Masalah-masalah di Era Reformasi

Oleh Casey J. Chalk

95 Dalil Luther (Sumber: stpaulcenter.com)

Tidak mengherankan, begitu Reformasi menyingkirkan otoritas penafsiran yang diterima untuk menengahi perselisihan teologis, gagasan-gagasan teologis dan penafsiran yang saling bersaing bertambah banyak, tanpa ada cara untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah ini dimulai tak lama setelah pemikiran Luther menyebar ke seluruh Jerman dan kemudian ke seluruh benua Eropa. Erasmus, seorang humanis Katolik dan kritikus Gereja, yang menulis hanya beberapa tahun sesudah Reformasi, bertanya kepada Luther:

Mengapa “saudara-saudara”-mu sangat tidak saling sependapat satu sama lain? Semuanya mempunyai Kitab Suci yang sama, semuanya mengaku mempunyai roh yang sama. Namun, [Andreas] Karlstadt sangat tidak setuju dengan Anda. Begitu juga dengan Zwingli, Oecolampadius dan Captio, yang menerima pendapat Karlstadt meskipun tidak memberikan alasan-alasannya. Kemudian lagi, Zwingli dan Balthazar [Hubmaier] berbeda pendapat dalam banyak hal … Karena kalian semua membahas pokok bahasan Kitab Suci, jika ada kejelasan di dalamnya, mengapa ada begitu banyak ketidaksepakatan di antara kalian?

Robertus Bellarminus yang menulis tentang pertumbuhan fissiparitas [pertumbuhan dari satu organisme melalui perpecahan] ini lebih dari seratus tahun setelah Luther, juga mengamati hal yang sama: “Orang-orang Lutheran hampir tidak lahir sebelum mereka mulai terpecah-pecah menjadi Anabaptis, Konfesionalis, dan Sakramentalis; dan juga sekte-sekte individual dalam beberapa dan tujuh hingga 34 sekte yang berbeda, dan hal ini terjadi pada masa Staphylus. Namun, kini, jumlah mereka hampir mencapai 100 sekte yang sangat berbeda yang mengarah kepada satu Luther.” Kaum Anabaptis, misalnya, berargumen menentang Luther bahwa baptisan bayi tidak dapat dibenarkan berdasarkan pada Alkitab saja.

Sezaman dengan Bellarminus, seorang apologis Katolik dan Uskup Jenewa bernama St. Fransiskus dari Sales mencatat keragaman pendapat yang luar biasa di dalam Protestanisme hanya dalam kurun waktu satu abad setelah Reformasi. Pengamatannya layak dikutip secara lengkap:

Kontradiksi-kontradiksi apa yang tidak dihasilkan oleh reformasi Luther! Tidak akan habis-habisnya jika saya tuliskan semuanya dalam tulisan ini … Calvin berpendapat bahwa ada seorang kepala di dalam Gereja merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Kitab Suci; orang-orang Inggris berpendapat sebaliknya; kaum Huguenot Prancis berpendapat bahwa menurut Firman Allah, para imam tidak lebih rendah daripada para uskup; orang-orang Inggris mempunyai para uskup yang mengatur para imam, dan di antara mereka ada dua uskup agung, yang salah satunya disebut primat, nama yang sangat dibenci oleh Calvin; kaum Puritan di Inggris berpegang pada sebuah pokok iman bahwa tidak sah berkhotbah, membaptis, berdoa, di dalam Gereja-gereja yang dulunya Katolik, tetapi mereka tidak terlalu keras dalam hal ini. Dan perhatikan perkataan saya bahwa mereka menjadikannya sebagai pengakuan iman, karena mereka lebih memilih untuk dipenjara dan dibuang daripada melepaskannya. Bukankah sudah diketahui bahwa di Jenewa orang-orang yang merayakan hari raya orang kudus dianggap sebagai takhayul? Namun, di Swiss, ada yang merayakannya, dan kamu merayakan salah satu hari raya Bunda Maria. Intinya bukanlah karena ada yang merayakannya dan ada yang tidak, karena hal ini tidak akan bertentangan dengan keyakinan agama, tetapi karena apa yang Anda dan beberapa orang Swiss rayakan, dikutuk oleh yang lain sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kemurnian agama.

Tidakkah Anda menyadari bahwa salah satu pemuka jemaat Anda yang terbesar mengajarkan bahwa tubuh Tuhan kita jauh dari Perjamuan Kudus seperti jauhnya langit dari bumi, dan tidakkah Anda juga menyadari bahwa hal ini dianggap salah oleh banyak orang lain? Bukankah akhir-akhir ini tidak ada satu pun dari pemuka jemaatmu yang mengakui realitas tubuh Kristus dalam Perjamuan Kudus, dan bukankah yang lainnya menyangkalnya? Dapatkah Anda menyangkal bahwa dalam pemahaman pembenaran (justifikasi), Anda terpecah-belah satu sama lain seperti halnya Anda melawan kami – saksikanlah si penentang yang tidak dikenal itu. Singkatnya, setiap orang memiliki pemikirannya sendiri, dan dari sekian banyak orang Huguenot yang pernah saya ajak bicara, saya tidak pernah menemukan dua orang yang memiliki keyakinan yang sama.

