenai kanon dalam pikiran orang Yahudi abad pertama, tidak selalu mengenai pengilhaman, tetapi menolak penginjilan orang Kristen terhadap orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi. Hal ini menjadi masalah antara orang Yahudi melawan ajaran Kristen yang baru, dan juga penggunaan Kitab Suci Yunani oleh orang Kristen. Tampaknya agak aneh bagi seorang Protestan untuk memilih kanon terpotong yang dipilih oleh orang-orang Yahudi dan dengan demikian berada di pihak orang anti-Kristen, dalam hal ini orang Yahudi yang kehilangan haknya.6

Kita tidak tahu banyak tentang perundingan di Yamnia, tetapi kita tahu bahwa mereka menyebutkan Injil Perjanjian Baru. Mereka secara khusus menyebutkannya untuk secara khusus menolaknya. F.F. Bruce menulis, “Beberapa orang yang berselisih juga bertanya apakah Kebijaksanaan Yesus putra Sirakh (Ekklesiastikus), dan gilyonim (tulisan-tulisan Injil dalam bahasa Aram) serta kitab-kitab lain dari kaum minim (bidat, termasuk orang Kristen Yahudi), harus diterima, tetapi di sini jawabannya tegas-tegas menolaknya” (The Books and the Parchments [Old Tappan, NJ: Fleming H. Revell, 1984], 88).

Mengapa kita harus menerima orang-orang Yahudi Yamnia ini sebagai “penyambung lidah Allah” dalam menentukan kanon Perjanjian Lama yang final, khususnya ketika mereka secara khusus menyebutkan Injil untuk menolaknya. Mereka telah “dilengserkan” sebagai penjaga nubuat. Dalam pertentangan mereka dengan Gereja Katolik, banyak orang Protestan yang akan menerima penentangan orang Yahudi terhadap “ketetapan” mereka karena hal ini mendukung Anda dalam sikap anti-Katolik. Di sisi lain, saya menerima ketetapan dan kanon dari umat Allah perjanjian baru, yaitu mereka yang adalah imamat yang baru (1 Petrus 2:9), kulit anggur yang baru. Geisler berkomentar, seperti yang sudah kita lihat sebelumnya, “Karena Perjanjian Baru secara eksplisit menyatakan bahwa Israel dipercayakan dengan nubuat-nubuat Allah dan merupakan penerima dari perjanjian-perjanjian dan Hukum Taurat, maka orang-orang Yahudi harus dianggap sebagai penjaga batas-batas kanon mereka sendiri.”7 Seperti yang ditunjukkan oleh Septuaginta, kanon mereka memang berisi “apokrifa,” dan hanya tiga puluh tahun setelah kehancuran Yerusalem karena tidak menaati-Nya dan menolak kemesiasan-Nya, barulah mereka mengambil keputusan yang tidak dapat dipastikan tentang kanon mereka. Apakah saya harus menerima ketetapan yang diduga sebagai sesuatu yang berotoritas dan mengikat jiwa saya, ketika jubah otoritas sudah dicabut dari pundak mereka dan dengan penuh kemuliaan diberikan kepada Gereja melalui karya Roh Kudus? Apakah Geisler memberikan informasi historis dan garis waktu kepada para pembacanya, mengingatkan mereka bahwa Allah telah mencerai-beraikan orang-orang Yahudi dan menghancurkan bait suci mereka sebelum “konsili” mereka yang tidak otoritatif menolak Injil dan “seluruh kanon Kristen” termasuk Perjanjian Baru?

Orang-orang Yahudi tidak punya “kanon tertutup” sebelum tahun 100 Masehi dan mereka “membangun tembok di sekelilingnya” untuk mencegah orang-orang Kristen masuk. Mengapa kita harus bekerja sama dengan mereka? Saya menerima kanon para rasul dan Gereja perdana, yang ditentukan oleh para uskup Gereja; dan seperti mereka, saya mengabaikan kanon orang Yahudi yang anti-Kristen dan menerima kanon komunitas Kristen.8

