Menemukan Gereja Selama Berada di Seminari Protestan – Kisah David Sears

David Sears (Sumber: chnetwork.org)

Saya lahir pada tahun 1985 dari pasangan orang tua yang tidak terlalu aktif dalam iman. Namun, nenek saya (semoga ia beristirahat dengan tenang) selama bertahun-tahun mengajar kelas TK di Sekolah Minggu di gereja Baptisnya. Kenangan rohani pertama saya adalah duduk di kelas Sekolah Minggu sambil mendengarkan kisah-kisah Alkitab. Saya senang mendengar bagaimana Kristus mengasihi saya sebagai anak-Nya. Sekitar waktu itu, ibu saya mulai terlibat dalam sebuah gereja Disciples of Christ yang kecil, jadi untuk sementara waktu, setiap dua minggu sekali saya pergi bersamanya untuk beribadah bersama jemaat gereja itu. Pada akhirnya, keterlibatannya di gereja tersebut berakhir, dan kami kembali ke gereja Baptis secara penuh waktu. Kami akan melewati Gereja Katolik yang besar setiap kali kami pergi ke rumah kakek-nenek saya. Pada masa itu, saya tidak tahu perbedaan antara Baptis dan Katolik, tetapi saya bertanya-tanya mengapa selalu ada mobil di tempat parkir itu, bukan hanya pada hari Minggu. Saya juga penasaran dengan perbedaan antara kami dan mereka. Saya tidak tahu bahwa, bertahun-tahun kemudian, ketika saya berusia pertengahan dua puluhan, saya tidak hanya menjadi Katolik, tetapi juga menjadi anggota paroki tersebut.

Kelompok Orang Muda

Ketika saya masih SMA, saya bergabung dengan kelompok kaum muda di gereja Baptis. Saya mulai membaca Alkitab setiap hari, dan saya semakin terlibat dalam jemaat. Saya bermain piano dan sesekali bermain untuk band pujian remaja mereka, serta bernyanyi dalam paduan suara. Apa pun yang berhubungan dengan Gereja Katolik tidak ada dalam pikiran dan hidup saya.

Meskipun saya aktif di jemaat saya, pada umumnya saya acuh tak acuh terhadap agama pada waktu itu. Saya masih ingat ketika sering melewati paroki Katolik setempat pada Sabtu malam, saya dan nenek saya mencibir “umat Katolik yang baik” yang mengira mereka akan mabuk-mabukan di hari Jumat dan mengaku dosa di hari Sabtu. Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa suatu hari nanti saya akan menjadi seorang Katolik, seorang anggota di paroki yang sama, yang juga sering memanfaatkan Sakramen Rekonsiliasi (“pengakuan dosa”).

Terlepas dari kurangnya ambisi rohani saya, saya mempunyai waktu yang sangat menyenangkan dalam kelompok orang muda Baptis tersebut. Kami melakukan perjalanan misi setiap musim panas ke suatu tempat yang berjarak beberapa jam perjalanan dari kota asal kami, Indianapolis. Kami juga pergi ke konferensi kaum muda musim dingin di Wisconsin bagian tengah. Pada salah satu perjalanan itulah saya mulai merasa bahwa Tuhan memanggil saya untuk melakukan sesuatu. Pada saat yang sama, saya juga mulai menumbuhkan kepedulian terhadap mereka yang lebih menderita daripada saya.

Pemikiran Methodist

Selepas SMA, saya memutuskan untuk kuliah di universitas United Methodist setempat, yaitu Universitas Indianapolis. Saya tidak terlalu akrab dengan gerakan Methodist, tetapi ada sebuah jemaat Methodist yang besar di dekatnya yang mengadakan kebaktian kontemporer di malam hari. Pada musim panas sebelum tahun pertama kuliah, saya mulai beribadah di gereja Methodist selain di gereja Baptis tempat saya dibesarkan. Pada musim dingin itu, saya memutuskan untuk berpindah jurusan ke jurusan yang disebut “Pra-Teologi” di universitas tersebut, untuk mempersiapkan diri masuk seminari.

Sementara itu, banyak masalah yang terjadi di dalam jemaat Baptis. Jemaat ini sudah sedikit menyusut. Semasa saya masih muda, ada sekitar 250 hingga 300 anggota, dan mereka menunjang tiga orang pendeta penuh waktu. Tetapi sekarang hanya ada kurang dari 200 anggota, dan sebagai sebuah jemaat, mereka sudah memutuskan untuk memberhentikan salah seorang pendeta. Hal ini dilakukan melalui pemungutan suara jemaat, dan dalam prosesnya, emosi bergejolak dan suasana menjadi tidak menyenangkan. Pada akhirnya, pendeta senior kami yang diberhentikan. Hal ini terjadi pada ulang tahun saya yang ke-21, dan begitulah cara saya mengingat peristiwa itu sampai sekarang.

Sesudah itu, saya pikir saya sudah selesai dengan gereja Baptis. Saya pernah melihat orang-orang ini, yang sebagian besar sudah saya kenal seumur hidup saya, justru saling bermusuhan dan bertengkar. Melihat ke belakang, saya seharusnya tahu bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan pemberhentian seorang pendeta akan menjadi sangat buruk, tetapi saya tidak menyangka betapa buruknya hal itu.

Kembali ke masa kuliah. Banyak teman saya dari sekolah, dan juga teman-teman di program Pra-Teologi yang merupakan jemaat United Methodist, dan kemudian saya memutuskan untuk pindah ke jemaat United Methodist yang disebutkan di atas. Meskipun jemaat ini dikenal cukup progresif bahkan di dalam denominasi arus utama yang liberal, saya merasa senang berada di suatu tempat di mana saya dapat duduk di bangku umat dan terhanyut sejenak. Singkat cerita, saya terlibat sebagai penjaga pintu pada kebaktian kontemporer pagi mereka. Saya juga diperkenalkan dengan pendeta mereka yang melayani orang-orang yang sedang mencari panggilan di dalam gereja. Sekitar enam bulan kemudian, kebaktian kontemporer pagi ditiadakan, dan pendeta memanggil saya, dia berkata bahwa jemaatnya terlalu banyak. Ia tahu bahwa saya sedang mencoba bergabung dengan jemaatnya dan mencoba membuat mereka mensponsori saya untuk masuk seminari, dan ia merasa bahwa saya tidak akan pernah bisa melakukannya di sana, karena saya masih baru dan jemaatnya sudah mensponsori terlalu banyak orang. (Gereja ini masih merupakan salah satu jemaat terbesar di Indianapolis.) Ia merekomendasikan agar saya pindah ke jemaat United Methodist yang lebih kecil yang membutuhkan bantuan. Saya menemukan satu gereja yang lebih dekat dari rumah, dan untuk kedua kalinya dalam satu tahun, saya pindah gereja. Gereja ini jauh lebih kecil dan memiliki pengkhotbah yang sangat dinamis, yang menunjukkan sisi penginjilan denominasi Methodist. Sejauh yang saya perhatikan, itu adalah nilai tambah lainnya.

Seminaris Protestan Berjumpa dengan Biarawati Katolik

Pada musim semi itu, saya berangkat ke desa Taize, Prancis sebagai bagian dari program universitas. Satu-satunya persyaratan adalah kami harus membuat jurnal selama perjalanan, dan nilai kami akan ditentukan pada jurnal tersebut. Sepanjang perjalanan, saya akan bangun pagi-pagi sekali, pergi ke luar rumah dan membiarkan pikiran saya dituangkan ke dalam halaman-halaman jurnal. Saat itu akhir Mei, dan cuaca di wilayah Prancis itu sangat indah setiap paginya. Suatu hari, saya sedang menulis jurnal, dan seorang biarawati Katolik (saya yakin dia orang Jerman dari aksennya) mendekati saya dan berkata, “Bangunlah, pergi Misa bersama saya.” Saya menjawab, “Maaf Suster, saya bukan Katolik.” Tetapi dia tidak mau menerima jawaban tidak. Saya berkata kepadanya bahwa saya akan pergi bersamanya besok harinya, dan dia mengiyakan. Jadi, keesokan harinya, saya memastikan untuk menyelesaikan jurnal saya sedikit lebih awal. Saya bertemu dengannya, dan dia mengantar saya pergi Misa. Saya hanya duduk di bangku, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Beberapa teman sekelas saya yang kebetulan beragama Katolik ada di sana. Saya sering berpikir kembali dan bertanya-tanya mengapa suster itu mengundang saya ke Misa, dan saya sering memikirkan hal itu, seandainya saja dia tahu bahwa dua setengah tahun kemudian saya akan berdiri di depan altar di Gereja St. Mary di Delaware, Ohio, mengikrarkan pengakuan iman dan menerima Sakramen Penguatan dan Ekaristi Kudus. Tentu saja Tuhan punya selera humor.