Namun yang terburuk adalah Anda tidak dapat mencapai kesepakatan-karena di mana Anda bisa menemukan seorang penengah yang dapat dipercaya? Kamu tidak memiliki kepala di bumi untuk menyampaikan permasalahanmu; kamu percaya bahwa Gereja sendiri dapat berbuat salah dan membawa orang lain ke dalam kesalahan: kamu tidak akan menyerahkan jiwamu ke dalam tangan yang tidak aman seperti itu; bahkan, kamu menganggapnya remeh. Kitab Suci tidak dapat menjadi penengah bagi kalian, karena mengenai Kitab Suci, kalian berada dalam proses persidangan, beberapa dari kalian bertekad untuk memahaminya dengan satu cara, beberapa dengan cara yang lain. Perselisihan dan persengketaan kalian tidak akan pernah berakhir, kecuali kalian menyerah kepada otoritas Gereja.

Para pemimpin Reformasi percaya bahwa masalah-masalah Kekristenan pada akhir abad pertengahan bukanlah masalah moral, melainkan masalah doktrinal. Untuk mengatasinya, mereka berpaling kepada Alkitab.

Dengan melakukannya, seperti yang dijelaskan oleh Fransiskus dari Sales di atas, mereka secara tidak sengaja menimbulkan berbagai macam perselisihan baru mengenai hakikat Kekristenan itu sendiri, dan juga bagaimana cara memastikannya dengan benar. Kontroversi doktrinal ini bersifat universal dan tak berkesudahan, sementara konflik-konflik agama-politik antara Katolik dan Protestan magisterial (misalnya, Lutheran, Calvinis) pada abad keenam belas dan ketujuh belas bersifat merusak dan tidak kunjung usai. Selain itu, apa yang dianggap sebagai bukti diri dari Kitab Suci pada generasi pertama Reformasi sering kali menghasilkan keyakinan dan posisi yang tidak dapat dikenali oleh banyak orang Protestan saat ini.

Jika kita memasukkan ke dalam kelompok “Protestan radikal” yang menolak Protestan magisterial yang bergantung pada persetujuan politik dari para pangeran Eropa, maka dilema dari perpecahan penafsiran ini akan semakin diperparah. Conrad Grebel (sekitar tahun 1498-1526), salah seorang dari “Saudara-saudara Swiss” dari Zurich, menyatakan niat komunitasnya “untuk menganggap baik dan benar hanya apa yang dapat ditemukan di dalam Alkitab yang murni dan jelas.” Posisi-posisi seperti itu adalah hal yang umum di antara para reformis radikal. Bahkan, dalam heterogenitas mereka, mereka hanya mengikuti teladan dari kaum Protestan magisterial yang lebih aman secara politis. Demikian tulis Gregory:

Orang-orang Protestan radikal melakukan apa yang dilakukan oleh Martin Bucer seorang mantan Dominikan, Philipp Melanchthon yaitu kolega Luther yang humanis, Andreas Osiander, Wolfgang Capito, Johannes Oecolampadius, Johannes Bugenhagen, dan setiap reformis Protestan lainnya yang dilindungi secara politis: mereka menolak komunitas-komunitas moral yang tidak dapat diterima dan tidak mau mematuhi tuntutan-tuntutannya, karena mereka yakin bahwa para pemimpin komunitas-komunitas semacam itu mengajarkan kebohongan sebagai ganti dari kebenaran Allah.

Salah satu contoh yang menonjol dari hal ini adalah Balthasar Hubmaier, seorang Protestan radikal, yang percaya bahwa pembenaran oleh iman saja, yang merupakan inti dari soteriologi Luther, adalah sebuah “setengah kebenaran.”

Bahkan Erasmus, yang percaya bahwa Alkitab sendiri mampu melakukan reformasi sosial dan gerejawi, juga terperdaya dalam hal ini. Cendekiawan Belanda ini percaya bahwa orang-orang Kristen yang tulus hati yang membaca Alkitab dengan itikad baik akan menghargai maknanya yang jelas dan mengalami transformasi moral. Namun, dekade-dekade awal Reformasi membuktikan bahwa harapan seperti itu sangatlah naif. Alih-alih menempatkan teologi Kristen pada landasan yang lebih kuat dan membebaskan Alkitab dari apa yang mereka anggap sebagai tirani kepausan, para reformis justru memicu perdebatan yang tak berkesudahan mengenai penafsiran kitab suci yang mendorong berbagai cabang Protestantisme ke arah yang semakin kabur dan saling bertentangan.

 

Casey J. Chalk meraih gelar Sarjana Sejarah dan Keguruan dari University of Virginia dan gelar Magister Teologi dari Notre Dame Graduate School of Theology di Christendom College. Ia menjadi editor atau kontributor tetap untuk berbagai publikasi, termasuk The New Oxford Review, The Federalist, Crisis Magazine, The American Conservative, dan The Spectator. Ia adalah penulis buku “The Obscurity of Scripture: Disputing Sola Scriptura and the Protestant Notion of Biblical Perspicuity.” Casey, beserta istri dan kelima anaknya tinggal di kampung halamannya di Virginia Utara.

 

Sumber: “Reformation-Era Problems”

Posted on 14 July 2023, in Apologetika, Sejarah Gereja and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.