Kanon Perjanjian Lama tidak ditutup di Yamnia, dan kitab-kitab Deuterokanonika juga tidak disingkirkan dari Perjanjian Lama di sana. Apakah orang-orang Yahudi yang mempunyai keputusan akhir tentang isi dan lingkup Kitab Suci atau Gereja? Siapakah yang memiliki otoritas dari Allah untuk menentukan dan menutup kanon Kitab Suci? Jawaban singkatnya adalah Gereja. Hierarki Yahudi pada masa Kristus menyatakan bahwa mereka memiliki otoritas untuk mengikat dan melepaskan, yang merupakan istilah yang sangat jelas dipahami dan bersifat teknis, tetapi Yesus secara khusus menunjuk sebuah hierarki baru atas “Israel yang baru” – yaitu Gereja – dan memindahkan kuasa untuk mengikat dan melepaskan itu kepada magisterium yang baru ini (Matius 16:19; 18:18). Dengan demikian, Gereja ditunjuk untuk berbicara mewakili Allah dan kanon terakhir dari Kitab Suci berada di bawah kuasanya.

Dengan pengecualian beberapa Bapa Gereja awal, secara keseluruhan, penulis Protestan Paul Achtemeier mengatakan kepada kita, “Tradisi Timur dan Katolik Roma pada umumnya menganggap kitab-kitab ‘apokrif’ Perjanjian Lama sebagai kitab kanonik. Baru pada masa Reformasi Protestan, kitab-kitab tersebut dengan jelas ditolak sebagai kitab kanonik (di kalangan Protestan). Akan tetapi, gereja Roma terus menegaskan kedudukan kitab-kitab tersebut dalam kanon Kitab Suci” (Harper’s Bible dictionary/editor umum, Paul J. Achtemeier; editor pendamping, Roger S. Boraas … dkk. dengan Society of Biblical Literature – ed. ke-1. – San Francisco: Harper & Row, 1985.).

Pada Konsili Trente, Gereja menyelesaikan masalah ini dengan membuat daftar pasti kitab-kitab yang diterima, yang termasuk di dalamnya adalah kitab-kitab Deuterokanonika, dan Katekismus menegaskan daftar ini (KGK 120). Inilah Alkitab Katolik yang kita miliki saat ini.

Bukankah menarik bahwa Martin Luther mengakui Gereja Katolik sebagai penjaga Kitab Suci ketika ia menulis, “Kita mengakui – seperti yang seharusnya – bahwa banyak hal yang mereka [Gereja Katolik] katakan adalah benar: bahwa kepausan memiliki firman Allah dan jabatan para rasul, dan bahwa kita telah menerima Kitab Suci, Pembaptisan, Sakramen, dan mimbar dari mereka. Apakah yang akan kita ketahui tentang semua ini jika bukan karena mereka?” (Sermons on the Gospel of John, Bab 14-16 (1537), dalam vol. 24 dari Luther’s Works [St. Louis, Missouri: Concordia Publ. House, 1961], 304).

 

Catatan kaki:

  1. Mark R. Norton, editor dari Bible Department at William Tyndale Publishers, The Origin of the Bible, ed. by Philip W. Comfort [Wheaton, IL: Tyndale House Publ., 1992], 165
  2. F. Bruce, The Canon of Scripture [Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1988], 50
  3. F. Bruce, The Books and the Parchments [Old Tappan, NJ: Fleming H. Revell, 1950, 1984], 88
  4. Norman Geisler and Ralph MacKenzie, Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences (Grand Rapids, MI: Baker Books, 1995).
  5. Bukankah menjadi hal yang menarik bahwa Matius, seorang Yahudi, yang Injilnya ditujukan kepada orang-orang Yahudi, tidak mempertahankan doktrin kelahiran Kristus dari seorang perawan dari Alkitab Ibrani, melainkan mengutip dari Septuaginta Yunani? Inilah naskah yang digunakan oleh Gereja perdana.
  6. F. Bruce, The Canon of Scripture [Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1988], 50.
  7. Geisler, Roman Catholics and Evangelicals, 169.
  8. Ya, beberapa Bapa Gereja menerima kanon Masoretik Yahudi (misalnya Hieronimus) dan jika Anda mau membaca lampiran yang saya kirimkan, Anda akan mendapatkan perspektif historis yang lengkap mengenai hal tersebut. Tidak pernah seorang Bapa Gereja yang membuat keputusan mengikat bagi Gereja, hanya konsili-konsili yang dapat melakukannya.

 

Sumber: The Old Testament Canon and the “Council of Jamnia”

Advertisement

Posted on 23 March 2023, in Kenali Imanmu, Kitab Suci and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: