[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Jangan Merindukan ‘Masa Lalu yang Indah’
Oleh Steve Weidenkopf

Sejarah (Sumber: catholic.com)
Hilaire Belloc (1870-1953) adalah seorang sejarawan Katolik mengkritik orang-orang sezamannya yang “membaca sejarah secara mundur,” yang ia maksud adalah “masa kini yang terus-menerus menilai masa lalu dari posisi yang seharusnya lebih unggul.” Belloc mungkin terkejut dengan tren saat ini yang terjadi di kalangan umat Katolik: saat ini “membaca maju ke dalam sejarah”, yang berarti masa kini menghakimi masa lalu dengan kerinduan akan “masa lalu yang indah.”
Tidak jarang kita menemukan para komentator Katolik menyoroti abad-abad atau periode waktu tertentu dalam sejarah Gereja ketika iman dihidupi (kelihatannya) lebih otentik – ketika orang-orang Katolik percaya dan menjalankan imannya dengan setia, dan hirarki dipenuhi oleh para uskup yang kudus dan ortodoks. Sering kali, pandangan yang keliru tentang sejarah Gereja ini digunakan untuk meratapi keadaan kepausan saat ini, liturgi, devosi sakramental, dan tulisan-tulisan teologis.
Tentu saja ada bidang-bidang dan bahasan-bahasan di dalam Gereja saat ini yang membutuhkan perhatian dan kritik yang wajar, di mana penelaahan yang cermat dan penuh pertimbangan terhadap sejarah Gereja dapat menolong kita, asalkan kita melakukannya dengan penuh kebijaksanaan. Tetapi mentalitas “masa lalu yang indah” adalah kebalikan dari semua itu: paling bagus adalah spekulasi dan paling buruk adalah ketidakjujuran. Mentalitas ini gagal untuk mengakui bahwa setiap periode waktu memiliki situasi-situasi politik dan gerejawi yang istimewa yang tidak dapat dengan mudah disamakan.
Entah itu eksternal maupun internal, Gereja pernah mengalami krisis di sepanjang keberadaannya. Hal ini sebagian dijelaskan oleh kenyataan bahwa Gereja Mengembara terdiri dari para anggota yang sudah jatuh namun sudah ditebus dan dikaruniai kehendak bebas, bahkan mereka yang memegang jabatan tertinggi sekalipun, dapat memilih keburukan daripada kebajikan. Sejarah Gereja dipenuhi dengan orang-orang kudus dan umat biasa, orang-orang berdosa, para pahlawan bahkan para penjahat.
Merupakan sebuah keharusan untuk belajar dari sejarah, tetapi berbahaya untuk menggunakan sejarah untuk membenarkan kritik terhadap isu-isu modern. Berharap agar Gereja “kembali” ke zaman keemasan pada abad tertentu merupakan pemikiran politis yang merugikan upaya-upaya penginjilan dan katekese yang diperlukan dalam dunia modern. Pemikiran seperti ini menghasilkan sebuah pola pikir tertutup yang menghasilkan sebuah komunitas yang terisolasi, ketakutan, dan penuh kemarahan yang mengabaikan tuntutan-tuntutan cinta kasih dan kewajiban mewartakan Injil.
Mengenali perbedaan-perbedaan dalam pengalaman manusia di zaman yang berbeda sangat penting demi penafsiran yang benar atas peristiwa-peristiwa sejarah. Interpretasi sejarah yang otentik menuntut sejarawan untuk berusaha memahami periode waktu ketika orang-orang yang diteliti itu masih hidup.
Perhatikan peristiwa Perang Salib sebagai salah satu contohnya. Seorang sejarawan yang kurang memahami iman Katolik akan sulit memahami motivasi religius orang-orang di abad pertengahan yang meninggalkan rumah dan keluarga untuk melakukan perjalanan yang berat dan berbahaya ke Tanah Suci. Sebaliknya, seorang sejarawan Katolik akan memahami bagaimana catatan sejarah menggambarkan bahwa banyak orang, baik pejuang maupun warga sipil, ikut serta dalam gerakan perang salib karena kesalehan yang mendalam yang berakar pada cinta: untuk Kristus dan Gereja, untuk sesama yang teraniaya di Tanah Suci, dan kepedulian terhadap keselamatan diri mereka sendiri. Memang, pemberian indulgensi kepausan yang istimewa mendorong banyak orang untuk mengikuti Perang Salib Pertama pada akhir abad kesebelas. Motivasi-motivasi ini berakar pada prinsip-prinsip dasar Gereja, yang menjadi bagian integral dari masyarakat abad pertengahan. Bahkan seorang sejarawan non-Katolik pun harus memahami prinsip-prinsip tersebut jika ia berharap untuk memahami apa yang sedang ia bahas.
Hal yang sama juga berlaku bagi umat Katolik modern yang berpendapat tentang keadaan iman saat ini. Sentimen bahwa segala sesuatu di dalam Gereja “dulu lebih baik” gagal untuk menyadari bahwa iman itu tidaklah statis, tetapi dihidupi. Bagaimana umat Katolik menghayati ajaran Gereja yang konstan sangat dipengaruhi oleh zaman di mana mereka berada. Tradisi Suci adalah satu hal (yang tidak berubah) sedangkan Tradisi Katolik adalah hal yang lain. Walter Cardinal Brandmüller, mantan presiden Komisi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan Sejarah, pada tahun 2007 dia menyoroti hal ini dalam bukunya yang berjudul Light and Shadows: “Sementara itu, perubahan dalam berbagai dogma iman yang mengikat, dalam elemen-elemen esensial sakramen-sakramen dan dalam sifat-sifat inti berbagai pelayanan hierarkis-sakramental tidak pernah terpikirkan dan tidak pernah terjadi, perubahan seiring berjalannya waktu di dalam bagian-bagian lain dari kehidupan Gereja sepanjang sejarahnya tidak hanya mungkin, tetapi juga diperlukan jika Gereja ingin mencapai misinya dengan setia di bawah situasi dan kondisi yang berubah pada zaman tertentu.”
Sejarah Gereja mengungkapkan bahwa pada abad-abad sebelumnya pernah terjadi perdebatan mengenai penanggalan Paskah, sikap tubuh yang pantas untuk berdoa, otoritas kepausan terhadap para penguasa sekuler, bagaimana memilih uskup dan paus, dan peran kaum laici (umat awam). Bahkan, tidak mengherankan jika banyak disiplin dan tradisi yang dikenal dan dirayakan oleh umat Katolik pada masa kini, baru ada setelah berabad-abad mengalami proses perkembangan.
Salah satu contoh yang mungkin dianggap remeh oleh banyak kritikus Katolik di masa kini adalah seringnya umat Katolik menerima Ekaristi. Umat Katolik pada abad pertengahan, dalam periode waktu yang dianggap sebagai “kejayaan Kekristenan,” mungkin paling banyak menerima Ekaristi dua kali setahun. Hal ini menyebabkan ditetapkannya “Kewajiban Paskah,” sebuah kewajiban tahunan untuk menerima Ekaristi, yang diberlakukan oleh Konsili Lateran Keempat pada tahun 1215. Praktik menerima Komuni harian baru tersebar luas selama Reformasi Katolik pada abad keenam belas, melalui upaya Serikat Yesus (Yesuit) yang baru saja dibentuk, dan baru pada awal abad kedua puluh praktik ini mulai dirutinkan bagi anak-anak yang lebih muda!
Contoh lainnya adalah perkembangan penerapan pastoral sakramen pengakuan dosa. Pada abad-abad awal Gereja, pertanyaan-pertanyaan seputar praktik-praktik pertobatan dan apakah dosa-dosa yang dilakukan setelah pembaptisan dapat diampuni. Salah satu praktik awal, yang dikenal sebagai exomologesis, yang terdiri dari perbuatan penitensi di depan umum, didahului dengan pernyataan dosa kepada uskup, yang menentukan penitensi dan lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukannya. Orang yang bertobat mengenakan pakaian sederhana, tidak dapat menerima Ekaristi, dan harus memohon doa kepada sesama umat Kristiani sebelum Misa. Praktik ini (biasanya) hanya dapat digunakan sekali, dan proses ini tidak berlaku untuk dosa-dosa tertentu, seperti kemurtadan, pembunuhan, dan perzinahan. Ketika Paus Kalistus I (menjabat pada tahun 217-222) mengizinkan mereka yang melakukan dosa seksual untuk mengikuti exomologesis (sebuah keputusan yang berakar karena belas kasihan) hal itu menyebabkan skisma selama beberapa dekade dan berakibat pada pemilihan antipaus pertama (St. Hippolitus) dalam sejarah Gereja.
Pada akhirnya, exomologesis di Gereja perdana memberi jalan kepada metode-metode yang berbeda dalam merayakan sakramen. Pergeseran terjadi dari praktik-praktik pertobatan di depan umum menjadi secara pribadi dan dari pengakuan dosa di hadapan uskup menjadi pengakuan dosa secara pribadi di hadapan seorang imam. Pengakuan dosa, sebuah prinsip utama dalam praktik pengakuan dosa modern, belum dikenal sampai pada abad keenam belas.
Bagaimana umat Katolik modern bisa terhindar dari jebakan “masa lalu yang indah” dalam penafsiran sejarah? Berikut ini adalah empat strategi/saran:
- Mempelajari sejarah Gereja (dan sejarah sekuler): Baca, baca, dan baca buku-buku dari banyak penulis untuk mendapatkan wawasan dan perspektif yang berbeda dari peristiwa-peristiwa sejarah. Mereka yang ingin mengetahui sejarawan mana yang dapat dipercaya dapat berkonsentrasi pada penulis-penulis Katolik yang dapat dipercaya terlebih dahulu dan kemudian, dengan dasar yang kuat dalam sejarah Katolik, mempelajari penulis-penulis lainnya.
- Ingatlah konteks sejarah: Memahami peristiwa-peristiwa sejarah dari sudut pandang orang-orang yang mengalaminya sangatlah penting. Konteks politik, militer, ekonomi, dan agama di masa lalu harus tetap menjadi hal yang penting dalam setiap usaha untuk belajar dari sejarah dan menerapkan pelajaran-pelajaran tersebut pada keadaan dan situasi modern.
- Hindari karikatur statis: Sejarah melibatkan peristiwa-peristiwa yang kompleks dari tokoh-tokoh di masa lampau serta pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan mereka. Hindari godaan untuk melihat periode-periode tertentu dalam masa lalu Gereja Katolik sebagai “masa lalu yang indah”, dan sadarilah bahwa setiap zaman dalam sejarah Gereja melibatkan kebajikan, keburukan, konflik, dan krisis. Keinginan untuk kembali ke masa lalu yang dianggap “gemilang” – hampir pasti tidak segemilang yang Anda pikirkan!
- Belajarlah dari sejarah; tetapi jangan menggunakan sejarah: Mempelajari masa lalu memberikan makna pada masa kini sehingga masa kini dapat membantu menentukan masa depan. Menggunakan sejarah untuk mendukung sebuah agenda atau untuk sekadar mengkritik merupakan sebuah penyalahgunaan sejarah dan merugikan tokoh-tokoh di masa lalu. Belajar dari saudara saudari kita seiman memberikan kesempatan untuk bertumbuh dalam iman kita kepada Gereja Kristus dan mempertahankan kemantapan hati di tengah-tengah masa-masa sulit. Selain itu, mempelajari tindakan-tindakan umat Katolik di masa lalu dapat menjadi model perilaku untuk menanggapi masalah-masalah di masa kini serta memberikan peringatan akan reaksi-reaksi yang tidak tepat.
Alih-alih mengharapkan “masa lalu yang indah,” umat Katolik saat ini justru lebih baik mendapatkan pemahaman dan penafsiran yang menyeluruh tentang sejarah Katolik agar misi Gereja dalam menyebarkan Injil dapat lebih efektif di dunia yang sangat membutuhkan Kristus.
Posted on 8 July 2023, in Apologetika, Sejarah Gereja and tagged Sejarah. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0