Setelah pulang, saya menemukan ibadat vesper di sebuah gereja Katolik di pusat kota Indianapolis. Saat istirahat dari sekolah, ketika sempat, saya akan datang ke sini untuk mengikuti ibadat. Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan, tetapi saya sangat menikmatinya, dan gereja itu benar-benar indah.

Pada musim gugur tahun 2008, saya mendaftar di Methodist Theological School, yang berjarak sekitar 30 menit di utara Columbus, Ohio. Akhir pekan pertama saya di sana, saya tahu bahwa saya ingin mencari gereja di sana untuk menjadi jemaat, sehingga pada Sabtu malam, saya begadang melihat-lihat berbagai macam komunitas Methodist, mencoba mencari yang menurut saya cocok. Saya menemukan satu, dan keesokan paginya saya menghadiri sekolah Minggu. Namun, mereka tidak mengadakan sekolah Minggu pada tahun itu sampai sesudah Hari Buruh. Saya bertemu dengan pendeta dan suaminya, dan kami saling bercerita. Sebagai seorang siswa baru seminari, pengalaman itu sangat berharga.

Pada masa ini juga saya menemukan gereja Episkopal. Kembali pulang ke Indianapolis, saya melanjutkan mengikuti kebaktian malam Methodist, tetapi pendeta yang memimpin kebaktian di sana sudah pergi, dan mereka mendatangkan pendeta lain, yang sedikit lebih “dinamis” daripada yang saya sukai. Akhirnya saya mengikuti sebuah pertemuan kecil di sebuah gereja Episkopal. Ketika saya mulai masuk seminari untuk gereja Methodist, saya benar-benar merasa jatuh cinta dengan beberapa tradisi dan “smells and bells” (idiom yang bermaksud aroma dupa dan bunyi lonceng) Gereja Episkopal.

Pada tahun berikutnya, saya terombang-ambing di antara dua denominasi itu. Saya bisa tetap menjadi seorang Methodist dan meninggalkan beberapa tradisi yang sudah membuat saya jatuh cinta, atau saya bisa membuat perubahan lain dan memulai dari awal proses seminari di Gereja Episkopal. Peristiwa yang menentukan adalah ketika saya menghadiri pertemuan jemaat di gereja Methodist yang saya ikuti di Ohio. Mereka membutuhkan seorang seminaris di sana, dan saya dengan senang hati meninggalkan kampus selama beberapa jam pada hari Sabtu untuk menghadiri pertemuan itu. Pada pertemuan inilah ada sebuah bangunan yang berbeda yang menarik perhatian saya. Saya bertanya kepada pendeta, gereja apa itu, dan dia mengatakan bahwa itu adalah gereja Episkopal. Saya segera memutuskan untuk menghadiri gereja itu pada keesokan paginya, selain gereja Methodist. Saya juga sempat berkeliling ke Gereja Katolik, tetapi saya tidak mendapatkan sambutan yang baik. Selain itu, waktu itu saya masih mempunyai masalah dengan doktrin dan praktik-praktik Katolik, seperti pengakuan dosa dan kepausan.

Di dalam Pusat Anglikanisme

Pada musim panas itu, saya pergi ke Inggris selama satu setengah minggu. Sebagaimana saya yakin bahwa semua orang yang berada di London akan melakukan hal yang sama, saya pergi mengunjungi Westminster Abbey. Saya tahu bahwa St. Edward sang Pengaku dimakamkan di sana, dan saya tahu bahwa ia dianggap sebagai orang kudus baik dalam pengertian Protestan maupun dalam pengertian Katolik. Saya tidak tahu apa yang merasuki saya pada hari itu, tetapi saya mengatakan sesuatu yang berbunyi, “St. Edward, doakanlah saya. Saya tidak tahu apakah akan tetap menjadi Methodist atau bergabung dengan Persekutuan Anglikan di Gereja Episkopal.” Selama beberapa bulan setelah itu, pada dasarnya saya hidup sebagai seorang Anglikan. Saya menyebut diri saya sebagai seorang papist Anglikan, berharap bahwa gereja Anglikan akan kembali berada di bawah Tahta Suci Roma, tetapi saya sendiri belum mau melakukan perubahan itu.

Jadi di sana saya berada, sebagai seorang seminaris Methodist yang tidak dapat memutuskan apakah akan menjadi seorang Methodist atau Anglikan – namun, saya masih memiliki ikatan yang kuat dengan Gereja Baptis. Nenek saya, yang selalu sangat dekat dengan saya, tahu ada sesuatu yang terjadi pada diri saya. Dia bertanya kepada saya, “Jadi, kapan kamu akan jadi Katolik?” Dia mulai menyadari bahwa beberapa prasangka kami tentang Gereja Katolik sejak bertahun-tahun yang lalu itu keliru. Kemudian, ketika saya memutuskan untuk menjadi Katolik, dia adalah orang pertama yang saya telepon. Saya juga membelikannya beberapa buku yang menjelaskan beberapa perbedaan antara Protestan dan Katolik. Ketika saya dibaptis pada bulan Oktober, dia menjadi salah satu anggota keluarga saya yang hadir pada Misa itu.

Di seminari, kelas pun dimulai. Saya mengambil kelas etika yang benar-benar bertentangan dengan semua yang saya yakini. Kecenderungan saya adalah pada teologi yang ortodoks, dan hanya dengan begitu saja bangunan Protestan saya runtuh. Saya tahu kalau saya harus mempertimbangkan untuk bergabung dengan Gereja Katolik, jadi saya menghubungi paroki setempat untuk memulai RCIA. Namun, setelah berbicara dengan vikaris paroki (pastor pembantu), kami berdua sepakat bahwa RCIA formal bukanlah hal yang terbaik untuk saya, karena saya masih berusaha untuk mendapatkan gelar dari seminari Protestan. Pastor yang menjadi pembimbing rohani pertama saya, bertemu dengan saya setiap minggu dan memberikan lebih banyak pekerjaan rumah dibandingkan dengan para dosen saya. Dia bertemu dengan saya sekitar tiga bulan sebelum mendapatkan izin dari pastor (pastor paroki utama) dan uskup untuk mengukuhkan saya sebagai seorang Katolik di Keuskupan Columbus, Ohio. Ternyata, nenek saya cukup bersemangat untuk belajar lebih banyak tentang iman Katolik, dan meskipun dia tidak pernah menjadi Katolik, sampai akhir hayatnya dia tidak pernah berhenti bertanya dan belajar dengan saya. Dia menghadiri Misa bersama saya, dan setelah memasuki panti jompo, dia akan mendoakan Ibadat Harian dengan saya.

Seandainya saya bisa mengatakan semuanya baik-baik saja setelah itu. Saya meninggalkan jalur tahbisan Methodist (mereka tahu bahwa saya sedang menjajaki kemungkinan-kemungkinan lain, tetapi mereka tidak mempermasalahkannya), dan dengan demikian saya juga melepaskan harapan untuk bekerja di gereja di masa mendatang. Bersekolah di seminari Protestan arus utama sebagai seorang Katolik juga tidak mudah, dan saya selalu merasa tertekan. Saya menyukai kampus; kampus itu indah, dan saya juga tidak ingin meninggalkan komunitas iman yang baru saya temukan, jadi saya tetap bertahan dan menyelesaikan gelar Master saya di seminari. Saya berharap bahwa saya bisa dikatakan bahwa saya mampu menjaga api itu tetap kuat, seperti di masa-masa awal, tetapi sulit ketika ada angin yang melawan Anda. Saya menyelesaikan gelar tersebut dan kembali ke Indianapolis. Pada awalnya, saya tidak tahu ke gereja mana saya akan pergi, tetapi akhirnya saya bergabung dengan paroki yang sering saya lewati dalam perjalanan ke rumah nenek ketika saya masih muda. Saya sudah berada di sana selama hampir 12 tahun, dan mereka sudah mengutus saya dalam banyak perjalanan misi ke selatan perbatasan Amerika Serikat. Saya sangat berterima kasih kepada mereka.

Saya Mengesampingkan Anglikanisme dan Methodisme

Keberatan pertama dan terbesar saya terhadap Gereja Katolik adalah Sakramen Rekonsiliasi. Hal ini kini menghibur saya, karena saya sekarang menerima sakramen itu setidaknya dua minggu sekali. Tetapi pada awalnya, saya tidak mengerti pemikiran untuk mengakui dosa-dosa kepada seorang imam. Sewaktu kecil, saya mengolok-olok orang-orang yang melakukan hal itu. Apa yang mengubah pikiran saya? Saya menyadari bahwa “jaminan pengampunan” di gereja-gereja Protestan tidak lagi cukup bagi saya. Imam yang memberi saya sakramen penguatan mengundang saya untuk melakukan pengakuan dosa pertama saya kepadanya, tetapi dia juga memberi saya sebuah nasihat yang luar biasa. Pada saat itu, dia bukan hanya satu-satunya imam yang saya kenal, dan karena pertemuan mingguan kami, dia tahu bahwa saya tidak akan merasa nyaman untuk membuat pengakuan dosa pertama saya kepadanya, sehingga dia merekomendasikan supaya saya mendapatkan sakramen ketika saya berada di rumah untuk liburan musim gugur. Maka pada bulan Oktober itu, saya kembali ke pusat kota Indianapolis, mengetuk pintu pastoran paroki tempat saya biasa menghadiri ibadat. Waktu itu pastornya sedang keluar dari kantor, namun akan kembali lagi sore harinya jika saya ingin meninggalkan nomor telepon saya. Jadi beberapa jam kemudian, saya kembali ke gereja itu, menjelaskan kepada pastor yang baik hati itu (saya berharap bisa mengingat namanya) bahwa saya perlu membuat pengakuan dosa pertama, untuk menjadi anggota Gereja pada bulan itu dan pastor yang sedang bersiap-siap untuk memastikan saya ikut ketika saya sedang libur di kampung halaman. Dia sangat berkenan menerima saya dan juga baik hati. Saya tidak akan pernah melupakan betapa mudahnya saya mendapatkan pengalaman itu, menuntun saya langkah demi langkah melalui sakramen. Pada tanggal 31 Oktober tahun itu (ya, pada hari yang sama ketika banyak saudara dan saudari Protestan merayakan Hari Reformasi), saya menjadi anggota Gereja. Nenek, ibu, dan saudara laki-laki saya datang ke perayaan hari itu. Dan kemudian para sponsor sakramen penguatan saya mengadakan sebuah pesta besar di rumah mereka. Sungguh cara yang luar biasa untuk merayakan Halloween bagi saya!

Hal lain yang menjadi pergumulan saya adalah kurangnya kaum klerus wanita. Gereja Baptis tempat saya dibesarkan adalah gereja yang sangat evangelis, tetapi bukan Baptis Selatan, dan kami mengakui adanya pendeta wanita. (Sebenarnya, kami tidak pernah membicarakannya.) Kemudian, ketika saya pergi ke Gereja Methodist, sebagian besar anggota pendeta yang saya temui adalah wanita. Dan bahkan di seminari, perbandingannya sekitar setengah-setengah antara pria dan wanita. Saya bergumul dengan gagasan bahwa wanita tidak dapat ditahbiskan di Gereja Katolik.

Apa yang menyebabkan batu sandungan itu hilang? Hal ini sedikit lebih sulit untuk dijelaskan, tetapi dengan kekacauan ideologis yang dialami oleh gereja Methodist dan gereja Episkopal pada saat itu, saya sadar bahwa jika mereka berada di pihak yang salah dalam beberapa isu teologis yang lebih besar yang saya rasakan begitu kuat, maka kemungkinan besar mereka juga salah dalam hal penahbisan wanita. Ini artinya Gereja Katolik benar. Hal ini tidak mengurangi kepemimpinan beberapa wanita yang saya temui sebagai seorang Katolik. Salah satunya yaitu sakristan Misa harian kami yang membuat saya terlibat di paroki. Saya menganggapnya sebagai ibu kedua bagi saya. Juga Mantan Direktur Kehidupan Rohani kami yang sekarang adalah teman baik saya selama bertahun-tahun sampai dia pindah lebih jauh ke utara. Pada akhirnya, hambatan utama adalah membiasakan diri dengan sesuatu yang berbeda dan baru.

Saya juga mulai menyadari bahwa kepausan sangat penting dalam Gereja. Jika Anda tidak memiliki kepausan, maka setiap orang adalah pausnya sendiri. Itulah sebabnya beberapa orang Protestan akan mengatakan sesuatu tentang suatu hal, sementara orang Protestan lainnya akan mengatakan hal yang sebaliknya. Jika setiap orang adalah pausnya sendiri, maka apa yang saya katakan tentang suatu masalah hanya mengikat saya, dan siapa yang bisa mengatakan keyakinan apa yang benar? Saya tidak hanya bertumbuh untuk mencintai kepausan, tetapi juga menyadari bahwa kepausan itu penting bagi sebuah gereja yang teratur dan bersatu. Dewan para uskup di United Methodist Church tidak memiliki kekuatan itu. Uskup Agung Canterbury, atau Uskup Ketua Gereja Episkopal, tidak memiliki otoritas seperti itu. Saya harus mencari ke Roma untuk menemukan jawaban atas pertanyaan saya.

Tidak seperti pengalaman banyak orang yang pindah keyakinan, keluarga saya tidak menjadi batu sandungan yang besar bagi kepindahan keyakinan saya. Kedua orang tua saya tidak terlalu religius, dan nenek saya, yang berperan penting dalam iman saya, dia akan ikut Misa malam bersama saya pada hari Sabtu sebelum dia jatuh sakit, dan kemudian pergi ke gerejanya sendiri pada hari Minggu pagi. Bahkan setelah ia berada di panti jompo, kami masih berdoa bersama dan berdiskusi tentang agama.

Setelah saya pulang, seperti yang saya katakan sebelumnya, saya menemukan jalan ke paroki St. Luke, gereja Katolik besar yang sering saya lewati tanpa memasukinya. Saya pernah menghadiri Misa harian di sana selama beberapa bulan, ketika Rita, seorang sakristan, mendekati saya dan bertanya apakah saya mau menjadi akolit (pelayan altar) pada Misa harian. Melalui pelayanan ini, akhirnya saya melatih banyak anak-anak di paroki untuk melayani juga. Saya juga mengajar di program Pendidikan Agama Minggu Pagi selama delapan tahun.

Dia Mengatur Segala Sesuatu dengan Baik

Saya bersyukur kepada Tuhan bahwa saya sudah menemukan jalan pulang. Pelayanan awam di paroki saya bukanlah satu-satunya pelayanan yang saya ikuti sekarang. Sejak tahun 2019, saya ikut terlibat dengan sebuah panti asuhan di Ciudad Juarez, Meksiko. Sebagian besar dari anak-anak ini tidak pernah memikirkan agama Katolik. Saya hanya mencoba menjadi teladan yang baik bagi mereka. Saya mencoba mewartakan Injil dengan kesaksian hidup saya. Saya sudah pernah berkunjung ke panti asuhan ini empat atau lima kali setahun sejak tahun 2019 dan sudah membangun hubungan yang baik dengan para pekerja dan anak-anak yang kami layani. Karena saya tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak sendiri, anak-anak ini telah menjadi anak-anak saya.

Saya masih menjunjung tinggi tradisi-tradisi Protestan; dalam beberapa tradisi Protestan yang berbeda saya belajar tentang iman. Di gereja Baptislah saya dibesarkan dan belajar membaca Alkitab. Di sana juga saya belajar untuk mendengarkan suara Tuhan yang hening dan mengasihi Yesus Kristus. Di gereja Methodist dan Episkopal saya belajar untuk menghargai masa-masa dan berbagai tradisi dalam kehidupan Gereja. Saya tidak akan menyerah pada salah satu dari langkah-langkah tersebut, sambil menyadari bahwa hal terbaik yang telah saya lakukan adalah pulang ke Gereja Katolik. Seperti yang dikatakan oleh Santo Petrus, “Kepada siapakah kami akan pergi?” ketika kita menyadari bahwa Yesus telah mendirikan sebuah Gereja, dan nama Gereja itu adalah Katolik. Kepalanya adalah Kristus, dan wakil-Nya adalah Petrus – di sepanjang zaman.

 

David Sears adalah mantan seminaris gereja United Methodist. Saat ini ia melayani sebagai misionaris awam paruh waktu dan telah bekerja sebagai guru pengganti bangunan selama dua tahun terakhir ketika berada di kampung halamannya. Dia sangat aktif di parokinya.

 

Sumber: “Finding the Church During Protestant Seminary”

Posted on 19 July 2023, in Kisah Iman and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.